Citraan

Dalam sebuah sajak, hal yang terpenting ialah bagaimana seorang penyair berkemampuan menghidupkan (apa) dunia yang dibangunnya melalui kekuatan bahasa yang khas yang dimilikinya. Kata “menghidupkan” apa yang dibangunnya itu menyangkut keutuhan antara bentuk dan isi sajak, sebagaimana pernah dikemukakan Goenawan Mohamad, “...puisi ... pertama-tama hadir sebagai keutuhan”. Ketika itu Goenawan Mohamad menolak tesis Umar Junus mengenai interpretasinya terhadap sajak Chairil Anwar (Hoerip (ed.), 1983:163-164).

Keutuhan diperlukan sebab sajak sangat mengutamakan kata-kata sebagai pendukung imaji meskipun kata-kata itu juga berperan sebagai lambang. Hal demikian itu dapat dikatakan ada di setiap aliran sajak, baik itu simbolisme, surealisme, maupun imajisme. Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan hal yang sama, “Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, namun yang utama ialah sebagai obyek pendukung imaji” (Budaya Jaya, no. 20, th. III, Januari 1970).

Kata-kata sebagai pendukung imaji tersebut tidak lain merupakan citraan. Dalam sajak, citraan umumnya digunakan dalam dua pengertian, yakni sebagai pengalaman indra dan bentuk bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan pengalaman indra itu. Tentu saja, sebuah sajak yang baik senantiasa memperhitungkan adanya keutuhan antara bentuk dan isi, serta keutuhan penggambaran-penggambaran imajinya sehingga mampu memberi nuansa berimajinasi dan berpikir kepada pembaca. Di samping itu, menurut Rene Wellek, “penggambaran” itu menunjukkan adanya pandangan hidup (weltanschauung) yang tersirat dalam karya sastra tersebut (Wellek, 1987:246).

Ada beberapa istilah dan kegunaan sehubungan dengan citraan ini, yaitu image dan imagery, yang batasan pemakaiannya diuraikan sebagaimana berikut ini.

       Image adalah impresi yang terbentuk pada imajinasi melalui sebuah kata atau serangkaian kata; seringkali merupakan gam­baran angan-angan (Monfries via Pradopo dkk., 1978: 53).

  ... Image adalah kata benda yang termasuk jenis count noun (atau countable), jadi merupakan unit yang dapat dipakai membentuk tunggal (an image) maupun jamak (images), sedangkan imagery termasuk jenis non count atau uncountable, jadi hanya dipakai dalam bentuk tunggal dan berarti seperangkat image atau seluruh image dalam sebuah naskah.

Gambaran dari pengalaman indrawi dalam puisi disebut imagery. Imagery tidak hanya terdiri atas ‘gambaran mental’, tetapi juga dapat menggugah indra-indra lain (Brocks dan Warren via Pradopo, 1978:53). Menurut H. Coombes, seorang pengarang yang baik menggunakan image yang segar dan hidup dengan tujuan memperjelas dan memperkaya. Image yang berhasil akan membantu menghayati suatu subjek terhadap objek atau situasi yang digarap oleh pengarang secara cermat dan hidup (1966:43).

Dalam psikologi, kata ‘citra’ berarti reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi serta tidak bersifat visual. Para ahli psikologi dan estetika menggolongkan bermacam jenis citraan ini, antara lain: penciuman, pencicipan, suhu, tekanan, gerak, sentuhan, rasa, simpatik. Altenbernd bahkan menambahkan sebuah citraan yang dihasilkan oleh asosiasi intelektual. Menurut Altenbernd, citraan berarti salah satu kepuitisan yang utama, yang dengan itu kesusastraan mencapai sifat konkret, mengharukan, dan menyaran (1970:13-14). Tentu saja, tidak ada sebuah sajak pun yang mengkhususkan pada salah satu bentuk citraan saja. Penyair yang baik senantiasa berusaha mempergunakan segala kemampuan estetisnya demi kesempurnaan sajaknya.

Dalam konteks kriteria sajak yang baik dapat dikatakan bahwa sebuah sajak yang baik pastilah mendayagunakan citraan di dalamnya, sekalipun sajak tersebut bukanlah sajak imajis, melainkan sajak ide (Mohamad via Hoerip (ed.), 1983: 167) sebagaimana sajak karya Chairil Anwar berikut ini (Anwar, 1986:28).


          Bercerai

 Kita musti bercerai.

Sebelum kicau murai berderai.

Terlalu kita minta pada malam ini.

Benar belum puas serah menyerah.

 Darah masih berbusah-busah.

 Terlalu kita minta pada malam ini.

 Kita musti bercerai.

Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai.

 Dua dunia bakal bentur membentur.

 Merah kesumba jadi putih kapur.

 Bagaimana?

Kau IDA, mau turut mengabur.

 Tidak samudra caya tempatmu menghambur.

Dalam sajak Chairil Anwar itu tidak ada citraan yang mandiri sebagai latar, tetapi kata-kata berwujud pernyataan-pernyataan. Namun, pernyataan-pernyataan itu pun memberi nuansa suasana sebagai keutuhan imaji meskipun tidak sedominan sajak imajis atau sajak “suasana”. Misalnya, baris sajak ‘Kita musti bercerai/Sebelum kicau murai berderai// Terlalu kita minta pada malam ini’ juga merupakan citraan yang memberi suasana meskipun citraan itu tidak dimaksudkan penyair sebagai latar. Akan tetapi, pernyataan-pernyataan dalam sajak itu telah menyaran bahwa ada suami dan istri sedang bertengkar pada malam hari, suatu pertengkaran yang tak dapat diselamatkan lagi, yang berujung pada kata ‘bercerai’.

Dalam sajak imajis, yang sering kali berupa sajak “suasana”, bangunan citraan lebih dominan lagi. Ezra Pound, seorang tokoh imajisme, pernah mengatakan, “Kami beranggapan bahwa puisi harus menggambarkan hal-hal yang khusus dengan jelas, dan tidak berurusan dengan hal-hal yang umum dan kabur, bagaimanapun... enak kedengarannya (via Wellek via Pradopo, 1987:237-238). Dengan kata lain, tetapi esensinya sama, Goenawan Mohamad pun mengatakan sebagai berikut (Hoerip (ed.), 1983:167).

     Dalam sajak-sajak “imajis”, yang berupa puisi “suasana”, imaji muncul atau bermunculan secara bebas mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu “mandiri”, bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan.

Untuk lebih jelasnya, pernyataan tersebut dicontohkan dalam sebuah sajak berjudul “Sarangan” karya Abdul Hadi W.M., yang oleh banyak pengamat sastra dikategorikan sebagai sajak imajis, berikut ini (1971:4).


                      Sarangan

  Pohon-pohon cemara di kaki gunung

  pohon-pohon cemara

  menyerbu kampung-kampung

   bulan di atasnya

   menceburkan dirinya ke dalam kolam

   membasuh luka-lukanya

    dan selosin dua sejoli

    mengajaknya tidur

Sebaliknya timbul pertanyaan, apakah karena sajak Abdul Hadi W.M. itu merupakan sajak imajis maka tidak bermuatan ide? Menurut penulis tidaklah demikian. Sajak tersebut memang tipikal sajak imajis, tetapi tetap mempunyai ide sebagai gagasan mula pertama penyair meskipun ide itu terselubung dalam penampilan-penampilan suasana sajak. Gagasan atau ide sajak itu ialah keindahan alam Sarangan (alam pada umumnya) yang dapat ‘membasuh luka’ dan menumbuhkan romantisme ‘dua sejoli’. Jadi, pada konteks sajak tersebut citraan tidak saja bersifat deskriptif, tetapi juga simbolik (Wellek via Pradopo, 1987:238). Selain itu, di samping merupakan persepsi, citraan juga mewakili sesuatu yang tidak tampak atau yang berada ‘di dalam’ (inner). Citraan yang tidak saja deskriptif, tetapi juga simbolik, akan lebih tampak pada sajak surealis D. Zawawi Imron, yang di dalamnya realitas bersifat berganda.*****

Daftar Pustaka

Altenbernd, Lynn & Leslie L. Lewis. 1969. Introduction to Literature: Poem. Canada: Collier Macmillan, Ltd.

Anwar, Chairil. 1986. Aku Ini Binatang Jalang. Ed. Pamusuk Eneste. Jakarta: Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko. “Puisi Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan”. Dalam Budaya Jaya, No. 20, Th. III, Januari 1970.

Hadi W.M., Abdul. 1971. Laut Belum Pasang. Jakarta: Litera.

________ . (Ed.). 1985. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________ . (Ed.). 1985. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.

Hoerip, Satyagraha. (Ed.). 1983. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Imron, D. Zawawi. 1982. Bulan Tertusuk Lalang. Jakarta: Balai Pustaka.

________ . 1985. Nenekmoyangku Airmata. Jakarta: Balai Pustaka.

________ . 1986. Celurit Emas. Surabaya: Bintang.

Pradopo, Rachmat Djoko. M. Suratno. Alex Rambadeta, dan A. Wirono. 1978. Memahami Sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo, Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengakajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

________ . 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Lukman.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa