Menumbuhkan Gerakan Literasi di Sekolah

I. Pendahuluan

Artikel ini berawal dari kenyataan terkait dengan masih rendahnya budaya literasi kita. Padahal, terhitung sejak tahun 2016 sudah 6 tahun Gerakan Literasi Nasional (GLN) kita dicanangkan. Faktanya, hasil berbagai studi pada rentang waktu itu tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Sebelum GLN dicanangkan, Indonesia sudah masuk sebagai anggota PISA. Pada 2012 peringkat Indonesia di PISA berada di urutan ke-60 dari 64 negara. Kemampuan siswa Indonesia pada literasi membaca saat itu sangat rendah. Dikatakan bahwa karena PISA hanya digunakan untuk mengukur kompetensi siswa yang berumur 15 tahun.

Dengan posisi seperti itu, peringkat ke-60 dari 64 negara, siswa kita justru mendapat predikat sebagai siswa paling bahagia di dunia. Karena itu, Pisani (2013) menyebut bahwa siswa Indonesia adalah siswa yang bodoh, tetapi bahagia. Dalam studi PISA pada periode berikutnya (2015), hasil perolehan siswa kita juga tidak menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Bahkan, pada ranah literasi perolehan poin siswa kita justru sangat meresahkan. Sebagian besar berada pada level kurang dari 1 (level paling buruk).

Menurut OECD, pada level tersebut berarti siswa hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab. Lalu, mengapa semangat literasi kita rendah? Barangkali karena minimnya buku. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (2015), penerbit Indonesia rata-rata hanya menerbitkan 30.000 judul buku. Sekilas jumlah terbitan judul buku itu memang sudah sangat banyak sehingga kita termasuk literat. Namun, menurut International Publisher Association, sehat tidaknya keterbacaan dapat dilihat dengan membandingkan jumlah buku per sejuta penduduk.

Menurut BPS (2015), penduduk kita saat ini berjumlah 255.461.700 jiwa. Artinya, indeks keterbacaan kita adalah 8 judul buku per sejuta jiwa. Angka itu jauh dari Thailand (168), bahkan dari Kenya (11). Karena itu, studi dari Unesco yang menyebut indeks membaca kita hanya 0,001 adalah benar adanya. Dari 1.000 masyarakat Indonesia, hanya 1 orang yang membaca. Hal itu makin terbuktikan oleh studi The World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016 bahwa kita menempati urutan ke-60 dari 61 negara.

Dengan melihat ketertinggalan itu, pemerintah membuat gerakan literasi. Namun, gerakan literasi itu cenderung gagal. Padahal, program literasi sudah dijalankan oleh beberapa kementerian dan lembaga. Sebagaimana disitir E. Aminuddin Aziz (2021) dalam “Peta Jalan Literasi Baru”, gerakan literasi tidak hanya ada di Kemendikbudristek, tetapi juga di Kemenkominfo, Kemendes, Kemendagri, dan Perpusnas. Sayangnya, lanjut Aziz, program bersama tersebut justru tidak dikerjakan secara bersama-sama dengan mengacu pada cetak biru yang sama.

Setelah GLN digalakkan, nilai literasi justru terkesan menurun. Hal itu terlihat dari skor literasi pada 2015 yang menyentuh angka 397, lalu menurun menjadi 371 pada 2018. Perolehan Indonesia pada literasi di PISA pada 2018 (371) jauh di bawah rata-rata perolehan dunia, yaitu 487. Artinya, ada kecenderungan bahwa setelah GLN digalakkan yang tentu tidak menghabiskan sedikit biaya, justru menghasilkan kemunduran. Walau demikian, program GLN bukan program “makan cabai”, yakni sesaat setelah dimakan langsung terasa pedasnya.

Gerakan literasi membutuhkan waktu yang relatif lama. Namun, pelan-pelan pasti akan terlihat dampaknya. Menurut E. Aminuddin Aziz, negara-negara maju, seperti Finlandia, Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Singapura baru melihat hasil investasi program literasi mereka setelah lebih dari 10 tahun melakukan perbaikan secara terus-menerus di hulu dan bergerak perlahan, tetapi pasti menuju hilirnya (Media Indonesia, 4-5-2021). Hal yang sama juga sebenarnya sudah dibuktikan dalam penelitian David Mc Clelland terkait dengan perbandingan kemajuan Spanyol dan Inggris pada abad ke-16.

David Mc Clelland adalah seorang psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah pembangunan. Dia mempertanyakan mengapa ada bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, sedangkan bangsa lain tidak. Dia kemudian memilih membandingkan Spanyol dan Inggris karena pada abad ke-16 keduanya adalah negara raksasa. Namun, kemudian Inggris menjadi negara yang makin besar, tetapi Spanyol cenderung mengalami penurunan. Mengapa terjadi hal yang berseberangan semacam itu, yakni peningkatan di Inggris dan penurunan di Spanyol?

Dalam bukunya yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Arief Budiman mengisahkan hasil penelitian David Mc Clelland bahwa faktor penentu dan pembeda antara Spanyol dan Inggris terletak pada muatan buku. Pasalnya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 itu mengandung, mengutip bahasa Agus M. Irkham (Tempo, 2-9-2014), semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi”. Sementara itu, cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati dan cenderung meninabobokan.

Dengan melihat kenyataan itu (tidak hanya jumlah buku, tetapi lebih penting juga isinya), pantas saja kalau negara kita makin tertinggal dalam hal prestasi. Penyebabnya adalah jangankan kualitas buku yang membuat “virus-prestasi”, jumlah buku kita saja masih sangat minim seperti dikutip di atas. Karena itu, gerakan literasi harus diseriusi sehingga kita tidak bisa mundur meski saat ini cenderung gagal. Seperti dikutip sebelumnya, hasil GLN tidak seperti memakan cabai. Diperlukan waktu untuk melihat hasilnya, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun.

Berdasarkan penelitian David Mc Clelland, perubahan mental di Spanyol dan di Inggris setidaknya membutuhkan waktu selama 25 tahun. Memang ada yang memerlukan waktu yang relatif singkat. Jepang, misalnya, hanya memerlukan waktu 8 tahun untuk mengubah mental pemain sepak bolanya. Pada 2002 Jepang sudah dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia. Padahal, komik andalan mereka yang mengubah mental anak mudanya tentang sepak bola yang berjudul Captain Tsubasa baru terbit pertama kalinya pada tahun 1994. Artinya, cepat atau lambat, kita akan memanen hasil kerja keras kita melalui GLN.

Kalimat puitis dari sastrawan kenamaan kita, Joko Pinurbo, berbunyi, “Jika masa kecilmu kau habiskan dengan membaca, niscaya kepalamu akan bermandikan kata-kata.” Sampai di titik ini, berkaca pada pengalaman Inggris dan Spanyol seperti dikutip di atas, saya meyakini bahwa GLN tidak bisa lagi mengejar kuantitas, tetapi kualitas atau bobot dari buku yang akan dibaca. Dengan cakupan yang lebih luas, ternyata David Mc Clelland juga mengumpulkan 1.300 cerita anak dari banyak negara sejak era 1925 hingga 1950.

Dari penelitian itu, David Mc Clelland meyakini bahwa cerita anak yang mengandung “hasrat untuk berprestasi” yang tinggi pada suatu negeri akan diikuti pula dengan pertumbuhan negeri tersebut. Kita dengan GLN hanya tinggal menunggu sembari memperbaiki kualitas bacaan. Namun, di samping memperbaiki kualitas bacaan, ternyata kita juga harus memperbaiki kualitas pendampingan pada saat gerakan literasi dicanangkan. Dengan berkaca dari hasil PISA terbaru, kualitas pendampingan juga sangat menentukan hasil dari gerakan literasi tersebut.

Dilansir dari kemdikbud.go.id, siswa yang dilibatkan oleh guru atau orang tua dalam pelajaran membaca memiliki skor 30 poin lebih tinggi daripada siswa yang sama sekali tidak dilibatkan oleh orang tua atau guru. Senada dengan itu, siswa yang menghabiskan lebih banyak waktu dalam seminggu untuk membaca sebagai hiburan pada waktu luangnya juga skornya meningkat hingga 50 poin. Yang lebih menarik, ada kecenderungan bahwa kualitas keterbacaan siswa juga tidak selalu ditentukan oleh status ekonomi.

Dilansir dari laman yang sama, dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama, ketika diajar dan didampingi oleh guru yang memanfaatkan TIK, skor perolehan siswa juga akan meningkat sebanyak 40 poin. Dari kenyataan itu sudah jelas bahwa untuk meningkatkan kualitas gerakan literasi ini, yang sangat mendesak untuk diperhatikan adalah kualitas pendampingan dari guru pengampu di sekolah. Dengan demikian, dalam artikel ini penulis berfokus untuk memberikan pemikiran tentang bagaimana meningkatkan GLN di sekolah.

 

II. Pembahasan

A. Gerakan Literasi Sekolah

            Gerakan literasi sering diterjemahkan masyarakat sebagai gerakan membaca saja. Terjemahan masyarakat itu benar adanya. Membaca adalah salah satu jenis kemampuan berbahasa siswa di samping menyimak, berbicara, dan menulis. Karena merupakan bagian dari literasi, membaca tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan. Membaca adalah jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Orang bijak mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Jika buku merupakan jendela dunia, membaca adalah kunci untuk membuka jendela dunia tersebut. Tanpa membaca, tidak mungkin terbuka jendela.

            Membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan (Dalman, 2013: 5). Banyak sumber pengetahuan siswa. Menurut Bobi de Porter dalam Quantum Teaching (2015), sumber pengetahuan siswa berasal dari kemampuan indrawi, seperti melihat, merasakan, dan mencium. Salah satu sumber pengetahuan siswa berasal dari buku-buku. Karena itu, kemampuan membaca siswa sangat diperlukan untuk mendapatkan banyak pengetahuan dari buku-buku pelajaran.

            Senada dengan itu, Far (1984: 5) mengatakan bahwa membaca merupakan jantung pendidikan. Artinya, tanpa membaca mustahil timbul kehidupan dari pendidikan. Membaca adalah berpikir, bahkan membentuk pola pikir. Karena itu, membaca bukan persoalan sederhana. Membaca pada hakikatnya adalah sesuatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai proses visual, membaca merupakan proses menerjemahkan simbol tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan.

Sebagai proses berpikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif (Rahim, 2008). Sejalan dengan itu, Finonchiaro mendefinisikan bahwa membaca sebagai suatu usaha memetik dan memahami makna yang terkandung dalam bahasa tertulis, baik makna yang tersirat dengan cara memproses informasi, maupun yang bersifat silabis, sintaktis, dan semantis (Tarigan, 2008). Walaupun demikian, literasi tidak sesederhana membaca saja. Gerakan literasi adalah gerakan yang lebih kompleks dan terstruktur.

Pemahaman terkini mengenai makna literasi mencakup kemampuan membaca, memahami, dan mengapresiasi berbagai bentuk komunikasi secara kritis, yang meliputi bahasa lisan, komunikasi tulis, komunikasi yang terjadi melalui media cetak atau pun elektronik (Wardana dan Zamzam, 2014). Dari akar katanya, literasi berarti melek huruf. Bisa membaca berarti sudah telaten berliterasi. Namun, literasi tidak lagi sebatas melek huruf. Kuder & Hasit (2002) mengemukakan bahwa literasi merupakan semua proses pembelajaran baca tulis yang dipelajari seseorang termasuk di dalamnya empat keterampilan berbahasa (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis).

Jika literasi hanya diartikan sebagai membaca, wajar ditemukan kemiskinan kemampuan literasi siswa. Rendahnya kemampuan literasi siswa bisa jadi merupakan dampak dari kekeliruan kita mengartikan literasi di sekolah sebagai sebatas gerakan membaca buku selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai. Hasilnya adalah perolehan siswa kita terhadap studi-studi multinasional selalu terpuruk, seperti dikutip di pendahuluan tulisan ini dari sumber PISA. Untuk menguatkan itu, kita bisa becermin dari hasil PISA terdahulu, sebelum tahun 2012 hingga tahun 2018.

Dari data PIS, pada tahun 2003 prestasi literasi membaca siswa Indonesia berada pada peringkat ke-39 dari 40 negara; pada tahun 2006 pada peringkat ke-48 dari 56 negara, dan pada tahun 2009 pada peringkat ke-57 dari 65 negara. Umumnya, penelitian tersebut menunjukkan bahwa 25 persen -- 34 persen dari siswa Indonesia masuk dalam tingkat literasi ke-1. Artinya, sebagian besar siswa dari Indonesia masih memiliki kemampuan literasi bahasa pada taraf belajar membaca (learning to read, not reading to learn). Siswa hanya membaca tanpa memahami, apalagi merefleksi sesuatu dari bacaan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2006. PIRLS melakukan kajian terhadap 45 negara maju dan berkembang dalam bidang membaca pada anak-anak kelas IV sekolah dasar di seluruh dunia di bawah koordinasi The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan memperoleh hasil bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-41. Berdasarkan kajian terhadap keterampilan literasi di seluruh dunia yang dilaksanakan oleh PIRLS, diperoleh data bahwa siswa Indonesia berada pada tingkat terendah di Asia.

Indonesia dengan skor 51,7 berada di bawah Filipina dengan skor 52,6; Thailand dengan skor 65,1; Singapura dengan skor 74,0; dan Hongkong dengan skor 75,5. Para siswa dari Indonesia hanya mampu menjawab 30 persen dari soal-soal yang diberikan. Hasil-hasil penelitian internasional tersebut menunjukkan bahwa kemampuan literasi bahasa siswa Indonesia yang mewakili para siswa Indonesia secara umum tergolong rendah. Tidak salah jika siswa kita digolongkan sebagai siswa yang takliterat. Itu karena siswa kita bisa membaca, tetapi belum menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan sehari-hari.

Dengan melihat kenyataan itu, gerakan literasi pun dilakukan dengan upaya untuk membuat kegiatan membaca buku nonpelajaran setiap hari. Sebagai turunan peraturan menteri, aturan tentang Gerakan Literasi Sekolah tersebut telah disosialisasikan pula kepada seluruh sekolah di Indonesia. Gerakan tersebut meliputi tiga tahapan, yakni (1) menumbuhkan minat baca, (2) meningkatkan kemampuan literasi buku pengayaan, dan 3) meningkatkan kemampuan literasi buku pelajaran (D.D. Kemdikbud, 2016). Gerakan literasi juga dilakukan oleh taman baca masyarakat di berbagai daerah dan desa-desa terpencil.

Namun, berdasarkan sebuah survei yang dilakukan pada awal 2017, dari 24 sekolah dasar yang disurvei di sebuah kota, hanya 33% yang rutin melaksanakannya sesuai dengan panduan Gerakan Literasi Sekolah. Bahkan, masih terdapat 33% sekolah yang belum pernah mengimplementasikan program tersebut sesuai dengan panduan dan selebihnya pernah melaksanakannya, tetapi tidak rutin (Krismanto, 2017). Hal itu terjadi karena guru sebagai pengampu belum paham betul tujuan dari program tersebut. Dalam benak guru masih muncul dugaan bahwa membaca tidak terlalu penting.

Hal itu makin diperkuat lagi dengan anggapan bahwa literasi adalah mubazir karena sudah ada mata pelajaran bahasa Indonesia. Sementara itu, guru pengampu bahasa Indonesia justru tidak melek literasi secara penuh. Situmorang dalam artikelnya yang berjudul “Supaya Siswa Kasmaran Berliterasi” menyebutkan pengalamannya di sekolah bahwa gerakan literasi sebatas sensasi (Kompas, 6-11-2020). Situmorang juga mengemukakan bahwa gerakan literasi tidak fokus. Program itu memang dikerjakan beramai-ramai oleh semua guru, tetapi tidak dikerjakan dengan serius.

Hal itu terlihat dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat kolom untuk literasi. Gerakan literasi yang diharapkan dapat menumbuhkan budi pekerti sebagaimana termaktub dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 memang sangat terlihat mewah di sekolah. Namun, gerakan literasi itu tidak menyentuh tujuannya. Situmorang mencontohkan bahwa lomba majalah dinding (mading) dibuat sebatas sebagai hiasan; perpustakaan diubah hanya soal penampakan; dan gerobak buku hanya pajangan, tetapi buku sama sekali tidak dibaca. Gerakan literasi dibaca secara keliru.

Di samping itu, guru bahasa Indonesia pun masih kurang kompeten. Sebagai pengajar bahasa, guru bahasa Indonesia semestinya menjadi corong terdepan. Namun, dalam esainya yang terangkum dalam Guru Gokil Murid Unyu, Johannes Sumardinata, misalnya, mengisahkan bahwa dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5% yang pernah membaca Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Senada dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas, 5-3-2019), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tidak bisa menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tidak mengerti apa itu “paragraf”.

Dengan logis tentu kita bisa mengkritik: profil gurunya saja masih jauh dari semangat berliterasi, apalagi siswanya? Kita mengenal peribahasa untuk menggambarkan itu, “Guru kencing berdiri, siswa kencing berlari.” Karena itu, peran guru, terutama guru bahasa Indonesia, sangat dibutuhkan untuk menuntaskan gerakan literasi nasional di sekolah. Kehadiran guru sangat dibutuhkan agar gerakan literasi menjadi lebih bermakna, tidak lagi sebatas membaca buku. Peran guru pengampu sangat besar. Dilansir dari kemdikbud.go.id, seperti dikutip sebelumnya, siswa yang dilibatkan oleh guru atau orang tua dalam pelajaran membaca memiliki skor 30 poin lebih tinggi daripada siswa yang sama sekali tidak dilibatkan oleh orang tua atau guru.

Senada dengan itu, siswa yang menghabiskan lebih banyak waktu selama seminggu untuk membaca sebagai hiburan pada waktu luangnya juga akan meningkatkan skor hingga 50 poin. Yang lebih menarik, ada kecenderungan bahwa kualitas keterbacaan siswa juga tidak selalu ditentukan oleh status ekonomi. Dilansir dari laman yang sama, dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama, ketika diajar dan didampingi oleh guru yang memanfaatkan TIK, skor perolehan siswa juga akan meningkat sebanyak 40 poin. Dari kenyataan itu sudah jelas bahwa untuk meningkatkan kualitas gerakan literasi ini, yang sangat mendesak untuk diperhatikan adalah kualitas pendampingan dari guru pengampu di sekolah.

 

B. Standar Asesmen untuk Mengukur Kemampuan Literasi

            Perolehan siswa Indonesia dalam skor PISA sangat mengkhawatirkan dari periode ke periode. Penulis menganalisis rendahnya perolehan itu merupakan dampak dari kekurangtahuan kita secara mendalam tentang apa itu literasi. Kita cenderung melihat bahwa literasi adalah sebatas membaca. Karena itu, di sekolah gerakan literasi sering sekali dilakukan hanya dengan membiarkan siswa membaca. Seakan-akan jika siswa sudah membuka buku, siswa tersebut sudah melakukan gerakan literasi dengan benar. Namun, ketika dilakukan studi, hasil perolehan siswa sangat rendah.

            Hasil yang rendah itu tidak akan terjadi jika kita mengetahui standar literasi yang tidak sekadar membuka dan membaca buku. Menurut Gufran A. Ibrahim, selaku Ketua Pokja Literasi Membaca Menulis; Gerakan Literasi Nasional; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, setidaknya ada dua analisis yang bisa dilakukan untuk mengukur kemampuan literasi (Ibrahim, 2017). Pertama, teks bacaan dalam ujian PISA adalah multiteks yang sangat canggih. Isi dan struktur teksnya memadukan kata, kalimat, grafik, dan ragaan yang dibentuk dalam tautan lintas teks dengan siasat rujuk silang.

            Agar kita benar-benar memahami teks yang disajikan, sedikitnya dibutuhkan dua kecakapan penting: (1) keterampilan menangkap makna yang tersaji dalam teks dan (2) kecepatan untuk mengemas tautan makna antarteks, antara teks dan grafik, antara teks dan simbol, serta antarrelasi makna. Sementara itu, siswa belum mampu menautkan makna antarteks. Itu sudah terekam dalam berbagai hasil studi (PISA, TIMS, dan PIRLS). Karena itu, untuk mengejar keterampilan siswa dalam menangkap makna serta kecepatannya untuk menautkan makna antar teks, diperlukan pembiasaan.

            Kedua, jika hanya terbiasa berhadapan dengan teks tunggal di sekolah, yaitu teks sebagai rangkaian paragraf, siswa akan kesulitan menghadapi teks ragam dalam tampilan multimedia. Faktanya adalah kemampuan literasi negara-negara maju sudah lebih dari sekadar menghadapi teks satu genre, bahkan sudah lintas genre dan lintas teks. Siswa dituntut sudah harus bisa merefleksikan dan mengimbas kegiatan berliterasinya. Hal itu terlihat dari skema PISA yang mengharapkan pembacanya sudah bisa memindai hasil teks secara tekstual dan intertekstual, lalu merefleksikannya.

Studi lain tentang instrumen PISA dilakukan oleh Harsiati yang bertujuan untuk menelaah karakteristik soal membaca instrumen PISA tahun 2000—2009 (Harsiati, 2018). Di san akita dapat memperoleh banyak simpulan dan gambaran sebagai bahan evalusi. Hasil penelitian yang akan menjadi evaluasi bagi kita adalah sebagai berikut: (1) soal literasi membaca PISA didominasi keterampilan berpikir tingkat tinggi yang berupa kemampuan interpretasi, refleksi, dan evaluasi; (2) kemampuan membaca yang diujikan adalah mengungkapkan kembali informasi, mengembangkan interpretasi dan mengintegrasikan, serta merefleksikan dan mengevaluasi teks; (3) soal cenderung menggunakan wacana panjang (135—630 kata) dan kalimat pertanyaan yang cenderung kompleks; (4) ragam tes yang digunakan meliputi pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, jawaban singkat, esai tertutup, dan esai terbuka; (5) karakteristik konteks diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu pendidikan, pekerjaan, personal, dan masyarakat; dan (6) isi kutipan bertema keselamatan keamanan diri, bermasyarakat, cara menyelesaikan pendidikan dan ipteks, serta cerita personal berisi nilai moral untuk meningkatkan kualitas hidup.

Berdasarkan studi itu, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menyelesaikan soal-soal yang ada pada instrumen PISA, siswa sudah harus mempunyai kemampuan dan keterampilan membaca pemahaman yang tidak sekadar mampu membaca teks soal dan wacana yang disediakan. Persoalan yang dihadapi oleh para siswa di Indonesia adalah mereka terbiasa dengan wacana yang sederhana dengan penilaian atau bentuk soal yang sederhana pula atau sering diistilahkan dengan low order thinking skills (LOTS). Dalam hal ini kemampuan para penulis buku ajar, penyusun soal, dan juga guru dalam memfasilitasi dan membiasakan siswa dengan bacaan dan soal yang mengandung high order thinking skills (HOTS) sangat dibutuhkan.

Dalam hal ini, Widiningsih menjelaskan bahwa wacana dan penilaian yang berorientasi HOTS akan mengarahkan pada proses pembentukan keterampilan dalam hal (1) mentransfer satu konsep ke konsep lainnya, (2) memproses dan mengintegrasikan informasi, (3) mencari kaitan dari berbagai informasi yang berbeda-beda, (4) menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah, dan (5) menelaah ide dan informasi secara kritis (Widiningsih, 2019). Dengan demikian, soal-soal HOTS menguji keterampilan berpikir menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.

Untuk membiasakannya diperlukan waktu sehingga penerapan sejak usia dini atau sekolah dasar menjadi sebuah keharusan. Artinya, peningkatan kemampuan membaca haruslah didukung oleh budaya membaca yang baik. Budaya baca yang baik ini tentu bisa diukur oleh guru setiap hari dengan memberikan tugas singkat kepada siswa untuk mencari makna dari buku yang dibaca serta merefleksikannya. Hal itu dilakukan agar buku bacaan tersebut menyalurkan pengetahuan kepada siswa. Jika siswa tidak diberi tugas untuk mencari makna atau merefleksi hasil bacaannya, kemampuan literasi siswa hanya sebatas melek huruf, tetapi tidak mampu untuk mencerna muatan isi.

 

C. Merumuskan Ulang Makna Literasi

            Dari berbagai penelitian yang dikutip tersebut, harus disadari bahwa ada yang salah dalam pemaknaan kita terhadap literasi. Karena itu, kita harus meremajakan pikiran kita tentang apa itu literasi karena hal itu turut serta membuat gerakan literasi kita mengalami stagnasi. Gufran A. Ibrahim mengungkapkan bahwa paling tidak ada dua cara penting untuk meningkatkan budaya literasi membaca. Menurutnya hal tersebut tentu tidak sekadar untuk kepentingan penilaian PISA atau program-program asesmen kemampuan membaca lainnya, tetapi yang paling penting adalah untuk memastikan pelaksanaan pelajaran membaca benar-benar dibangun untuk membentuk daya baca.

Untuk itu, yang harus dilakukan pertama adalah menemukenali sebab-sebab terdalam siswa kurang sabar dan kurang cermat pada saat berhadapan dengan teks yang panjang. Kemudian, yang kedua adalah merumuskan ulang paradigma pembelajaran membaca, yaitu tidak hanya melalui mata pelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris), tetapi menyusun model pembelajaran membaca untuk semua mata pelajaran. Semua guru mata pelajaran di sekolah dilatih model dan strategi membaca melalui model pembelajaran andragogi dengan tiga siasat penting: (1) pencanggihan cara membaca; (2) peragaman jenis-jenis teks, dari teks tertulis—berbasis kertas (paper base)—yang sederhana hingga teks kompleks; dan (3) pengenalan teks-teks multimedia berbasis komputer—nirkertas (paperless) (Ibrahim, 2017).

Selain itu, kita harus mengatasi penyebab masalah literasi. Menurut Tahmidaten (2020), setidaknya ada lima faktor penghalang, yakni (1) kesalahan persepsi tentang konsep kemampuan membaca pada sebagian besar masyarakat termasuk siswa dan guru; (2) pengembangan kemampuan membaca masih dipersepsikan sebagai bagian dari tanggung jawab mata pelajaran bahasa saja; (3) proses pembelajaran sekolah dasar masih belum memanfaatkan model, metode, strategi dan media pembelajaran yang beragam dan sesuai untuk pembelajaran membaca pemahaman; (4) bahan bacaan, kegiatan pembelajaran, dan soal-soal latihan/evaluasi yang ada pada bahan ajar di sekolah cenderung masih berkutat pada keterampilan berpikir tingkat rendah (low order thinking); dan (5) belum maksimalnya sarana prasarana dan pelayanan perpustakaan sekolah sebagai pusat pengembangan kemampuan membaca siswa.

Faktor penghalang pertama adalah kesalahan persepsi tentang konsep kemampuan membaca pada sebagian besar masyarakat, termasuk siswa dan guru. Sebagian besar dari orang tua dan guru merasa bahwa membaca adalah hanya mengeja. Karena itu, dalam benak mereka kemampuan membaca sudah tuntas pada jenjang SD, bahkan PAUD. Karena itu, pola pikir bahwa membaca itu tidak hanya mengeja perlu diremajakan. Membaca adalah proses menginternalisasi ilmu dan pengetahuan dari bacaan. Membaca adalah investasi masa depan. Persis seperti pada hasil penelitian David Mc Clelland yang menyebutkan bahwa membaca memengaruhi kemajuan, bahkan memicu kemajuan sebuah bangsa.

Faktor penghalang kedua pengembangan kemampuan membaca masih dipersepsikan sebagai bagian dari tanggung jawab mata pelajaran bahasa saja. Literasi dipahami sebatas membaca huruf. Padahal, literasi juga berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa dalam membaca grafik, tabel, dan diagram. Guru mata pelajaran (mapel) IPS mengembangkan kemampuan siswa dalam membaca denah dan peta dan guru mapel IPA mengembangkan kemampuan membaca prosedur, dsb. Karena itu, kolaborasi sesama guru mata pelajaran perlu ditingkatkan, bukan malah saling mengandalkan sehingga tidak bekerja bersama untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa (Aziz, 2021).

Faktor penghalang ketiga adalah proses pembelajaran sekolah dasar masih belum memanfaatkan model, metode, strategi, dan media pembelajaran yang beragam serta sesuai dengan pembelajaran membaca pemahaman. Selain kerja sama atau kolaborasi sesama guru mata pelajaran, guru pun harus mengorkestrasi model, metode, atau strategi yang beragam. Paling tidak, dengan mengandalkan TIK, dilansir dari kemdikbud go.id (2018), dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama, ketika diajar dan didampingi oleh guru yang memanfaatkan TIK, skor perolehan siswa juga akan meningkat sebanyak 40 poin.

Sementara itu, faktor penghalang keempat adalah bahan bacaan, kegiatan pembelajaran, dan soal-soal latihan/evaluasi yang ada pada bahan ajar di sekolah cenderung masih berkutat pada keterampilan berpikir tingkat rendah (low order thinking). Juga mengutip hasil penelitian David Mc Clelland terkait dengan perbedaan kemajuan Spanyol dan Inggris pada abad ke-16 bahwa faktor penentu dan pembeda antara Spanyol dan Inggris terletak pada muatan buku. Buku di Inggris pada awal abad ke-16 itu, mengutip bahasa Agus M. Irkham (Tempo, 2-9-2014), mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi”. Sementara itu, cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati, seolah dininabobokan. Karena itu, buku rujukan literasi di sekolah kita harus memuat virus berpikir tingkat tinggi bagi siswa-siswa kita.

Lalu, penghalang terakhir adalah belum maksimalnya sarana prasarana dan pelayanan perpustakaan sekolah sebagai pusat pengembangan kemampuan membaca siswa. Di sekolah, terutama sekolah pelosok, perpustakaan masih sangat miskin. Padahal, buku bacaan menjadi “virus baik” yang akan disuntikkan kepada siswa. Karena itu, sekolah-sekolah di pinggiran harus dibenahi, terutama sarana dan prasarana untuk menunjang gerakan literasi. Hal itu termuat dalam penelitian Ane Permatasari yang memberikan ide program yang layak dijalankan sebagai upaya membangun budaya baca masayarakat Indonesia (Permatasari, 2015), yaitu salah satunya perlu memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas) dan suprastruktur (sumber daya manusia) perlu dikembangkan hingga menjangkau pelosok tanah air.

Dengan demikian, gerakan literasi di sekolah harus dipahami sebagai investasi masa depan. Karena hasilnya saat ini belum memadai, bukan berarti kita harus berhenti di tengah jalan. Kolaborasi antara pemangku kebijakan harus makin kuat dan teguh. Lebih dari itu, kualitas pendampingan bagi siswa pada saat mengikuti program literasi juga menjadi sangat penting. Pendamping harus meminta siswa agar mampu menginternalisasi nila-nilai yang terdapat dalam bacaan. Paradigma kita pun harus dikoreksi terkait dengan pemaknaan terhadap literasi. Literasi bukan hanya soal mengeja, melainkan juga menyelami ilmu serta merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai nilai-nilai baru yang konstruktif.

 

III. Simpulan dan Saran

            Membaca adalah tindakan yang produktif. Membaca menjadi jendela dunia. Tanpa membaca, kita akan terkungkung di dalam dunia kita sehingga gagap jika berhadapan dengan dunia lain. Membaca memang sederhana. Namun, membaca bukan hanya soal mengeja huruf menjadi kata, merangkai kata menjadi kalimat, merangkai kalimat menjadi paragraf, dan merangkai paragraf menjadi wacana. Pada saat membaca kita harus memahami makna di baliknya dan mengarahkan perilaku kita ke arah makna yang didapatkan dari bacaan yang telah diselesaikan. Membaca adalah membentuk dan mengasah pola pikir.

            Rendahnya prestasi kita di dunia internasional, seperti termaktub dalam hasil studi PISA, PIRLS, dan TIMS, harus menjadi bahan refleksi positif bagi kita. Namun, harus dipahami bahwa gerakan literasi yang sedang digalakkan tidak hanya soal kejar-mengejar peringkat agar masuk sebagai kampiun di PISA, PIRSL, TIMS, serta studi-studi identik. Gerakan literasi lebih dari sekadar kejar peringkat. Literasi adalah investasi masa depan karena dari gerakan literasi, “virus prestasi” disuntikkan kepada siswa. Hal itu sudah dibuktikan dalam penelitian David Mc Clelland bahwa membaca, apalagi buku dengan muatan yang baik, pelan-pelan akan mengangkat derajat sebuah bangsa.

            Terkait dengan pentingnya gerakan literasi ini, penulis memberikan catatan penting serta saran agar gerakan literasi di sekolah efektif, yaitu (1) memaknai ulang pentingnya literasi; (2) mendampingi anak dengan produktif; (3) melakukan kolaborasi dengan rekan sejawat untuk memaksimalkan media, terutama integrasi TIK, dalam melakukan gerakan literasi; (4) menghadirkan buku-buku yang memuat “virus prestasi” kepada pembaca; (5) memperbanyak buku bacaan berkualitas dengan muatan “virus prestasi”; serta (6) menagih hasil refleksi siswa terhadap bacaan yang sudah dibaca. Membaca adalah investasi terbaik untuk masa depan. Hanya saja, kita butuh waktu untuk memetik hasilnya.


DAFTAR PUSTAKA

 

Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia.

Dalman. 2013. Keterampilan Membaca. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

DePorter, Bobby. (2000). Quantum Teaching. Jakarta: PT Mizan Publika.

Driana, Elin. (2012, Desember, 14). “Gawat Darurat Pendidikan”Jakarta: Kompas.

Farida, Rahim. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Harsiati, Titik. 2018. “Karakteristik Soal Literasi Membaca pada Program PISA”Vol. 17, No.1. Malang: Unimal.

Ibrahim, G.A. (2017, April, 29). “PISA dan Daya Baca Bangsa”Jakarta: Kompas.

Irkham, Agus M. (2014, September, 2). “Buku”Jakarta: Koran Tempo.

Kemdikbud.go.id. (2019, Desember, 4). “Hasil PISA Indonesia 2018: Akses Makin Meluas, Saatnya Tingkatkan Kualitas”. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas

Kuder, S.J., Hasit, C. 2002. Enhancing Literacy for All Students. New Jersey, USA: Pearson Education, Inc.

Media Indonesia. (23 Mei 2021. “Susupan Paham Radikal Lewat Gerakan Literasi”. https://mediaindonesia.com/opini/354722/susupan-paham-radikal-lewat-gerakan-literasi

Situmorang, Riduan. (2016, 27 September). “Gagap Membaca Fakta”Jakarta: Kompas.

Situmorang, Riduan. (2019, April, 11). “Mengapa Materi Bahasa Indonesia Menjadi Momok?”. https://basabasi.co/mengapa-materi-bahasa-indonesia-jadi-momok/

Situmorang, Riduan. (2019, April, 25). “Refleksi Hari Buku”. https://basabasi.co/refleksi-hari-buku/

Situmorang, Riduan. (2020, November, 6). “Supaya Siswa Kasmaran Berliterasi”. Jakarta: Kompas.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa

Wardana dan Zamzam. 2014. Strategi Peningkatan Kemampuan Literasi Siswa di Madrasah. Jurnal Ilmiah. “Widya Pustaka Pendidikan”

Riduan Situmorang

Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan dan Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF).

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa