Rudapaksa
Kata rudapaksa semakin sering digunakan dalam berita. Ketika kata itu diketikkan pada peramban Google muncul 665 ribu tautan dalam waktu 0.32 detik saja. Umumnya tautan berisi berita tentang pemerkosaan. Ketika kata itu ditambahkan dengan kata trauma, peramban memunculkan 120 ribu tautan dalam waktu yang sama terkait ranah Hal itu menunjukkan umumnya kata rudapaksa digunakan dalam konteks pemerkosaan. Oleh karena itu, ada pengguna bahasa yang mempertanyakan penggunaan kata rudapaksa yang menurutnya merupakan bentuk eufemisme dari kata perkosa atau pemerkosaan.
Kata rudapaksa awalnya diperkenalkan dalam Sidang Komisi Istilah di bawah ketua Prof. Dr. Prijana. Kata itu digunakan sebagai padanan untuk istilah hukum, gewelddadig pada istilah gewelddadige aanslag ‘makar rudapaksa’ dan gewelddadige dood ‘mati rudapaksa, mati karena kekerasan’. Seksi ilmu hukum beranggotakan Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Mr. M.H. Tortaamidjaja, Mr. Alwi St. Osman, Prof. Mr. Dr. Hazairin, dan Djamaludin Dt. Singomangkuto. Padanan tersebut kemudian dimuat dalam lampiran majalah Bahasa dan Budaja, 1952.
Kata rudapaksa juga digunakan dalam bidang kedokteran. Seksi kedokteran yang beranggotakan Prof. Dr. Aulia, Dr. Ahmad Ramali, Dr. Gulam, Dr. Karimuddin, dan Nyonya Anisah Hamid memadankan geweld (trauma) dengan rudapaksa. Kata itu juga muncul pada istilah gewelddadige dood: mati rudapaksa. Padanan tersebut kemudian dimuat dalam lampiran majalah Medan Bahasa, Nomor 5, Tahun 1952 dan 1952 dan Kamus Istilah Kedokteran terbitan Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan (1961).
Apakah istilah itu berterima? Ya, sebagai buktinya korpus menunjukkan pemakaian istilah itu dalam bidang kedokteran dan hukum. Dalam buku Ilmu Kebidanan (1964) tercatat kalimat: “bahaya lain ialah sang bayi dapat menerima rudapaksa pada kepala (trauma capitis). Dalam buku Ilmu Kebidanan Dalam Rangkai Usaha Kesehatan (1960) terdapat: “rudapaksa pada alat genital”. Dalam buku Pertolongan Pertama Pada Ketjelakaan (1964) tercatat: “acapkali terjadi pada rudapaksa yang tumpul, bagian-bagian di bawah kulit rusak”.
Selanjutnya, dalam buku Kitab Himpunan Perundang-undangan Negara (1962) tercatat: “mati rudapaksa (mati karena perbuatan kekerasan), RIB Pasal 69”. Sementara itu dalam buku Kejahatan dan Penyimpangan dalam Perspektip Krimonologi (1988) tercatat kata rudapaksa badani sebagai sinonim dari bahaya. Dalam Dharma Warta (1975) kata rudapaksa dipahami sebagai kekerasan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga mencatat kata rudapaksa. Dalam KBBI Edisi Pertama (1988) rudapaksa berkelas kata nomina dan didefinisikan sebagai ‘perbuatan yang dilakukan dengan paksa’. Namun, dalam KBBI Edisi Kedua (1991) definisi rudapaksa diubah menjadi ‘kekerasan; kekejaman’ dengan keterangan etimologi dari bahasa Jawa. Definisi itu berubah lagi pada KBBI Edisi Ketiga (2001), yaitu rudapaksa: ‘paksa; perkosa’. Definisi itu bertahan dalam KBBI daring.
Perubahan itu tidak menunjukkan inkonsistensi penyusun kamus. Penyusun kamus merekam terus perkembangan kata dan maknanya sebagaimana penggunaannya oleh masyarakat. Dalam ilmu semantik perubahan makna seperti itu merupakan gejala bahasa yang lazim.
Perubahan itu berdasar pada perkembangan penggunaan dan pemaknaan kata tersebut dalam korpus yang mencerminkan penggunaan dalam masyarakat. Pemaknaan rudapaksa sebagai perkosaan justru muncul dalam bidang kedokteran juga. Sebagai contoh dalam buku Membina Keluarga Bahagia: Pembatasan Kelahiran (1967) terdapat uraian: “hal tersebut a.l. disebabkan oleh adanya apa yang dinamakan ovulation violentas yang berarti pelepasan sel telur akibat paksaan/perkosaan pada sesuatu persetubuhan, oleh sesuatu ruda-paksa umpamanya”. Demikian pula dalam Rekonsiliasi Konflik Domestik: Sebuah Bunga Rampai Psikologi Sosial (1999) terdapat kalimat: “ketika seorang isteri membalas rudapaksa suaminya dengan memotong alat kelaminnya bahkan ada yang mengguyur suaminya dengan air mendidih karena tidak mau bercinta, apakah dalam hal ini isteri tidak memperkosa?”
Perkembangan makna rudapaksa juga terlihat pada perluasan ranah penggunaan. Kata rudapaksa yang awalnya berkonteks hukum dan kedokteran digunakannya dalam ranah lain. Sebagai contoh dalam Mutiara Nahdlatul Ulama (1998) kata rudapaksa dimaknai sebagai kekerasan politik: “munculnya Parmusi setelah peristiwa rudapaksa politik tahun 1965, tidak otomatis menarik kembali mantan pendukung Masyumi”. Demikian juga dalam Rumah Sakit Bethesda Dari Masa Ke Masa (1989) tercatat: “Belanda yang membonceng tentara Sekutu ingin menguasai kembali Indonesia cara ruda paksa”. Selanjutnya dalam Percikan Masalah Arsitektur (2006) terdapat juga kata rudapaksa: “barangkali inilah biang keladi timbulnya kasus-kasus perusakan dan pembongkaran bangunan bersejarah secara rudapaksa”.
Rudapaksa yang berasal dari bahasa Jawa memang memiliki medan makna ‘kekerasan’ dan ‘paksaan’. Kata ruda bervariasi dengan roda yang menurut Roorda dalam Javaansch-Nederduitsch Woordenboek (1847) berarti ‘kekerasan, sengit, kejam’. Dalam bentuk kata kerjanya, ngruda atau ngroda salah satu artinya adalah verkrachten yang dalam istilah hukum dimaknai sebagai ‘memperkosa, merogol, menggagahi’ (Kamus Hukum Belanda-Indonesia, 1956). Pada kamus Roorda edisi 1901 muncul kata rodapeksa, paripeksa, ngroda paripeksa, dan ngroda peksa dengan arti ‘kekerasan dan pemaksaan’.
Kata perkosa atau diperkosa menurut Poerwadarminta berarti dipeksa atau dirujag (Bausastra Indonesia-Jawi). Dalam korpus penggunaan kata perkosa dengan makna ‘hubungan seksual secara paksa’ telah muncul dalam karya-karya penulis Tionghoa. Bisa jadi korpus ini menjadi bukti awal penggunaan kata itu, sampai ada korpus lain yang menunjukkan hal berbeda. Dalam Boekoe Tjerita Doeloe Kala Di Benoewa Negeri Tjina (1886) tercatat kalimat: “tiada kira dia poenja berani lantas masoek di kamar Tjoe Hin Kion dengen paksa maoe perkosa pada anak hamba. Kemudian dalam Lawah-Lawah Merah (1875) tercatat kalimat: “sa-orang laki-laki soeda rampas prampoean, jang saija tjinta. Itoe laki saija soeda saija boenoe pada malem kawinnja dan penganten prampoeannja saija soeda ambil dengan perkosa! Selanjutnya dalam Tjerita Nona Hong Giok (1918) tercatat pula: “sabagimana itoe orang jang di roema berhala maoe perkosa istrinja ko Hoat”.
Kata rudapaksa dan perkosa bertaut dalam medan makna ‘paksaan, pemaksaan’ dan ‘kekerasan’. Dengan demikian penggunaan kata rudapaksa sebagai sinonim dari perkosa secara semantik dapat dipahami dan praktiknya berterima. Harus diakui KBBI memang luput mencatat makna ‘trauma’ untuk rudapaksa. Walakin, makna tersebut dapat ditambahkan pada pemutakhiran selanjutnya.
Asep Rahmat Hidayat
Penulis adalah anggota Kelompok Kepakaran Layanan Profesional (KKLP) Perkamusan dan Peristilahan