Hikmah Pembaca, “Chemistry” Pengalaman Kebahasaan dan Kerohanian Puisi
Medium puisi adalah bahasa. Bahasa merupakan lambang-lambang yang digunakan untuk berkomunikasi oleh manusia sehingga membangun suatu komunitas pemakai bahasa tertentu yang disebut suku, bahkan bangsa, dan negara. Lambang-lambang yang dipakai oleh bahasa itu dipengaruhi oleh banyak faktor pembangunnya, baik alam maupun manusia, yang direspon oleh manusia. Dari sinilah dipahami bahwa bahasa sehari-hari yang dipakai berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya merupakan sistem perlambangan. Sistem perlambangan bahasa itu kemudian menjadi media komunikasi yang mampu membangun kebudayaan manusia, dan sebaliknya secara bersamaan kebudayaan manusia juga mewarnai perkembangan bahasa. Demikianlah seterusnya, tidak terkecuali di dalam kebudayaan itu adalah kesusastraan.
Sesungguhnya tidak ada bedanya antara bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam komunikasi sastra, yaitu sama-sama memiliki fungsi arti. Adapun yang membedakan adalah konteksnya. Dalam komunikasi sehari-hari, bahasa dipersepsi dan diposisikan secara denotatif, yaitu makna sesungguhnya, tidak ada unsur makna lain atau makna tersembunyi yang terkandung di dalamnya. Sementara itu, dalam komunikasi sastra, bahasa dipersepsi dan diposisikan secara konotatif, yaitu makna yang bukan makna sebenarnya dari suatu kata. Makna konotasi merupakan makna tambahan dari makna dasarnya, yang dikembangkan sesuai dengan situasi yang dihadapi sehingga makna tambahan itu biasanya berupa nilai rasa yang subjektif dari penggunanya, yaitu sastrawan.
Dalam puisi, ketika bahasa dijadikan media pengungkapan “keindahan”, baik sebagai keindahan bahasa puisi maupun keindahan gagasan, maka pada saat itulah bahasa puisi dipersepsi dan diposisikan sebagai metafora dan simbol. Sebagaimana dinyatakan oleh Paul Ricoeur bahwa metafora adalah miniatur puisi (via Kurniawan, 2013:22). Dalam sudut-pandang penafsiran, metafora dan simbol itu merujuk kepada makna batin puisi. Metafora dan simbol membuat bahasa puisi memiliki makna tambahan yang bukan saja bersifat referensial, melainkan juga memiliki hubungan penafsiran bahkan penakwilan antara penanda dan petandanya.
Dengan demikian, sebelum dijadikan medium karya sastra saja bahasa sudah menjadi sistem perlambangan, kemudian bahasa diberi muatan sistem sastra dengan merujuk kepada alam dan budaya manusia bahkan agama yang juga mengandung berbagai sistem perlambangan. Oleh karena itu, bahasa mengandung teks, dan untuk memahami teks, pembaca membutuhkan penafsiran dan penjelasan atas teks yang terkandung dalam bahasa itu. Di sinilah kita berbicara relevansi penafsiran atas teks, yang kita kenal sebagai hermeneutika. Hal itu karena seringkali pembaca mengalami keterasingan terhadap sistem perlambangan yang meliputi teks di dalam bahasa. Untuk mengatasi keterasingan terhadap teks sastra, seorang penafsir membutuhkan pemahaman asas-asas pemikiran atau pandangan dunia yang diisyaratkan oleh teks. Ketidakpahaman akan hal ini bisa menjadikan makna tampak kabur bahkan tidak ada.
Situasi asing dalam penafsiran tersebut membutuhkan penghubung, namun cakrawala pemikiran kita cenderung menolak sesuatu yang baginya asing. Akan tetapi, dunia dalam cakrawala teks mengundang pemikiran kita sebagai pembaca. Dunia dalam cakrawala teks itulah simbol-simbol yang menginginkan cakrawala pemikiran kita dilebur dengannya. Dalam keadaan begitu, hermeneutika dapat berperan menjembatani dua dunia atau cakrawala pemikiran yang berbeda.
Apalagi dalam penafsiran puisi sebagai suatu teks sangat memungkinkan perbedaan tafsir, bahkan kesalahpahaman tafsir. Faktor yang mendasari hal tersebut adalah berikut ini. Pertama, kenyataan bahwa puisi merupakan tindak pemakaian bahasa, yang sebelum dijadikan medium puisi sudah dipersepsi dan diposisikan sebagai tanda yang memiliki arti oleh pemakai bahasa dalam suatu masyarakat. Kedua, kenyataan bahwa puisi merupakan pemakaian bahasa secara tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi puisi itu disebabkan penggunaan metafora yang menjadi bagian vital dari sistem sastra yang digunakan sebagai bahasa ungkap puisi. Karenanya, puisi menjadi memiliki banyak tafsir (polyinterpretable).
Oleh sebab itu, memaknai puisi sebagai teks sastra sangat bergantung pada interpretasi pembaca sebagai pemberi makna. Dalam sistem komunikasi sastra, hal demikian melibatkan penyair sebagai pencipta teks, teks, dan pembacanya.
Pengalaman Kebahasaan dan Kerohanian
Sebuah sajak boleh jadi bermula dari biografi seorang penyair, dalam suatu waktu, di tempat tertentu, dengan sudut-pandang tertentu terhadap sesuatu. Sebermula sangatlah personal, namun itulah situasi penciptaan sajak yang liris, subjektivitas seorang penyair begitu dominan, sudut-pandang “aku” menandai hal itu. Akan tetapi, bagaimana agar biografi seorang penyair yang dituliskan sebagai sajak itu bersifat terbuka tatkala pembaca memasukinya?
Banyak sajak dituliskan oleh penyairnya dengan sudut-pandang yang menutup pintu bagi pembacanya. Sementara itu, penyairnya tidaklah menyadari bahwa dunia yang dia bangun di dalam sajaknya itu hanya merepresentasikan ke-aku-an dirinya. Dia lupa, boleh jadi, yang dia tulis itu tidaklah menginspirasi pembaca untuk memaknainya, apalagi hingga memperoleh hikmah dari sajaknya. Dia lupa, seorang penyair bukanlah siapa-siapa jika dia tidak punya sejarah kehidupan yang bisa dibaca di luar teks sastra yang dia tuliskan.
Masa Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra, Taufiq Ismail, Wiji Thukul, yang punya latar sejarah di luar teks sastra yang dituliskan, telah berakhir. Sekarang, sajak harus menciptakan sejarahnya sendiri setelah dituliskan oleh penyairnya. Karena itu, jika teks sajak yang dituliskan oleh penyairnya terlampau biografisme, berpaham kepada biografi diri penyair, sementara itu, penyairnya bukanlah manusia sejarah, maka dunia sajak yang dituliskannya tidaklah mampu membuka pintu untuk dimasuki pembaca. Menghadapi sajak yang demikian, pembaca tidak memperoleh hikmah sebab terlalu tertutup (obscure), atau sebaliknya terlalu umum (klise).
Sebuah sajak menjadi teks yang membuka pintu makna bagi pembacanya bila penyairnya juga merupakan teks yang menarik untuk dibaca sehingga pembaca mencari-cari hubungan antara sajak sebagai teks dan penyairnya sebagai teks yang hidup atau dihidupi oleh sejarah dirinya atau di luar dirinya. Seperti halnya Chairil Anwar, riwayat hidup dirinya menarik perhatian orang, terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadapnya. Namun, peristiwa sejarah yang melingkupinya bisa terus menghidupi teks sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar.
Sebuah sajak menjadi teks yang menarik bagi pembacanya bila pembaca memperoleh pengetahuan baru setelah membaca sajak itu. Pengetahuan itu, bisa jadi dari aspek kebahasaan sajak itu, yang unik, indah, atau yang segar. Pengetahuan itu, bisa jadi dari aspek pemikiran yang terkandung di dalam sajak.
Sebuah sajak menjadi teks yang menarik bagi pembacanya bila pembaca memperoleh pengalaman kerohanian setelah membaca sajak itu. Pengalaman kerohanian itu, merupakan penghadiran peristiwa hidup manusia yang menjadikan dirinya terbuka kesadarannya bahwa di balik peristiwa yang fisik dan duniawi ini, ada eksistensi yang justru menjadi jiwa penggeraknya. Seperti halnya di balik wajah manusia ini ada jiwa kemanusiaan, yang justru menjadi eksistensi manusia. Akal sehat yang bersumber dari pikiran dan hati nurani yang bersumber dari rohani adalah eksitensi jiwa kemanusiaan dari manusia. Jiwa kemanusiaan itu menyadari dirinya memiliki keterkaitan dengan sesama manusia, alam semesta, dan Allah yang menciptakannya.
Hal itulah sebabnya sebuah sajak yang baik menyediakan pintu bagi pembaca untuk memasukinya, memperoleh pengalaman kebahasaan sekaligus pengalaman kerohanian, hikmah bagi manusia dan kemanusiaannya.
“Chemistry” Puisi Faiz Adittian
Faiz Adittian bukanlah Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra, Taufiq Ismail, atau Wiji Thukul yang punya latar sejarah di luar teks sastra yang dia tuliskan. Faiz Adittian hanya mengandalkan teks sajak yang dia tuliskan. Faiz Adittian juga bukanlah seorang Ahmad Tohari, yang memiliki “/... tanah kelahiran yang/ mengingatkan peristiwa panjang./ ...sehingga menghidupi semua cerpen dan novelnya. Faiz Adittian tidak memilih untuk menghadirkan pengetahuan di dalam sajaknya, teteapi menggambarkan peristiwa yang dia transendensikan kepada pengalaman kerohanian paling asasi yakni “/...kata ibu dan mata yang enak/ dipandang itu...” (sajak “Wajah yang Cerah”, Radar Banyumas, Minggu, 21-6-2020). Hal itu sebab semua keindahan dan kebaikan akan berpuncak kepada cinta-kasih-sayang seorang ibu. Dari ibulah dimensi kerohanian mengalami “isro’ dan mi’roj” sehingga bertemulah kesadaran kemanusian dengan kesadaran ketuhanan.
Dalam pandangan rohaniah yang demikian, apakah sebuah sajak berangkat dari bahasa, ataukah sesungguhnya setiap pengalaman kerohanian itu menghadirkan bahasanya sendiri?
Dalam sajak “Wajah yang Cerah” Faiz Adittian juga menghadirkan peristiwa puisi itu sebagaimana “/... sedingin kabut yang turun/ kutemukan puisi yang menyerap/ seluruh malam ke dalam kata-kata.” Maknanya, puisi haruslah ditemukan, dan ketika puisi itu ditemukan, maka puisi itulah yang menyerap seluruh malam ke dalam kata-kata. Akan tetapi, gambaran akan puisi semacam itu merupakan tingkat “keyakinan” dari seorang Faiz Adittian. Apakah “keyakinan” itu dia peroleh dari pengetahuan yang bersumber dari buku, ataukah dari pengalaman kerohanian? Sekali lagi, Faiz Adittian mengaku, “...//tak ada yang benar-benar kuyakini/ selain kata ibu dan mata yang enak/ di pandang itu ...”. Berarti, “keyakinan” itu baru dia tumbuhkan dari “pengetahuan”, belum dari pengalaman rohaninya sebagai pengamal.
Sekalipun dalam sajak “Ketika Kapal-kapal Bersandar” (Radar Banyumas, Minggu, 19-4-2020) Faiz Adittian “memandang malam dari pantaimu/ sudah lelah aku merahasiakan/ seluruh kalimat yang telah kucatat/...”; hal itu sebab dia memasuki pengalaman rohani, yang tanpa berpikir bagaimana bahasa melukiskannya. Pengalaman rohani itu sendiri telah merupakan bahasanya sendiri yang puitis, estetis, sekaligus etis. Akan tetapi, dalam sajak ini pula Faiz Adittian setengah hati menggali pengalaman rohaninya sehingga dia masih terpukau oleh bahasa, bukan bahasa yang terpukau oleh pengalaman rohaninya. Karenanya, “//.../ separuh dari keyakinanku/ seperti pinggiran kota yang kumuh/ dari jendela-jendela apartemen/ ada pintu kecil terlihat di jauh laut./...”.
Sajak Faiz Adittian yang demikian masihlah banyak: Sajak “Angin Sore” (Ibid.); “Pantai Kesepuluh”, “Teluk Pananjung”, “Jalan Berkelok”, “Gerbang Perbatasan”, “Padang Yarang” (Radar Banyumas, Minggu, 22-4-2018). Padahal, dalam perpuisian Faiz Adittian yang orisinal, keterpukauan bahasa terhadap “keindahan” pengalaman rohani inilah yang menjadikan bahasa tercelup secara kimiawi ke dalam pengalaman rohani yang menjadi peristiwa puisi sehingga sudah tidak ada lagi perbedaan antara adonan pengalaman rohani ibarat air dan bahasa puisi ibarat gulanya.
Dalam sajak “Nongchik, 18” (Radar Banyumas, 19-4-2020) dan senafasnya, perpuisian Faiz Adittian tidaklah sekadar repot menata bagaimana metafora itu harus segar serupa “airmata di luar pagar”, sebab setiap roh itu memiliki badannya sendiri, tidak akan tertukar, kapan ia berada dan harus pergi: “seperti apa kematian?/ jatuh di kepala lelaki/ dan sepasang peluru/ tidak kenal siapa orang// tidak tertinggal darah/ dalam rentang waktu/ yang tercatat pada artefak// meski ketakutan menjadi hantu/ datang dari jalan yang sepi dan lengang/ mengetuk pintu rumah/ sebagai pelancong yang ingin kawin/ dengan gadis dan kemudian menghilang// mereka tidak kenal siapa/ atau alamat tinggal/ yang ditemukan dalam bubuk mesiu// mereka hanya air mata/ yang dicium sebagai jejak dosa/ di kepala yang ditembus peluru/ seperti kematian/ berdarah tidak menyakitkan/ kata seorang kepada malaikat/ menggandeng tangannya/ ke sebuah pemakaman” (2020).*****
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair, dan menjadi dosen negeri di IAIN Purwokerto.