Kompetensi Literasi Digital
Ada refleksi menarik pada saat saya berkunjung ke rumah orang tua siswa yang bermasalah pada masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini. Kurang lebih, orang tua itu mengatakan bahwa pendidikan karakter gagal karena paparan informasi buruk yang diterima siswa dari perangkat teknologi digital. Perlu diketahui bahwa pada masa PJJ ini pembelajaran memang disalurkan melalui teknologi digital. Menariknya, orang tua tersebut mengaku bahwa anaknya selalu belajar dari rumah dengan mengajukan bukti bahwa anak tersebut selalu saja sibuk dengan gawai. Namun, faktanya, tugas-tugas dari sekolah tak dikerjakan oleh siswa tersebut.
Dari kenyataan tersebut mengemukalah hiptotesis saya, yaitu orang tua “tidak peduli” terhadap tindakan-digital anak-anaknya. Alasannya sederhana: mereka tahu bahwa karakter anak berpotensi menjadi buruk, tetapi malah tidak mengawasi tindakan-digital anaknya. Hal itu kemudian terafirmasikan di dalam studi Tim Kompas bahwa sebanyak 53,5 persen orang tua mendampingi anak, tetapi hanya 49,1 persen yang memeriksa konten yang dibuka anak (Kompas, 26-07-2018). Walau begitu, tidak sepenuhnya orang tua bersalah karena mereka merupakan pendatang baru di dunia teknologi digital.
Namun, harus dipahami bahwa jika tidak diawasi dan dikontrol, dampak buruk terhadap anak bisa-bisa tidak terhindarkan. Adiksi gawai, misalnya, berpotensi untuk muncul. Kompas pernah mengangkat kisah sebelas anak di Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Koesnadi, Kabupaten Bondowoso, Jatim yang dirawat secara intensif karena adiktif terhadap gawai (26-07-2018). Dikisahkan bahwa karena gawai, selama 3 hari 2 malam anak itu tetap sibuk tanpa makan dan tidur. Jika dilarang orang tuanya, anak itu bisa marah, bahkan sampai membenturkan kepalanya ke tembok.
Membuang-buang Waktu
Dengan melihat kenyataan itu, tampak sekali bahwa teknologi digital adalah serupa candu: sangat berbahaya. Namun, sebetulnya tidak! Pada 2018 Globe Asia pernah mengeluarkan hasil temuannya terkait dengan empat orang pegiat start-up di Indonesia yang berhasil masuk menjadi orang-muda kaya baru dalam jajaran 150 orang terkaya di Indonesia, yaitu Ferry Unardi (Traveloka), William Tanuwijaya (Tokopedia), Achmad Zaky (Bukalapak), dan Nadiem Makarim (Go-Jek). Keempat orang-muda kaya itu tentu saja tidak bisa dimungkiri pasti selalu sibuk dan asyik dengan gawai.
Secara visual, kisah anak yang dirawat di Poli Jiwa RSUD Koesnadi dan keempat pegiat start up tersebut terlihat sama: mencandu gawai. Namun, ada perbedaan mendasarnya. Yang satu mencandu gawai untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu, sedangkan yang satu lagi untuk mengisi waktu luang secara produktif. Hanya saja, tren tindakan-digital kita lebih banyak berkaitan dengan menghabiskan waktu daripada mengisi waktu. Semestinya, era pandemi dengan skema “belajar dari rumah” dan “bekerja dari rumah” bisa membuat kita makin telaten agar fokus untuk mengisi waktu dengan teknologi.
Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa pada masa pandemi ini kita justru makin suka membuang-buang waktu (wasting time). Hal itu terekam dalam studi Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social. Hingga 2021, setidaknya sebanyak 170 juta orang di Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial. Rata-rata waktu yang dihabiskan dalam 1 hari adalah 3 jam 14 menit (platform media sosial), 2 jam 50 menit (televisi), 1 jam 38 menit (media massa online/cetak), dan 1 jam 30 menit (layanan streaming musik).
Jika ditotal, rata-rata tindakan-digital kita per hari adalah 9 jam 12 menit, yang artinya itu melebihi jam kerja normal, yaitu 8 jam per hari. Dramatisnya, banyaknya jam digital itu agaknya tidak diikuti dengan produktivitas kerja. Kita justru menjadi konsumtif, bahkan bermoral makin buruk. Keadaban masyarakat Indonesia, misalnya, masih sangat rendah dalam beraktivitas di dunia maya dan menggunakan aplikasi media sosial. Periksalah studi Digital Civility Index yang baru dirilis Microsoft terhadap 16.000 responden di 32 negara antara April—Mei 2020. Di sana ditunjukkan bahwa kita berada pada peringkat 29 dengan skor 76.
Teknologi digital terbukti menjadi neraka. Kita memang makin terkoneksi, tetapi pada saat yang sama kita justru makin menjadi provokatif. Perhatikanlah, misalnya, isu kebencian di dunia digital tak jarang malah meledak juga di dunia nyata. Contohnya adalah kasus pembakaran rumah ibadah di Tanjung Balai, Sumatra Utara. Begitu juga halnya dengan perekrutan teroris di dunia maya melalui video yang berisi konten radikal. Bahkan, kekerasan seksual terhadap anak muda tak jarang bermula dari perkenalan di dunia maya.
Semua hal itu menandaskan kepada kita bahwa kompetensi digital kita masih sangat rendah. Celakanya, obat dari rendahnya kompetensi itu sepertinya tidak dimiliki lembaga-lembaga negara. Sebagai bukti, untuk mengatasi wabah kebencian di media sosial, misalnya, masyarakat justru masih lebih percaya kepada lembaga komersial, seperti perusahaan media sosial (59 persen) dan media berita (54 persen), daripada pemerintah (48 persen), bahkan juga lembaga pendidikan (46 persen) dan lembaga keagamaan (41 persen).
Kapan Kita Mengisi Waktu?
Apabila media sosial dan media berita tak berubah, adab digital kita juga tak kunjung berubah. Karena itu, tak heran jika daya saing digital kita pun rendah. Menurut IMD World Digital Competitiveness, kita berada di urutan ke-56 dari 62 negara. Mengapa kompetensi digital kita rendah? Saya melihat bahwa setidaknya ada benang merah dari rendahnya daya saing digital terhadap rendahnya kemampuan literasi kita. Menurut UNICEF, indeks keterbacaan kita hanya 0,001. The World’s Most Literate Nations 2016 juga menempatkan kita di peringkat ke-60 dari 61 negara.
Rendahnya literasi inilah yang membuat kita tercebur ke dalam jebakan literasi digital. Tanpa membaca, kita membagi berita bernada provokatif dan mengandung hoaks begitu rupa. Kita bersembunyi di balik alasan normatif: hanya turut berbagi. Tak ada rasa bersalah, apalagi tanggung jawab. Bagi kita sederhana saja, seperti kata Cabell Gathman (2014), “Turut memproduksi dan menyebarkan kebencian tanpa perlu memeriksa kesahihan berita". Hasilnya, kita terjebak di dalam kepungan kebencian di dunia maya, lalu terdesak hingga dunia nyata. Itu terjadi karena di dunia maya kita tak punya intuisi untuk menahan, apalagi menarik diri.
Kata Marry Aiken, “Ketika menapakkan kaki ke semak-semak belukar, intuisi manusia langsung mengatakan: awas ular”. Di dunia digital, intuisi itu belum ada. Kita belum matang dalam literasi cetak, tetapi langsung melompat ke literasi digital. Seperti yang dikatakan oleh W.S. Rendra bahwa kita sudah lama mengenal abjad tulisan, tetapi tradisi kita tak beranjak ke budaya tulis, apalagi literasi digital. Hal itu pun berdampak terhadap karakter yang memburuk sebab lebih dari 9 jam kita hanya menikmati konten yang buruk, baik dari televisi, media sosial, maupun media-media lainnya. Kita hanya membuang-buang waktu. Lalu, kapan kita mengisi waktu?
Riduan Situmorang
Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan dan Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF)