Surealisme

Surealisme

oleh Abdul Wachid B.S. [i]


1.    Pandangan Sigmund Freud tentang Sublimasi Libido  dan Pengaruhnya pada Ide Surealisme

Telah banyak diketahui bahwa selama abad ke-20 psikoanalisis berpengaruh besar terhadap perkembangan seni dan kesusastraan. Sehubungan dengan hal ini, Anthony Storr pernah memberi komentar bahwa konsepsi Sigmund Freud mengenai alam bawah sadar, penggunaan asosiasi bebas, dan penemuan kembali mengenai pentingnya mimpi, semakin membuat para pelukis, pematung, dan penulis berani melakukan eksperimen dengan hal-hal yang tidak rasional dan bersifat kebetulan. Menurut Anthony Storr, para seniman semakin serius memperhatikan dunia batin mereka yang berisi mimpi-mimpi dan menemukan makna dalam pikiran dan khayalan yang semula diabaikan karena dianggap absurd dan tidak logis.[ii] Komentar Anthony Storr yang terasa sinis ini ternyata banyak yang membenarkan dan menyetujuinya.

Kelahiran surealisme merupakan pemberontakan dari aliran sebelumnya, sebagaimana kelahiran aliran seni lainnya di Barat, yakni setiap kali muncul aliran seni baru, hampir bisa dipastikan ada aliran seni sebelumnya yang diberontakinya. Hal ini sesuai dengan kata A. Teeuw bahwa karya seni senantiasa dalam ketegangan, antara sistem (konvensi seni sebelumnya -pen) dan pemba­ruan, antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang. baru.[iii] Seperti yang diungkap dalam manifesnya, surealisme memberontak belenggu rasionalisme, membebaskan manusia dari belenggu kebudayaan intelektualis dan utilitaris, memulihkan manusia kembali utuh dengan daya vitalitasnya.[iv]

Mula-mula adalah Andre Breton pendiri dan pemikirnya. Gerakan pembaruan ini terutama sekali di Perancis, yang muncul antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Andre Breton yang semula aktif dalam aliran dadaisme itu, pada tahun 1924 menulis manifes pertama surealisme dan pada tahun 1929 menulis manifes kedua surealisme. Dalam manifes kedua surealisme ini, ide-ide tentang pembebasan psikis diperluas dan digalakkan hingga mencakup bidang politik.[v]

Aliran dadaisme seperti tampak pada karya The Waves dari Virginia Woolf, mempunyai beberapa kesamaan dengan aliran surealisme, yakni terpengaruh oleh psikoanalisis Sigmund Freud. Dampak keterpengaruhan itu, kedua aliran ini sama-sama mengembangkan dirinya dengan menggunakan teknik “arus kesadaran” sebagai bagian dari wujud estetikanya.Bahkan, sebagaimana pernah diungkap oleh Anthony Storr, bahwa penulis biografi pun merasa belum lengkap apabila gambaran yang diberikan belum menyingkap pengaruh emosional yang diperlihatkan si subjek pada awal masa kanak-kanaknya.

Penyingkapan perilaku seksual hampir menjadi keharusan dalam penulisan semacam itu karena Sigmund Freud telah menanamkan pandangan bahwa seksualitas merupakan dorongan sentral dalam diri manusia. Sigmund Freud percaya bahwa sublimasi libido yang tidak terpuaskan merupakan sumber inspirasi bagi terciptanya semua seni dan kesusastraan. Sigmund Freud menganggap seniman menyalurkan semua seksualitas masa kanak-kanaknya dengan mengubah ke dalam bentuk yang sifatnya tidak naluriah (yaitu lewat karya sastra -pen). Sigmund Freud berpandangan bahwa represi pervesi,[vi] komponen-komponen pragenital naluri seksual, mengakibatkan tertahannya perkembangan seksual serta tidak terpenuhinya kepuasan seksual yang sering dijumpainya pada penderita neurosis.[vii] Jika rangsangan tersebut tidak ditekan dan karena suatu alasan dilebih-lebihkan, menurut Sigmund Freud, orang tersebut cenderung men­jadi penderita penyimpangan seksual daripada sekadar penderita neurosis. Penyembuhan dari hal ini lebih mudah bagi orang yang mempunyai bakat seni, sebab, menurut pandangan Sigmund Freud, seniman adalah orang yang dapat menghindari neurosis dan pervesi dengan cara menyublimasi rangsangan itu ke dalam karya-karya sastra mereka.[viii]

Dari konteks tersebut bisa dipahami bahwa Sigmund Freud melihat ada analogi antara karya sastra dan sublimasi libido seksual, yakni sama-sama memberi kepuasan langsung pada hasrat manusia. Sigmund Freud juga melihat analogi itu pada karya sastra dan mimpi; yang ditemukannya pada waktu Sigmund Freud membandingkan antara kisah Oedipus sang Raja karya Sophokles (atau juga Hamlet karya Shakespeare) dengan apa yang telah terjadi dari pengamatan terhadap dirinya sendiri. Dari pengamatan Sigmund Freud terhadap karya klasik itu, Sigmund Freud berkesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan oleh seniman dengan sukses adalah bukti bahwa di dalam karya seni para seniman mengalami konflik pada masa kanak-kanaknya.[ix]

Pandangan Sigmund Freud tentang sastra tersebut mengisyaratkan bahwa ada hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Ide-ide Sigmund Freud tentang mimpi, misalnya, adalah hasil studi Sigmund Freud setelah membandingkan antara apa yang telah terjadi pada dirinya dan tokoh dalam karya sastra seperti Oedipus atau Hamlet.  Begitu juga sebaliknya, ketika psikoanalisis terbukti kebenaran teoretisnya, banyak pengaruhnya pada gerakan seni dan kesusastraan (surealisme).

Namun, sebenarnya tulisan-tulisan Sigmund Freud tentang kesusastraan bukanlah bertujuan demi kesusastraan itu sendiri. Setidaknya hal itu pernah dikatakan oleh Max Milner, yang mengatakan bahwa Sigmund Freud tidak bermaksud membuat tulisan tentang kritik atau penafsiran sastra. Sigmund Freud menulis tentang itu karena ia merasa dapat menemukan konfirmasi teorinya dengan apa yang terjadi dalam karya seperti La Gradifa karya Jensen.[x] Meskipun begitu, kenyataan telah menunjukkan bahwa pada akhirnya kesusastraan seperti surealisme banyak mendapatkan pengaruh dari ide-ide Sigmund Freud itu. Begitu pula sebaliknya, Sigmund Freud menemukan ide-idenya seperti “mimpi”, “fantasi”, “asosiasi bebas”, dan “transferensi” setelah ia banyak mengadakan studi komparatif antara apa yang telah terjadi pada tokoh-tokoh di dalam karya sastra semacam Oedipus atau Hamlet dan apa yang telah terjadi pada para pasiennya.

Studi antara keduanya itu (karya sastra dan proses kejiwaan si pasien) ada pada tulisan Sigmund Freud seperti dalam Delusions and Dreams in Jensen’s “Gradiva”, Leonardo da Vinci and a Memory of his Chilhood, “Patung Moses Ciptaan Michelangelo”, dan “Dostoevsky dan Perricide”. Meskipun tak jarang dari pandangannya itu yang banyak diserang oleh orang, tetapi seperti yang diakui Anthony Storr, yang sering terjadi pada Sigmund Freud adalah selalu ditemukannya hal-hal yang penting di antara hal-hal yang tidak penting menurut anggapan umum.

Menurut pandangan Sigmund Freud, seni dan kesusastraan dicipta dengan menyublimasi nafsu birahi yang tidak terpuaskan. Tetapi, Sigmund Freud juga mengatakan bahwa sublimasi itu bisa juga dilakukan oleh seorang awam (bukan seniman pen) yang hidup di bawah ketegangan yang diakibatkan oleh peradaban.[xi] Dengan kata lain, seolah-olah seni dan kesusastraan tidak diperlukan lagi jika birahi telah tersalurkan sepenuhnya sehingga orang bisa terbebas dari gangguan-gangguan psikis. Artinya, seniman bisa juga menyublimasi rangsangan itu ke dalam hal lain dan bukan dalam kar­ya sastra. Berdasarkan pandangan Sigmund Freud itu, justru seniman adalah orang yang cenderung terkena neurosis karena seniman hampir seluruh waktunya dipergunakan untuk menjalankan aktivitas yang merupakan sublimasi lewat aktivitas imajinasi.

Selanjutnya, Sigmund Freud juga berpandangan bahwa seniman bukan sekadar penderita neurosis yang memanfaatkan bakat mereka untuk mengelak dari realitas. Meskipun seniman lari dan jatuh pada neurosis, karyanya tetap merupakan cara tidak langsung untuk memperoleh kepuasan naluriah yang, seandainya dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan, mungkin seniman dapat menikmati atau menolaknya.[xii] Pandangan Sigmund Freud ini mengisyaratkan bahwa seniman adalah makhluk yang eskapis. Di dalam dunia yang ideal, setiap orang bisa bersikap dewasa untuk meng­gantikan hal yang muluk dengan kenyataan. Dengan demikian, jika menilik pandangan Sigmund Freud itu, seni dan kesusastraan tidak diperlukan lagi.

Kesimpulan Sigmund Freud itu bisa jadi akan mengejutkan semua orang sebab terasa ganjil. Anthony Storr yang juga seorang ahli psikoterapi mengomentari pandangan Sigmund Freud itu dengan mengatakan bahwa mungkin Sigmund Freud akan memperbaiki konsep-konsepnya tentang seni dan kesusastraan jika saja Sigmund Freud diberi umur panjang.[xiii] Namun, itulah Sigmund Freud yang senantiasa berusaha keras untuk menghadapi semua kritik yang ditujukan pada pandangan-pandangannya, dan dalam hal ini Sigmund Freud berhasil. Kemampuan dan keteguhan Sigmund Freud pada kebenarannya sendiri itulah yang membuat psikoanalisis menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan di Barat dan menembus masuk ke berbagai bidang termasuk seni dan kesusastraan (surealisme).

2. Kesejarahan Singkat dan Hubungan Surealisme dengan Psikoanalisis

Di dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, dijelaskan bahwa semula nama surealisme itu diambil dari judul sebuah drama karya Apollinaire (1917). Pada tahun 1919 Andre Breton mengambil nama itu untuk menyebut eksperimennya dalam metode penulisan spontan.[xiv] Setelah itu surealisme dicanangkan menjadi gerakan yang besar oleh Andre Breton melalui Manifes Surealisme I (1924) dan Manifes Surealisme II (1929).

Sebagai aliran seni yang terpengaruh psikoanalisis Sigmund Freud, ide-ide dasar pemikiran surealisme erat berhubungan dengan pandangan psikoanalisis tu. Hal ini pernah dikatakan oleh Andre Breton sendiri sebagai pencetus Manifes Surealisme bahwa surealisme adalah otomatis psikis yang murni, yang dengan itu seseorang bisa mengekspresikan segala sesuatunya secara spontan dan mendasarkan segalanya pada “realitas superior”.[xv] Hal ini direalisasikan dengan cara-cara penggalian dunia mimpi, fantasi, asosiasi bebas, dan transferensi.

Surealisme masuk pula ke dalam dunia seni lukis. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Joan Miro, Paul Klee, Chirico, dan Marc Chagall. Mereka esar pada perempat abad ke-20.Dalam seni lukis, surealisme ini bisa dikenali melalui dua karakter, yakni surealisme ekspresif dan surealisme murni.[xvi] Dalam surealisme ekspresif seniman dalam karyanya mendasarkan diri pada bentuk-bentuk atau simbol yang telah ada atau yang pernah dicipta. Termasuk dalam golongan surealisme ekspresif adalah karya-karya sema­cam karya Joan Miro dan Andre Masson. Dalam surealisme murni seniman mengubah alam bawah-sadar lewat teknik-teknik akademis. Maka muncullah bentuk absurd atau keanehan yang sengaja dibuat dan tidak ada dalam khazanah bentuk atau simbol terdahulu. Karakter surealisme murni ini terutama sekali ada pada karya-karya Salvador Dali.

Pada seni lukis bentuk-bentuk surealistis telah lama tampak sebelum surealisme dicanangkan oleh Andre Breton. Misalnya, karya-karya Hieronymus (1450-1516), Pieter Bruegel (1564-1637), dan William Blake (1757-1827); karya-karya mereka ini telah menampakkan unsur-unsur surealisme. Di Italia, beberapa tahun sebelum Andre Breton men­canangkan manifes mengenai surealisme, muncul pittura metafisica, yakni cara mencipta seni berdasarkan dunia metafisik. Pittura metafisica ini dipelopori oleh Carlo Carra dan Giorgio de Chirico. Ada beberapa pengamat seni yang berpendapat bahwa pittura metafisica ini dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya aliran seni surealisme.[xvii]

Sementara itu, di dunia kesusastraan, khususnya dalam puisi, bentuk-bentuk semacam surealisme ini pun telah lama ada sebelum surealisme dicanangkan menjadi suatu gerakan besar. Misalnya, karya Charles Boudelaire dalam buku puisinya Les Fleurs du Mal, karya-karya Arthur Rimbaud (1853-1891), Paul Verlaine (1844-1895), dan Stephane Mallarme (1842-1898). Karya-karya mereka ini telah memiliki warna seperti dalam karya yang beraliran surealisme. Namun, secara formal kesusastraan surealisme lahir dan terlegitimasi keberadaannya setelah Andre Breton menulis manifes mengenai surealisme, yakni Manifes Surealisme I (1924) dan Manifes Surealisme II (1929), meskipun sebenarnya secara estetis kecenderungan surealistis itu telah hadir jauh sebelumnya. Ditambah lagi, surealisme kian kokoh kedudukannya sebagai aliran seni karena pengaruh psikoanalisis Sigmund Freud, seperti penggunaan teknik “arus kesadaran” yang berkaitan dengan ide Sigmund Freud mengenai mimpi, fantasi, asosiasi bebas, dan transferensi.

Ada yang patut dicatat tentang hubungan psikoanalisis dan sastra, yakni Sigmund Freud bertumpu pada karya sastra seperti Oedipe-Roi (Oedipus sang Raja) karya Sophokles dan Hamlet karya Shakespeare untuk membuktikan atau menjelaskan penemuan teorinya. Sebelumnya hal itu telah berhasil diraihnya berkat analisis atas pasien-pasien serta oto-analisisnya. Kemudian, Sigmund Freud berusaha menerapkan metodenya itu pada hasil seni terutama sastra.[xviii]

Hubungan psikoanalisis dan sastra itu terungkap dalam penelitian Sigmund Freud tentang interpretasi mimpi (dalam bukunya yang berjudul L’ interpretation des Reves, 1899). Interpretasi Sigmund Freud tentang mimpi ini membawa pengaruh yang besar bagi perkembangan teknik “arus kesadaran” pada surealisme. Paling tidak ada dua hubungan antara psikoanalisis dan sastra (surealisme).  Pertama, kelanjutan penemuan Sigmund Freud mengenai kesamaan antara Oedipe-Roi dan Hamlet dengan apa yang terjadi dalam wilayah tak sadar setiap manusia. Kesamaan ini, menurutnya, bukan hanya tampak pada mimpi khas pasien, tetapi juga pada mimpi-mimpi yang biasa timbul. Kedua, pada proses elaborasi karya sastra dan proses elaborasi mimpi, misalnya, pada sensor, kondensasi, dan sejenisnya.[xix] Orientasi mimpi ini sejalan dengan pan­dangan-pandangan Sigmund Freud dan dalam wujud estetika maupun ide-ide surealisme begitu mendominasi.

3.  Teknik Estetika dan Ide Surealisme

Di dalam Tifa Penyair dan Daerahnya,[xx] H.B. Jassin per­nah memberi ilustrasi sebagai berikut.

Seorang anak muda melukis corat-coret; meja, di atasnya buku-buku, bangku, kamar, tiba-tiba kepala gadis yang manis di sudut kamar.

H.B. Jassin bertanya, apakah ini realisme? Atau, rumpun realisme, impresionisme? Dijawab oleh H.B. Jassin sendiri bahwa buku, meja, kursi dalam lukisan itu masih perspektif biasa, tetapi kepala gadis yang tiba-tiba mun­cul itu? Inilah surealisme, kata H.B. Jassin.

Surealisme secara etimologis adalah kenyataan unggul yang melampaui batas logika dan kegunaan.[xxi] Dengan perkataan lain, surealisme adalah suatu gambaran realitas yang lebih dari sekadar realitas biasa (realitas empiris, aktualitas). Jika ini dikaitkan dengan contoh yang diberikan H.B. Jassin, kepala gadis manis yang tiba-tiba muncul itu hanya ada dalam angan-angan si pelukis, sehingga dalam satu setting, yakni dalam lukisan itu, berbaurnya realitas empiris dan realitas yang ada dalam angan pelukis menjadi tidak jelas batas-batasnya, berbaur begitu saja dalam keseruangan dan kesewaktuan. Bolehlah hal itu disebut dengan menggunakan istilah dari Dami N. Toda bahwa bangku, meja, kursi, dan ruangan adalah “realitas formal”, sedangkan kepala gadis yang tiba-tiba muncul di sudut ruangan itu adalah “realitas imajiner”, yang secara spontan menyembul dari pikiran si pelukis.[xxii]

Demikianlah “realitas” dalam hasil seni surealisme, yakni perbauran antara realitas formal dan realitas imajiner. Pemahaman seperti ini baru melihat seni surealisme dari segi estetika saja, belum lagi sampai pada “isi”, yang senantiasa memahami dunianya dengan berpedoman pada psikoanalisis Sigmund Freud.

Menurut H.B. Jassin, surealisme menghendaki keseluruhan dan kesewaktuan (simultanitas) seperti sebuah film, segalanya terjadi serentak. Cerita yang surealistis, menurut H.B. Jassin, menangkap kehidupan pada suatu saat dalam keseluruhannya, pikirannya meloncat-loncat dengan cepat, tata bahasa jadi tidak terperhatikan dalam ketergesaan ingin menangkap semua.[xxiii] Sebab itulah, hasil kesusastraan surealisme jadi sukar diturutkan dengan logika biasa sebab alam benda dan alam angan menjadi satu dalam keseruangan dan kesewaktuan. Realitas menjadi sebuah “dunia jungkir-balik” (istilah Budi Darma), seperti sebuah mimpi, yang mempunyai logika sendiri di luar logika yang normal.

Kembali ke hal mimpi. Interpretasi Sigmund Freud mengenai mimpi sangat berpengaruh bagi perkembangan ide dan estetika surealisme. Penggalian alam bawah-sadar seperti impian, fantasi, asosiasi bebas, dan transferensi menjadi hal yang sangat diperhatikan di dalam dunia seni dan kesusastraan, yang kesemuanya itu dihubungkan dengan psikoseksual sebagai sentral dari keseluruhan aktivitas kehidupan manusia. Seperti dikemukakan di depan, penemuan Sigmund Freud mengenai interpretasi mimpi ini sebenarnya adalah hasil pengamatan Sigmund Freud terhadap para tokoh dalam karya sastra semacam Oedipus atau Hamlet. Ada baiknya jika pandangan Sigmund Freud mengenai prosedur mimpi ini diuraikan ringkas sebab hal itu berkaitan dengan apa yang dalam surealisme disebut teknik “arus kesadaran”. Dalam kesusastraan surealisme, logika menjadi hilang seperti sebuah impian, tetapi apakah “mimpi” itu?

Dalam pandangan Sigmund Freud, mimpi adalah peleburan beberapa tokoh atau hal yang memiliki sifat yang umum ke dalam satu gambar, atau bahkan peleburan beberapa kata yang mengacu pada realitas yang berbeda dalam satu kata.[xxiv] Mekanisme antara mimpi dan sastra hampir mempunyai kesamaan. Hal ini lebih jelas terlihat pada kesusastraan surealisme. Mekanisme itu seperti gejala kondensasi, pengalihan, dan simbolisasi.

Max Milner berpendapat bahwa kondensasi adalah penggabungan ide dan bayangan-bayangan yang berbeda menjadi bayangan tunggal, yang mempunyai analogi. Bermula dari penciptaan tokoh oleh penulis roman. Sering kali ketika seorang penulis menciptakan tokoh, penulis itu mengkondensasikan wajah beberapa manusia dari realitas ke dalam salah satu tokohnya.[xxv]

Ada kesamaan analogi antara kondensasi dengan konsentrasi, yakni (dalam ujaran penyair) di seputar gambaran yang teristimewa dari seluruh rangkaian kenangan, penga-laman, atau perasaan penyair sehingga gambar tersebut seolah mengkristal. Setiap penyair mempunyai gambaran yang lebih disukainya dan itulah konsentrasi makna yang sesungguhnya.

Pengalihan adalah aktivitas memberikan makna pada sebuah unsur mimpi, yang tidak berarti akan mencolok bila dibebankan pada unsur lainnya yang dekat. Hal yang sama juga terdapat pada retorika yang disebut metonimi, yaitu proses substitusi salah satu penanda ujaran dengan penan­da yang lain dalam satu arti berdampingan,[xxvi] misalnya, menyebut sebagian sebagai ganti keseluruhan (layar untuk kapal). Semua itu sebagai ganti pengalihan linguistis yang sesungguhnya. Pilihan penanda yang langsung justru dilenyapkan dan diganti dengan sesuatu yang lain yang berdekatan, yang dibebani dengan makna dari yang pertama.

Simbolisasi adalah figurasi analogis dan dapat disamakan dengan metafora, yaitu mengganti sebuah ujaran dengan penanda yang lain, bukan dengan penanda terdekat seperti dalam metonimi, tetapi dengan penanda yang mempunyai kemiripan dengan penanda yang pertama.[xxvii] Tentu saja di sini, antara bahasa mimpi dan bahasa sastra terdapat perbedaan, dalam bahasa mimpi berupa mekanisme tak sadar, sedangkan dalam bahasa sastra (surealisme) berupa tindakan sadar. Dalam mimpi kesadaran tidak ikut campur, dalam sastra (surealisme) kesadaran ikut terlibat menciptakan hal itu.

Itulah prosedur yang serupa antara interpretasi mimpi Sigmund Freud dan sastra (surealisme). Pandangan ini besar pengaruhnya pada cara estetika kesusastraan surealisme, yang berprinsip bahwa dunia mimpi adalah dunia alternatif. Sebagaimana pernah dikatakan Andre Breton bahwa dalam kesusastraan dan seni surealisme, alam bawah-sadar hendaklah digali dan dimanfaatkan. Ungkapan batin yang irasional seperti mimpi, intuisi, asosiasi bebas, harus dipelihara berdasar psikoanalisis Sigmund Freud. Di samping interpretasi mimpi, perlu diketahui tentang asosiasi bebas dan transferensi sebagai kelanjutan pe­nemuan Sigmund Freud. Hal ini juga berpengaruh bagi pemikiran dan estetika surealisme.

Asosiasi bebas ditemukan oleh Sigmund Freud ketika ia menangani pasiennya, yakni dengan memberi keleluasaan pada pasien untuk menceritakan segala macam pikiran atau khayalan yang secara spontan sedang dialami oleh diri si pasien, tanpa ada sedikit pun bagian yang disembunyikan.[xxviii] Kelanjutan penemuan asosiasi bebas ini adalah penemuan Sigmund Freud tentang transferensi yang didefinisikan sebagai suatu proses pemindahan sikap dan ide-ide yang pernah terjadi pada analisnya.[xxix] Asosiasi bebas dan transferensi adalah spontanitas si pasien. Dalam kesusastraan surealisme proses seperti itu terjadi dalam proses kreatif pengarang.

Terlepas dari kritik yang diarahkan pada teori dan pandangan Sigmund Freud mengenai kesusastraan, sejarah telah mencatat bahwa psikoanalisis Sigmund Freud berpengaruh besar pada berbagai bidang, termasuk seni dan kesusastraan surealisme. Misalnya, kritik yang pernah dilontarkan oleh Anthony Storr yang juga seorang ahli psikoterapi, bahwa kesalahan utama pandangan Sigmund Freud adalah mendasarkan segala perilaku manusia pada psikoseksual. Padahal, perkembangan seksual hanyalah sebuah mata-rantai bagi perkembangan sosial dan emosional saja.[xxx]

Kritik Anthony Storr itu ditujukan pada prinsip Sigmund Freud yang mengatakan bahwa tenaga pendorong dalam kehidupan manusia ialah libido, yakni tenaga yang ditimbulkan oleh nafsu seksual. Bagi Sigmund Freud, kesenian adalah cara lain dari penggunaan tenaga libido selain seksualitas. Seniman menggunakannya sehingga memungkinkan dirinya terhindar dari hal yg kompleks. Hal ini pernah dicontohkannya dengan menunjuk pada karya sastra semacam The Brothers Karamazov karya Dostoevsky, juga pada karya klasik Oedipus Rex karya Shopokles, dan Hamlet karya Shakeaspeare.

Sebagai akhir, untuk lebih konkret dicontohkan sebuah sajak Charles Boudelaire. Sajak Charles Boudelaire oleh para pengamat kesusastraan Perancis dipandang sebagai embrio surealisme meskipun ditulis jauh hari sebelum Andre Breton mencanangkan gerakan surealisme.[xxxi] Sajak yang aslinya berjudul “Correspondances” ini diterjemahkan Wing Kardjo menjadi “Perimbangan” sebagai berikut.[xxxii]


                               Perimbangan

     Alam adalah kuil di mana pilar-pilarnya yang hidup

     Kadangkala menggumamkan omongan-omongan balau;

     Manusia lalu di sana nyebrang hutan lambang

      Yang menatapnya dengan pandangan akrab. 

 


     Bagai gema memanjang yang di kejauhan bergalau


     Dalam satu kesatuan yang kelam dan dalam,


     Luas bagai malam dan bagai benderang,


     Bau-bauan, warna-warna dan bunyi-bunyian saling bersahutan.


     Ada bauan segar seperti tubuh bocah


     Lembut bagai seruling, hijau seperti padang,


     Dan yang lain, busuk, kaya, dan megah.


 


     Merasuk bagai hal-hal yang tiada terwatas


     Seperti ambar, kasturi, kemenyan, dan cendana,


     Yang menyanyikan gairah semangat dan indra.


 


Sajak Charles Boudelaire itu adalah pengungkapan jiwa. Ada rasa tragis sebagai manusia yang dikembangkan dalam karyanya yang lain ke tingkat yang setinggi-tingginya. Hal yang menarik dari pandangan Charles Boudelaire adalah bahwa alam merupakan “hutan lambang”, yang harus disingkap cadar kemaknaannya. Metode irasional dan “kemabukan” tercermin dalam sajak Charles Boudelaire, termasuk sajak “Perimbangan” itu. Kecenderungan metode irasional dan “kemabukan” itu akhirnya dikembangkan dan mendominasi dalam karya seni kaum surealisme.


Dalam sajak “Perimbangan”, proses simbolisasi yang digunakan bermula dari frasa “alam adalah kuil”. Simbolisasi ini adalah upaya loncatan imaji lewat pencitraan visual kuil. Dalam teori Sigmund Freud hal ini disebut sebagai representasi, yakni proses ketika pikiran diubah menjadi bayangan visual. Dengan representasi ini, terbukalah peluang bagi fantasi selanjutnya. Teknik seperti ini bisa digolongkan sebagai teknik “arus kesadaran”, yang di kemudian hari banyak dipakai oleh kaum surealis.


Pada tahap selanjutnya, setelah masa Charles Boudelaire, Arthur Rimbaud, Paul Verlaine, dan seterusnya, model pengucapan kepuitisan surealisme lebih “ruwet” lagi. Perlu ditegaskan bahwa gerakan surealisme bukanlah gerakan yang hanya bersifat estetis, tetapi juga membawa ideologi tertentu dalam cara pandang terhadap dunia, yakni sejalan dengan ide-ide dan teori psikoanalisis Sigmund Freud.*****


Catatan Akhir


[i] Penulis adalah penyair, dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.


[ii] Anthony Storr, Freud Peletak Dasar Psikoanalisis (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal. 112.


[iii] A. Teeuw, Tergantung Pada Kata (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 12.


[iv] Lihat, Dick Hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), hal. 140.


[v] Ibid


[vi] Lihat, Anthony Storr, op.cit., hal. 205-206. Represi pervesi adalah proses psikis yang berlangsung secara tidak sadar ketika pikiran atau keinginan terhadap penyimpangan kelainan atau kelainan dalam tingkah laku seksual, yang dianggap tidak pantas, disingkirkan dari kesadaran, tetapi tidak lenyap sama sekali.


[vii] Ibid., hal. 205. Neurosis adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan gejala-gejala campuran antara gelisah, pobia, obsesi, dan dorongan-dorongan untuk melakukan hal yang tidak masuk akal.


[viii] Lihat, Anthony Storr, op.cit., hal. 114. Lihat juga dalam Max Milner, Freud dan Interpretasi Sastra (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 17-24.


[ix] Anthony Storr, op.cit., hal.116.


[x] Max Milner, op.cit., hal 48.


[xi] Anthony Storr, op.cit., hal. 123.


[xii] Ibid., hal 126.


[xiii] Anthony Storr, op.cit., hal.126.


[xiv] Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: P.T. Cipta Adi Pustaka, 1988), Jilid 1A-Amy, hal.257.


[xv] Lihat, Ensiklopedi Nasional Indonesia, op. cit., Realitas superior adalah realita yang lebih dari sekadar realita biasa.


[xvi] Ibid.


[xvii] Ensiklopedi Nasional Indonesia, op. cit.


[xviii] Lihat, Max Milner, “Introduksi”, op.cit., hal xi-xiv.


[xix] Max Milner, op.cit., hal. 32-46.


[xx] H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal.31.


[xxi] Dick Hartoko dan B. Rahmanto, op.cit.


[xxii] Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 42.


[xxiii] H.B. Jassin, op.cit., hal 32.


[xxiv] Max Milner, op.cit., hal 43.


[xxv] Ibid.


[xxvi] Max Milner, op.cit., hal 44.


[xxvii] Ibid.


[xxviii] Anthony Storr, op.cit., lihat hal. 45-64.


[xxix] Ibid.


[xxx] Lihat, Anthony Storr, op.cit., hal. 29-44.


[xxxi] Lihat, Wing Kardjo , Pengantar”, Sajak-Sajak Modern dalam Dua Bahasa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1975, hal. 13-23.


[xxxii] Ibid., hal. 27.


 

Abdul Wachid B.S.

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa