Peta Jalan Literasi Baru

Peta Jalan Literasi Baru

Memasuki tahun keenam, sejak pertama kali dicanangkan 2016, Gerakan Literasi Nasional (GLN) sepertinya belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Rendahnya tingkat kecakapan literasi siswa sekolah khususnya selalu dijadikan rujukan. Memang, faktanya, rangking kecakapan literasi siswa Indonesia sebagaimana diukur melalui PISA sangat tidak menggembirakan.

Demikian juga, tingkat kualitas literasi masyarakat pada umumnya masih banyak menunjukkan catatan negatif. Padahal, ada beragam program di berbagai kementerian dan lembaga yang telah diluncurkan. Anggaran pun pasti tidak sedikit.

Tampaknya, fakta berikut ini bisa menjelaskan kondisi kecakapan literasi yang masih belum beranjak baik tersebut.

Pertama, program bersama yang belum bersama-sama. Literasi telah menjadi program bersama di beberapa kementerian dan lembaga. Bukan hanya di Kemendikbud, melainkan ada juga di Kemenkominfo, Kemendes, Kemendagri, dan Perpusnas. Sayangnya, program bersama tersebut justru tidak dikerjakan secara bersama-sama dengan mengacu kepada cetak biru yang sama.

Peta jalan literasi yang sudah disusun di awal pencanangan GLN ini tidak dipedomani sebagai jalan bersama untuk meningkatkan kompetensi literasi para siswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Tiap pihak sepertinya terlalu fokus menggarap bagian yang menjadi tanggung jawab mereka dan lupa untuk menengok tujuan besar dan utama dari GLN itu.

Kedua, GLN tidak memulai program perbaikan di hulu, tetapi langsung menggarap persoalan yang tampak di tengah atau di hilir. Cara seperti itu menyiratkan strategi jalan pintas. Padahal, pembangunan literasi ialah investasi jangka panjang.

Negara-negara seperti Finlandia, Inggris, Amerika, Tiongkok, dan Singapura, misalnya, baru melihat hasil investasi program literasi mereka setelah lebih dari 10 tahun perbaikan terus-menerus di hulu dan bergerak perlahan, tapi pasti menuju hilirnya.

Sudah dapat dipastikan, akibat pola pikir jalan pintas tadi, potret literasi yang diperoleh baru berupa klise corak tambal-sulam, yang tidak memberikan gambaran utuh dari upaya memperbaiki kondisi literasi yang ingin dicapai.

Perbaikan kualitas literasi, baik di sekolah maupun di masyarakat, sangat bergantung pada ada-tidaknya kegemaran, atau minat membaca. Minat baca sangat ditentukan ketersediaan bahan bacaan yang menarik hati para calon pembaca.

Persoalan di hulu seperti inilah yang menyelimuti kondisi literasi kita sejak lama, yakni rendahnya minat baca dan langkanya bahan bacaan. Dengan demikian, perbaikan yang mendesak dilakukan ialah menata masalah-masalah di hulu ini, bukan ambil jalan pintas menggarap bagian tengah atau hilir semata.

Persoalan ketiga, terkait dengan lemahnya monitoring dan evaluasi (monev) dan upaya pendampingan selama program berlangsung. Membangun kecakapan literasi memerlukan kesabaran dan ketelatenan. Setiap program harus dilakukan secara berkesinambungan dengan pendampingan yang terus-menerus. Setiap kemajuan perlu dilihat lalu dicatat untuk menjadi rujukan perancangan program berikutnya.

Sementara itu, setiap kendala yang muncul dicatat dan langsung ditangani agar tidak menghambat pencapaian target. Sayangnya, yang terjadi sering kali kebalikannya, yaitu setelah program diluncurkan, keterlibatan penyelia literasi seolah dianggap selesai. Kemudian, program diserahkan kepada sekolah atau masyarakat untuk dilanjutkan. Akibatnya, pihak guru di sekolah atau penggerak literasi di masyarakat kelimpungan.

Akhirnya, program pun tidak berumur lama, bagaikan hangat-hangat tahi ayam. Gaya hit and run seperti diperagakan aktor Chuck Norris ini tentu saja tidak bisa diterapkan dalam membangun kecakapan literasi. Khusus dalam konteks gerakan literasi di sekolah, praktik literasi belum melibatkan semua pemangku kepentingan (sebagai sebuah ekosistem, para pemangku kepentingan di sekolah ialah siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan orangtua). Tampaknya, tidak semua unsur dari ekosistem sekolah ini bergerak bersama-sama. Bahkan, pada level guru pun, yang lebih banyak terlibat dan diberi tanggung jawab untuk program literasi di sekolah ini ialah guru mata pelajaran bahasa Indonesia, atau sebagian guru bahasa daerah atau asing.

Literasi belum dipahami sebagai bagian integral dalam semua mata pelajaran. Padahal, kecakapan untuk mengenali, memahami, menerapkan, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi, dan mencipta bisa dan memang ditemukan pada semua mata pelajaran.

Kecakapan tersebut diperoleh dan dikembangkan melalui kegiatan pengembangan keterampilan berbahasa dalam semua mata pelajaran secara reseptif (membaca dan menyimak), dan produktif (berbicara dan menulis). Sayangnya, bahkan para guru bahasa (Indonesia) sekalipun tidak mempraktikkan pengembangan kecakapan literasi ini melalui empat keterampilan berbahasa tersebut.  

Cara pandang baru

Dengan berkaca pada pengalaman lima tahun terakhir mendapatkan hasil yang belum optimal, pasti ada pelajaran yang sangat berharga. Pengalaman selalu menjadi guru terbaik.

Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim memberikan sinyal kuat untuk melakukan perubahan mendasar dalam kebijakan literasi di sekolah. Pertama, perbaikan dari hulu. Sebagaimana disinggung tadi, kelangkaan buku untuk bahan pengayaan program literasi di sekolah menjadi salah satu biang keladi rendahnya minat baca siswa. Kalaupun ada bahan bacaan, masalahnya ialah bacaan itu bukan berisi cerita yang menarik dan sesuai dengan keinginan siswa. Lebih banyak bacaan itu yang dibuat dari perspektif orang dewasa, yaitu materi yang ingin diberikan orang dewasa kepada anak. Alasannya, materi itu, menurut orang dewasa, baik untuk—atau bahkan harus—dibaca anak. Padahal, anak sebagai pembaca belum tentu memiliki pikiran yang sama.

Dengan menyadari hal itu, kebijakan akan diarahkan untuk memfasilitasi ketersediaan buku bacaan yang benar-benar sesuai dengan kesukaan anak, baik tema, kerumitan struktur bahasa, kosakata, dan ilustrasinya.

Hasil survei tentang jenis, karakter, dan penyajian bacaan yang disukai anak dan penjenjangan tingkat kesulitan bahan bacaan menjadi acuan dalam penyediaan bacaan untuk program literasi ini. Semua sumber daya yang ada disiapkan untuk mendukung peta jalan baru literasi ini. Dengan tersedianya bahan bacaan dengan karakteristik seperti disebutkan itu, ada harapan besar kebiasaan membaca sebagai titik pangkal pertumbuhan kecakapan literasi pun berangsur membaik.

Kedua, melibatkan semua pihak dalam ekosistem sekolah. Tanggung jawab program literasi terletak pada semua pihak. Semua guru akan ambil bagian untuk mengintegrasikan program itu ke dalam mata pelajaran yang diampu mereka. Sebagai manajer, kepala sekolah akan mengatur ulang program pembelajaran di sekolah.Perubahan kebijakan juga akan menyangkut keleluasaan kepala sekolah untuk memanfaatkan dana BOS untuk penyediaan penunjang kegiatan literasi.

Sementara itu, sebagai penyelia, para pengawas akan aktif menjadi narasumber dan fasilitator perubahan praktik literasi dalam lingkup kepengawasannya. Secara terjadwal, mereka melakukan pendampingan kepada sekolah untuk menjamin terjadinya proses ‘berliterasi’ yang optimal. Dengan bertolak dari sudut pandang ini, penyesuaian kurikulum yang lebih berorientasi kepada penguatan kecakapan literasi menjadi keniscayaan.

Bahan pengayaan literasi akan tersedia dalam bentuk cetak dan digital. Tidak dimungkiri bahwa para siswa sudah semakin akrab dengan dunia digital. Kemudahan akses dan banyaknya pilihan yang tersedia untuk para siswa menjadi nilai tambah inisiatif ini. Namun, buku cetak akan tetap tersedia untuk kelompok siswa dengan karakter dan di wilayah tertentu.

Terobosan kebijakan seperti inilah yang diyakini akan mampu menjadi pengungkit naiknya kecakapan literasi para siswa. Kementerian dan lembaga lain dapat berperan optimal untuk secara bersama-sama mencapai harapan meningkatnya kecakapan literasi siswa secara optimal menurut kewenangan masing-masing. Ketika gagasan ini digarap secara gotong-royong, Indonesia Emas 2045 bukan hanya impian.




 


E. Aminudin Aziz

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa