- zoonosis = zoonosis
work from office = kerja dari kantor (KDK)
work from home = kerja dari rumah (KDR)
ventilator = ventilator
tracing = penelusuran; pelacakan
throat swab test = tes usap tenggorokan
thermo gun = pistol termometer
swab test = uji usap
survivor = penyintas
specimen = spesimen; contoh
social restriction = pembatasan sosial
social media distancing = penjarakan media sosial
social distancing = penjarakan sosial; jarak sosial
self-quarantine = swakarantina; karantina mandiri
self isolation = isolasi mandiri
screening = penyaringan
respirator = respirator
rapid test = uji cepat
rapid strep tes =t uji strep cepat
protocol = protokol
physical distancing = penjarakan fisik
pandemic = pandemi
new normal = kenormalan baru
massive test = tes serentak
mask = masker
lockdown = karantina wilayah
local transmission = penularan lokal
isolation = isolasi
incubation = inkubasi
imported case = kasus impor
Bahasa dan Nasionalisme
Jika nasionalisme didefinisikan sebagai paham yang berkaitan dengan menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu kesatuan konsep identitas bersama, di manakah letak hubungan antara nasionalisme dan bahasa? Benarkah sikap nasionalisme ditandai dengan kecintaan pada bahasa bangsanya? Benarkah dari ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa” kita dapat menemukan signifikansi yang relevan antara nasionalisme dan bahasa? Jika sebuah bahasa menandai suatu bangsa dan adanya bahasa karena bangsa itu memakainya, antara bangsa dan bahasa itu terdapat hubungan yang saling menentukan. Pernyataan itu cocok untuk, misalnya, bangsa Cina dengan bahasa Cina, bangsa Jepang dengan bahasa Jepang, bangsa Inggris dengan bahasa Inggris, bangsa Prancis dengan bahasa Prancis, atau bangsa Jerman dengan bahasa Jerman. Namun, masalahnya, fakta sosiolinguistik menunjukkan bahwa tidak setiap bangsa mempunyai satu bahasa kesatuan yang “menunjukkan bangsa” itu. Ada bangsa yang menggunakan beberapa bahasa. Sementara itu, ada pula beberapa bangsa yang mempunyai satu bahasa sebagai bahasa nasionalnya, tetapi bahasa itu bukan miliknya—bukan berasal dari bahasa yang ada dalam masyarakat bangsa itu. Ada juga bangsa yang memakai satu bahasa sebagai alat komunikasi resmi, tetapi bahasa resmi itu pun digunakan oleh beberapa bangsa lainnya. Bahasa Inggris, misalnya, selain digunakan oleh bangsa Inggris sendiri, digunakan juga oleh bangsa Amerika Serikat, Australia, India, Filipina, dan beberapa bangsa bekas jajahan Inggris sebagai alat penghubung komunikasi di dalam bangsanya masing-masing. Di sisi lain, ada beberapa bangsa yang berhasil mengangkat salah satu bahasa daerahnya menjadi bahasa nasional, seperti ketika Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka dan pemerintah yang baru membuat ketentuan mengenai bahasanya. Bab 13 tentang “Bahasa Resmi dan Bahasa Nasional” Republik Demokratik Timor Timur yang ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2002 menyebutkan bahwa bahasa Tetum (salah satu bahasa daerah di Timor Timur) sebagai bahasa resminya di samping bahasa Portugis. Namun, ada pula beberapa bangsa yang akhirnya memakai beberapa bahasa meskipun bahasa itu berasal dari bahasa daerah yang ada dalam bangsa itu sendiri. Di India, meskipun bahasa nasionalnya bahasa Hindi, ada juga bahasa nasional alternatif, yaitu bahasa Inggris. Bahasa Hindi ditetapkan sebagai bahasa resmi di negara bagian Himachal Pradesh, Delhi, Haryana, Uttar Pradesh, Chandigarh, Bihar, Madhya Pradesh, dan Rajashtan, tetapi kelompok Indo Arya, seperti Bengali, Gujarati, Marathi, dan Punjabi, bersikeras dengan bahasanya masing-masing. Kelompok Dravida, seperti Telugu, Tamil, dan Malayalam, juga bersikeras dengan bahasanya masing-masing. Bahkan, sebagian besar muslim India setia menggunakan bahasa literer Urdu. Beberapa fakta tentang pilihan bahasa dalam suatu bangsa menggambarkan bahwa pilihan politis tentang bahasa dimotivasi beragam kepentingan dan dibuat dalam berbagai format. Meskipun demikian, ada pandangan umum yang mendasarinya, yaitu bahwa keputusan pilihan politis tentang bahasa itu digunakan untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu, suatu “kebijakan bahasa” secara eksplisit dibuat berdasarkan latar belakang keanekaan bahasa yang hidup dalam suatu pemerintahan dan bertujuan mengatur beragam fungsi pemakaian bahasa itu. Masalah fungsi pemakaian bahasa itu sudah pasti melibatkan masyarakat tuturnya. Hal itu berarti bukan hanya permasalahan sosiolinguistik saja, melainkan juga politik. Seringkali karena sedemikian kompleksnya masalah pilihan bahasa itu, pemerintah harus ikut campur menanganinya. Faktor itu membuat bahasa menjadi objek yang tidak terhindarkan dari aneka pilihan politis dan juga historisnya (Coulmas 2006:184; Moeliono, 1985:1; Alwasilah 1993:91). Kanada, karena fakta politis dan historisnya, mengharuskan negara itu menetapkan bahasa Inggris dan Prancis sebagai bahasa resminya. Hampir 98 persen orang Kanada berbicara secara baik dalam Inggris atau Prancis atau keduanya, meskipun di negara itu ada sembilan bahasa asli, yakni Chipewyan, Dogrib, Gwich‘in, Inuinnaqtun, Inuktitut, Inuvialuktun, Cree, Slavey Utara, dan Slavey Selatan. Satu-satunya bahasa penduduk asli yang dipercaya secara penuh dapat tersokong saat ini ialah Cree (dengan 72.885 penutur bahasa ibu). Bangsa Swiss menggunakan empat bahasa resmi sekaligus, yakni bahasa Jerman, Prancis, Italia, dan Romans. Pemerintah Swiss mengambil kebijakan itu dilatarbelakangi posisinya sebagai negara tujuan wisata utama internasional dan sebagai “negara netral” tempat negara lain merundingkan masalah internasional, termasuk menjadi tuan rumah dari banyak organisasi internasional, seperti Palang Merah dan WTO. Contoh lain, sampai saat ini di Belgia menggunakan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Prancis dan Belanda, karena di dalam negara itu kedua kelompok penutur bahasa itu cukup kuat mempertahankan bahasanya masing-masing. Tentunya, pemerintah Belgia tidak bijaksana jika hanya menetapkan bahasa Belanda (digunakan oleh suku bangsa Flanders sekitar 60 persen dari jumlah penduduk) sebagai bahasa resmi negara karena negara itu pun dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Prancis (dituturkan oleh suku bangsa Wallonia) secara turun-temurun. Sejak tahun 1970-an, partai politik di Belgia pun terbagi berdasarkan kepentingan politik dan bahasa. Menteri yang berbahasa Belanda dan Prancis memiliki hak yang sama dan dijelaskan di konstitusinya. Sehubungan dengan fakta sosiolinguistik tersebut, apakah nasionalisme orang Amerika Serikat, Kanada, Belgia, atau Swiss patut dipertanyakan karena menggunakan bahasa yang “bukan asli” miliknya? Dalam masalah itu, jika nasionalisme dalam arti sempit dimaknai sebagai kebanggaan terhadap negara, kita tidak berhak menilai siapa pun atas hal itu. Dalam penggunaan ragam lisan dalam bahasa Indonesia, apakah karena seorang warga negara Indonesia berbahasa Indonesia, tetapi berlogat Amerika dan kebetulan “bule” karena berayah orang Amerika, berarti dia tidak cinta Indonesia? Rasa bangga dan cinta ada di dalam hati. Bahasa atau logat seseorang dalam berbicara tidak menunjukkan kadar nasionalisme. Demikian juga bukan suatu jaminan pasti jika ada orang yang tinggal di wilayah negara Indonesia, berdarah asli Indonesia, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Indonesia asli seratus persen merasa bangga terhadap Indonesia. Dari aspek bahasa sebagai identitas suatu bangsa, bangsa Indonesia mungkin lebih mujur daripada Kanada, Belgia, atau India. Bangsa Indonesia mempunyai bahasa “asli” milik sendiri yang menunjukkan nasionalisme. Berkat pilihan politis para pemuda dalam Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan Sumpah Pemuda, Indonesia mempunyai bahasa nasional yang mempersatukan ratusan bahasa daerah dan dialek. Pernyataan sikap politik bangsa Indonesia “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia” telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang menyatukan keanekaan dalam masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, Anton M. Moeliono (2000) menyatakan bahwa pada tahun 1928 populasi orang Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu hanya 4,9 persen , sedangkan bahasa Jawa 47,8 persen , dan Sunda 14,5 persen . Dalam perkembangannya, melalui vernakularisasi, terbukti bahwa pilihan politik pada tahun 1928 itu telah mengantarkan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu menjadi bahasa masyarakat baru yang bernama Indonesia. Bahasa Indonesia telah mampu menyatukan berbagai lapisan masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya, bahasa, dialek, dan etnik ke dalam satu kesatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia pun kemudian mendapat pengukuhannya ketika perjuangan politik bangsa Indonesia mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara yang merdeka dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36. Dalam kaitan itu pula, pengukuhan pilihan politik status bahasa Indonesia dan perencanaan bahasa Indonesia merupakan upaya yang tidak mungkin dihindari. Setidaknya, pesatnya perkembangan bahasa Indonesia dan gencarnya “serangan” bahasa asing telah menuntut hal itu. Status meningkatkan atau mengurangi penggunaan bahasa asing yang menjadi kebijakan politik diasumsikan dapat mengembangkan dua hal, yaitu pengembangan bahasa Indonesia dan menciptakan situasi sosial, seperti meningkatkan status bahasa Indonesia yang dibanggakan penuturnya. Di lain pihak, kebijakan bahasa secara resmi di kalangan pemerintahan dan pendidikan merupakan upaya pengembangan bahasa untuk menyatukan rasa nasionalisme. Namun, bagi sebagian orang Indonesia, nasionalisme masih dianggap pemikiran baru karena konsepnya dianggap hanya digunakan dalam ranah pemerintahan, politik praktis, dan sekadar tameng untuk mengantisipasi pengaruh asing—bukan soal bagaimana memahami kesatuan dan persatuan bangsa. Setakat ini kita masih tidak dapat lepas dari primordialisme dan perbedaan yang dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan. Setiap kelompok masih membuat teritorialnya sendiri. Pada tataran tersebut, konstruksi sosio-budaya-politik kita seharusnya bercermin pada fakta keberadaan bahasa Indonesia yang dapat digunakan dalam lintas batas. Identitas sebagai seorang “nasionalis Indonesia” semestinya sebuah konstruksi yang dipegang sebagai hal pribadi. Orang tidak perlu menjadi asli untuk dapat mencintai Indonesia karena tatanan kehidupan global saat ini memungkinkan kita berada di lain benua dan “keindonesiaan” bukan lagi masalah teritorial karena dunia sudah menjadi perkampungan global. Nun jauh dari Indonesia tentu banyak orang Indonesia yang berbicara dengan bahasa Indonesia dengan logat keinggris-inggrisan atau kebelanda-belandaan. Hal itu hanya merupakan masalah garis hidupnya yang menentukan bahwa dia harus jauh dari tanah kelahirannya, tetapi nasionalismenya belum tentu keinggris-inggrisan atau kebelanda-belandaan. Sekali lagi, bahasa atau logat seseorang dalam berbicara memang tidak menunjukkan kadar nasionalisme. Daftar Pustaka Alwasilah, Chaedar A. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Alwi, Hasan dan Dendy Sugono (Ed.) 2003. Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas and Penerbit Progress. Coulmas, Florian. 2006. Sociolinguistics: The Study of Speaker’s Choices. Cambridge: Cambridge University Press. Kaplan, Robert B. dan Baldauf Jr, Richard B. 1997. Language Planning from Practice to Theory. Clevedon: Multilingual Matters Ltd. Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa (Seri ILDEP). Jakarta: Djambatan. Moeliono, Anton M. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi” dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi (Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (Ed.). Jakarta: Pusat Bahasa
SELINGAN
Daftar Selingan
Ganjar Harimansyah
...