Pragmatik dalam Interpretasi Sastra

Pengantar: Konsep Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang muncul dari pandangan Charles Morris (1938) berkenaan dengan semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotika ke dalam tiga bagian, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya. Semantik mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya. Sementara pragmatik mengkaji hubungan lambang dengan penafsirannya (Darma, 2014: 73; Zamzani, 2007: 15--16). Pragmatik muncul sebagai usaha mengatasi kebuntuan semantik dalam menginterpretasi makna kalimat.

Pragmatik berasal dari kata pragma dalam bahasa Yunani yang berarti ‘tindakan’ (action) (Seung, 1982: 38). Kajian pragmatik terkait langsung dengan fungsi utama bahasa, yaitu sebagai alat komunikasi. Geoffrey Leech menyatakan bahwa kajian pemakaian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi secara umum disebut pragmatik umum (1993: 15).

Apa yang dikemukan oleh Leech sejalan dengan pandangan Stephen C. Levinson (dalam Zamzani, 2007: 16--19) yang menyatakan bahwa pragmatik merupakan kajian tentang pemakaian bahasa. Levinson juga memberikan lima sudut pandang mengenai  pragmatik sebagai berikut.

Pertama, pragmatik dipandang sebagai kajian tentang hubungan bahasa dengan konteks yang digramatikalisasikan atau yang dikodekan dalam struktur bahasa. ... Pandangan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara sintaksis dan pragmatik. ...

Kedua, pragmatik merupakan kajian aspek makna yang tidak tercakup atau dimasukkan dalam teori semantik. Pragmatik dipandang memiliki hubungan dengan semantik. Baik pragmatik maupun semantik kedua-duanya mengkaji tentang makna atau arti. ...

Ketiga, pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa. Pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam kajian pragmatik, yaitu bahasa, konteks, dan pemahaman. Pemahaman terkait dengan masalah makna pula. ...

Keempat, pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan dengan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai atau cocok dengan kalimat itu. ...

Kelima, pragmatik sebagai bidang ilmu mandiri. Pragmatik memiliki lima cabang kajian, yaitu deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur atau tidak bahasa, dan struktur wacana.

 

Deiksis adalah cabang pragmatik yang mengkaji pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian konteks. Implikatur adalah cabang pragmatik yang mengkaji makna konotatif. Praanggapan merupakan sesuatu yang diambil oleh penyapa sebagai dasar berpijak yang dipakai bersama-sama antarpartisipan suatu percakapan. Oleh karena itu, secara pragmatik, praanggapan dapat dipandang sebagai asumsi penyapa dalam membuat pesapa menerima apa yang dinyatakan penyapa. Tindak bahasa merupakan suatu kegiatan penutur menggunakan bahasanya dalam berkomunikasi.

Berdasarkan pandangan Levinson tersebut, Zamzani (2007: 20) menyimpulkan bahwa:

Kajian pragmatik terkait dengan linguistik yang bersinggungan dengan sintaksis, dan makna yang bersinggungan dengan semantik. Pragmatik membatasi kajiannya pada pemakaian bahasa yang tidak dilepaskan dari konteksnya. Pragmatik dapat dipandang sebagai suatu keterampilan sekaligus ilmu. Sebagai keterampilan, pragmatik mengungkap kemampuan pemakai bahasa yang dikaitkan dengan konteks pemakaian yang tepat sehingga komunikatif. Sebagai ilmu yang mandiri, pragmatik mencakup dieksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan struktur wacana.

 

Berdasarkan pandangan Levinson juga dapat dipersepsi dan diposisikan bahwa pragmatik dalam sastra berangkat dari sudut pandang yang ketiga dan keempat, yakni “pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa” dan “pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan dengan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai atau cocok dengan kalimat itu”. Sudut pandang ketiga dan keempat ini termasuk bidang garap sosiopragmatik karena termasuk pemakaian bahasa dalam konteks yang bersifat spesifik, yaitu “pemakaian bahasa dalam komunikasi terkait dengan faktor-faktor nonbahasa yang merupakan kondisi sosial dan budaya ‘lokal’ yang bersifat spesifik” (Zamzani, 2007: 20--21). Sekali lagi, pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam kajian pragmatik, yaitu bahasa, konteks, dan pemahaman, yang terkait dengan masalah makna. Pandangan tersebut sejalan dengan prinsip hermeneutika interpretasi Paul Ricoeur tentang interpretasi teks, yaitu dalam memperoleh makna teks membutuhkan konteks-konteks, yaitu penjelasan (explanation) terhadap dunia di dalam teks sekaligus pemahaman (understanding) terhadap dunia luar yang diacu oleh teks.

 

Pragmatik dalam Interpretasi Sastra

Tirto Suwondo (2016: 35) dengan mengutip pertanyaan dari John L. Austin, sekaligus sebagai judul bukunya (1962) How to Do Things with Words”, mengilustrasikan pragmatik dalam studi sastra. Menurutnya, “pragmatik sastra adalah studi tentang tindakan apa yang sesungguhnya dilakukan dalam kaitannya dengan karya sastra”. Bertolak dari kata tindakan itu, T.K. Seung menyatakan bahwa “dalam ruang lingkup semiotik, pragmatik adalah studi tentang penggunaan tanda” (1982: 76--80). Karena karya sastra bermediumkan bahasa, yang dimaksudkan dengan pengunaan tanda ialah tanda-tanda di dalam komunikasi bahasa.

Dalam studi bahasa, pragmatik muncul sebagai usaha mengatasi kebuntuan semantik dalam menginterpretasi makna kalimat. Mengutip Kempson (1977; dalam Darma, 2014: 73--74), teori semantik dianggap masih terbatas kemampuannya untuk menjelaskan fenomena kebahasaan. Pragmatik muncul sebagai usaha untuk mengatasi kebutuhan semantik dalam menafsirkan sebuah makna ujaran dalam kalimat. Pada dasarnya antara semantik dan pragmatik nyaris sama karena berhubungan dengan makna. Namun, segala aspek makna yang tidak tercakup di dalam teori semantik ditelaah oleh pragmatik dengan mempertimbangkan konteksnya, yaitu pembicara, pendengar, pesan, latar atau situasi, saluran, dan kode.

Sama halnya dalam studi bahasa, dalam studi sastra pun penafsiran makna teks yang hanya dilakukan dengan cara analisis semantik (teks itu sendiri) hanya akan menghasilkan makna yang tidak pasti. Oleh karena itu, Tirto Suwondo (2016: 36) dengan meneruskan pendapat Seung (1982: 38) menyatakan bahwa penafsiran semantik akan lebih baik jika dilanjutkan dengan penafsiran pragmatik karena makna teks akan menjadi lebih pasti jika diperoleh dari atau dicapai di dalam penggunaannya. Hal itu karena penafsiran pragmatik secara otomatis akan melibatkan konteksnya, yaitu para pengguna, intensi, tindakan, lingkungan, dan semacamnya. Oleh karena itu, Rudolph Carnap (dalam Seung, 1982: 79) berkesimpulan bahwa pragmatik merupakan studi yang paling konkret dan menjadi basis bagi semua linguistika (pragmatics is the basis for all of linguistics).

Menurut Suwondo (2016: 37), Morris mengembangkan konsepsi pragmatiknya melalui pembagian triadik tanda model semiotik Charles Sanders Peirce (dalam Seung, 1982: 76). Dari konsep triadik itu, Morris memperkenalkan tiga elemen signifikasi yang disebut tiga hubungan semiosis, yaitu sarana tanda (the sign vehicle), yang dituju (the designatum), dan penafsir (the interpreter). Dari konsepsi ini Morris membedakan tiga dimensi semiosis, yaitu dimensi sintaksis yang merupakan relasi formal tanda dengan tanda lainnya, dimensi semantis yang merupakan relasi tanda dengan objeknya, dan dimensi pragmatik yang merupakan relasi tanda dengan penafsirnya. Oleh karena itu,  Morris (dalam Seung, 1982: 78) mendefinisikan semantik sebagai studi tentang signifikasi tanda dan perilaku interpretan tanpa signifikasi, sedangkan pragmatik didefinisikan sebagai studi tentang asal-usul, penggunaan, dan pengaruh (efek, kesan) tanda dalam perilaku penafsir secara keseluruhan.

Suwondo (2016: 38) juga mengemukakan bahwa problem penggunaan tanda secara pragmatik ini kemudian diatasi oleh John L. Austin dengan tiga klasifikasi teori tindakan-ujaran, yaitu lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner. Lokusioner (locutionary) adalah suatu tindakan memproduksi kata atau rangkaian kata (bahasa), ilokusioner (illocutionary) adalah tindakan yang menampilkan penggunaan kata atau rangkaian kata (bahasa) di balik tindakan lokusioner, dan perlokusioner (perlocutionary) adalah tindakan bertujuan untuk mencapai efek tertentu di balik tindakan lokusioner dan ilokusioner. Tindakan ilokusioner memiliki suatu kekuatan, sedangkan tindakan perlokusioner memiliki efek (bandingkan Zamzani, 2007: 38--40; Darma, 2014: 84--88; Tarigan, 2015: 100--104).

Morris memberikan pengertian penggunaan tanda itu identik dengan tujuan (dalam Seung, 1982: 80), sebagaimana dicontohkannya tentang tindakan seseorang menulis cerpen untuk mendapatkan uang. Menurut Morris (dalam Seung, 1982: 87; Suwondo, 2016: 38), menulis cerpen merupakan tindakan-ujaran yang memiliki dua tujuan, yaitu menulis cerpen (tujuan internal) dan mendapatkan uang (tujuan eksternal). Tujuan internal direalisasikan dalam penampilan tindakan dan tujuan eksternal direalisasikan dengan penampilan tindakan. Ketika tindakan ujaran dibatasi pada tujuan internal, tindakan itu merupakan tindakan ilokusioner. Ketika tindakan ujaran sampai pada tujuan eksternal, tindakan itu merupakan tindakan perlukisioner (Leech, Terj. Oka, 1993: 316--322).

Masalahnya adalah “di dalam bahasa karya sastra tidak terdapat kondisi normal tindakan-ujaran.” Demikian pendapat Austin (dalam Seung, 1982: 91) yang dikutip oleh Suwondo (2016: 39). Dalam bahasa karya sastra kondisi normal, referensi sering kali tertunda, tidak benar-benar mendorong munculnya efek bagi pembaca karena penggunaan bahasa dalam sastra bersifat parasitis (abnormal). Namun, dengan tidak mempermasalahkan ujaran normal dan tidak normal dan tidak membedakan fakta dan fiksi, studi pragmatik tetap merupakan studi yang komprehensif karena melibatkan aspek yang lebih luas, yaitu para pengguna tanda, inteksi, tindakan, lingkungan, dan efek.

Paparan Suwondo yang bersumber dari Semiotic and Thematic in Hermeneutics karya Seung (1982) tersebut menyimpulkan bahwa pragmatik sastra pada dasarnya adalah sebuah strategi pemaknaan, yaitu pemaknaan pragmatis. Dikatakan demikian karena:

... dilihat dari kerangka berpikir dan metodologinya, studi pragmatik memfokuskan perhatian pada interpretasi dan pemaknaan (decoding) tanda (teks sastra) dengan cara melibatkan konteks penggunaan yang mencakupi para pengguna, intensi, tindakan, dan lingkungan (kode) budaya yang memengaruhinya. Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan para pengguna itu tidak lain adalah penulis (pengarang beserta intensi-intensinya) dan pembaca (penikmat beserta proyeksi-proyeksinya) karena sebagai fakta kemanusiaan karya sastra dicipta oleh pengarang dan tindakan penciptaan itu dilakukan dengan tujuan tertentu, salah satunya agar nilai-nilai (ideologi, gagasan)-nya memiliki pengaruh (efek) bagi pembaca” (Suwondo, 2016: 40).

 

Secara kerangka berpikir, memfokuskan perhatian pada interpretasi tanda dengan cara melibatkan konteks penggunaan tersebut seperti halnya hermeneutika dalam membaca suatu teks: ia tidak dapat menghindar dari prasangka yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tradisi yang hidup dari berbagai gagasan. Hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi (Faiz, 2003: 12). Karenanya, sebuah teks selalu berdiri di antara penjelasan struktural yang bersifat objektif dan pemahaman hermeneutika yang memberi kesan subjektif, yang saling berhadapan. Dikotomi objektivitas dan subjektivitas ini oleh Ricoeur (dalam Sumaryono, 1999: 108) diselesaikan dengan jalan sistem bolak-balik: penafsir melakukan pembebasan teks (dekontekstualisasi) dengan maksud untuk menjaga otonomi teks ketika penafsir melakukan pemahaman terhadap teks (dalam perspektif pragmatik ini merupakan tindakan ilokusioner). Kemudian penafsir melakukan langkah kembali ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat latar belakang terjadinya teks dan semacamnya (dalam perspektif pragmatik ini merupakan tindakan perlokusioner).

Secara metodologis, Ricoeur menjelaskan langkah pemahaman itu menjadi tiga, yang berlangsung mulai dari penghayatan terhadap simbol-simbol sampai ke tingkat gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol, yaitu: (1) langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol, (2) pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna, dan (3) langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik-tolaknya (Ricoeur, Terj. Hery, 2003: 162--164; Sumaryono, 1999: 111; Faiz, 2003: 36).

Ketiga langkah tersebut erat hubungannya dengan langkah pemahaman bahasa, yakni langkah semantik, refleksif, dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantik merupakan pemahaman pada tingkat bahasa yang murni. Hal ini merupakan langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol yang bertujuan internal, yakni pemahaman yang didasarkan dari simbol-simbol itu sendiri. Dalam perspektif pragmatik langkah ini merupakan tindakan ilokusioner.

Sementara itu, baik langkah pemahaman refleksif maupun langkah pemahaman eksisitensial bertujuan eksternal dan karenanya merupakan tindakan perlokusioner. Langkah pemahaman refleksif setingkat lebih tinggi--mendekati ontologis--sedangkan langkah pemahaman eksisitensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu sendiri. Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman itu pada dasarnya cara berada (mode of being) atau cara menjadi. Bagi Ricoeur, sebab pemahaman adalah salah satu aspek proyeksi Dasein (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaannya terhadap being. Oleh sebab itu, kita memahami manusia sebagaimana dia menjadi (dalam Sumaryono, 1999: 111--112).

Sudut pandang pragmatik tersebut menempatkan kajian sastra yang berorientasi kepada nilai kegunaan karya sastra bagi pembaca. Sudut pandang pragmatik sastra muncul karena ketidakpuasan terhadap kajian struktural murni yang mempersepsi dan memposisikan sastra sebagai teks belaka. Kajian struktural murni melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau yang memberi makna terhadap teks.

Secara pragmatik, betapa pun hebatnya sebuah karya sastra jika ia tidak dipahami oleh pembacanya, maka teks sastra tersebut diposisikan sebagai black literature (sastra hitam) yang hanya bisa dipahami oleh penulisnya sendiri. Oleh karena itu, aspek pragmatik menjadi penting ketika teks sastra dipersepsi dan diposisikan sebagai keindahan dan kemanfatan bagi pembaca (dulce et utile) sebagaimana konsep Horace. Sudut pandang tersebut sebagaimana orientasi Edgar Allan Poe terhadap sastra yang berfungsi menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu (didactic heresy) (dalam Wellek dan Warren, 1989: 24--25). M.H. Abrams (1976: 14--21) dengan mengutip konsep pragmatik sastra dari Philip Sidney yang sejalan dengan konsep Horace mengatakan bahwa sastra mempunyai fungsi to teach (memberikan ajaran) dan delight (memberikan kenikmatan). Hal senada diungkapkan oleh John Hall (1979: 131) yang mengatakan bahwa karya sastra hendaknya memiliki fungsi use and gratifications (berguna dan memuaskan). Oleh sebab itu, fungsi kritik sastra berorientasi kepada pembaca dengan menunjukkan adanya konsep efek komunikasi sastra, yaitu docere (memberikan ajaran), delectare (memberikan kenikmatan), dan movere (menggerakkan pembaca).

Menurut Endraswara (2003: 116), ada tiga ranah penelitian pragmatik di dalam sastra, yaitu:

Pertama, melibatkan teks dan potensinya untuk memungkinkan dan memanipulasi suatu produk makna. Teks sastra adalah fenomena yang dikonkretkan oleh pembaca. Kedua, dalam proses membaca teks, yang paling penting adalah imaji-imaji mental yang terbentuk tatkala menyusun sebuah objek-objek yang kohesif dan konsisten. Ketiga, melalui struktur sastra yang komunikatif diteliti kondisi-kondisi yang memungkinkan muncul dan mengatur interaksi antara teks dan pembaca.

 

Akhirnya, yang terpenting di dalam karya sastra ialah bagaimana seorang sastrawan mentransformasikan pengalaman batin dan pandangan hidupnya (weltanschauung) serta pengalaman estetiknya melalui karyanya yang bernilai seni sastra. Sastrawan tetap mempunyai kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni yang sejalan dengan hakikat estetika, moral, dan pandangan hidup. Hal itu sebab pencapaian estetika yang tertinggi dalam sudut pandang pragmatik profetik Islam disebut hikmah. Sebagaimana orientasi pragmatik profetik yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa hikmah harus dicapai di dalam karya sastra (al-Hujwiri melalui Hadi W.M., 1985: 31): “Sejumlah puisi mengandung hikmah; Hikmah adalah unta orang beriman yang hilang: apabila ia menemukan kembali, ia memiliki kebenaran terbaiknya.” *****


Daftar Pustaka

 

Abrams, M.H. 1976. The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press.

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Words. London & New York: Oxford University Press.

Darma, Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif. Bandung: Refika Aditama.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani. Cet.III. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 2014. Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta: Sadra Press.

Hall, John.1979. The Sociology of Literature. London & New York: Longman.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terj. M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ricoeur, Paul. 1976. The Interpretation Theori: Discourse and The Surplus Meaning. Forthworth, Texas: The Texas Christian University Press.

________. 1978. The Rule of Metaphore: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language. Tranlated by Robert Czermy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

________. 1982. Hermeneutics and the Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation. Editor John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press.

Seung, T.K. 1982. Semiotics and The Thematics in Hermeneutics. New York: Columbia University Press.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika (Sebuah Metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius.

Suwondo, Tirto. 2016. Pragmatisme Pascakolonial (Trilogi Gadis Tangsi dalam

Tarigan, Henry Guntur. 2015. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

                    Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta: Cipta Pustaka.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair, lahir di Lamongan pada 7 Oktober 1966, Magister Humaniora UGM dan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa