Pandemi Kleptoteks: Kluster Baru Dunia Maya
Dalam grup berbagi pesan yang isinya para guru di sebuah sekolah, saya menemukan sebuah peristiwa pemerolehan bahasa yang menarik. Arkian, seorang anggota grup mengirimkan pesan yang isinya berita duka atas kematian saudaranya. Syahdan, seorang anggota grup lainnya membalas pesan tersebut dengan sebuah teks dalam hitungan kurang dari belasan detik. Inti pesannya adalah bersimpati dan berempati atas duka rekan plus doa kebaikan buat yang meninggal.
Setelah itu, anggota grup lain pun ikut mengirimkan pesan. Namun, terdapat banyak kesamaan pesan-pesan balasan dengan pesan balasan yang pertama dikirimkan oleh Syahdan. Padahal, menurut saya, menyusun teks pesan dalam jenis huruf Arab memerlukan waktu yang tidak sebentar. Selain itu, saya sendiri terbata-bata menerjemahkan pesan tersebut karena harus didampingi kamus agar dapat memahami isi pesan yang disampaikannya dengan benar.
Namun, perhatian saya bukan pada isi pesan yang disampaikan para anggota grup tersebut. Perhatian saya lebih pada peristiwa pemerolehan bahasa, yakni unggah dan unggah ulang pesan yang supercepat. Hal ini dimungkinkan terjadi karenai unggahan pesan tersebut sudah tersimpan dalam memori ponsel, tablet, atau telepon pintar. Selain itu, boleh jadi, pesan yang diunggah tersebut hasil dari salin rekat dalam konteks lalu lintas teks di grup pesan tersebut. Setelah mengeklik “kirim”, kita dapat langsung berpindah grup atau berpindah media dan menemukan konten yang suasananya kontras dengan konten berita duka tersebut. Setelah itu, dalam hitungan detik pula kita dapat tertawa karena berada dalam peristiwa pemerolehan bahasa yang berbeda konteks.
Berselancar
Ilustrasi di atas mendasari penulisan esai ini dan sekaligus menjadi lanjutan esai “Narasi Subversif, Mitos Baru di Era Digital” yang telah dipublikasikan di laman artikel Badan Bahasa Kemdikbud.go.id di bulan Februari (15/02) 2021. Dalam esai pertama, saya mencoba menggambarkan sebuah pola baru dalam penerimaan kita, baik sebagai citizen maupun netizen, atas informasi digital atau konten yang dikonsumsi dan diproduksi. Esai kedua ini tetap berangkat dari anggapan bahwa media internet bernilai netral, bergantung pengguna dengan tujuannya masing-masing.
Karakteristik internet yang cepat, luas, dan masif dalam menyajikan informasi telah menyasar kedirian siapa pun, kapan pun, dan di mana pun asal memiliki akses internet. Platform penulisan berita cetak, misalnya, akhirnya harus menyesuaikan dengan luasnya layar digital ponsel pintar atau tablet yang tentunya berhubungan dengan susunan paragraf berita yang ringkas, ringan, dan praktis agar nyaman dibaca. Gejala ini berkaitan dengan kemasan informasi hasil kreativitas para pemroduksi konten yang sadar betul kontennya harus menyesuaikan dengan karakteristik media digital beserta kelebihan dan kekurangannya yang menghasilkan informasi digital yang melimpah. Mari kita bayangkan, mungkin dalam hitungan detik, “berapa ratus ribu informasi yang diunggah di Indonesia?”
Hal ini telah mendorong munculnya penyedia informasi digital sebagai lokus baru berbentuk semesta teks takberhingga di internet, atau kita sebut saja dunia maya. Sebabnya, siapa pun, kapan pun, dan di mana pun dapat memproduksi informasi tanpa terkendala legalitas lembaga penyiaran formal. Gejala berikutnya adalah lalu lintas konten dengan media berbagi konten yang mungkin juga, dalam hitungan detik, beratus-ratus ribu konten dibagikan ulang.
Di sisi lain, dunia maya ini begitu ampuh mengonstruksi pola pikir, pola ucap, dan pola tindak penerima informasi digital. Karakteristik internet yang cepat, luas, dan masif dalam memproduksi konten telah memosisikan pengonsumsi konten yang juga dituntut untuk cepat, tepat, dan praktis (untuk tidak mengatakan instan) dalam memahami informasi. Mungkin, adagium “berselancar di dunia maya” memang ideal untuk menggambarkan situasi pola produksi-konsumsi konten.
Situasi ini terjadi dalam ranah faktual, faksional, dan fiksional informasi. Meskipun demikian, beberapa jenis informasi faktual tetap mempertahankan platform penulisan teks yang ketat acuan dan logis proposisinya, seperti pada konten e-paper, jurnal ilmiah digital, dan konten-konten yang memang terikat dengan kegiatan keilmuan.
Dalam ranah faksional (seperti artikel atau opini) dan ranah fiksional (seperti karya sastra), gejala penyesuaian platform penulisannya pun patut dicurigai terjadi. Sekali lagi, asumsi ini berdasar karena tidak sekadar perkara luasnya layar digital ponsel pintar atau tablet Anda, tetapi juga pertimbangan selera kenyamanan penerimaan dalam mengonsumsi konten yang serbacepat-tepat-praktis. Tentunya, ujung dan pangkal dari mekanisme produksi-konsumsi konten ini adalah selera pasar yang erat kaitannya dengan distribusi kapital.
Pesona Mitos
Gambaran di atas menandai betapa pentingnya prosedur penafsiran atau interpretasi yang harus dimiliki oleh sesiapa yang ingin berselancar di dunia maya yang kadang kala, bahkan sering, memerangkap kita dalam kesalahan menafsir. Mungkin, sebagai peselancar, kita tidak ingin jatuh kemudian berenang, bahkan tenggelam dalam semesta teks. Dalam situasi seperti ini posisi kita bukan sebagai subjek yang menafsir, melainkan lebih dominan sebagai objek yang ditafsir teks.
Dalam esai pertama, saya mencoba menggambarkan bagaimana konten membangun narasi simbolis. Sebabnya, karakteristik media internet yang serba cepat-luas-masif cenderung memerangkap penafsir dalam medan penafsiran teks fiksional. Tak perlu ada perjumpaan dengan tokoh, lembaga, atau sumber berita konten untuk mempertanyakan kebenaran peristiwa dan makna konten. Teks begitu melimpah dan kita diposisikan memilih dan memilah, kemudian memahamkannya dalam penampang waktu linear sebagai peselancar. Setiap detik ratusan ribu teks diproduksi dan dibagikan kembali, sementara kapasitas waktu kita terbatas dalam mengonsumsinya.
Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, kesadarankita atas konten telah memerangkap prosedur penafsiran yang ketat dan logis ala filsafat dan sains ke dalam prosedur penafsiran sebelum lahirnya filsafat dan sains, yakni mitos. Narasi simbolik konten yang tersimpan dalam pengetahuan kita membangun narasi subversif karena kesalahan prosedur penafsiran. Keberlimpahan dan sekaligus kesemrawutan lalu lintas teks/konten di Dunia Maya menjadi paralel dengan keberlimpahan dan kesemrawutan lalu lintas teks/konten yang membangun pengetahuan dan pemahaman siapa pun yang akrab dengannya. Kita terperangkap oleh pesona mitos dunia maya yang lagi-lagi, dalam menafsir konten pun serba cepat-tepat-praktis dan cenderung abai dengan refleksi kritis.
Dalam situasi seperti ini, “mana yang lebih awal ada, pikiran atau bahasa?” Pertanyaan retoris ini dapat disejajarkan dengan pertanyaan “mana lebih awal ada, manusia atau teks?” atau “mana lebih awal ada, Adam atau kun?” Jika kita percaya bahwa pengetahuan dan pemahaman kita dibangun oleh teks, kita kembali masuk dalam mitologi. Kuasa teks atas manusia menempatkan manusia sebagai subordinat dari sesuatu di luar dirinya, bisa alam, tuhan, bahasa, bahkan mitos itu sendiri.
Dalam ranah mitos, kepercayaan mendahului pembuktian. Sebuah mitos hadir karena kerelaan kita menganggapnya sebagai mitos. Korelasi mitos mengacu pada dua acuan, yakni (1) acuan keyakinan dalam sistem agama dan (2) acuan keyakinan dalam narasi fiksi. Ambivalensi acuan mitos ini dapat kita temukan dalam narasi-narasi simbolik konten. Bahkan pun, adagium “berselancar di dunia maya” adalah narasi subversif yang hampir menjadi mitos.
Siapa menyebarkan begitu saja sebuah konten informasi yang diterima tanpa mengecek kebenaran beritanya adalah gejala mitos baru di era kecanggihan teknologi informasi. Tentunya, kita dapat berkilah bahwa pemroduksi, baik pribadi atau lembaga resmi, dapat menjadi jaminan integritas dan kredibilitas sebuah konten. Namun, objektivitas pemroduksi dapat menjadi bias karena ada tujuan (motif kepentingan) dibalik produksi konten, semisal ekonomi, politik, agama, dsb.
Hal ini terjadi karena memang dunia mMaya begitu memesona sebagai sebuah narasi simbolis yang diunggah dan diunggah ulang. Dalam tahap ini, hal tersebut mungkin telah menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan dengan sadar atau taksadar. Bahkan pun, kita dengan nyaman mengunggah ulang konten berita digital ke rekan, grup, jejaring sosial, dan jurnal pribadi kita tanpa tahapan interpretasi kritis.
Meskipun demikian, kecenderungan gejala ini tidak menafikan bahwa masih banyak pengguna internet yang tidak terjebak dalam medan interpretasi mitos. Pudarnya pesona mitos dunia maya yang dibangun melalui nasari-narasi simbolis yang subversif ini, dibangun oleh kesadaran kritis atas “berselancar di dunia maya”. Maksudnya, kesadaran rasionalisasi pengonsumsi konten yang disusun dari logika induksi atas deskripsi-analisis-interpretasi sebuah konten.
Unggah dan Unggah Ulang
Di bagian sebelumnya, saya telah menyinggung bahwa produksi-konsumsi konten begitu melimpah. Layanan penyedia data yang dibangun oleh setidaknya tiga provider, yakni Google, Microsoft, dan Facebook, telah memindahkan segala aktivitas dan pengetahuan kita dalam bentuk digital. Sebagai homo simbolikum, kita sangat bergantung pada mereka. Bahkan, boleh jadi, globalisasi informasi yang didukung oleh ketiga penyedia layanan data ini telah berandil mengonstruksi cita rasa, karya, karsa kita sebagai warganet, terutama di perkotaan.
Mungkin, kita dapat menandai gejala sederhana yang menyertai melimpahnya informasi ini dan sekaligus dapat menjadikannya pangkal ulasan, yakni unggah dan unggah ulang konten. Sebabnya, fenomena ini menandai masyarakat yang terbuka dan dinamis dalam menerima dan melakukan perubahan. Masyarakat yang memiliki multiacuan, mulai dari acuan kehidupan sehari-hari yang konkret, acuan bidang kehidupan yang menjadi perhatian atau pekerjaannya, acuan simbolik transmisi analog, sampai ke acuan transmisi digital (superanalog) internet yang menyasar ke pribadi tiap individu.
Khusus yang terakhir, kita dapat menandai perubahan aktivitas kehidupan kita sehari-hari yang mulai takterbantahkan, yakni ditinggalkannya media radio dan televisi analog untuk memperoleh informasi. Transformasi kedua produk komunikasi hasil transimisi analog ke transmisi digital inimenandai kebebasan kita dalam memilih dan memilah informasi atau konten yang ingin kita dapatkan. Meskipun media televisi dan radio sudah berubah dalam layanan transmisi digital, karakter kedua media komunikasi ini tidak memberi kebebasan kita dalam memperoleh informasi karena konten keduanya adalah hasil konstruksi sekelompok orang yang dinamakan redaksi.
Catatan kaki dari kedua produk media komunikasi ini adalah mesin komunikasi propaganda yang kita sebut dengan iklan. Para kreator iklan memahami betul potensi Dunia Maya untuk menjadi sarana mengenalkan produk dan jasa. Setiap kita berpotensi menjadi pengiklan atau setidaknya mendukung iklan orang lain. Bahkan, kita dapat membuat televisi dan radio sendiri dengan membuat kanal di aplikasi Youtube dan Podcast untuk menarik masuknya iklan. Dapatl dikatakan bahwa lalu lintas komunikasi internet (traffict log in) menandai bukan sekadar transaksi konten belaka, melainkan juga transaksi kapital dalam bentuk digital.
Virus Kleptoteks
Ilustrasi di awal esai tentang peristiwa pemerolehan bahasa bisa menjadi lanskap esai ini untuk sampai pada bagian inti tulisan ini. Dalam bagian ini gejala unggah dan unggah ulang yang biasa kita lakukan dalam berkomunikasi di dunia maya dapat menandai gejala psikis masyarakat, khususnya warganet yang doyan berbagi dan berbagi ulang konten. Hal ini dapat menguatkan asumsi bahwa konten adalah informasi yang dimiliki bersama, oleh, dari, dan untuk bersama.
Konten yang berisi tindakan simbolik yang direpresentasikan melalui sistem tanda bahasa verbal dan nonverbal dapat dikatakan dengan istilah teks. Konten juga menyertakan aspek-aspek yang melingkungi teks. Singkatnya, konten menyertakan konteks, yakni (1) aspek pembuat/pemroduksi, (2) konten, (3) penerima/pengonsumsi (pembaca, pendengar, atau penonton), dan (4) aspek referensi indeksikal konten dengan peristiwa sosial-budaya saat konten itu dibuat.
Dari konteks atas konten tersebut, khusus aspek terakhir, konten dapat dianggap sebagai produk sosial yang mengambil bentuk ekspresi simbolis melalui media sistem tanda bahasa. Konten dibuat dengan referensi peristiwa nyata yang dituliskan, dilisankan, dan divideokan, seperti pada teks berita. Namun, konten juga dapat dibuat dengan referensi jejaring konten yang melingkunginya tanpa harus mengacu pada peristiwa nyata. Singkatnya, konten hadir dari keberjamakan konten yang telah ada.
Sampai di sini, dengan perilaku unggah dan unggah ulang, konten mendapatkan energi replikasi yang takterbantahkan. Sebagai contoh, konten yang kemudian mendapat banyak apresiasi warganet (viral) dapat merangsang warganet lainnya untuk mereplikasinya dalam bentuk utuh, dalam bentuk pengurangan atau penambahan, atau membuat baru, seperti pada aplikasi Tiktok. Gejala replikasi konten ini sejajar dengan kreasi ulang konten yang kemudian dikenal dengan istilah meme. Dapatkah dikatakan bahwa meme adalah plagiasi?
Hal ini sangat mungkin terjadi. Namun, saya akan mengulasnya bukan dari peniruan kontennya, melainkan dari kebiasaan mereplikasi konten dalam peristiwa mengunggah dan mengunggah ulang konten yang dikonsumsi. Dalam hal ini saya menduga bahwa dalam perilaku berkomunikasi di dunia maya, boleh jadi, kita telah mewajarkan replikasi dan kreasi ulang konten. Boleh jadi, semesta teks yang terentri di dunia maya memang memosisikan kita memiliki kebiasaan unggah dan unggah ulang konten. Sebabnya, konten yang dimaui pasar adalah konten yang viral, yang banyak dikunjungi warganet. Dari sini, kalkulasi kapital muncul dan siapa yang bergegas masuk ke aras ini mendapat imbalan finansial.
Gejala psikis ini dapat menimpa siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Gejala psikis yang didukung oleh budaya populisme ini memang menjanjikan untuk serius ditekuni sebagai profesi atau sekadar iseng dengan tujuan tertentu. Bolehlah kita katakan gejala psikis yang sadar atau taksadar seperti virus ini menjadi pandemi kita bersama. Virus baru ini mungkin kita katakan kleptoteks.
The Show Must Go On
Meski beberapa penyedia aplikasi konten membuat mesin pencari plagiasi, mungkin ungkapan The Show Must Go On dari grup band terkenal itu tepat untuk menggambarkan bahwa kegiatan akademik bisa dikebawahkan untuk kegiatan pasar. Kasus sederhana bisa kita dapatkan selain dari konten meme. Kita ambil contoh konten quotes ‘kutipan’ yang begitu banyak tersedia di internet dalam bentuk takarir.
Kutipan bisa berbentuk peribahasa, bidal, kata-kata mutiara dsb. Kutipan bisa bersumber dari tradisi tutur yang dimiliki bersama suatu komunitas atau bersumber pada perkataan seseorang atau karya tulis seseorang. Kutipan dapat berbentuk takarir, dokumen kamus, dsb. Kutipan lebih spesifik pengertiannya karena objek replikasinya adalah perkataan dalam bentuk klausa, kalimat, atau paragraf.
Replikasi dan kreasi ulang konten. kutipan, atau takarir semakin menegaskan bahwa semesta teks yang terentri di internet adalah perkara kita membuat copy paste ‘salin rekat’ konten dengan atau tanpa menyebut sumbernya. Mungkin hal inilah yang membedakan seseorang terdampak virus kleptoteks sebagai (1) pengutip karena menyertakan sumber referensi dan satu lagi (2) pengutil yang tidak menyertakan sumbernya.
Mungkin, inilah maunya dunia maya, bahwa kita sebagai cityzen dan netizen diposisikan (untuk tidak mengatakan dijadikan) sebagai seorang kleptoteks. Apa lacur, dengan pesona mitosnya, dunia maya dan pandemi kleptoteks sebagai sertaannya telah menjadi bagian perilaku dalam peristiwa pemerolehan bahasa sehari-hari kita. Dengannya, energi kapital terdukung. (03/01/2021)
Sumber bacaan:
K.M. Newton, Menafsir Teks, Penerjemah Dr. Sulistia M.L., Pendamping Prof. Dr. Ramelan M.A., 1994, Penerbit IKIP Semarang Press
Wolfson College Lectures 1974, Edited by Samuel Guttenplan, 1975, Mind and Language, Oxford University Press
Paul Ricoeur, Interpretation Theory, Discourse and The Surplus of Meaning,
Sapardi Djoko Damono, Kelisanan dalam Keberaksaraan Kasus Puisi Indonesia 2,
Peter L. Burger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990
Nizar Machyuzaar
...