di Balik Suka dan Duka
Di balik suka ada duka. Hidup manusia tidak lepas dari suka dan duka. Demikianlah, setiap hari tampaknya kita kerap mendengar kalimat semacam itu. Suka-duka atau suka dan duka telah menjadi idiom yang sangat lazim dalam bahasa Indonesia. Kata suka dan duka ternyata memiliki kisah tersendiri dalam sejarah.
Kata suka dan duka berasal dari bahasa Sanskerta, sukha dan dukha. Kata sukha dalam bahasa sanskerta memiliki beberapa arti: ‘having a good axle-hole, running easily, comportable, pleasant, mild, soothing, agreeable to, ease, comport, pleasure, enjoyment, happiness, joy, happily, comfortably, agreeably, easily, without trouble’. Sementara kata dukha memiliki beberapa arti: ‘unpleasant, fraught with hardship, wretched, pain, hardship, misery, suffering, with difficulty, scarcely, hardly, reluctantly, stand sorrowfully’. Pada lema sukha tercatat bentukan sukha-dukha yang berarti ‘pleasure and pain’ (A Practical Sanskrit Dictionary, 1954: 121, 351).
Kata-kata sanskerta itu sampai pada bahasa Indonesia melalui bahasa Jawa Kuno. Kata suka berarti ‘suka, puas, bahagia, girang senang, riang, gembira, tidak berkeberatan’. Sementara itu, kata duhka berarti ‘kedukaan, gangguan, halangan, keberatan, penderitaan, kemalangan, kemiskinan, sakit, buruk, kesedihan, kesusahan, bencana’. Kata sukha-dukha diserap menjadi sukaduhka dengan arti ‘suka-duka, baik buruk, perbuatan jahat (di daerah perdikan) (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 1990: 159, 543).
Dalam bahasa Indonesia kata suka memiliki beberapa arti ‘ 1 berkeadaan senang (girang); 2 girang hati, senang hati; 3 mau, sudi, rela; 4 senang, gemar; 5 menaruh simpati, setuju; 6 menaruh kasih, kasih sayang, cinta; 7 mudah sekali, kerap kali (cakapan). Sementara itu, kata duka memiliki arti ‘susah hati; sedih hati’. Pada lema suka terdapat bentukan suka duka yang berarti ‘ perasaan senang dan sedih dalam hati’ (KBBI, 2012: 346, 1349).
Secara sepintas dapat dilihat bahwa ketiga kata tersebut memiliki kesamaan arti dari bahasa sumber sampai bahasa Indonesia, meskipun terdapat medan makna yang bergradasi. Sekarang mari kita lihat arti suka duka dalam Jawa Kuno. Dalam Jawa Kuno kata tersebut memiliki arti ‘perbuatan jahat (di daerah perdikan)’ yang berbeda dengan arti kata tersebut dalam bahasa Indonesia dan Sanskerta. Ternyata, dalam sejarah pemerintahan raja-raja di Jawa kata sukaduhka merupakan salah satu sumber penghasilan selain pajak dan kerja bakti. Sukaduhka adalah denda atas perbuatan jahat atau tindak pidana.
Daerah perdikan adalah daerah yang dengan alasan tertentu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada penguasa di masa lampau. Dengan demikian arti dalam Jawa Kuno itu kini memiliki konteks. Daerah perdikan tidak memberikan kontribusi kepada raja karena dibebaskan dari pajak. Akan tetapi, jika kejahatan itu terjadi di daerah perdikan sekalipun, raja dapat menjatuhkan denda kepada pelaku.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk sukaduhka adalah mayang tan pawwah (mayang yang tidak berbuah), walu rumambat ning natar (labu merambat di halaman), wipati atau katiban wangkay kabunan (kejatuhan bangkai yang terkena embun), rah kasawur ning natar/hawan (darah yang terhambur di halaman atau jalan), duhilaten (menuduh), hidu kasirat (meludahi), sahasa (menganiaya), hastacapala (memukul), wakcapala (memaki), mamijilaken wuri ning kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpang (melakukan kekerasan terhadap perempuan), ludan (orang kalah berkelahi dan melarikan diri tetapi dikejar dan dibunuh oleh lawannya), tutan (orang kalah berkelahi dan melarikan diri, dikejar tetapi tidak dibunuh oleh lawannya), angsa pratyangsa (saling bunuh), danda kudanda (saling pukul) (Perempuan Jawa; Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII—XV, 2016: 50).
Lalu makna apa yang dapat diperoleh dari kata suka duka tersebut? Kata suka dapat berdiri sendiri dengan makna kebahagiaan atau kesenangan. Dalam konteks itu, kata suka sangat personal tidak berhubungan langsung dengan orang lain, juga bukan lawan dari duka. Kata duka pun demikian.
Namun dalam konteks suka duka sebagai denda memiliki makna keguyuban dalam kehidupan sosial. Kata itu memiliki makna yang utuh, jika ada yang suka pasti ada yang duka. Dengan demikian pelanggaran terhadap konsep itu layak dikenai denda karena berdampak pada orang lain. Ketika mayang tidak berbuah karena pemiliknya lalai memelihara, orang lain akan dirugikan karena tidak dapat menikmati hasil panen yang seharusnya. Bahkan, suami yang dalam beberapa pandangan tradisional memiliki “hak penuh” atas istri akan dikenai denda jika melakukan kekerasan kepada istrinya itu. Oleh karena itu, ketika seseorang mendapat kesukaan, rendahkanlah rasa suka itu karena masih ada orang yang sedang berduka. Ketika seseorang berduka, rendahkanlah kedukaan itu karena kehadiran orang lain akan mengurangi duka dan menghadirkan suka.
Asep Rahmat Hidayat
Asep Rahmat Hidayat, Anggota Kelompok Kepakaran Layanan Profesional (KKLP) Perkamusan dan Peristilahan