Sastra, Sastrawan, Ritus, dan Religi

Ada ungkapan dalam bahasa Inggris, “Work is almost a religion with him,” yang berarti “baginya kerja hampir sama dengan agama.”

Jika begitu, apa itu agama? karena kerja itu suatu perilaku manusia dan setiap perilaku manusia dalam perspektif Kuntjaraningrat maupun C.A. van Peursen adalah kebudayaan. Lantas, samakah agama dengan kebudayaan?

Saya sepakat dengan Faisal Ismail bahwa agama tidak sama dengan kebudayaan. Di dalam agama, peran keilahiahan melalui ajaran yang disampaikan para Rasul-Nya sangat dominan. Ada penataan yang dimulai dari "mencipta", dari tiada menjadi ada, dan hal itu menjadi acuan untuk menata kehidupan manusia.

Sementara itu, kebudayaan, baik secara evolusi maupun revolusi, diciptakan oleh manusia dari bahan-bahan yang telah ada. Manusia merancang dan membentuknya demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal itu, sinaran agama memberi inspirasi kepada manusia untuk menghasilkan produk kebudayaan.

Jika begitu, apa maksud "baginya kerja hampir sama dengan agama"? Ya, itu adalah sebuah ungkapan yang tentu membawa makna. Sama kiranya dengan ungkapan bahwa kerja itu ibadah jika untuk kebaikan. Jadi, ada peran yang mirip walaupun agama dan kebudayaan tidak sama dalam hal tata cara (rite) menata kehidupan. Hanya saja, agama mengandung nilai keimanan terhadap kehidupan hari ini sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan setelah kematian (akhirat). Sementara itu, dalam perspektif materialisme, kebudayaan diciptakan oleh manusia demi kemakmuran hidupnya di kesinian dan kekinian tanpa mengaitkannya dengan kehidupan akhirat.

*****

Kesusastraan (sastra) merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Sastra diciptakan oleh sastrawan yang tak lepas dari ideologi yang diyakininya, entah itu mendapat inspirasi dari agama-langit, agama-bumi (agama-budaya), ataupun -isme semacam kapitalisme, komunisme, atau sekadar spiritualisme personal sastrawan yang dalam budaya Jawa disebut sebagai "lelaku". Dalam kultur Jawa, “Lelaku” dimaknai sebagai perilaku-perilaku spiritualis yang dilakukan guna memenuhi syarat-syarat suatu keyakinan yang diyakini dan apabila dijalankan, cita-cita akan dapat terealisasi.

Saya terkesan dengan Iman Budi Santosa. Sebelum menulis sajak tentang buruh, selama beberapa bulan pada setiap pagi atau sore ia mengamati orang berangkat kerja dengan bersepeda dari Bantul ke Yogya. Sore harinya ia pulang kerja dari Yogya ke Bantul. Fantastis. Ini jelas sebuah ritus tersendiri yang dijalani oleh seorang Iman untuk sampai kepada "pertemuan" estetik antara dia dengan kosmos dan sajak.

Sastrawan merepresentasikan kehidupan melalui sastra. Representasi itu ia peroleh dari hasil pembacaannya terhadap kehidupan. Pembacaan itu sendiri bukanlah sebuah "pembacaan yang bersih" dari pengaruh ibu, bapak, tetangga, sekolahan, dan masyarakat. Sastrawan membaca sekaligus dibaca oleh lingkungannya. Ia melakukan perlawanan, koreksi, atau sekadar melakukan internalisasi terhadap lingkungannya. Sastrawan melakukan transendensi, emansipasi, bahkan liberasi terhadap lingkungannya.

Lepas dari perdebatan Plato yang berprinsip bahwa hasil seni hanyalah tiruan alam atau sebagai produk kedua yang lebih buruk dan tidak bermanfaat, tetapi sastra memang miniatur dari kehidupan. Melalui tokoh dan penokohannya, sastra membawa "berita" tentang manusia. Pembaca sastra dapat bercermin. Dalam hidup kesementaraannya, ia belajar banyak dari peristiwa orang sebelumnya (sejarah) sehingga mempunyai visi terhadap masa depan.

"Kemarin dan esok adalah

hari ini

Bencana dan keberuntungan

sama saja

Langit di luar

langit di badan

Bersatu dalam jiwa”

Begitulah ungkap Rendra dalam sajaknya. Itulah sebabnya Horace sampai pada simpulan tentang fungsi sastra sebagai sesuatu yang indah dan bermanfaat (dulce et utile).

Tentang fungsi sastra itu, saya teringat kepada kisah “Seribu Satu Malam”. Berkisah merupakan esensi dari sastra. Syahdan sang Raja berkali-kali berniat membunuh selirnya di awal malam, tetapi selir selalu dengan kisah-kisahnya menggulirkan malam sampai ke tepi pagi. Di ujung malam ke seribu satu, sang Raja sadar dan mengurungkan niat jahatnya itu sehingga berakhir hidup bahagia.

*****

Akan tetapi, bagaimana sastra ditulis oleh sastrawan? Saya pun teringat kepada Ludwig Wittgenstein tentang bahasa religius. Menurutnya, hanya sebagian dari pengalaman religius yang me-wadag ke dalam bahasa, selebihnya hanya tinggal sebagai pengalaman itu sendiri tanpa bahasa.

Ada dua pendekatan pengalaman religius. Pertama, pengalaman religius melalui pengetahuan tanpa harus jadi pelaku serius dari pengalaman itu. Kedua, pengalaman religius sebagai pelaku. Pendekatan pertama, pada dekade 1980-an Abdul Hadi W.M. mengibarkan sastra sufistik melalui rubrik budaya di Berita Buana yang diasuhnya. Fenomena tersebut dapat sambutan tak hanya dari pelaku sufisme yang menulis sastra, tetapi dari siapa pun mereka yang ingin sajaknya dimuat di koran itu. Karenanya, mereka memainkan idiom yang biasa dipakai oleh sufi-penyair seperti Rumi, Hafiz, Attar, dan lainnya. Sampai-sampai Emha Ainun Nadjib merasa gerah dengan idiom sufistik yang sekadar main-main itu. Ia tegas mengatakan bahwa tidak ada sastra sufistik di Indonesia, apalagi sastra sufi. Namun, setidaknya pada masa itu gairah terhadap literatur agama menjadi hidup. Ini hikmah lain sehingga hari ini kita memiliki penyair seperti Isbedy Stiawan Z.S., Acep Zamzam Noor, dan Mathori A. Elwa. Namun, bukankah religiositas tidak selalu dihubungkan dengan agama (religi/religion)? Ada religiositas yang tumbuh karena religi dan ada yang tidak. Menurut William James, religiositas adalah perasaan keagamaan atau menurut Romo Y.B. Mangunwijaya, religiositas adalah penghayatan terhadap hidup. Banyak pelaku religi yang tidak religius. Sebaliknya, banyak orang tidak beragama secara formal, tetapi perilakunya cocok dengan anjuran agama. Menurut Murtadha Muthahari, hal itu karena religiositas merupakan bawaan manusia yang kemudian menghasilkan budi baik.

Sastra yang punya keindahan dan kemanfaatan itu selalu lahir dari penghayatan terhadap hidup dengan tidak perlu memperdebatkan apakah hal itu dari “lelaku” empiris ataukah sekadar pengetahuan terhadap pengalaman religius. Jika sastra memiliki pengetahuan yang dapat dimaknai pembaca, setidaknya sastra merupakan buah dari hal yang diyakini sastrawan. Pesan itu tidak harus transparan-didaktik seperti bahasa agama, tetapi bisa mengambil posisi sebaliknya, seperti ungkapan "si Kali Mati", Joni Ariadinata yang mengatakan, "Cahaya itu ada sebab ada kegelapan, tanpa eksistensi gelap, cahaya tak mungkin ada, dalam cerpen saya bercerita, gelap itu ada."

Karena penghayatan hidup ini, sastrawan menjadi obsesif dan mencenderungi sesuatu secara terus-menerus. Rendra selalu menyuarakan pembelaan terhadap "Ballada Orang-orang Tercinta" yang tertindas secara struktural ataupun kultural, terutama kepada kaum wanita, seperti dalam sajak yang kisahnya bersambung ini yaitu sajak “Aminah”, Maria Zaitun dalam sajak “Nyanyian Angsa”, dan “Perjalanan Bu Aminah”.

*****

Sebelum sastrawan menulis, ada upacara bersih diri (rite/ritus) tertentu yang dijalaninya. Tentu saja, pengertian ritus dalam agama dan di luarnya mempunyai kesamaan dan perbedaan.


 Ritus Bahasa

Syahdan, penyair Dylon Thomas tatkala akan menulis sajak, sajak-sajak yang ia gandrungi, seperti sajak Charles Boudelaire, Arthur Rimboud, Paul Verlaine, John Done dijajar-jajarkannya. Ia membaca berulang kali sajak-sajak di hadapannya itu. Ia tiru kata-kata tertentu untuk memulai penemuannya, seakan ia seorang ahli kimia kata-kata, campur ini, campur itu. Begitulah upacara penemuan bahasa (ritus bahasa) yang ia jalani sampai ia menghasilkan suatu sajak. Apakah ia melakukan pencontekan? Mulanya iya, tetapi ritus itu menjadi proses. Dalam menjalani ritus bahasa itu ia leka (hanyut) kediriannya dan tatkala sajak jadi, ia tersentak, "dalam sajak, aku ada". Lalu, sejarah pun mencatat bahwa Dylon Thomas, seorang sastrawan penerima Nobel dari Inggris, tanpa kritikus harus menilainya sebagai seorang plagiat.

Boleh jadi, Dylon Thomas miskin bahasa. Ada keraguan untuk menemukan bahasa dan hal itu ia siasati dengan cara "pembacaan" terhadap karya sastra yang dikaguminya. Namun demikian, ia kaya pengalaman hidup sehingga hal itulah yang membedakan antara karya sastranya dan karya sastra yang dikaguminya dan itu adalah buah dari ritus penemuan bahasa.


 Ritus Pengalaman

Carl Sanburg barangkali seorang penyair Amerika yang paling gigih. Ia beristri seorang doktor antropologi yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Chicago. Istrinya amat memaklumi pekerjaan suaminya yang seorang penyair. Tiap hari Sanburg keluyuran mencari ide karena ia punya target bahwa satu hari ia menghasilkan minimum satu puisi dan payahnya ia tidak dapat menulis satu sajak pun jika tanpa keluyuran terlebih dulu. Namun begitu pulang, Sanburg langsung masuk kamar kerjanya, lalu tik-tik-tik ..... jadilah sajak, bahkan terkadang ia menghasilkan banyak sajak.

Konon, selama dua puluh tahun Carl Sanburg berobsesi karyanya dimuat di jurnal sastra yang paling bergengsi, Chicago Poem. Tiap ada karya baru, pastilah ia kirim ke jurnal itu. Dua puluh tahun dan hasilnya nol! Namun, setelah masa-masa melelahkan itu, tatkala beberapa sajaknya dimuat di jurnal  Chicago Poem, Sanburg langsung dikenal secara luas di negeri Paman Sam. Akhirnya, Carl Sanburg mendapat Pulitzer, penghargaan tertinggi di Amerika untuk bidang kepenulisan.

Carl Sanburg miskin pengalaman, tetapi kaya ekspresi kebahasaan. Ketika pengalaman telah didapatnya, ia tidak mengalami kesulitan mengekspresikan pengalaman itu ke dalam bahasa sajak. Ia butuh upacara untuk menemukan pengalaman itu, yaitu ritus pengalaman.

Kisah semacam itu menjadi ritus sastra dan banyak kita jumpai melekat pada kehidupan kesastrawanan Chairil Anwar, Rendra, Emha Ainun Nadjib, K.H.A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, dan lainnya, bahkan kerap jadi mitos seseorang. Seperti halnya mitos kepenyairan Umbu Landu Paranggi yang jika mitosnya dibandingkan dengan karya sastranya, mitos kepenyairannya lebih dikenal.

Pada akhirnya ritus sastra menjadi bagian dari keyakinan budaya seorang penyair sekalipun hal itu tak juga bersih dari pengaruh keyakinan agama. Hal itu karena seringkali agama lebih dominan menampakkan dirinya melalui “baju-baju” budaya setempat, tetapi tidak untuk hal-hal yang berkaitan dengan konsep ketuhanannya, seperti rukun Islam dan rukun iman. Dalam menjalankan ritus sastra, sastrawan yang memiliki religiositas-religi tentu memahami rambu-rambu untuk tidak menerjang nyala cahaya religinya. Nyala cahaya religi itu tentu saja tidak dapat lepas dari ritus religi. Ritus itu merupakan kekhususan tata cara untuk menjalankan keyakinan-keyakinan, budaya, bahkan agama. Oleh karena itu, ritus suatu religi dan budaya tidak dapat tumpang tindih, sekalipun semangat dan nilai-nilai yang melatari ritus religi memberi pengaruh terhadap ritus-ritus budaya, seperti ritus sastra yang dilakukan oleh seorang sastrawan akan dipengaruhi oleh ritus-ritus religinya.

*****

Agama tidak saja mengandung nilai etik, tetapi juga estetik. Ludwig Wittgenstein mengungkapkan bahwa pengalaman religius hanya dapat mewujud sebagiannya melalui bahasa religius yang bersifat analogis. Karena bersifat analogis, bahasa religius menjadi bahasa sastra.

Pernyataan tersebut masih bisa diperdebatkan karena kualitas agama tidaklah sama. Ada agama yang terbatasi oleh kontekstualitas jamannya, terutama pada agama-budaya yang lahir dari respon manusia terhadap kehidupannya sendiri. Pada umumnya, agama-budaya tidak memiliki kitab suci yang abadi dalam perjalanan sejarah dan selalu berubah menyesuaikan pikiran zaman sehingga ekspresi risalahnya yang mungkin semula sastrawi, menjadi mengalami keretakan, bahkan kehancuran.

Agama-wahyu tidak demikian, seperti dalam ungkapan Muhammad Iqbal, "sikapnya terhadap kebenaran tertinggi berlawanan dengan batas manusia, ia menambah haknya dan tak ada gambaran yang dipertahankan selain pandangan langsung tentang kebenaran itu sendiri." Oleh karena itu, agama-wahyu tahan terhadap perubahan budaya manusia, bahkan menarik perubahan budaya yang melenceng kembali kepada “.....jalan yang benar, jalan yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat” (QS. al-Fatihah, ayat 6-7). Ekspresi kebahasaan dari risalah agama-wahyu tidak mengalami perubahan sehuruf pun sehingga aspek kesastraan bahasanya pun asli dan utuh dan Alquran adalah contoh satu-satunya.

Pada pemeluk Islam yang mendalam, pengalaman religius yang etis sekaligus estetis itu sering mendorongnya untuk mengekspresikan pengalaman ke dalam bahasa sastra karena begitu kuatnya pukau dari bahasa sastra Alquran. Dengan begitu, hidup berkebudayaan menjadi penemuan arah yang benderang karena cahaya ketuhanan (Alquran) selalu menuntunnya. Seperti diungkapkan oleh Dr. Aqil Siraj bahwa kandungan kitab yang dogmatis tidak lebih dari 10% sehingga ekspresi kebudayaannya dapat melakukan internalisasi dengan perilaku budaya lokal. Hal ini yang dilakukan oleh Wali Songo. Wali Songo memberi ruh kepada ekspresi budaya setempat sehingga ada sinergi antara hidup individual dan sosial dengan seni dan agama. Hal tersebut kita dapatkan tidak secara dogmatis. Pada zaman kemudian, Ahmad Tohari tidak segan-segan menulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, padahal Ahmad Tohari adalah orang yang lahir dan hidup di lingkungan keluarga santri sampai hari ini.

Sementara itu, religiositas juga ada pada pelaku agama-budaya. Hal itu memberi pengaruh dari wacana sampai praksis kehidupan seorang sastrawan.

Penghayatan masing-masing pelaku agama ini menjadi pengaruh yang besar kepada ritus satra yang dijalaninya sebagai sastrawan. Baik ritus di luar maupun ritus di dalam agama, keduanya berhubungan erat dengan karya sastra seseorang. Hal itu karena ritus menuntut totalitas penghayatan seseorang kepada kehidupan. Hal ini menjadikan karya sastra yang ditulisnya tidak cuma berbadan, tetapi juga memiliki ruh sehingga bermakna dan dapat dimaknai bagi kehidupan manusia.

Karya sastra dengan latar konseptual demikian tidak akan lapuk oleh perubahan zaman karena dapat menjadi cermin bagi kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Begitulah dengan karya sastra yang ditulis oleh  Dante ataupun Gothe di belahan bumi Barat. Padahal, hasil karya lain yang diciptakan oleh manusia pada zaman yang sama, pastilah telah musnah, sedangkan di belahan bumi Timur:

Dari Sanai sampai Iqbal

Lagu penyair adalah cinta

Di mana pun kelopak kembang ini mekar

Dari kasihsayang-Nya semua berasal[1] ****


[1] Dikutip dari "Sajak-sajak Kelahiran" karya Abdul Hadi W.M., dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku (Banda Ace

Abdul Wachid B.S.

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa