Pelajaran Bahasa Ibu di Ruang Pendidikan

UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Penetapan tersebut merupakan sebuah penghormatan terhadap Hari Gerakan Bahasa di Bangladesh yang memperjuangkan pemertahanan bahasa Bengali. Saat ini peringatan Hari Bahasa Ibu bukan lagi sebagai kenangan atas perjuangan para “martir” bahasa di Bangladesh. Hari Bahasa Ibu cenderung menjadi penyemangat agar bahasa ibu di dunia lebih dihormati. Sebagai informasi, menurut UNESCO, setidaknya setiap dua minggu sebuah bahasa menghilang dengan membawa seluruh warisan budaya dan intelektual (Kompas.com, 21/02/2021).

Secara lebih terperinci, 43 persen dari sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di dunia terancam punah. Bagaimana dengan di Indonesia? Adalah fakta bahwa saat ini bahasa ibu bernasib getir: dibuat menjadi bahasa ejekan, terpinggirkan, dan kalah telak dari bahasa ibu tiri (bahasa asing). Bahasa ibu sudah tak bertuah lagi. Padahal, bahasa ibu adalah bahasa pokok untuk segala bahasa. Sungguh, kita adalah anak-anak yang durhaka. Saat bahasa ibu sudah tua, butuh perhatian, dan butuh didekati, saat itu juga bahasa ibu malah dipinggirkan, tak dibincangkan, bahkan tak dirindukan. Kita dengan sadar menggusur bahasa ibu, bahkan hampir dari segala bidang.

Dalam hal kurikulum misalnya. Tolehlah pada kurikulum kita yang merupakan terusan dari Kurikulum 2013. Di dalamnya sekolah menjadi racun mematikan bagi bahasa ibu. Periksalah kurikulum kita yang mata pelajarannya dibagi ke dalam dua kategori: A dan B. Kategori A berisi mata pelajaran yang sudah digariskan dari pusat, sedangkan kategori B berisi mata pelajaran yang sudah ditentukan, tetapi masih bisa dikurang-tambahkan. Namun, pada praktiknya saat ini pembelajaran bahasa ibu di sekolah sudah tidak diterapkan. Bahkan, jika kedapatan berbahasa ibu, siswa di beberapa sekolah saat ini didenda.

Bahasa Kekeluargaan

Pertanyaannya adalah bagaimana nasib bahasa ibu kita yang konon merupakan bahasa adat yang digunakan pada ritual-ritual budaya ketika kita dilahirkan atau ketika kita dimakamkan? Apakah kita akan menggusurnya dari peradaban melalui penerapan pembelajaran modern? Apakah kita akan menguburnya seiring dengan maraknya teknologi, yaitu situasi saat kita menguniversalkan perasaan dan memarginalkan kekayaan? Sungguh kita adalah anak durhaka. Kita terpincut kecantikan semu dari bahasa ibu tiri, yaitu bahasa asing, seperti Inggris atau Arab.

Padahal, kita dibesarkan dari “susu” bahasa ibu. Karena itu, pertanyaan yang sangat mendesak adalah apakah kelak kita makin “malu” mencuatkan bahasa daerah, bahkan di daerah kita sendiri? Pertanyaan itu tidak hanya penting, tetapi juga dapat menjadi kritik terhadap penggunaan bahasa ibu. Sebagai contoh, di Humbang Hasundutan bahasa ibu terkesan dilarang di dunia pendidikan. Jika diperinci lagi, ternyata kita tidak hanya menguburkan bahasa daerah, tetapi juga mulai mengabaikan bahasa Indonesia. Sudah banyak studi dan pemberitaan terkait dengan hal itu.

Salah satunya yang barangkali masih membekas di kepala kita adalah kisah anak Jakarta, sebagaimana disitir The New York Times dengan judul provokatifnya “As English Spreads, Indonesia Fear for Their Languages”. Di sana dikisahkan beberapa anak yang bermain di Jakarta mahir menggunakan bahasa Inggris, tetapi tak tahu berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa ibu. Coba dikritisi, dari mana lagi logikanya kita akan cinta Indonesia sebagai tempat kita lahir dan tinggal, tetapi bahasanya saja tak kita pahami?

Kembali ke bahasa ibu. Semestinya bahasa ibu adalah bahasa kekeluargaan. Bahasa ibu adalah bahasa yang diperoleh pertama kali. Namun, kebanyakan dari generasi milenial saat ini tak lagi mengenal bahasa ibu. Lihatlah, berapa banyak generasi milenial yang  menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu? Bahasa ibu sudah menjadi bahasa tiri. Beruntung apabila bahasa pemerolehan pertama generasi milenial adalah bahasa Indonesia. Bagaimana kalau malah bahasa asing? Yang terasa lebih menyakitkan adalah generasi sekarang sebagai penutur pada masa depan, menyebut bahwa bahasa daerah tak ada manfaat langsungnya.

Bahasa daerah lantas menjadi sesuatu yang kumal sehingga dianggap tak ada gunanya kalau bukan untuk adat. Tak usah menutup mata, di sekitar kita saja sudah banyak yang “ogah” berbahasa daerah. Ini satu soal. Soal lain adalah negara sebagai institusi tertinggi juga tidak berupaya menjamin keberadaannya. Justru, negara semacam punya niat menghilangkan bahasa daerah. Dibuatlah bahasa propoganda, yaitu bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu. Karena itu, kita mesti berbahasa Indonesia. Pengertian ini dijabarkan oleh beberapa perusahaan supaya para karyawan tidak boleh berbahasa daerah sama sekali.

Di taraf pendidikan, dari pengertian tersebut juga dijabarkan bahwa bahasa daerah merupakan sesuatu yang haram. Bahkan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, apabila siswa di sebuah sekolah kedapatan berbahasa daerah, mereka akan dihukum. Padahal, di sekolah tersebut juga konon diadakan “English Day”, yaitu kewajiban berbahasa Inggris pada hari tertentu. Saya sangat resah dengan fenomena tersebut. Saya bukan antibahasa asing. Hanya saja, menurut saya sangat tak masuk akal apabila kita mengagungkan bahasa asing, tetapi pada saat yang sama kita mengasingkan bahasa yang dilahirkan dan pernah dimuliakan di daerah itu.

Semacam Eksodus

Karena itu, saya selalu mengusap dada ketika mengikuti acara kebahasaan, lalu mendengar ucapan dari pihak pemerintah yang menggelisahkan, yaitu bahasa daerah sudah mulai punah. Mereka bahkan tak lupa menjejerkan alasan-alasan kepunahan serta membeberkan bahasa mana yang punah, mana yang terancam, dan mana yang masih steril. Sebagai penyempurna, mereka juga sigap memberikan wacana agar bahasa itu tak punah berikut cara-cara jitunya. Pertanyaannya adalah sejauh mana hal itu semua sudah diaplikasikan? Mengapa wacana itu berhenti sebatas wacana, berhenti sebatas ratapan? Mengapa detik ini kecintaan terhadap bahasa daerah makin redup, bahkan di kampung-kampung?

Hal itu semacam sebuah eksodus. Orang kampung sendiri mulai senang melihat putranya bisa berbahasa Indonesia. Logika yang tersembunyi di baliknya adalah bahasa daerah merupakan lambang ketidakberhasilan. Pesannya menyakitkan, yaitu tinggalkan bahasa daerah jika tak mau disebut tak berhasil! Pesan yang lebih barbar adalah sekolahlah tinggi-tinggi agar tak lagi berbahasa daerah. Pengertian yang dapat kita simak dari sini adalah biarlah kami (orang tua) saja yang mengemban “kebodohan” (karena masih berbahasa daerah). Kenyataan itu kemudian disambut dengan baik oleh pemerintah.

Oleh karena itu, di tingkat pemerintahan, pejabat membuat aturan bahwa bahasa ibu tak perlu dipelajari. Kalaupun dipelajari, cukup sebagai nostalgia. Bahasa itu cukup dimuseumkan. Dengan demikian, resmilah bahasa ibu dihilangkan, bahkan mulai digusur dari sekolah. Kita tinggal menunggu bahasa ibu digantikan bahasa ibu tiri. Pada saat itu bahasa ibu menjadi bangkai. Suatu saat kita akan berziarah ke kuburnya. Namun, dalam ziarah itu kita berbahasa asing. Miris sekali. Di kuburnya bahasa ibu pun harus terhina oleh bahasa asing. Semoga hal itu tak terjadi. Tentu caranya sederhana, yaitu dengan mengembalikan muruah bahasa ibu, setidaknya ke sekolah.

Penulis adalah guru bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, aktif berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF), dan instruktur sastra digital tingkat nasional.

Judul esai ini diambil dari buku kumpulan puisi Membaca Lambang (ML) karya Acep Zamzam Noor (AZN) yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2018. Saya tertarik dengan pelabelan judulnya yang mau tidak mau akan berurusan dengan kegiatan membaca (M) dan memahami lambang (L). Untuk itu, ulasan dalam esai ini saya buat dalam tiga tahap yang menandai pergeseran atas (1) bagaimana cara kita memperlakukan lambang dalam teks puisi, (2) bagaimana lambang-lambang tersebut membentuk kode teks puisi dan menampakkan referensi diri dan otonomi makna pada pembaca, dan (3) bagaimana secara keseluruhan kode teks puisi Acep dapat diidentifikasi sebagai kekhasan. 

A. Membaca Lambang

BATASAN | Saya akan memulai bagian pertama esai ini dengan mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring agar kita dapat memiliki kesamaan dalam membatasi frasa ‘kelompok kata’ ML. Dalam KBBI daring M dan L dibatasi sebagai berikut.

“membaca/mem·ba·ca/ v 1 melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati): dia jangan diganggu, karena sedang - buku; 2 mengeja atau melafalkan apa yang tertulis; 3 mengucapkan: - doa, - mantra; 4 mengetahui; meramalkan: ia dapat - suratan tangan (garis-garis pada telapak tangan); 5 memperhitungkan; memahami: seorang pemain yang baik harus pandai - permainan lawan; …”

“lambang/lam·bang/ n 1 sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu; simbol: gambar tunas kelapa -- Pramuka; warna biru ialah -- kesetiaan; 2 tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya): peci putih dan serban ialah -- haji; 3 huruf atau tanda yang digunakan untuk menyatakan unsur, senyawa, sifat, atau satuan matematika;

-- negara simbol resmi suatu negara.”

Jika kita pinjam rumus peluang dalam matematika, lima batasan M dan tiga batasan L setidaknya akan menghasilkan lima belas batasan ML, yakni M1-L1, M1-L2, M1-L3, M2-L1, M2-L2, M2-L3, M3-L1, M3-L2, M3-L3, M4-L1, M4-L2, M4-L3, M5-L1, M5-L2, dan M5-L3. Kelimabelas batasan ML ini sahih menjadi medan makna yang disematkan AZN dalam buku puisinya. Kita akan mencoba menemukan batasan mana yang menjadi kecenderungan dalam bukunya di bagian kedua esai ini.

Namun, sebelum sampai pada penelusuran tersebut, ada baiknya kita mengulas M yang menandai peristiwa dalam verba  melihat serta memahami (M1), mengeja atau melafalkan (M2), mengucapkan (M3), mengetahui dan meramalkan (4), dan memperhitungkan (M5) yang mengandaikan adanya pelaku peristiwa yang disebut dengan pembaca. Dari sekian verba ini kita dapat membayangkan kegiatan M yang menyertakan “apa yang dibaca pelaku”, yakni L. Selanjutnya, kita pun harus memahamkan batasan L.

Dalam KBBI daring terdapat tiga batasan L. Batasan L1 adalah batasan umum yang kita pahami bersama sebagai tanda yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Batasan L2 adalah batasan yang melampaui tanda dan menghubungkannya dengan sesuatu di luarnya, yakni identitas sebagai pengenal tetap (batasan ini sangat menarik ditelusuri relevansinya dengan teks puisi ML). Sementara itu, L3 adalah batasan yang berhubungan dengan keefektifan lambang dalam mengemban konsep-konsep ilmu pengetahuan yang dinyatakan dengan lambang huruf atau tanda, seperti digunakan untuk menyatakan unsur, senyawa, sifat, atau satuan matematika.

KATA | Dari ketiga batasan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa tanda menjadi kategori pembentuk batasan L. Dengan demikian, kita mesti memahamkan tanda. Ilmu yang berfokus pada tanda sebagai objeknya adalah semiotika. Kita dapat memahamkan tanda dari dua orang perumusnya, yakni Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Pierce. Rumusan Saussure atas tanda menyertakan dualitas siginfie-siginfiant ‘penanda-petanda’ sebagai aspek bentuk dan isi dalam kesadaran kolektif pengguna bahasa sebuah komunitas yang menjadi kode bahasa ‘prapemahaman bersama sehingga bahasa dapat dipakai’.

Penanda dapat terbentuk dari rangkaian bunyi dalam lisan dan rangkaian huruf dalam tulisan dalam satuan gramatikal kata dan perluasannya, yakni frasa dan klausa. Penanda kata tersebut akan mengacu pada petanda, yakni konsep abstrak yang dapat dibatasi pengertiannya dan konsep gambar yang menjadi dasar membuat pengertian. Dengan demikian, dualitas penanda-petanda mengambil bentuk terkecilnya dalam satuan gramatikal kata, kemudian diperluas dalam satuan gramatikal frasa dan klausa. Berikut adalah konsep tanda Saussure.

Sementara itu, rumusan tanda Pierce dapat dikatakan menambah dualitas penanda-petanda Saussure dengan konsep abstrak dalam otak (interpretant dalam istilah Pierce). Maksudnya, sistem tanda dalam kesadaran kolektif pengguna bahasa dihubungkan dengan gejala psikis dalam benak pikiran seorang penerima tanda. Hasilnya, terdapat tiga jenis tanda yang beroperasi dari hubungan representamen (X) dan object (Y), dalam sistem tanda Saussure disebut penanda-petanda, yang berhubungan dengan interpretant (X=Y). Ketiga jenis tanda tersebut adalah (1) ikon ‘tanda yang bersifat merepresentasikan sesuatu’; (2) indeks ‘tanda yang bersifat kausalitas atau sebab-akibat’; dan (3) simbol ‘tanda yang bersifat kesepakatan’.

Mungkin, yang perlu dicatat adalah hubungan sistem tanda kata dan antarkata dalam teks puisi tidak seperti dalam teks berita, sejarah, sains, dll. Bineritas penanda-petanda kata dalam teks-teks tersebut beroperasi secara langsung pada benak pikiran penerima tanda sebagai hasil korepondensi dengan kesadaran kolektif pengguna bahasa dalam sebuah komunitas pengguna bahasa. Artinya, dalam membaca teks berita, sejarah, sains, dll. pembaca dapat langsung menghubungkan tanda kata dan hubungan antarkata yang mengacu pada kesadaran kolektif atas pengetahuan bahasa suatu komunitas. Pada saat membaca, kesadaran kolektif itu menjadi kode bahasa yang menyediakan jalan bagi pembaca untuk menafsir dan memahamkannya secara subjektif.

PERLUASAN | Hubungan antartanda kata dimungkinkan terjadi karena mengacu pada konsep pengertian dan gambar yang lebih kompleks. Kita ambil contoh kata t-o-p-i yang mengacu pada 1) konsep pengertian ‘suatu benda yang terbuat dari sesuatu yang berfungsi untuk menutupi atau melindungi kepala’ dan 2) konsep gambar yang mendasari pengertian tersebut dibuat. Namun, manakala kata topi menandai konsep yang spesifik, misal berwarna hitam, berbentuk bulat, atau dimiliki Dewi, kita akan membentuk hubungan dua atau lebih kata, seperti topi hitam, topi bulat, topi Dewi, topi hitam Dewi, topi bulat Dewi, atau kombinasi lainnya. Sampai di sini kita telah sampai pada hubungan antartanda kata yang disebut dengan frasa.

Frasa menyertakan unsur pembentuk, yakni inti atau pokok makna (Diterangkan) dan atribut atau pelengkap makna (Menerangkan). Contoh, frasa topi hitam dibangun dari unsur pokok makna topi dan unsur atribut makna hitam dengan pola frasa Diterangkan-Menerangkan (D-M) yang mengacu pada frasa bermakna topi berwarna hitam. Kita dapat membandingkannya dengan pola pembentukan frasa dalam bahasa Inggris untuk mengacu pada makna yang sama, yakni black hat (M-D). Dengan demikian, setiap bahasa memiliki aturan dalam membentuk frasa.

Selanjutnya, hubungan antartanda kata dimungkinkan terjadi perluasannya karena mengacu pada makna dalam hubungan dialektis nominalisasi ‘identifikasi atas penamaan’ dan predikasi ‘atribusi atas nominalisasi’ yang kemudian dikenal dengan Subjek (S) dan Predikat (P). Hubungan dialektis ini dapat menandai identifikas dan atribusi yang mengacu pada 1) peristiwa dengan menambahkan verba, 2) kualitas dengan menambahkan adjektiva, 3) kuantitas dengan menambahkan numeralia, dan 4) identitas dengan menambahkan Nomina. Perluasan hubungan antartanda kata ini telah menggeser hubungan kata dari hubungan Menerangkan-Diterangkan seperti pada topi hitam, topi bulat, dan topi Dewi dalam frasa menjadi hubungan Subjek-Predikat dalam klausa, seperti pada topi hitam dicudi, topi bulat dicuci, dan topi Dewi dicuci.

Sampai di sini, kita telah sampai pada perluasan hubungan antartanda kata yang kemudian disebut dengan klausa. Kita ambil sebuah contoh lain, seperti frasa topi Dewi yang diperluas maknanya dengan menambahkan verba rusak, adjektiva bagus, atau numeralia sembilan sehingga terbentuk klausa topi Dewi rusak, topi Dewi bagus, dan topi Dewi sembilan. Sementara itu, untuk contoh hubungan antarkata yang bermakna identitas, kita dapat mengambil contoh pada klausa ayahku penulis.

Sementara itu, untuk menguji bahwa sebuah hubungan antarkata disebut frasa atau klausa, kita dapat menyisipkan partikel -ku, -mu, dan -nya atau kata penunjuk ini dan itu pada unsur pokok makna sebuah frasa. Sebagai contoh, frasa topi hitam dapat ditambah menjadi topiku hitam atau topi itu hitam sehingga pola hubungannya antarkata bergeser dari D-M menjadi S-P. Namun, klausa belum dapat mengambil bentuk kalimat karena kalimat adalah satuan gramatikal yang menandai kode bahasa yang sudah digunakan oleh seseorang kepada orang lain dalam sebuah peristiwa bahasa. Singkatnya, kalimat menandai sistem tanda dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, yang dikenal dengan wacana, yang akan dibahas dalam bagian kedua esai ini.

REKA KREATIF | Sekarang, kita dapat mengambil contoh yang menandai ketidakangsungan hubungan sistem tanda dalam teks puisi-puisi ML. Hal ini diperlukan agar kita dapat melihat teks puisi yang menyertakan kode bahasa terdukung dengan strategi literer penulisannya yang menyertakan kode puisi, yakni aspek bentuk dan isi teks puisi. Mungkin, ulasan berikut ini dapat mengantarai kekhasan operasi tanda dalam kode bahasa teks puisi.  Mari kita cermati kata rambut dan kata malam yang dipaksa dihubungkan dalam larik kedua, puisi “Leang-leang” (hlm. 16).

Sistem tanda kata dalam teks puisi dan teks sastra pada umumnya telah mengalami reka kreatif dalam berbagai tingkat. Hubungan bentuk-isi tanda dalam bineritas penanda-petanda menjadi pusat reka kreasi dan menghasilkan medan makna dalam berbagai tingkatan. Seorang penyair dapat (1) menempatkan tanda kata dalam hubungan antartanda kata yang disengaja salah (displacing of meaning); (2) mengurangi atau menambahkan medan makna tanda kata dalam hubungan antartanda kata takbiasa (distorting of meaning); dan (3) me-reka kreasi hubungan tanda dalam sentrum sistemnya, yakni hubungan penanda-petanda yang baru (creating of meaning). Kita akan mencoba membahas reka kreatif antartanda kata tersebut dalam poin-poin berikut ini.

1. Displacing of Meaning | Dalam buku puisi ML termuat puisi berjudul “Pada Ombak Selatan” (hlm. 27). Bait Kelima terbaca //Ada ubur-ubur/Di susumu/Hutan lindung/Di bawah pusarmu//. Bait tersebut berisi dua pernyataan, yakni ada ubur-ubur di susumu dan (ada) hutan lindung di bawah pusarmu. Kedua pernyataan tersebut sejajar dalam pemolaan kalimat inversi, ada (P (predikat)) ubur-ubur (S (subjek)) di sususmu (K) dan (ada) (P lesap) hutan lindung (S) di bawah pusarmu (K).

Larik yang berpola P-S tersebut menandai kesengajaan menempatkan hubungan kata yang “taklazim”. Jenis kalimat inversi ini dapat diubah ke dalam kalimat versi  (normal, yakni berpola S-P menjadi ubur-ubur ada di susumu dan hutan lindung (ada) di bawah pusarmu. Selain itu, dalam gaya bahasa, pernyataan yang memakai pola kalimat P-S disebut majas inversi, yakni majas yang menekankan makna kata yang berada di predikat daripada makna kata yang berada di subjek.

2. Distorting of Meaning | Dalam bait kedua puisi “Gua Pettae” (hlm. 15) terbaca //Berabad penyair/Menggembala/Sunyi//. Nomina  penyair dihubungkan dengan verba menggembala menjadi sebuah peristiwa sempurna yang mengharapkan kehadiran nomina hidup. Namun, setelah verba menggembala justru yang hadir adalah nomina mati sunyi. Dalam kasus ini selain kesengajaan menghubungkan antarkata yang salah, terjadi pula penambahan medan makna pada kata sunyi yang menandai diksi penyair dan gaya bahasa personifikasi.

Dalam tahapan selanjutnya, pendistorsian makna kata yang terjadi karena kesengajaan menghubungkan antarkata yang salah tentunya juga  akan mengakibatkan penciptaan makna yang baru. Selain gaya bahasa personifikasi, kita bisa menandai dua larik pertama puisi “Leang-leang” (hlm. 16) sebagai gaya bahasa metafora, yakni //Serbuk-serbuk udara/Memutih di rambut malam//. Frasa rambut malam menandai displacing, distorting, dan creating of meaning.

3. Creating of Meaning | Penciptaan makna baru  dalam larik puisi dapat terjadi dalam berbagai tingkat satuan gramatikal, seperti  kata, frasa, dan klausa, seperti rambut malam dalam frasa, beradab penyair menggembala sunyi dalam klausa. Bahkan, penciptaan makna baru dalam bait dapat terjadi dalam hubungan antarlarik yang menyusun sebuah bait. Saya kutip utuh larik ketiga puisi “Leang-leang” berikut ini.

           Jarum-jarum sunyi

Lembing-lembing tajam

Seperti napas yang terhenti

Di ujung tenggorokan

Babi hutan

Bait alegoris ‘perumpamaan utuh’ ini semakin menegaskan bahwa pemanfaatan hubungan makna antarkata dalam frasa dan klausa mendapat perluasannya dalam kalimat atau larik teks puisi. Perluasan hubungan makna antarlarik dalam bait mendapat perluasannya dalam hubungan antarbait yang menyusun keutuhan sebuah teks puisi. Dapatlah dikatakan bahwa sebagai sebuah keutuhan teks yang dibangun dari hubungan antarbait, teks puisi mengatakan sesuatu melalui sesuatu yang lainnya.

KODE BAHASA | Membaca teks puisi pada mulanya tidak berorientasi ingin dipahami pembaca, tetapi ingin dirasakan perwujudan konsepsi abstrak pengertian-pengertiannya dalam belahan kiri otak kita (si Oki) yang terdukung oleh konsepsi gambar-gambar di belahan kanan otak kita (si Oka) yang taklazim. Kita dapat mengatakan bahwa diksi ‘pilihan kata’ dan majas ‘gaya bahasa’ adalah tindakan konkret peristiwa bahasa sebagai hasil teks reka kreatif penyairnya. Hal ini juga menandai bahwa teks puisi adalah peristiwa pemerolehan bahasa atau wacana yang memiliki referensi dan makna yang bertingkat, yakni saat dibuat, saat dibakukan dalam teks puisi, dan saat dipersepsi pembaca.

Sampai di sini, kita dapat membayangkan bahwa ketiga hal yang menandai tindakan reka kreatif penyair tidak hanya menghubungkan penanda rangkaian bunyi dan huruf pada kesadaran kolektif atas pengetahuan suatu bahasa yang membuat teks puisi dapat dipahami, tetapi juga pada citraan atas rangkaian bunyi dan huruf yang tersaran dalam benak pikiran pembaca sebagai penerima tanda, yakni dalam konsep abstrak yang belum dapat dibatasi pengertiannya secara ajeg karena konsep gambar yang menjadi dasar membuat pengertian masih baru, bahkan boleh jadi taklazim.

Dengannya, keseluruhan penginderaan kita sebagai pembaca diberdayakan melalui sensor motorik otot dari hasil persepsi pengindraan yang sampai ke benak pikiran, bahkan ke seluruh persepsi indra tubuh yang menghasilkan sensasi. Melalui si Oki sebagai gudang memori terbatas atas kata dan angka, kita dapat menimbang logika makna puisi dan melalui si Oka sebagai gudang memori tanbatas atas konsep gambar-bambar dan emosi, kita dapat menimbang estetika makna puisi.

Saya menduga bahwa AZN sangat menyadari kekuatan tanda untuk mengaktifkan kesadaran sekaligus ketaksadaran pikiran dan tubuh penerima tanda karena memang hal ini adalah inti bahasa teks puisi. Wajar, jika dalam berbagai pertemuan, juga dalam tulisannya, AZN mengatakan puisi yang bagus adalah puisi yang mampu membuat bulu kuduk merinding saat membacanya. Puisi yang tidak hanya menuntut dipahami oleh pikiran, tetapi sekaligus juga dirasakan oleh persepsi indrawi yang menimbulkan sensasi fisis organ tubuh.

Mungkin, hal ini dapat menandai hakikat dasar kode bahasa dalam teks puisi, sebagaimana kata Aristoteles (sekitar 4 abad SM) dalam On Interpretation, “Bahasa dapat mengatakan sesuatu sekaligus menyembunyikannya.” Teks puisi selalu bergerak dalam tegangan di antara dua hal itu, di antara “dapat ditandai” dan sekaligus “mengelak ditandai”. Di sisi lain, kita percaya bahwa teks puisi tidak akan terarus dalam penafsiran tanpa kode bahasa, terkhusus ketatabahasaan yang menyertai hubungan antartanda. Jika demikian yang terjadi, teks puisi telah menjadi teks yang menyediakan jalan  gelap bagi penafsiran.

Hal ini menandakan bahwa seorang penyair adalah seorang pembaca tanda yang asik-masyuk bergegas dalam gagas dan gugus sistem tanda. Tentu, penyair menyadari bahwa bahasa adalah sesuatu yang terberi dari kesadaran kolektif atas pengetahuan bahasa sebuah komunitas. Namun, penyair membuatnya baru dengan mesin litentia of poetica yang dimilikinya. Hal ini terjadi dalam hubungan antartanda kata dalam larik, antarlarik dalam bait, dan antarbait dalam keutuhan teks puisi.

Sampai di sini, kita telah berpindah dari kajian ketandaan dengan kata sebagai satuan terkecil pembangunnya yang menyertakan perluasannya dalam frasa dan klausa sebagai kode bahasa (sistem tanda dikaji semiotika dan makna tanda dikaji semantik kata). Satuan kata, frasa, dan klausa mengambil bentuk kalimat atau larik dalam teks puisi. Dengan semestinya, larik sebagai peristiwa bahasa menyertakan tindakan penyair dalam membuat puisi. Dari argumentasi tersebut, kita telah masuk dalam kajian kalimat atau larik sebagai satuan gramatikal terkecil pembentuk teks dalam wacana (kajian kalimat dan hubungan antarkalimat dikaji oleh wacana, makna kalimat dikaji dalam semantik kalimat atau semantik wacana). Hal ini akan dipertegas dalam bagian kedua.

Sebagai penutup bagian kesatu esai ini, dapatlah dikatakan bahwa AZN dalam ML selalu berada dalam tegangan reka kreasi sistem tanda kata dan perluasannya dalam frasa dan klausa. Dualitas penanda-petanda kata “dapat ditandai” dan sekaligus “mengelak ditandai”. Hal ini menjadi teristimewa dan sedemikian lugas terbaca dalam dua larik terakhir, bait ketiga, puisi “Sebuah Desa Bernama Sidemen” (hlm.32), yakni //Kubiarkan hari-hari sunyiku mencari ujungnya sendiri/Di antara keterbatasan kata dan ketakterhinggaan makna//. Tegangan ini mendapat perluasannya dalam bentuk-isi teks puisi yang akan dibahas di bagian berikutnya. Kita akan meminjam konsep bentuk dan isi puisi I. A. Richard untuk tujuan tersebut. Selain itu, ulasan berikutnya membawa kita beranjak dari ML sebagai kode bahasa menuju ke ML sebagai kode teks puisi dakam ragam teks.

B. Making Love

Pada bagian sebelumnya kita telah mengulas bagaimana cara kita memperlakukan L yang memuat kategori tanda dalam teks puisi. Selanjutnya, pada bagian kedua ini kita akan mengulas ML dalam perluasan hubungan antartanda yang membentuk kode teks (puisi). Hal ini ditempuh agar kita dapat menemukan jawaban atas (1) bagaimana hubungan antartanda membentuk kode teks (puisi) dan (2) bagaimana hubungan antartanda menampakkan referensi diri dan makna otonom teks pada pembaca.

KALIMAT | Satuan gramatikal yang dapat membedakan makna dalam sistem tanda bahasa adalah huruf dan suku kata. Kedua satuan gramatikal ini belum berorientasi pada makna, tetapi dapat membedakan makna satuan gramatikal kata. Sebagai contoh, rangkaian huruf atau bunyi t-o-p-i sempurna menjadi tanda kata dengan dualitas aspek penanda-petandanya karena dan hanya karena dapat hubungkan dan dipertentangkan dengan mengganti huruf atau suku kata lainya yang dimungkinkan dalam perbendaharaan huruf dan suku kata suatu bahasa. Kita dapat menghubungkannya dan sekaligus mempertentangkan kata t-o-p-i dengan rangkaian bunyi dan huruf  lainnya, seperti  k-o-p-i, n-o-p-i, t-a-p-i, t-e-p-i, dst. yang mengacu pada perbedaan makna suatu tanda kata.

Satuan gramatikal kata adalah satuan gramatikal yang sudah mengacu pada makna bahasa. Satuan gramatikal ini mendapat perluasannya dalam hubungan antarkata yang membentuk frasa dan klausa. Ketiga satuan gramatikal ini berada dalam penampang sistem tanda yang menjadi pengetahuan bersama dalam kesadaran kolektif pengguna bahasa sebuah komunitas bahasa. Namun, saat sistem tanda bahasa ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sistem tanda dalam bahasa telah menjadi kode bersama antarpengguna bahasa sehingga tanda bahasa dapat beroperasi sistemnya dan dipahami bersama maknanya. Sistem tanda yang mengambil bentuk satuan gramatikal kata, frasa, dan klausa ini kemudian disebut dengan kalimat.

Kalimat dapat mengambil bentuk rangkaian bunyi dalam lisanan dan rangkaian huruf dalam tulisan. Ujaran atau ucapan pengguna bahasa mengandung makna spesifik karena dibatasi oleh intonasi, mimik, dan gesture dalam situasi lisan. Sementara itu, dalam situasi tulis, makna spesifik dapat dibatasi secara suprasegmental dengan tanda baca yang membedakan intonasi. Misal, kata makan dapat dibentuk menjadi kalimat dengan penulisan huruf awal kapital dan pemberian tanda baca titik (.) menjadi /Makan./. Kalimat tersebut  menyertakan intonasi datar dengan makna memberi informasi. Hal ini akan berbeda ketika kita mengubahnya dengan tanda baca tanya (?) dan seru (!). 

Bahkan, dalam situasi percakapan, kita dapat membuat kalimat hanya dengan sebuah huruf. Misal, dalam konteks seorang pewicara bertanya kepada mitra wicaranya, /Apa huruf ketiga kata akhir?/. Mitra wicara menjawab, /H./. Dari ilustrasi ini, kita dapat menganggap bahwa sistem tanda bahasa dalam penggunaannya dapat diistilahkan dengan teks. Dengan demikian, kita dapat membedakan tanda dengan satuan gramatikal kata sebagai satuan terkecil pembangun bahasa yang dikaji dalam semiotika dan teks dengan satuan gramatikal kalimat sebagai satuan terkecil pembangun bahasa sebagai wacana yang dikaji dalam semantik.

PERLUASAN | Sebagai satuan terkecil pembentuk wacana (bahasa dalam penggunaannya), kalimat mendapat perluasannya dalam satuan gramatikal paragraf, dan wacana (dalam pengertian karangan yang dibentuk dari susunan paragraf). Tentu, hal ini sepadan dengan kata dalam sistem tanda bahasa yang mendapat perluasannya dalam satuan frasa dan klausa. Pergeseran fokus ulasan esai dalam bagian kedua ini, yakni dari kajian tanda ke teks, kajian kata ke kalimat, atau kajian bahasa ke wacana akan membangun seperangkat pengetahuan dan aturan yang menyertainya yang kemudian dikaji dalam tekstologi.

Hubungan antarkalimat dapat membentuk satuan gramatikal paragraf. Namun, tidak selalu kalimat-kalimat dihubungkan menjadi paragraf. Setidaknya, ada dua syarat hubungan antarkalimat dapat membentuk paragraf, yakni kohesi ‘kesatuan hubungan gagasan antarkalimat’ dan koherensi ‘kepaduan hubungan makna antarkalimat’. Kohesi dapat ditemukan dalam gagasan pokok yang mendasari keseluruhan gagasan kalimat dalam suatu paragraf sementara koherensi dapat ditemukan dengan penggunaan pronomina persona, pronomina penunjuk, konjungsi antarkalimat, dan pengulangan kata, frasa, dan klausa dalam kalimat.

Demikian pun yang terjadi dalam hubungan antarpargraf. Setiap paragraf memiliki kohesi dan koherensi antarkalimat yang dapat juga diandaikan terjadi dalam hubungan antarparagraf. Jika sebuah paragraf tidak memiliki hubungan kohesi dan koherensi dalam keutuhan gagasan sebuah wacana (dalam pengertian karangan), paragraf tersebut harus dibuang. Dalam pengertian ini kita dapat menimbang bahwa karangan adalah sebuah teks, yakni sebuah peristiwa bahasa yang dibuat oleh seseorang melalui media bahasa sebagai bahan baku pembentuk teks. Maksudnya, sistem ketandaan kata, frasa, dan klausa sebagai kode bahasa telah mengambil bentuk kalimat dengan perluasan paragraf dan wacana (karangan) sebagai sebuah karya utuh teks.

TEKS | Setiap teks memiliki ciri-ciri umum yang membedakan dengan teks lainnya. Dari aspek referensi, kita dapat membagi teks dalam dua kategori, yakni teks faktual dan teks fiksional. Lalu, dari teks faktual kita dapat membaginya menjadi teks berita, sejarah, sains, dsb. Sementara dari teks fiksional, yang lebih banyak dieksplorasi dalam karya sastra, kita dapat membaginya menjadi  teks puisi, teks prosa, dan teks drama. Sampai di sini, kita dapat mengatakan bahwa setiap teks menyertakan kode teks yang kemudian membentuk ragam teks.

Perluasan tanda menyertakan sistem tanda, yakni penanda-petanda. Hubungan antartanda akan membentuk satuan gramatikal frasa dan klausa. Hal ini terjadi dalam perluasan sistem tanda bahasa sebagai bahan baku pembangun kalimat yang menjadi satuan terkecil pembangun teks. Hubungan antarkalimat membangun paragraf, dan hubungan antarparagraf membangun keutuhan sebuah teks atau wacana. Dengan demikian, sebuah karya puisi sebagai keutuhan dari tindakan bahasa dapat disebut teks.

Dalam teks puisi, kalimat mengambil bentuk larik atau baris, paragraf mengambil bentuk bait, dan wacana mengambil bentuk (keutuhan) sebuah teks puisi yang dibangun dari hubungan antarbait. Dari sini dapat dikatakan bahwa larik dan bait adalah kode teks puisi yang membedakannya dengan genre prosa atau drama. Seperangkat pengetahuan yang menjadi prapemahaman dan praperumusan dalam membuat teks inilah yang kemudian disebut dengan kode teks puisi.

Sebagai pembanding, teks prosa menyertakan satuan gramatika kalimat dalam bentuk hubungan antarkalimat yang menyusun paragraf dan hubungan antarparagraf yang menyusun sebuah teks prosa (bisa diantarai dengan bab). Sementara itu, kode teks drama menyertakan satuan gramatikal kalimat langsung atau ujaran tokoh dalam bentuk hubungan antarujaran yang menyusun adegan dan hubungan antaradegan yang menyusun sebuah teks drama (bisa diantarai dengan babak).

Dengan demikian, teks sastra dapat dibangun dari satuan gramatikal kalimat dalam berbagai transformasi bentuknya. Hal ini menandai strategi literer penulisan genre sastra yang khas dari seorang sastrawan. Takheran, kita menemukan teks prosa dan teks drama yang memakai strategi literer penulisannya dengan kode teks puisi. Alih kode genre teks sastra menandai bahwa gejala transgenre dalam strategi literer penulisan teks memang dimanfaatkan seorang sastrawan dengan tujuan tertentu. Akibatnya, genre prosa bisa menjadi sangat puitis atau genre drama bisa menjadi sangat prosais, dan sebaliknya.

REKA KREATIF | Di bagian kesatu, saya telah menyinggung bahwa kita akan meminjam konsep bentuk dan isi teks puisi Richard. Dualitas aspek tanda dalam penanda-petanda sebagai bentuk-isi dapat disejajarkan dengan dualitas aspek teks dalam bentuk-isi puisi. Tentu, hal ini dapat terjadi dalam hubungan antartanda kata yang dipakai penyairnya, yakni dalam kode larik dan bait yang menyusun teks puisi. Sementara itu, larik dapat dibentuk dari sebuah kata, frasa, klausa, atau kombinasi di antara ketiganya dalam sistem ketandaan bahasa.

Menurut Richard, teks puisi memiliki (1) The Method of Poetry ‘struktur fisik/bentuk’, yakni a) diction ‘pilihan kata’, b) imagery ‘imaji/pencitraan/persepsi indrawi’, c) concrete of word ‘kata konkret, d) figurative language ‘majas/gaya bahasa’, dan e) rhythm and rhyme ‘irama dan rima[1]; dan (2) The Nature of Poetry ‘struktur batin/isi’, yakni a) sense ‘tema’, b) intention ‘amanat’, c) feeling ‘rasa’, dan d) tone ‘nada’). Dari konsep Richard ini kita bisa mulai mengulas ML dalam tingkat wacana atau puisi sebagai teks, bukan sekedar hubungan antartandabahasa.

1.Kode Larik | Satuan gramatikal terkecil pembangun teks puisi adalah kalimat. Dalam puisi kalimat disebut dengan larik atau baris. Dengan demikian, larik dapat dikatakan kode teks puisi yang mendasar kerena dengannya bait dapat dibentuk. Larik dapat dibentuk dengan satuan gramatikal kata, frasa, dan klausa. Bahkan pun, larik  dapat dibentuk dengan satuan gramatikal huruf atau suku kata, seperti yang dilakukan Sutardji Chalzoum Bachri dalam puisi “Tragedi Winka Sihka”.

Bolehlah kita menganalogikan bahwa larik adalah bata-bata yang menyusun sebuah dinding yang diplester dengan 1) diksi, 2) pencitraan, 3) kata konkret, 4) gaya bahasa, dan 5) rima dan ritme. Namun, sekali lagi, bata-bata yang dipakai bukanlah bata-bata yang umum, melainkan bata-bata yang sudah mengalami reka kreasi sistem tanda. Selain kelima hal tersebut, yang takkalah penting dalam larik adalah strategi literer penulisannya yang menyertakan enjambemen ‘pemenggalan’ dan ‘tipografi‘ yang akan lebih pas dibahas dalam kode puisi bernama bait. Sekarang, mari kita hampiri bagaimana AZN membangun larik-larik dalam teks puisinya. Mari kita ulas pembentukan larik ini dengan mengutip utuh sebuah puisi AZN berjudul “Gua Pettae” (hlm. 15) berikut ini.

GUA PETTAE

Dinding batu

Adalah kata-kata

Yang diukir waktu

Berabad penyair

Menggembala

Sunyi

Sebuah istana

Tercipta dari kata-kata

Berabad penyair

Meninggalkan

Tahta

Tetes airmata

Adalah kata-kata

Yang menjadi sabda

Berabad penyair

Menggali kuburan

Ganda

Bagi tahta dan sabda

2006

Dalam puisi tersebut, terbaca bahwa larik dapat dibentuk dalam satuan kata, seperti /Sunyi/, /Tahta/, dan /Ganda/. Selain itu, larik juga dapat dibentuk dalam satuan frasa, seperti /Dinding batu/, /Sebuah istana/, dan /Tetes airmata/. Terakhir, larik dapat dibentuk dalam satuan klausa, seperti /(Dinding batu) adalah kata-kata/, /(//Dinding batu/Adalah kata-kata/Sunyi//) Yang diukir waktu/, /(Berabad penyair) Menggembala (Sunyi)/, dan dalam bait seterusnya. Mengapa larik /Adalah kata-kata/ masuk ke dalam klausa? Pertimbangannya, larik tersebut sudah menghadirkan fungsi predikat, yakni kata adalah yang mensyaratkan adanya fungsi subjek sebelumnya dan fungsi pelengkap sesudahnya.

Yang perlu kita catat adalah bagaimana AZN membuat petimbangan dan perimbangan enjambemen yang tentunya berhubungan dengan makna yang ingin dicapai. Untuk membahas ini, kiranya kita telah sampai pada kode puisi berikutnya, yakni bait.

2. Kode Bait | Bait adalah kode teks puisi yang menandai hubungan antarlarik dalam kohesi dan koherensi antarlarik. Bait setara dengan paragraf dalam teks prosa dan adegan dalam teks drama. Tadi kita sudah mengulas bahwa dalam kode bait kita akan membahas subkode enjambemen dan tipografi selain diksi, pencitraan, kata konkret, gaya bahasa, serta rima dan ritme. Kita pun dapat meminjam ragam bait berdasarkan jumlah larik per bait, seperti distikon (dua larik), terzina (tiga larik), kuatrin (empat larik), kuint (lima bait), sektet (enam bait), septime (tujuh bait), oktaf atau stanza (delapan larik), dan soneta (empat belas baris bermatra 4-4-3-3).

Enjambemen menjadi subkode bait dalam teks puisi teristimewa karena pertimbangan dan perimbangan makna sangat dipengaruhinya. Kita dapat bermain subkode teks puisi ini untuk merangkai sebuah pernyataan larik, seperti terbaca berikut ini.

            Dinding batu adalah kata-kata yang diukir waktu.

Kalimat kompleks dengan dua klausa ini berpola subjek-predikat-pelengkap (pelengkap diisi oleh klausa berpola S-P-Pel). Kalimat  ini telah diubah menjadi tiga larik oleh penyairnya menjadi berikut ini.

Dinding batu (S)

Adalah (P) kata-kata (O)

Yang diukir waktu (klausa bawahan atau anak kalimat perluasan Pel)

Jika kita mencoba mengubah per bait puisi “Gua Pattae” menjadi sebuah kalimat, kita akan mendapat sebuah paragraf berikut ini.

Dinding batu adalah kata-kata yang diukir waktu. Beradab penyair menggembala sunyi. Sebuah istana tercipta dari kata-kata. Berabad penyair meninggalkan tahta. Tetes airmata adalah kata-kata yang menjadi sabda. Berabad penyair menggali kuburan ganda bagi tahta dan sabda.

Agar paragraf tersebut memiliki kohesi dan koherensi antarkalimat, kita dapat melekatkan “kata bantu” nomina, verba, dll. Kegiatan ini sering diistilahkan dengan parafrasa. Sebagai contoh, kita dapat mengubah paragraf tersebut seperti berikut ini.

           Dinding batu adalah kata-kata yang diukir waktu. (Peristiwa ini terjadi seperti)  Beradab penyair menggembala sunyi. (Dari peristiwa tersebut) Sebuah istana tercipta dari kata-kata (yang diukir batu). Berabad penyair meninggalkan tahta (dari istana yang tercipta dari kata-kata). (Sebabnya) Tetes airmata adalah kata-kata yang menjadi sabda (dalam kesunyian dan kesedihan). Berabad penyair menggali kuburan ganda bagi tahta (dalam istananya) dan sabda (kata-katanya).

Tentunya, parafrasa di atas adalah sebuah hasil alternatif saja. Setiap pembaca memiliki pengalaman dan pengetahuan hidup yang spesifik yang membuat penafsiran atas sebuah puisi menjadi jamak. Ulasan ini sekadar contoh bahwa enjambemen menjadi subkode bait dalam teks puisi. Selain itu, kode bait juga menyertakan subkode tipografi yang erat kaitannya dengan enjambemen. Kita telah melihat bagaimana sebuah kalimat dapat dibentuk menjadi tiga larik dalam sebuah bait seperti dalam puisi “Gua Pattae”. Mari kita ulas beberapa ragam bait yang dapat kita tandai sebagai ragam tipografi dalam ML.

Kulihat matahari mendaratkan cahayanya

Dengan bongkahan-bongkahan gemawan jingga

Ke pelukan senja. Kulihat langit merendahkan dirinya

Dan gunung membusungkan payudaranya ke angkasa

Sedang sungai yang berliku membelah belantara

Pelan-pelan merenggangkan kedua pahanya

Seperti ingin mengundang seekor naga

Memasuki terowongan rahasia

Di selangkangan bumi

(“Makale”, hlm. 17)

Dalam bait tersebut, setiap awal larik ditulis dengan huruf kapital. Selain itu, tanda baca titik (.) di tengah larik ketiga menandai pernyataan kesatu selesai secara tersurat, yakni //Kulihat matahari mendaratkan cahayanya/Dengan bongkahan-bongkahan gemawan jingga/Ke pelukan senja//. Namun, pernyataan kedua //Kulihat langit merendahkan dirinya/Dan gunung membusungkan payudaranya ke angkasa/Sedang sungai yang berliku membelah belantara// tidak menyertakan tanda baca titik (.) sebagai akhir pernyataan. Di sini enjambemen menjadi kode puisi sehingga secara tersirat kita dapat menganggap pernyataan berakhir. Pernyataan ketiga  //Pelan-pelan merenggangkan kedua pahanya/Seperti ingin mengundang seekor naga/Memasuki terowongan rahasia/Di selangkangan bumi// juga tidak secara tersurat diakhiri dengan tanda baca titik (.) sebagai penanda pernyataan berakhir. Hasilnya adalah bentuk bait dengan tipografi seperti di atas.

Untuk dapat memahami berbagai pernyataan dalam bait ini, kita mesti menemukan kohesi dan koherensi antarlarik yang dibangun dari sistem tanda bahasa. Selain itu, analisis berikut ini semakin meneguhkan kita bahwa kode larik dan bait telah membakukan referensi diri dan makna otonom teksnya yang dijamin oleh kegramatikalan sistem tanda bahasa. Kita mulai dari pernyataan kesatu yang dibentuk dalam tiga larik dengan dibuka dalam bentuk kalimat pasif kompleks Kulihat (P1) matahari  mendaratkan cahayanya dengan bongkahan-bongkahan gemawan jingga ke pelukan senja (S1). Fungsi Subjek diisi oleh klausa matahari (S2)  mendaratkan (P2) cahayanya (O) dengan bongkahan-bongkahan gemawan jingga (K alat) ke pelukan senja (K tempat). Dalam pernyataan kesatu kita dapat mengidentifikasi dua peristiwa, yakni kulihat dan mendaratkan.

Pernyataan kedua dibentuk dalam tiga larik dalam kalimat pasif sangat kompleks karena menyertakan lima verba kulihat, merendahkan, membusungkan, berliku, dan membelah yang menandai lima peristiwa. Mari kita ulas struktur kalimat pernyataan kedua berikut ini. Kulihat (P1) langit merendahkan dirinya dan gunung membusungkan payudaranya ke angkasa, sedang sungai yang berliku membelah belantara (S1). Fungsi Subjek diisi empat klausa, yakni langit (S2) merendahkan (P2) dirinya (O) dan (konjungsi koordinatif menggabungkan) gunung (S3) membusungkan (P3) payudaranya (O) ke angkasa (K tempat), sedang(kan) (konjungsi koordinatif mempertentangkan ) sungai yang berliku (S4) membelah (P4) belantara (O). Sementara itu, S4 diisi oleh klausa bawahan sungai (S5) yang berliku (P5).

Pernyataan ketiga dibentuk dari empat larik dengan subjek dan predikat kalimat yang tidak tertulis (lesap). Pernyataan ketiga menyertakan verba pelan-pelan merenggangkan, ingin mengundang, dan memasuki yang menandai tiga peristiwa tersurat. Pernyatan tersebut menjadi lugas kohesi dan koherensi antarklausanya ketika kita hadirkan subjek dan predikatnya, yakni [Kulihat (P1 lesap) langit (S1 lesap)] pelan-pelan merenggangkan kedua pahanya seperti ingin mengundang seekor naga memasuki terowongan rahasia di selangkangan bumi (klausa bawahan perluasan S1). Fungsi S1 diisi oleh klausa bawahan, yakni langit (S2 lesap) ingin mengundang (P2) seekor naga memasuki terowongan rahasia (O) di selangkangan bumi (K). Fungsi objek diisi oleh klausa bawahan seekor naga (S3) memasuki (P3) terowongan rahasia (O).

3.Kode Teks Puisi | Sampai di sini, apa yang dapat kita simpulkan adalah jawaban atas pertanyaan di awal bagian kedua esai ini: bagaimana hubungan antartanda membentuk kode teks puisi. Kode larik dan bait dalam kohesi dan koherensinya membangun keutuhan sebuah teks puisi. Kita dapat menandai bahwa teks puisi memiliki kode bahasa (bagian kesatu esai ini) dalam sistem ketandaan dan keberdayaan reka kreasi sistemnya. Selain itu, kita dapat menandai bahwa hubungan tanda dalam berbagai satuan gramatikal kata, frasa, dan klausa membentuk kode larik. Akhirnya, hubungan antarlarik dalam kohesi dan koherensinya telah membangun kode bait. Hubungan antarbait dalam kohesi dan koherensinya telah membangun keutuhan bentuk teks puisi.

Hal ini menjadi sepadan dengan struktur fisik Richard. Kita tidak bisa membahas diksi, pencitraan, kata konkret, gaya bahasa, dan rima dan ritme tanpa melalui (1) kode bahasa, yakni sistem ketandaan dan (2) kode teks puisi, yakni larik dan bait yang membangun teks puisi. Kita dapat membandingkan kompleksitas kelima struktur fisik Richard tersebut dalam dua contoh bait yang telah diulas di atas. Pada bait-bait puisi “Gua Pattae” terbaca strategi penyusunan kode bait yang sederhana dan pada puisi “Makale” kita dipaksa untuk mengaktifkan si Oki dan si Oka untuk menghampiri referensi diri dan makna otonom teks puisi yang sudah dibakukan dalam kode teks puisi, yakni ketaklaziman ungkapan.

Saya menemukan bahwa model kode bait dalam puisi “Gua Pattae” dan “Makale” menjadi semacam pola ucap/tulis yang terus membayang dan menjadi kekuatan teks puisi AZN di sepanjang buku puisi ML. Kalimat kompleks dengan turunan klausa bawahan bertingkat lebih dari dua klausa yang ditransformasikan dengan susunan larik dan bait dengan pertimbangan dan perimbangan enjambemen dan tipografi selain struktur fisik diksi, pencitraan, kata konkret, gaya bahasa, dan rima dan ritme (saya tidak membahas kelima hal ini dengan rinci karena keterbatasan ruang).

Pemodelan kode bait tersebut menjadi agak lain manakala AZN mencoba strategi literer penulisan bait yang lebih mengebawahkan aku larik puisi dalam persepsi subjektif yang menjadi kekuatannya. Maksudnya, aku larik puisi begitu kuat dalam mengeksplorasi imaji-imaji taklazim dan cenderung liar menggegarkan aras si Oka dan si Oki, bahkan sampai menyentuh sensor motorik seluruh anggota tubuh dalam model pembaitan yang mengekplorasi reka kreatif dalam tingkatan kata, frasa, dan klausa. Hal ini terasa mengendur manakala aku larik mengambil sudut pandang sebagai narator ‘pengisah’ atas pemerolehan pengalaman puitis yang terbaca di beberapa puisi bagian akhir.

Mungkin, pergeseran aku larik puisi dari diksi yang menekankan reka kreatif hubungan antarkata dalam frasa dan klausa ke aku larik puisi dengan diksi yang menekankan reka kreatif hubungan antarlarik dalam kisahan adalah konsekuensi dari strategi literer penulisan bait yang cenderung naratif. Kita tahu bahwa kisahan menyertakan logika rangkaian peristiwa dalam tegangan tokoh dan konflik yang tentunya dapat mengebawahkan persepsi subjektif aku larik puisi. Meski aspek bentuk, terutama diksi, gaya bahasa, dan tipografi dibangun sedemikian kuat, tetapi daya ungkapnya menjadi berkurang, terutama dalam puisi-puisi yang memakai larik panjang di periode 2016-2017, seperti terbaca dalam puisi berikut ini.

MINGGU PAGI DI PINELENG


 Pelupukku masih setengah tertutup saat fajar tiba 

Serta membukakan celah kecil untuk sinar matahari

Harum kembang cengkih dan buah pala sayup tercium

Dari kebun belakang. Aku berdiri dan mendekati jendela

Pohon-pohon kelapa menghampar pada lereng dan lembah

Mungkin awal musim hujan, atau masih penghujung kemarau

Atap-atap seng nampak basah, menara gereja digenangi embun

Lampu-lampu natal mulai bergelantungan di sekitar kampung

Kulihat makam-makam dengan ukiran indah pada nisannya

Jalan setapak ke gunung seperti bubur tinutuan yang likat

Paduan antara pasir, butiran kerikil serta pecahan padas

Dalam adonan yang pas. Aku menghirup napas panjang

Betapa rasa lapang ini tercipta dari kemurnian udara

Serta angin yang sebenarnya berhembus rutin saja

Betapa rasa tenteram ini terlahir dari kata-kata

Yang tidak pernah diniatkan menjadi senjata

2015

Barangkali, kita dapat berandai-andai bahwa proses pemodelan bait puisi pada periode 2014 dengan larik pendek-pendek, seperti “Gua Pettae” atau yang lebih kompleks seperti “Makale” dapat disimulasikan. Dalam sebuah pengandaian, kita coba ambil sebuah bait terakhir puisi “Episode Yang Berulang” (hlm. 78) yang diubah dengan pemodelan yang mempertimbangkan enjambemen seperti dilakukan AZN dalam puisi “Gua Pettae”.

Di penghujung malam ada yang diam-diam meniup terompet

Perpisahan. Mataku semakin menyempit seperti terowongan

Gemetar melihat sepasang cahaya biru di tengah keremangan

Kita dapat membandingkannya dengan pemodelan bait seperti terbaca dalam berikut ini.

Di penghujung malam

Ada yang diam-diam

Meniup terompet perpisahan

Mataku semakin menyempit

Seperti terowongan. Gemetar

Melihat sepasang cahaya biru

Di tengah keremangan

Namun, perlu dicatat pula bahwa beberapa teks puisi memang dicoba berbeda dalam strategi literer penulisan bait, terkhusus ketika AZN mencoba membuat teks puisi yang pendek-pendek dalam larik dan bait. Dalam puisi “Senja Di Iluta” (hlm. 42), “Otanaha” (hlm. 43), dan “Teluk Matamu” (hlm. 46) AZN mencoba mengambil bentuk pembaitan empat baris beruntai dalam langgam puisi lama,  terutama pantun dan syair.seperti berikut ini.

OTANAHA        

Rumbai-rumbai awan

Mengambang di angkasa

Ruap-ruap kesedihan

Mengepul di rawa-rawa

Kapuk-kapuk randu

Tersangkut pada ranting

Artefak-artefak bisu

Tinggal tanah dan puing

Lumut-lumut aksara

Mengurapi punuk bumi

Benteng-benteng terakota

Mengekalkan makna sunyi

2014

Kita pun dibawa berefleksi dalam napas penafsiran yang pendek, tetapi bermakna sublim dalam delapan larik teks puisi “Bedugul” (hlm. 44), “Dodoku Ali” (hlm. 47), “Riau” (61), “Selat Malaka” (hlm 62), dan “Semenanjung” (hlm 63), seperti berikut ini.

BEDUGUL

Pura yang diam

Menyerap inti waktu

Dari lubuk air. Pusat sunyi

Pusaran tanpa akhir

Kedalaman yang biru

Menyempurnakan rindu

Pada yang satu. Wangi sesaji  

Mencintai dan memberi

2014

Sementara itu, tiga larik beruntai dalam puisi “Teluk Matamu” (Hlm. 46),  “Meninggalkan Pulau” (hlm. 54), “Di Makam Raja Ali Haji” (hlm. 55), dan “Penyengat” (hlm. 56) seperti terbaca berikut ini.

TELUK MATAMU  

Tepuk-tepuk pundak udara

Elus-elus rambut senja

Menggores sepiku

Derai-derai angin selatan

Lamat-lamat lagu perpisahan

Menyentuh rinduku

Duduk-duduk di buritan

Bintang-bintang berjatuhan

Ke teluk matamu

Diam-diam kuselami teluk itu

Pelan-pelan kusapa hatimu

Teluk dan hatimu menjawabku

Hirup-hirup harum mantra

Cium-cium bibir cahaya

Membakar cintaku

2014

Terakhir, dua larik (beruntai) terbaca dalam teks puisi “Sungai Walenae” (hlm. 14), “Nyepi” (hlm. 45), dan “Senggarang” (hlm. 60). Saya kutip utuh model penulisan bait-bait di atas agar tergambar seperti berikut ini.

NYEPI 

Malam adalah ujung lipatan waktu

Pagi adalah awal berlangsungnya rindu


2014


Mengapa saya bersikukuh mengulas bentuk atau struktur teks puisi? Hal ini menjadi sedemikian teristimewa karena di awal bagian kedua esai ini kita akan menjawab pertanyaan: bagaimana hubungan antartanda menampakkan referensi diri dan makna otonom teks pada pembaca. Saya membuat pembahasan renik atas aspek bentuk teks puisi dengan keyakinan bahwa isi atau makna teks puisi didapat dengan jalan memahami bentuknya. Mari kita ambil sebuah teks puisi sebagai contoh berikut ini.


DI MAKAM RAJA ALI HAJI 

Putik-putik serunai yang dulu kausiram setiap pagi

Telah mekar di pantai waktu. Kata-kata dari menara tinggi

Kini bersemayam di balik kelambu hijau peraduanmu

2014

Judul puisi “Di Makam Raja Ali Haji” sudah lugas menandakan di mana tempat peristiwa pemerolehan pengalaman puitis terjadi. Namun, peristiwa pengalaman puitis yang sepadan dengan pengalaman konkret AZN berkunjung ke makam penggubah gurindam di abad XVIII itu tidak dapat disebut peristiwa bahasa karena belum dibakukan ke dalam bentuk tulisan. Dalam tahap ini teks puisi menyertakan referensi  atas pemerolehan pengalaman puitis dan makna subjektif penulisnya.

Saat pengalaman puitis tersebut digubah ke tulisan dengan dilabeli teks puisi, sebuah monumen tercipta dalam bentuk pembakuan peristiwa pemerolehan bahasa yang tadi disebut dengan pemerolehan pengalaman puitis penulisnya. Monumen teks tersebut telah membakukan referensi  diri dan makna otonom yang tidak identik dengan referensi pemerolehan pengalaman puitis dan makna subjektif penulis. Dalam tahap ini teks puisi telah memisahkan referensi pemerolehan pengalaman puitis dan makna subjektif penulisnya dan mencukupkan diri dengan referensi diri dan makna otonom.

Sampai di sini, teks telah mampu menampakkan referensi diri dan makna otonomnya karena dijamin oleh (1) kegramatikalan sistem tanda dan hubungan antartanda dalam kode bahasa dan (2) transformasi kalimat atau larik yang menyusun bait dengan diksi, pencitraan, kata konkret, gaya bahasa, rima dan ritme, enjambemen, dan tipografi sebagai kode puisi. Monumen teks bernama puisi bisa kita hampiri kapan pun dan di mana pun asal dapat mengakses teksnya baik dalam bentuk cetak maupun citraan transmisi digital. Dalam tahap ini, pemahaman atas kode bahasa dan kode teks puisi akan memperkaya pengetahuan dan pengalaman kita sebagai pembaca teks.

4. Transisi Bentuk Ke Isi | Sekarang kita akan mencoba membuat transisi dari bentuk ke isi teks puisi untuk menjawab pertanyaan bagaimana hubungan antartanda menampakkan referensi diri dan makna otonom teks pada pembaca. Kata konkret makam Raja Ali Haji, putik-putik serunai, kata-kata, menara tinggi, kelambu hijau peraduan yang terasa memiliki kesesuaian bunyi dalam rima dan ritme dihubungkan secara dialektis dengan verba kausiram, telah mekar, dan bersamayam menjadi peristiwa-peristiwa bermajas yang memiliki kohesi dan koherensi dalam tematik judul teks puisi. Referensi diri teks puisi, yakni latar ruang dan waktu yang menyarankan pencitraan, semakin terkukuhkan dengan kehadiran konjungsi yang dan preposisi di dan dari yang berasosiasi dengan adverbia ‘kata keterangan’ dulu, setiap pagi, dan kini.

Deskripsi latar semakin terasa manakala peristiwa-peristiwa dalam teks puisi tersebut menyertakan pelaku peristiwa, yakni aku larik yang tersirat sebagai partisipan orang pertama yang berujar kepada partisipan orang kedua dalam bentuk partikel kau dan -mu. Dari rangkaian peristiwa kita dapat mengidentifikasi masalah utama yang disebut theme ‘tema’ teks puisi. Dari tema yang dideskripsikan dalam latar tempat, waktu, dan suasana, kita dapat mengidentifikasi feeling ‘rasa’ dalam teks puisi. Dari rasa yang terdukung oleh gaya bahasa dan rima dan ritme bunyi kita dapat mengidentifikasi sikap penulis terhadap pemerolehan pengalaman puitis yang disebut dengan tone ‘nada’ teks puisi.  

Akhirnya, dari tema, rasa, dan nada kita dapat mengidentifikasi tujuan penulis yang disebut dengan intention (amanat). kita dapat memaknai bahwa monumen-monumen yang dibangun AZN dalam teks-teks puisi ML, secara keseluruhan, adalah bentuk dari Making Love ‘percumbuan’ AZN dengan L dalam dua tematik besar, yakni “Mencari Perigi” (hlm. 48) dan “Membaca Lambang” (hlm. ). Saya menganggap bahwa teks-teks puisi dalam ML yang terentang dari tahun penulisan 2006 s.d. 2017 memiliki hubungan antarteks secara vertikal sebagai paradigmatik teks dalam berjibaku menaklukkan lambang, kata, atau puisi. AZN membakukan hubungan paradigmatik teks-teks puisi ML tersebut dalam puisi “Mencari Perigi”. Saya kutip utuh puisi tersebut agar pembaca pun mendapatkan keutuhan maknanya.

MENCARI PERIGI

Kau bergegas menembus semak ilalang

Melewati lembah krisan dan lereng peoni

Bergegas menyusuri jalan setapak ke hutan

Mencari seseorang yang kaukenal lewat mimpi

Kau bergegas menerobos keremangan senja

Dengan gaun cheongsam merah muda

Bergegas mencari sumber cahaya

Untuk menaklukkan sunyi di rongga dada

Di tengah hutan kau menemukan perigi

Yang airnya jernih serta batu-batunya bersih

Kau membenamkan seluruh tubuh dan rambutmu

Sambil menyelam kau khusyuk menguraikan diri

Ketika menyembul kembali dari balik air 

Tubuhmu sudah bersayap dan rambutmu bercahaya

2014

Sementara itu, pengembaraan AZN yang menghayati dan menaklukkan L dalam rentang waktu sebelas tahun kepenyairan, yang mendasari paradigma teks-teks puisi ML, dibakukan dalam sebuah monumen teks puisi bernama “Membaca Lambang”. Dapatlah dikatakan bahwa puisi ini adalah konklusi dengan ungkapan metaforis dalam hubungan horizontal teks-teks puisi ML secara keseluruhan. Sebuah tindakan konkret AZN dalam pemerolehan peristiwa bahasa atau pengalaman puitis yang taklelah dalam lillah untuk menemukan hakikat lambang, kata, atau puisi. Sebuah sintagma teks yang disadari penyair dan dilabelkan sebagai nama buku. Saya kutip utuh puisi tersebut.

MEMBACA LAMBANG

Di muara kudengar langkah waktu sayup-sayup sampai

Rumpun bakau menjelma ruang yang memantulkan gema

Ketika angin kemarau berkejaran dengan gulungan ombak 

Di pantai. Aku tertinggal jauh di luar batas kesementaraan

Sekalipun yang nampak di hadapan tinggal kabut semata

Tentu ada yang masih bisa diteroka. Aku membaca lambang

Merenungi bagaimana langit merendah dan bumi meninggi

Namun bukan sedang mengulurkan benang basah ke udara

Pengembaraan adalah detik-detik yang mengalir dari gunung

Diteruskan sungai ke muara. Sedang penghayatan ibarat pasir

Yang butir-butir halusnya mengembara ke tengah samudra 

Pelan-pelan aku menyaksikan senja berubah menjadi panggung

Sebuah resital cahaya mulai dipentaskan cakrawala. Di kejauhan 

Gugusan pulau menggelepar-gelepar bagaikan para penari latar  

2017

C. Mobile Legend

Dalam bagian ketiga esai ini, saya mencoba memetakan sanad estetika teks puisi AZN dan kekhasan yang menjadi ciri teks puisinya. Dalam bagian kesatu esai ini kita mengulas bagaimana kita memperlakukan L dalam teks puisi. Dalam esai kedua kita mencoba mengidentifikasi kode larik dan bait yang khas dibuat AZN sebagai struktur teks puisi yang menyertakan bentuk dan isi teks. Hasilnya, dapatlah variasi teks puisi AZN sebagai berikut ini.

Pertama, AZN telah mereka kreatif sistem tanda kata dalam pemodelan larik-larik pendek yang didominasi kata dan frasa, seperti dalam pemodelan bait puisi teks “Gua Pattae”. Kedua, AZN juga telah mereka kreatif larik-larik yang memaksimalkan hubungan antarklausa sehingga membentuk pemodelan baik dalam larik yang sturktur maknanya sangat kompleks, seperti dalam puisi teks “Makale”. Ketiga,  AZN telah mereka kreatif larik-larik dalam hubungan antarkalimat yang dibangun dalam kohesi dan koherensi kisahan, seperti dalam puisi teks “Minggu Pagi Di Pineleng”. Selain itu, bentuk pembaitan distikon, terzina, kuatrin, kuint, dan soneta pun dimaksimalkan dalam berbagai variasi, seperti dalam langgam tradisi.

Namun, dua teks puisi yang menjadi tematik buku ML, yakni teks puisi “Mencari Perigi” dan “Membaca Lambang” telah menggugurkan anasir saya atas pemodelan bait pada teks puisi “Minggu Pagi Di Peneleng” dan “Episode Yang Berulang”. Teks-teks puisi dengan matra 4-4-3-3 dalam soneta ini menjadi kecenderungan baru kode teks puisi AZN dengan larik-larik yang dibentuk dalam hubungan antarkalimat yang menyusun kisahan dengan tetap memakai sudut pandang orang pertama sebagai aku larik puisi. Dengannya, kekuatan AZN dalam mengekplorasi sistem tanda yang taklazim sehingga menciptakan metafor segar masih dapat dipetahankan. Untuk itu, saya akan memetakan estetika teks puisi AZN dalam poin-poin berikut ini.

1. TRADISI | Dalam sejarah perpuisian Indonesia, tradisi penulisan puisi lebih mengeksplorasi kesan subjektif penulisnya terhadap pemerolehan pengalaman puitis ‘pengalaman penulis yang mendorongnya membuat puisi’.  Namun, dalam perpuisian Indonesia lama yang bersanad pada kesastraan Melayu, tradisi penulisan puisi menyertakan kode persajakan yang ketat, seperti dalam pantun, syair, karmina, dan gurindam,. kecuali mantra. Yang terakhir ini lebih menegaskan bahwa pada mulanya puisi adalah bunyi yang tidak berorientasi pada pemahaman, tetapi keyakinan seperti dalam teks-teks doa.

Dalam lanskap tradisi seperti inilah kita dapat melihat bahwa reka kreatif bentuk teks puisi dalam pantun lebih menonjol. Sementara itu, bentuk kisahan pun dapat disampaikan dengan matra bait beruntai empat larik seperti dalam syair-syair dengan tematik tokoh yang melegenda dalam sebuah masyarakat. Puisi didaktik pun dapat dibentuk dalam tradisi gurindam yang berkembang dalam tutur-temurun tradisi leluhur. Di Jawa dan Sunda berkembang tradisi macapat dan pupuh. Belum lagi di berbagai suku bangsa lainnya di nusa antara ini.

2. KETERPANAAN | Para pendahulu yang menautkan sanad tradisi puisi Melayu lama ke puisi Indonesia baru akan terjejak pada kisah kebijakan balas budi kolonial Belanda pada rakyat pribumi di awal abad XIX. Hasilnya adalah munculnya generasi pertama kaum intelektual pribumi yang dididik dalam alam pemikiran Barat yang modern. Selain buku pengetahuan dan sains umum yang terkait kepentingan koloni dalam menciptakan manusia-intelek-pribumi yang dapat membantu kelanjutan penjajahan, buku-buku sastra pun disebar sebagai bacaan pelipur lara.

Di sini kita dapat melihat titik temu kaum intelektual yang seimbang dalam wawasan sains dan budaya. Rerata generasi pertama kaum intelektual pribumi didikan politik etis Belanda juga kaum yang apresiatif dan mumpuni dalam membuat karya tulis, terkhusus sastra. Kita dapat menyebut beberapa orang yang berhubungan dengan peta perpuisian Indonesia, seperti Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Selasih, Amir Hamzah, sampai ke Chairil Anwar. Setidaknya, kita dapat mengatakan bahwa para peneroka perpuisian Indonesia baru ini berada dalam keterpanaan atas bentuk penulisan puisi baru yang berkembang di Barat.

3. LIRIS | Pendahulu yang pertama terpana dengan kebaruan dapat diwakili oleh Muhammad Yamin dan Sanusi Pane sekitar tahun 1920-an. Karya puisi mereka yang tergoda dengan bentuk-bentuk baru dari Barat masih berbayang tradisi puisi Melayu lama, terutama tradisi pantun dan syair. Namun, hal berbeda dilakukan oleh Amir Hamzah. Dia lebih asik-masyuk ke dalam pusaran tradisi puisi lama Melayu yang memendarkan nilai profetik dalam kesastraan sufistik. Ada sanad para perawi terdahulu yang telah digagas oleh Nuruddin Arraniri, Hamzah Fansuri, dan Raja Ali Haji. 

Keasikmasyukan Amir Hamzah di tahun 1930-an dalam menyelami khazanah perpuisian Melayu lama ini telah membedakan karyanya dengan Muhammad Yamin dan Sanusi Pane. Kurang lebihnya, dari puisi-puisi Amir Hamzah dalam buku Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu kita dapat menemukan kelugasan persepsi penyair terhadap pemerolehan pengalaman puitis. Eksplorasi persepsi penyair ini dituangkan dalam partisipan orang pertama aku dalam larik-larik puisi. Kita kemudian mengenalnya dengan istilah aku larik puisi. Efek psikologis yang kuat pada persepsi indrawi pembaca puisi yang menghunjam logika makna puisi dan sensasi pengindraan tubuh yang kemudian dikenal dengan istilah liris.

4.  DIKSI | Kekuatan aku larik puisi menjadi takterbantahkan manakala sekitar 1940-an Chairil Anwar memunculkan kekuatan diksi ‘pertimbangan dan perimbangan pilihan kata dalam larik’ yang membakukan kuasa makna atas kata dalam puisi. Dari karya puisi-puisi Chairil Anwar sanad lirisisme menjadi teguh dan kukuh dalam tradisi perpuisian Indonesia. Kita kemudian dapat memetakan perluasan lirisisme tersebut di tahun 1950-an dalam W.S. Rendra, Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Sitor Situmorang, dll. Namun, direktori karya per orang pun takdapat kita baca dalam satu langgam lirisisme saja. Penyair sebagai manusia menyejarah berkembang pemahaman dan pemilikirannya dalam pencarian bentuk dan isi yang tak akan berbatas. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa Rendra kemudian mengeksplorasi bentuk balada dan kritik sosial dalam karya selanjutnya.

Yang kemudian menjadi lugas dan menjadi anak sah tradisi lirisme adalah generasi penyair yang mulai berkarya di tahun 1960-an. Goenawan Muhammad (lirisme dengan diksi dalam relasi antartanda yang kuat), Sapardi Djoko Damono (lirisisme dalam relasi antarkalimat yang menyiratkan kisahan metaforis), Abdul Hadi W.M. (lirisisme dalam relasi diksi dengan tematik profetik). Terakhir, tentu kita harus menyebut Taufik Ismail yang mampu membuat puisi dalam beragam pola ucap lirisisme.

INTERUPSI | Betapa kuat tradisi liris yang diteroka oleh Amir Hamzah dan didukung oleh eksplorasi kekuatan diksi Chairil Anwar. Tanpa menafikan keberadaan penyair perempuan (saya akan bahas dalam tulisan lain) yang juga memberikan warna lirisisme dalam warna lain, seperti Tutty Herati, Poppy Donggo, dan Isma Sawitri. Yang lugas, sampai di tahun 1960-an kuasa kata atas makna menjadi semacam sanad dari rawi yang tadi terbicarakan. Boleh dikata, lirisisme menjadi arus utama kala itu.

Kanon-kanon pemuatan karya sastra menjadi ikon bahwa siapa takberarus dalam lirisisme akan terabaikan. Di sini kita menemukan relevansi gerakan puisi eMbeling di tahun 1970-an yang diprakarsai Majalah Aktuil dengan Remi Silado sebagai penjaga gawangnya. Gerakan yang berasal dari nama rubrik puisi ini menjadi gerakan antikemapanan dalam estetika penulisan puisi saat itu. Para penyair yang mulai menulis di era 70-an terkonsentrasi dalam rubrik ini, seperti Jeihan Sukmantara, Slamet Sukirnanto, Darmanto Jatman, Yudhistira ANM Massardi, dan Sutardji Chalzoum Bachri.

Kuasa makna atas kata yang diistilahkan dengan diksi dinegasikan dengan puisi-puisi yang mengangkat tema remeh-temeh, dengan nada bermain iseng, dan dengan eksplorasi bentuk seperti tipografi “melawan rigoritas bentuk dan isi puisi lirisisme”. Bahkan, kreativitas mereka dalam menginterupsi kemapanan tradisi lirisisme dituangkan dalam sebuah seni pertunjukan dengan judul Pengadilan Puisi untuk mendakwa ketakkondusifan ragam puisi. Hal ini memuncak pada puisi-puisi yang dituangkan dalam sebuah konsep penulisan puisi. Dalam buku O Amuk Kapak Sutardji berusaha membebaskan kata dari kuasa makna dengan memodelkan prototipe tradisi mantra dalam khazanah puisi Melayu lama.

ACEP | Dalam ingar-bingar seperti inilah, di awal tahun 1980-an AZN mulai menulis puisi. Saya sempat kaget karena puisi pertama AZN dimuat justru di rubrik puisi eMbeling. Buku puisi “Tamparlah Mukaku” menjadi awal yang terus membayang dalam kekhasan puisi-puisi berikutnya. Dari buku pertama ini AZN membentuk teks puisi seperti dalam pemodelan bait “Gua Pattae”, yakni bait yang disusun dalam larik-larik konvensional dengan persepsi aku larik yang kuat yang mirip dengan apa yang dilakukan Amir Hamzah dalam puisi-puisinya, terkhusus puisi “Padamu Jua”. Namun, kompleksitas larik yang dominan dibangun dari kohesi dan koherensi antarklausa belum sekompleks seperti pemodelan bait “Makale”.

Pada buku puisi Di Atas Umbria dan Jalan Menuju Rumahmu,  AZN mengeksporasi pemodelan bait seperti dalam puisi “Makale”. Pemodelan bait ini mirip dengan pemodelan bait yang diekspolari Chairil Anwar dan puisi “Senja Di Pelabuhan Kecil”, bahkan lebih kompleks. Namun, pada puisi ML saya mendapatkan beragam pemodelan bait yang menyiratkan pencarian bentuk (dan sekaligus isi) teks puisi dengan berbagai varian lirisisme yang talah ada dari para pendahulu. Apalagi jika kita membaca buku puisi Bagian Dari Kegembiraan yang hampir keseluruhan pemodelan baitnya mengeksplorasi hubungan antarkalimat yang membangun paragraf naratif, kita akan dibawa pada kode teks puisi yang berbeda dalam menafsirkannya.

MOBILE LEGEND | Ragam lirisisme telah berkembang dalam perpuisian Indonesia seiring dengan proses pencarian bentuk-isi teks puisi. Kita dapat belajar lirisme dengan diksi dalam relasi antartanda yang kuat pada puisi Gunawan Muhammad. Pada puisi Sapardi Djoko Damono kita diajari bagaimana lirisisme dalam relasi antarkalimat yang menyiratkan kisahan. Sementara, pada Abdul Hadi W.M. kita dapat pelajaran atas lirisisme dalam relasi diksi dengan tematik tertentu. Pada puisi Taufik Ismail kita belajar bagaimana membuat puisi dalam pola ucap dalam beragam lirisisme lainnya. Setiap pembaca tentu akan sampai pada sebuah penilaian akhir bahwa puisi si A, si B, atau si C telah berhasil atau justru gagal dalam menyusun strategi literer teksnya.

Kiranya, esai ini pun tidak dapat menghindar dari penilaian akhir yang tentunya serampangan dan cenderung menggeneralisasi direktori puisi-puisi AZN. Bolehlah konklusi ini disebut asumsi saya dalam proses pembacaan atas puisi-puisi ML AZN. Kekuatan teks puisi AZN terdukung dalam hubungan antarklausa dalam larik-larik yang menyusun bait liris, seperti dalam pemodelan puisi “Makale”. Ketika AZN membentuk larik-larik dalam hubungan antarkata dan frasa yang dominan, daya gedor lirisisme sangat kuat, reflektif, dan sublim. Teakhir, dalam eksplorasi pemodelan bait yang tersusun dari larik-larik berbentuk antarkalimat yang menandai logika kisahan, puisi AZN tetap mengental dalam persepsi aku larik puisi atas pemerolehan pengalaman puitisnya.

Hal ini yang membuat saya harus membaca sanad lirisisme perpuisian Indonesia karena dalam estetika puisi AZN rawi para pendahulu direka kreatif oleh AZN menjadi teks yang berpola ucap dengan pertimbangan diksi, pencitraan, kata konkret, gaya bahasa, enjambemen, dan tipografi menandai kekhasannya. Diksi sunyi dengan berbagai variasi pola ucap memendarkan rangkaian takberbatas AZN atas pengembaraan dalam membaca sekaligus menaklukkan tegangan kata dan makna yang, dapat ditandai sekaligus mengelak ditandai, mirip seorang anak yang sedang asik-masyuk bermain mobile legend. Dunia luar sunyi dan dunia dalam dinamis karena “Mencari Perigi” untuk “Membaca Lambang”.

Lirisisme AZN, mau tidak mau, telah teguh dan kukuh dalam perpuisian Indonesia. Jika kita bandingkan dengan periode sebelum 2000-an, saat Korrie Layun Rampan mendeklarasikan Angkatan Sastra 2000, mungkin benar teks puisi AZN adalah senyatanya kesahihan puisi dalam tradisi liris dari para pendahulu yang mengebawahkan kebaruan, seperti berkebalikan dengan yang dilakukan Afrizal Malna. Namun, seandainya buku puisi ML terbit sebelum tahun 2000, AZN akan tetap ditasbih sebagai datuk lirisisme puisi Indonesia kini yang juga berlanggam kebaruan. Sebab, hampir semua puisi di dalam ML adalah hasil ekplorasi dalam strategi literer penulisan teks puisi yang fasih dalam bermain dan beralih kode teks puisi karena telah berhasil menginskripsi kedalaman perigi dan keliaran lambang. Saya akhiri esai ini dengan sebuah bait dalam puisi “Mendaki Bukit Doa” (hlm. 73). Tabik!

Cinta adalah sejumlah luka

Yang nyerinya masih kutampung

Di dada dan lambung. Tak ada yang berubah

Hanya malam yang bersekutu dengan sepi

Lalu kau dan aku tercipta kembali

Dilepas mengembara ke bumi

[1] Dari struktur fisik I. A. Richard, enjambemen ‘pemenggalan satuan kata, frasa, klausa dalam kesatuan sebuah baris/larik/kalimat’ dan tipografi ‘rancang bangun puisi dalam susunan bait’ belum dimasukkan.

 


Riduan Situmorang

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa