Puisi Menjadi Media Ekspresi Pengalaman Religius Oleh: Abdul Wachid B.S.

Di dalam tasawuf, yang dimaksudkan dengan cinta (mahabbah) adalah cinta mutlak kepada Allah. Menurut Ibnu ‘Arabi (via Affifi, 1989: 238), basis timbulnya cinta itu disebabkan oleh keindahan. Di samping itu, “Islam sendiri benar-benar menganggap aspek ketuhanan sebagai keindahan dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaa’iq) ajaran Islam,” demikian ungkap Seyyed Hossein Nasr (via Hadi W.M., 2001: 10).

Sementara itu, tentang cinta kepada Allah, Al-Ghazali (Terj. tidak dicantumkan, 1994: 510—545) merumuskan lima sebab yang menimbulkannya, yaitu (1) orang yang mengenal dirinya dan Allah dengan ma’rifah yang benar pasti akan mencintai Allah; (2) orang yang mencintai orang yang berbuat baik kepadanya mengerti bahwa orang berbuat baik karena Allah; (3) kecintaan terhadap seluruh makhluk adalah sebab Allah pun mencintai seluruh makhluk; (4) kecintaan terhadap setiap keindahan adalah sebab keindahan itu sendiri, bukan sebab keuntungan lain dan di balik itu ada keindahan Allah; serta (5) cinta timbul sebab saling menyesuaikan dan jika dilihat secara batiniah, manusia menjadi baik sebab menyesuaikan dengan sifat Allah.

Pada sebab keempat yang disebutkan itu, pandangan Al-Ghazali bertemu dengan pandangan Ibnu ‘Arabi bahwa semua cinta itu disebabkan oleh keindahan. Pada konteks keindahan pula, semua pengalaman spiritualitas digerakkan dan diekspresikan. Hal itu senada dengan hadis, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (H.R. Muslim, Shahih 2 Muslim, jilid I, hal. 52). Karena itu, para sufi yang bergerak menuju Yang Mahaindah (al-Jamal), baik dalam perjalanan spiritualitas dari maqam ke maqam maupun mengungkap pengalaman religiositasnya melalui keadaan mental (hal), masuk ke pengalaman keindahan Yang Mahaindah sekaligus tergerak mengungkapkan pengalamannya itu melalui ungkapan bahasa yang mampu mewadahinya.

Al-Qur’an itu sendiri sebagai sumber utama dari seluruh moralitas dalam Islam (tak terkecuali tasawuf) ditulis dengan ungkapan  bahasa yang mahaindah serta kaya simbol dan imajinasi. Hal itu menurut Anniemarie Schimmel (via Hadi W.M., 1985: vii), yang kemudian menggerakkan pencinta Al-Qur’an untuk melakukan berbagai tafsir puitis, bahkan menulis puisi. Gagasan keagamaan tertentu, yang membangun teologi Islam yang sentral sifatnya serta citraan tertentu dari Al-Qur’an dan Hadis, dengan mudah bisa dialihkan menjadi simbol yang benar-benar puitis, sebagaimana dilakukan oleh para sufi-penyair, seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Kedua sufi-penyair tersebut memang mengembangkan maqamat cinta sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Sang Kekasih.

Selanjutnya, puisi dan ungkapan-ungkapan puitis dijadikan media ekspresi dari perjalanan spiritualitas, bahkan menjadi bagian dari ritus peribadatannya. Dengan dilengkapi musik dan tari, puisi dijadikan sarana doa dan puji-pujian di dalam sama’, yakni sejenis konser musik kerohanian yang disertai zikir, tari-tarian, serta pembacaan dan penciptaan puisi. Hal seperti yang terdapat dalam Tarekat Maulawiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin Rumi sampai hari ini masih dilestarikan di Konya, Turki. Kegiatan serupa itu telah ditradisikan oleh para sufi sejak abad ke-10 atau mungkin satu abad sebelumnya. Menurut Abdul Hadi W.M. (2001: 65), upacara sama’ dan penciptaan puisi sufistik dapat dilihat dalam riwayat hidup Abu Sa’id al-Khair (976--1049), yang mulanya tertarik menulis puisi untuk mengungkapkan pengalaman kerohaniannya setelah mendengar penyanyi membacakan puisi cinta Ilahi di sebuah upacara sama’.

Sebagai media ekspresi pengalaman religius, puisi memiliki beberapa keuntungan. Sebagaimana mistisisme, puisi memang terutama bertalian dengan pengalaman batin manusia yang terdalam. Seperti halnya puisi, pengalaman mistik itu sangat personal, unik, sekaligus universal. Bahkan, dapat dinyatakan bahwa pengalaman mistik itu selalu mengandung kualitas puitis dan demikian pula sebaliknya, pengalaman puitis atau estetis yang dalam juga memiliki kualitas mistis. Oleh sebab itu, melalui puisi yang berhasil, kepersonalan, keunikan, dan keuniversalan dapat terpelihara dengan baik.

Mengapa pengalaman mistis itu mengandung pengalaman puitis sehingga menuntut pengungkapannya melalui puisi agar bisa dibahasakan?

.... Pengalaman religius demikian--meminjam pengertian Ludwig Wittgenstein—dalam kenyataannya tak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman inderawi. Sementara itu, bahasa mempunyai keterbatasan hanya dapat mengungkap apa yang menjadi realitas inderawi. Karenanya, ada realitas yang dapat disentuh dengan bahasa, dan ada yang tidak (the unutterable).  Meskipun begitu, ada yang disebut bahasa religius, yang punya logika tersendiri, seperti pernah diungkapkan Peter L. Berger. Bahasa religius bersifat analogi, sebagian sama dan sebagian berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari.

Di samping itu, pengalaman religius menurut Ludwig Wittgenstein bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dan objek, berlangsung dalam taraf tak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman religiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman religius yang telah terabstraksikan ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa religius berlangsung dengan jalan analogi. (Wachid B.S., 2002: 172)

Pengalaman religius yang dibahasakan dengan jalan analogi itu diungkapkan melalui bahasa puisi. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah mistisisme, banyak sufi besar, bahkan juga filsuf, menuliskan pengalaman mistiknya melalui puisi.

Tanpa melebih-lebihkan, perpaduan antara pengalaman batin yang empiris dan sejarah, (hal itu semua) sangat mungkin diekspresikan dengan kompleks dan sempurna melalui puisi, apalagi jika seorang sufi ingin menyajikan pengalaman mistiknya secara memesona dan bertahan terhadap hempasan zaman. Para sufi dengan ajaran yang dapat melampaui zamannya itu menyadari potensi bahasa puisi, terutama mereka yang memang dikaruniai bakat sebagai penyair, seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, Abu Sa’id, Dzun Nun, Sana’i, Anshari, al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Faried, Fariduddin Attar, Rumi, dan Hafiz, Jami’. Sementara itu, di Nusantara ada Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf Singkel, dan beberapa lainnya.

Walaupun susastra, khususnya puisi, menjadi media ekspresi intelektualitas mereka, bahkan menjadi bagian penting ritus peribadatan, para sufi yang menulis puisi itu tidak berniat menjadi penyair. Para sufi menulis puisi dengan didasarkan pada alasan kerohanian, penyampaian hikmah, dan pencarian keberkahan hidup. Sebagaimana kata Imam Al-Ghazali (via Hadi W.M., 2001: 10), sebagai pencinta keindahan sejati para sufi yakin bahwa karya seni yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang telah tidur di dalam hati, baik cinta yang bersifat duniawi dan inderawi maupun cinta yang bersifat ketuhanan dan kerohanian.

Sementara itu, sampai pada zaman modern seperti halnya di Indonesia, substansi pemikiran tasawuf juga terus diungkapkan sebagai keyakinan atau sekadar wacana yang tidak secara mendalam dipraktikkan dalam kehidupan penyairnya. Boleh jadi, hal itu sebatas keterpesonaan terhadap paham pemikiran tasawuf atau ketertarikan terhadap estetika puisi yang ditulis para sufi pada zaman lampau sehingga dijadikan rujukan untuk karya para penyair modern itu sendiri. Dengan begitu, fenomena tersebut menjadi tren sebagaimana pada era 1970—1980-an dengan munculnya kecenderungan sufistis dalam perpuisan Indonesia (lihat tiga jilid antologi Buku Puisi Indonesia, 1987, yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta). Sekalipun begitu, tetap ada yang menempatkan tasawuf tidak hanya sebagai estetika, tetapi juga sebagai etika dalam karya sastranya, bahkan mungkin dalam perilaku kesehariannya. Para penyair yang demikian, puisinya dapat digolongkan sebagai puisi sufisme. Sementara itu, penyair yang hanya menempatkan tasawuf sebatas sebagai estetika bahasa puisinya dapat digolongkan sebagai puisi sufistis, puisi yang terpengaruh estetika bahasa puisi para sufi.

Kecenderungan pertama tersebut tampak dalam puisi yang ditulis oleh Sanusi Pane dan Amir Hamzah (angkatan Pujangga Baru 1930--1940-an); Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Jamil Suherman, dan Kuntowijoyo (periode 1960-an); Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar (periode 1970-an); serta K.H.A. Mustofa Bisri, Ahmadun Y. Herfanda, Ajamuddin Tifani, Acep Zamzam Noor, Mathori A Elwa (periode 1980-an). Kecenderungan kedua tersebut tampak dalam puisi yang ditulis oleh Soni Farid Maulana, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Hamdy Salad, Abidah el-Khalieqy, Otto Soekatno Cr, dan lain-lain.

Oleh karena itu, di dalam konsep yang berkenaan dengan sufi, tasawuf, dan maqamat cinta, ekspresi puisi menjadi penting untuk dilakukan agar identifikasi terhadap perpuisian sufisme atau pun perpuisian yang mendapat pengaruh darinya (puisi sufistis) menjadi dan dimiliki di dalamnya.*****

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair dan dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa