Kreativitas Pencarian Pemikiran dan Bentuk Seni

Kreativitas Pencarian Pemikiran dan Bentuk Seni

oleh Abdul Wachid B.S. [i]

1. Sikap Mendua dalam Berkebudayaan Indonesia Bukan Suatu Kebimbangan

Membicarakan pengaruh paham seni dalam puisi Indonesia sama kecenderungannya dengan membicarakan pengaruh secara umum dalam kesusastraan Indonesia.  Hal itu terjadi karena kecenderungan kesusastraan Indonesia berdiri pada sikap mendua di antara mempertimbangkan dan menerima sebagian pengaruh dari luar, tetapi bersamaan dengan itu menolak sebagian unsur yang lain. Sikap mendua itu pernah disebut oleh Goenawan Mohamad sebagai suatu kebimbangan karena kesusastraan Indonesia tumbuh dari masyarakat transisi. [ii]

Menurut hemat penulis, hal itu lebih tepat dikatakan sebagai sikap mendua daripada sebagai kebimbangan karena sikap mendua juga merupakan suatu sikap dalam menghadapi keduanya, baik kekuatan lokal maupun pengaruh dari luar, baik Timur maupun Barat. Sementara itu, kebimbangan masih berada dalam ketakjelasan sikap tatkala menghadapi dua kekuatan kebudayaan itu.

Untuk itu, perlu diperjelas dahulu sebab yang melatari sikap mendua dalam kesusastraan Indonesia itu. Di dalam salah satu tulisannya, Yakob Sumardjo pernah membuat simpulan bahwa kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan kota. Artinya, kesusastraan Indonesia bertumbuh sehingga dikonsumsi oleh masyarakat kota.[iii] Sementara itu, masyarakat kota merupakan cerminan dari masyarakat transisi yang oleh Subagio Sastrowardoyo disebut sebagai masyarakat yang tumbuh dari kebudayaan “Indonesia-Eropa”. Menurutnya, kebudayaan Indonesia-Eropa juga merupakan tempat berpikir dan menyajak bagi Chairil Anwar[iv] dan bahkan bagi sebagian besar sastrawan Indonesia.

Kebudayaan kota itu merupakan prototipe dari kebudayaan modern Indonesia dewasa ini, yang tidak sepenuhnya Barat dan tidak sepenuhnya Timur. Kebudayaan kota merupakan ambang dari masyarakat transisi yang melahirkan “budaya campuran”, yang disebut oleh Wertheim sebagai mestizo culture.[v] Seperti adanya pengaruh Hindu dan Islam, pengaruh Indonesia-Eropa itu pun telah mengakar dalam kebudayaan Indonesia sekalipun sulit lagi membuktikannya. Dikatakan oleh Subagio Sastrowardoyo bahwa dalam hal budaya, kita menjadi Indo tanpa menjadi Indo berdasarkan pertalian darah.[vi]

Pada hakikatnya, Indo berarti ‘campuran’, yakni mempunyai sikap antara mempertimbangkan atau menerima unsur luar dan menolak sebagian dari unsur luar itu.  Gambaran Rob Nieuwenhuys tentang dirinya yang merupakan seorang keturunan Indonesia-Belanda adalah tepat, “Kultural saya adalah seorang Eropa, tetapi hati saya selalu tertarik ke Indonesia.”[vii]

Mentalitas budaya Indo itulah yang mewarnai pemikiran masyarakat budaya di Indonesia sebagai tempat berpikir dan berkesusastraan sastrawan Indonesia. Dengan begitu, sikap budaya Indo itu pun merasuk dan memberi warna ke dalam kesusastraan Indonesia yang berdiri pada sikap mendua.

2. Sikap Mendua dalam Kesusastraan Indonesia: Kreativitas Pencarian Pemikiran dan Bentuk Seni

Sikap mendua dalam kesusastraan Indonesia mulai tampak sejak awal tahun 1920-an. Tema novel yang ditonjolkan dan ditulis pada masa itu kebanyakan memperlihatkan kesulitan berlakunya adat dan pola hidup tradisional. Artinya, saat-saat ketegangan budaya pun mulai terjadi, yaitu antara memperhitungkan unsur luar dan memegang teguh adat. Konon, Marah Rusli menulis novelnya (Sitti Nurbaja, 1922) bukan karena ambisinya untuk menjadi seorang novelis, melainkan karena ia hanya tak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme yang tidak sehat pada zamannya.

Sekalipun di sisi lain Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan (1928) berusaha mengakrabi pengaruh luar (Barat) itu, hasilnya tetap sama dengan Sitti Nurbaja, yakni pendidikan dan adat kebiasaan si tokoh serta penolakannya terhadap kerangka hidup pribumi justru merusak kehidupan harmonis keluarganya. Hanafi, tokoh dalam Salah Asuhan itu, meninggal dengan penyesalan hingga ke kuburnya.

Demikianlah awal dari sikap mendua dalam kesusastraan Indonesia, yakni antara keinginan untuk memberontak terhadap tradisionalisme serta mengakrabi pola hidup Eropa dan kepercayaan yang teguh terhadap kekuatan lokal. Namun, bentuk atau gaya penulisan novel pada masa itu telah akrab dengan model penulisan novel Barat.

Rangkaian perdebatan makin memuncak tatkala S. Takdir Alisyahbana menggembar-gemborkan perlunya manusia abad renaisans di Indonesia, yang diembuskannya melalui gerakan dan majalah Pujangga Baru sehingga terjadilah rangkaian perdebatan yang dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan” (1934—1939). Kubu S. Takdir Alisyahbana memaknai Indonesia sebagai “entitas baru yang harus terpisah sama sekali dari masa lalu yang (disebutnya pen) jahiliah, yang pra-Indonesia”,[viii] sedangkan kubu yang lain menyarankan penggalian dan pemanfaatan kekuatan lokal.

Demikianlah perdebatan itu terjadi, kemudian dibukukan Achdiat Kartamihardja dalam Polemik Kebudayaan (1977) sebagai cerminan dari perdebatan suatu masyarakat transisi, yang terus-menerus menempati posisi “transisi”.

Bagi S. Takdir Alisyahbana, kebangkitan manusia baru Indonesia adalah dengan menengok sepenuhnya ke Barat. Karena itu, tak mengherankan apabila praktik kesusastraan S. Takdir Alisyahbana dan beberapa sastrawan Pujangga Baru bertransformasi menjadi pemikiran dan estetika gerakan romantik di Belanda pada 1880-an.[ix] Pujangga Baru (sebagai majalah) banyak meniru De Nieuwe Gids (tempat karya-karya penyair yang berkelompok dalam gerakan De Tachtigers diumumkan). Karya penyair Angkatan Pujangga Baru banyak meniru karya penyair Belanda, seperti Willem Kloos, L. van Deyssel, F. van Eeden, dan Je Perk, yang berkelompok dalam gerakan De Tachtigers itu. Pemakaian bentuk soneta adalah salah satu tipe pengaruh dari karya penyair Belanda tahun 1880-an itu, seperti pada karya Sanusi Pane (Madah Kelana, 1931), J.E. Tatengkeng (Rindu Dendam, 1934), Armjn Pane (Gamelan Jiwa, 1960), dan S. Takdir Alisyahbana (Tebaran Mega, 1936).

Kesamaan-kesamaan itu tentu saja terlepas dari perdebatan antara S. Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane, yakni antara menerima Barat (Eropa) bagi S. Takdir Alisyahbana dan memperhitungkan Timur (India) bagi Sanusi Pane. Namun, yang jelas pada masa itu kesusastraan Indonesia mau tak mau menyiratkan bawah-sadar suatu masyarakat transisi, masyarakat yang berlatar belakang budaya Indo, yang menempati posisi (menurut Goenawan Mohamad) di antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang belum pasti.[x]

Dalam konteks itu, Amir Hamzah adalah sebuah pengecualian. Hanya Amir Hamzah yang berdiri sebagai “kegelisahan modernistis”. Pola-pola pantun digunakannya sebagai pemaparan dirinya antara masa lampau dan masa depan. Bahkan, Chairil Anwar pernah berkomentar, “Susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destructive terhadap bahasa la­ma, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru”.[xi] Hal itu terlihat pada kumpulan sajaknya Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941).

Namun, ada masa ketika Chairil Anwar (1922—1949) dengan “pemberontakannya” menolak tegas tradisionalisme, “Kita anak dari masa yang lain”, “pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati.” Menurut Chairil Anwar, pohon itu akan ia panjat dan akan ia potong cabang-cabangnya, yang merindang merimbun tak perlu, “Aku berani memasuki rumah suci hingga ke ruang tengah.” Begitulah penjelasan Chairil Anwar tentang pemberontakannya terhadap tradisionalisme.[xii]

Chairil Anwar identik dengan Angkatan ’45. Sajak Chairil Anwar dikecam oleh S. Takdir Alisyahbana sebagai dekaden, tak bertanggung jawab, dan tidak menjanjikan masa depan. Sementara itu, Angkatan ’45 pernah dengan tegas mengungkapkan, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”. Seolah-olah ia telah mendapatkan legitimasi dari pusat kebudayaan dunia yang dibayangkan secara ideal, yakni kebudayaan dunia. Padahal, semua orang telah tahu bahwa kebudayaan dunia yang dimaksud oleh Angkatan ‘45 itu menengok sepenuhnya ke Barat. Gagasan itu tentu saja tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh angkatan sebelumnya, yakni Angkatan Pujangga Baru, mengenai ide “manusia baru”.

Dalam praktik sastra, Chairil Anwar dan Angkatan ’45 memperlihatkan seleranya yang besar terhadap karya Marsman, E. Du Perron, J.J. Slauerhoff, Willem Elsschot, Archibald Macleish, Multatuli, R.M. Rilke, John Cornford, Conrad Aiken, W.H. Auden, T.S. Eliot, dan sebagainya. Chairil Anwar menerjemahkan karya mereka dan menyadur sebagian karya itu, bahkan mengakuinya sebagai karyanya.[xiii]

Dengan berkiblat pada kesusastraan Eropa, tak bisa dihindarkan bahwa karya Chairil Anwar merupakan cerminan dari postur modern total, yakni dengan mengidentifikasikan dirinya sebagai individualis kota besar seperti penyair Barat yang dikaguminya. Keadaan yang digambarkan dalam karya Chairil Anwar sangat kontradiktif dengan nada santai lingkungannya, yakni pemandangan udik dan kampung sebagai tipikal kehidupan negeri (bekas) jajahan. Seperti yang dikatakan oleh Sitor Situmorang, “Kenyataan tetap tunggal bahwa akhirnya daerah puisi Chairil Anwar itu, yang kosmopolit dan individualis, berada di tengah-tengah daerah-daerah luas yang asing daripadanya.”[xiv]

Dalam kesusastraan Chairil Anwar seolah-olah teredam ketegangan-ketegangan budaya yang pernah terjadi sebelumnya, terutama dengan risiko menerima Barat sebagai satu-satunya alternatif. Namun, hal itu pun hanya “setarikan napas”. Vitalisme eksistensialisme Barat yang semula oleh Chairil Anwar begitu dibanggakan dalam sa­jaknya, pada masa menjelang akhir hidupnya kembali ia ragukan. Keraguan sikap itu tecermin dalam sajak Chairil Anwar, seperti “Derai-derai Cemara”, “Aku Ber­kisar Antara Mereka”, dan sajak lain yang ia tulis pada tahun 1949. “Ya Allah! Badanku terbakar-segala samar. Aku sudah melewati batas,” katanya dalam sajak yang berjudul “Suara Malam”. Chairil Anwar pun berada dalam kegamangan sikap (budaya), “Kembali? Pintu tertutup keras.”[xv] Sikap mendua kembali muncul ke permukaan, yakni melalui ketegangan antara mempertimbangkan (atau menerima) tradisi dan menolaknya (sebagian), antara mempertimbangkan (atau menerima) unsur luar dan menolaknya (sebagian).

Setelah kematian Chairil Anwar yang tidak berselang lama, kritik-kritik pun dilontarkan kepadanya. Semua orang tidak tahu, apakah seandainya Chairil Anwar dapat hidup lebih lama, ia akan menuju proses yang lebih matang, ataukah justru sebaliknya. Semua orang tidak tahu. Namun, yang jelas “pemberontakan” terhadap tradisi (tradisionalisme) telah terjadi meskipun pemberontakan itu tanpa tradisi sastra yang kuat.[xvi] Tidak adanya tradisi sastra yang kuat dan tidak adanya latar belakang kesejarahan sastra yang kuat senantiasa menempatkan kesusastraan Indonesia pada posisi sikap mendua.

Sikap mendua yang lebih parah terdapat dalam sajak-sajak Sitor Situmorang. Hal itu pernah diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo.[xvii] Tatkala Sitor Situmorang pulang dari perlawatannya di Eropa, disadarinya bahwa ia tidak lagi merasa betah tinggal di kampungnya, di tanah airnya. Keadaan itu tergambarkan dalam sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Si Anak Hilang” dan “Orang Asing”. Sitor Situmorang merasa menjadi orang asing di negeri sendiri. Sebaliknya, ketika Sitor Situmorang berada di Eropa, di sana pun pengembaraannya tidak mendatangkan ketetapan hati, justru kesunyian dan “duka di tiap senja” yang dirasakannya seperti ia ungkapkan dalam sajak “Pont Neuf”, “Italia”, dan “Amoy-Aimee”. Sitor Situmorang terasing, baik dari lingkungan kebudayaan Indonesia maupun Eropa. Menurut Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang adalah cerminan “manusia perbatasan” yang paling parah nasibnya di antara pengarang modern Indonesia.[xviii] Hal yang sama terjadi pada Ajip Rosidi dan Goenawan Mohamad yang berdiri pada sikap mendua serta berpegang pada dua tata nilai budaya yang berbeda dan hampir tidak bisa dipertemukan. Kecenderungan seperti itu akan tampak berbeda jika dibandingkan dengan kesusastraan negeri dunia ketiga lainnya, seperti Jepang, negeri-negeri Afrika, dan Amerika Latin.

Barangkali justru itulah keunikan kesusastraan Indonesia apabila dibandingkan dengan kesusastraan dunia ketiga lainnya, yakni terletak pada sikap yang mendua itu. Berbeda halnya dengan kesusastraan Cina, Vietnam, dan Jepang yang masih tetap memelihara sastra adiluhung (sastra resmi, istana) sebagai identitas nasionalnya hingga masa modern. Hal itu pernah diungkapkan Nirwan Dewanto dalam sebuah artikel panjangnya. Ia juga memberikan ilustrasi tentang kesusastraan modern di Afrika dan Amerika Latin yang berbeda dengan kesusastraan di Indonesia, Cina, Vietnam, dan Jepang. Sastrawan di Afrika dan Amerika Latin itu menulis karya sastranya dengan memakai bahasa bekas penjajah negerinya. Contoh karya sastra dari Amerika Latin yang merupakan anak dari tradisi sastra Spanyol adalah Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez yang dapat diperbandingkan dengan Don Quixote karya Cervantes. Menurutnya, sastra di Afrika dan Amerika Latin selalu menghubungkan diri dengan Eropa[xix] sebagai pusat-pusat kebudayaan dunia nyaris tanpa jarak.

Namun, tidak demikian halnya dengan kesusastraan modern Indonesia. Sikap menduanya itu memunculkan ketegangan budaya, antara memper­timbangkan untuk menerima atau menolak sebagian unsur tradisionalisme dan mempertimbangkan untuk menerima atau menolak sebagian unsur luar. Kete­gangan budaya itu hendaknya dibaca sebagai suatu kreativitas pencarian wilayah baru di lapangan pemikiran dan bentuk seni (baca: kesusastraan). Selanjutnya, hasilnya meru­pakan sesuatu yang baru, yang berbeda dari sumbernya, baik yang dari dalam maupun dari luar sehingga kemudian “menjadi unsur khas” di dalam kesusastraan modern Indonesia.

Sering kali sikap mendua itu mengakibatkan perbedaan paham antara estetika dan ideologi dalam kesusastraan Indonesia. Sebagai contoh, Angkatan ’45 secara estetis berpaham ekspresionisme, tetapi secara ideologis menyuarakan vitalisme-eksistensialisme ala Marsman. Demikian pula halnya yang terjadi pada paham seni lain dalam kesusastraan Indonesia, juga transformasi surealisme.

Catatan Kaki:

[i] Penulis adalah penyair, dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

[ii] Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal.16.

[iii] Yakob Sumardjo, Masyarakat dan Sastra Indonesia (Yogyakarta: Nur Cahyo, 1982), hal. 26-29).

[iv] Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hal. 17.

[v] Ibid, hal. 18.

[vi] Subagio Sastrowardoyo, op. cit., hal.18.

[vii] Ibid.

[viii] Lihat, Achdiat Kartamihardja, Polemik Kebudayaan ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1977).

[ix] Lihat, Kian Kemari, Indonesia, dan Belanda dalam Sastra (Jakarta: Djambatan, 1973), hal. 172-250).

[x]  Lihat Goenawan Mohamad, op. cit. hal.15.

[xi] Chairil Anwar, dalam H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (Jakarta: Gunung Agung, 1956), hal.118.

[xii] H.B. Jassin, op. cit., 1956, hal. 111.

[xiii] Terhadap karya-karya Chairil Anwar dari hasil plagiat itu, H.B. Jassin menyebutnya sebagai karya-karya terjemahan dan saduran

[xiv] Sitor Situmorang, via Situmorang, via Goenawan Mohamad, op. cit., hal. 17.  

[xv] Chairil Anwar, “Suara Malam”, dalam Pamusuk Eneste, Aku Ini Binatang Jalang (Jakarta; Gramedia, 1986), hal. 12.

[xvi] Tradisi sastra dan sastra tradisi adalah dua hal yang berbeda. Sastra tradisi, sastra yang berangkat dan berakar dari sastra adiluhung (sastra resmi, istana). Tradisi sastra adalah dialektika kesejarahan dalam sastra, seperti yang pernah diungkap Goenawan Mohamad dalam esai panjangnya “Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang”.

[xvii] Subagio Sastrowardoyo, op. cit., 1989, hal. 14.

[xviii] Subagio Sastrowardoyo, op. cit., hal. 14.

[xix] Nirwan Dewanto, “Puisi Indonesia Modern, Strategi Menguasai Kecemasan”, Matra, Maret 1992, hal 35-39.


 


 

Abdul Wachid B.S.

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa