Bahasa Sajak di Antara Subjektivitas
Ada perbedaan tertentu antara bahasa di dalam sajak dan bahasa di luar sajak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa bahasa pada umumnya adalah alat untuk mengomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang berlangsung di dalam jiwa manusia. Sementara itu, yang membedakan bahasa di dalam sajak dengan bahasa di luar sajak adalah adanya kenyataan lain yang tersembunyi di balik bahasa sajak yang berupa tujuan awal penyair, ungkapan hati, perasaan, daya khayal, dan wilayah kenyataan baru yang sedang dijelajahi penyair. Di samping itu, bahasa di dalam sajak mencerminkan ketegangan kreativitas penyair karena keinginan kuat penyair untuk membentuk karakteristik bahasa di dalam sajaknya. Hal tersebut justru destruktif terhadap bahasa lama, sebagaimana pernah diungkap oleh Chairil Anwar ketika mengomentari sajak Amir Hamzah.[i]
Dengan begitu, bahasa di dalam sajak memang menjadi terkesan subjektif dalam memandang dan mengungkap objek (realitas). Namun, justru subjektivitas itulah yang dipentingkan dalam pengucapan bahasa sajak sebab subjektivitaslah yang membuat ---pada proses perkembangannya--- bahasa di dalam sajak berbeda dengan bahasa di luar sajak. Proses perkembangan suatu bahasa dapat didukung oleh banyak hal seirama dengan perkembangan masyarakat pemakai bahasa, baik dari segi sosiologi, sains, teknologi, dan lainnya, serta secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh Badan Bahasa, ataupun masyarakat pemakainya secara bersama.
Aristoteles pernah melontarkan pendapat bahwa seni adalah katarsis atau penyucian jiwa, bahasa menjadi semacam ritual estetis, upacara pembersihan diri dari nafsu rendah. Hal itu justru berbeda dengan prinsip Plato, yaitu bahwa seni cenderung mengimbau yang bukan rasio, melainkan nafsu dan emosi yang justru harus ditekan.[ii]
Lepas dari perdebatan klasik itu, dari semula proses “penciptaan” bahasa itu sendiri telah dipenuhi oleh kreativitas sebuah komunitas bahasa. Hal ini sama kreatifnya dengan proses penciptaan sajak oleh seorang penyair. Bedanya, penyair selalu bekerja keras agar bahasa di dalam sajaknya lebih hidup dan mempunyai warna pribadi pengucapan sajak. Jalan yang ditempuh penyair agar bahasa di dalam sajaknya hidup, antara lain dengan menggandakan makna melalui berbagai unsur sajak. Oleh karena itu, bahasa sajak bersifat polyinterpretable atau multitafsir dan sangat konotatif.[iii] Hal ini yang menjadikan bahasa di dalam sajak tak terikat pada perjanjian bahwa kata udara harus mengandung O2, atau kata rambut dalam sajak berjudul “Rambut” karya D. Zawawi Imron tidaklah harus semakna dengan yang ada dalam “Sajak Putih” karya Chairil Anwar. [iv]
Perbedaan makna itu lebih disebabkan oleh subjektivitas pemikiran semula antara penyair satu dengan penyair lainnya tatkala memahami sebuah objek (rambut). Perbedaan pemikiran itu pun dipengaruhi oleh subjektivitas-subjektivitas lain yang berhubungan dengan konsep tertentu yang dimiliki masing-masing penyair. Jadi, subjektivitas menuntun seorang penyair mempunyai independensi bahasa, dan hal itu justru penting bagi kekhasan perpuisian seorang penyair. Dunia faktual disentuh oleh subjektivitas penyair, lalu menjelma sebuah dunia baru.
Benar bahwa seorang penyair mencari ide baru, tema baru, bahkan bahan pokok baru bagi penciptaan sajaknya, tetapi hal demikian berlangsung tanpa adanya tekanan dari pihak luar dirinya. Untuk ini, Abdul Hadi WM pernah memberi ilustrasi: kata dan kombinasi kata-kata yang digunakan penyair menjadi berubah sama sekali bila dibandingkan dengan kata dan kombinasi kata-kata keseharian di luar sajak.[v]
Pengakuan Subagio Sastrowardoyo pun memperjelas hal ini :
“Ketika saya mendapatkan ilham, kata-kata dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak. Kerap kali saya merasa seperti mabuk kata-kata.”[vi]
Dari segi lain, subjektivitas penyair dalam menyikapi bahasa di dalam sajaknya juga dipengaruhi latar belakang sosial budaya penyair itu sendiri. Menurut Umar Kayam, pada konteks ini adakalanya pengucapan sajak menjadi multilingual,[vii] seperti pada prosa-lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, atau Golf untuk Rakyat karya Darmanto Jatman. Hanya saja perlu diwaspadai bahwa multilingualisme yang berlebihan akan berakibat ketidakindonesiaan bahasa Indonesia.
Begitulah ketegangan yang terjadi dalam menyikapi bahasa sajak, juga sastra pada umumnya, sehingga sastrawan menjadi kritis dan idealis terhadap bahasa. Hal ini sebagaimana ungkapan Chairil Anwar
“Kita musti menimbang, memilih, mengupas dan kadang sama sekali membuang. Baru mengumpulsatukan.”[viii]
atau dalam ungkapan Sapardi Djoko Damono
“Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intusi penyair. Meskipun peranannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun yang utama ialah sebagai obyek pendukung imaji.” [ix]
juga dalam pengertian Sitor Situmorang bahwa sajak
“dikembangkan dari suatu ide, dalam pengertian filsafat demikian; dikembangkan oleh si penyair dengan bahasanya sendiri. Ide, betapapun sifat universalnya, agar dapat diungkapkan, dikomunikasikan, harus tertuang dalam bahasa.” [x]
Dalam situasi seperti diungkapkan para penyair itu, sastrawan pun menjadi lebih bertanggung jawab agar bahasa sastra menjadi kaya. Hal ini seperti yang diakui Goenawan Mohamad
“Di dalam puisi bahasa menjadi kaya, menuju pengembaraan yang komprehensif dan menampilkan kenyataan-kenyataan yang tidak sepenuhnya bisa dibikin jelas oleh analisis. Artikulasi puitis berbicara soal detail, segi demi segi, tapi tetap bisa berkomunikasi.” [xi]
Namun, timbul pertanyaan mengapa realitas bahasa di dalam sajak seorang penyair berbeda dengan penyair lain, padahal secara fisik bahasa tetaplah sama, yaitu bahasa yang itu-itu juga. Mengapa pula orang mudah mengenali bahwa sajak Amir Hamzah berbeda dengan sajak Chairil Anwar?
Pada mulanya adalah bentuk pengungkapan di dalam sajak. Bentuk pengungkapan ini membawa gaya ungkap yang khas, yang membedakan sajak masing-masing penyair. Di depan telah disebut bahwa ketidaksamaan dalam menampilkan bahasa di dalam sajak disebabkan oleh subjektivitas pemahaman atau pemikiran tatkala memaknai objek. Subjektivitas pula yang menyebabkan ide seorang penyair berbeda dengan penyair lain meskipun objeknya sama. Subjektivitas juga menyebabkan sikap, ekspresi, emosi, serta keputusan spontan seorang penyair terhadap pengalaman, alam dan kehidupan menjadi lebih personal dan berkembang. Tentu saja, perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan situasi sosial, psikologis, dan pengalaman rohani masing-masing penyair. Misalnya, makna kata surga yang terdapat dalam sajak “Doa Poyangku” karya Amir Hamzah,[xii] berbeda dengan kata surga dalam sajak “Sorga” karya Chairil Anwar.[xiii]
Doa Poyangku
Poyangku rata meminta sama
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdausi
Menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat
Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang
A1ahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua.
Sorga
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di surga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai
susu
dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh : Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Jati?
Perbedaan kedua sajak tersebut disebabkan oleh subjektivitas penyair dalam memahami objek sehingga hasil sastranya pun berbeda. Amir Hamzah menempatkan kata surga sebagai citraan dari realitas transendensi dan ditampilkan dengan bahasa yang tertib santun, sedangkan Chairil Anwar mempertanyakan surga secara pemahaman empirisme dan menuntut keberadaan surga secara inderawi serta ditampilkan dengan bahasa yang gelisah. Perubahan dan perbedaan antara kedua penyair yang berlainan angkatan sastra ini memperlihatkan adanya perkembangan, baik bentuk maupun isi, sekalipun objek pembicaraannya sama, yaitu surga.
Oleh karena itu, boleh jadi dari abad ke abad tema kesusastraan secara universal membicarakan cinta, maut, kesedihan dan semacamnya, tetapi senantiasa ada jarak yang menghadirkan perbedaan masing-masing penyair. Perbedaan ini pulalah yang memungkinkan perkembangan. Perkembangan terjadi sebab dalam memandang objek yang sama terdapat perbedaan pemikiran sehingga cara penyampaian, gaya ungkap, bentuk, dan segala yang berurusan dengan kata juga Berbeda dan berkembang.
Dalam sajak, hidupnya suatu bahasa lebih ditentukan oleh bagaimana-nya seorang penyair mengungkapkan kata-kata. Hal ini berhubungan erat dengan gaya ungkap penyair dalam menyikapi bahasa. Gaya, itulah yang menjadi personalitas seorang penyair. Gaya bersifat subjektif dan personal serta begitu akrab dengan si pemakai bahasa. Gaya, meminjam pendapat Roland Barthes,[xiv] “dalam beberapa hal jasmaniah, sebagai ragam ekspresi yang melewati perakitan-perakitan psikopisik dalam diri seseorang." Gaya, meskipun tidak terlalu luar biasa, adalah unik[xv] karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair, juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya.
Begitulah bahasa sebagai alat pengucapan di dalam sajak. Di samping ide yang terus berkembang, meskipun objeknya boleh jadi sama, maka gayalah yang mengekalkan pengalaman rohani dan penglihatan batin seorang penyair sehingga membedakan karya seorang penyair dengan penyair lainnya. Hal ini merupakan suatu upaya bagaimana seorang penyair menyiasati keterbatasan bahasa. Suatu pergulatan dengan kata-kata.
Sampai di sini terlihat beratnya tanggung jawab seorang penyair dalam menyikapi bahasa sebab masalah bahasa memang pelik di dalam sajak. Namun, kepelikannya itu sekaligus menandakan bahwa penyair begitu cermat memperhitungkan bahasa.*****
[i] Chairil Anwar, "Hoppla!", dalam H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopr Angkatan '45 (Jakarta : Gunung Agung, 1956), hal. 118.
[ii] A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 221.
[iii] Rene Wellek, dikutip Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), hal. 186.
[iv] D. Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hal. 71. Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, ed. Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, 1986), hal.42.
[v] Abdul Hadi WM, "Bahasa Sebagai Alat Pengucapan Kesusastraan", dalam, Sejumlah Masalah Sastra, Ed. Satyagraha Hoerip (Jakarta: Suara Harapan, 1983), hal. 102.
[vi] Subagio Sastrowardoyo, "Mengapa Saya Menulis Sajak", dalam, Proses Kreatif, Ed. Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 41.
[vii] Umar Kayam, "Multi-Lingualisme dalam Kesusastraan Indonesia Kontemporer", dalam Satyagraha Hoerip (Ed.), hal. 87-94.
[viii] Chairil Anwar, "Berhadapan Mata", dalam H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopr Angkatan '45, hal. 116.
[ix] Sapardi Djoko Damono, "Puisi Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan", dalam Budaya Jaya, No. 20, tahun III - Januari 1970.
[x] Sitor Situmorang, "Rekonstruksi Yang Dirundung Ragu", dalam Proses Kreatif II, Ed. Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 4.
[xi] Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda Se-Si Malin Kundang (Jakarta : Pustaka Jaya, 1975), hal. 204.
[xii] Amir Hamzah, "Doa Poyangku", dalam Nyanyi Sunyi (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), Cet. X, hal. 23.
[xiii] Chairil Anwar, "Sorga", Aku Ini Binatang Jalang, Ed. Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, 1986), hal.42.
[xiv] Roland Barthes, lihat Graham Hough, "Criticism as a Humanist Discipline", dalam seri Contemporary Criticism, No. 21 (London: Edward Arnold Ltd., 1970), hal. 39.
[xv] Bandingkan dengan ungkapan Abdul Hadi W.M., dalam Sejumlah Masalah Sastra, Ed. Satyagraha Hoerip, hal. 104.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair dan dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.