Islam Nusantara, Egalitarianisme, dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pemersatu
Entah sejak kapan istilah ‘”Islam Nusantara” itu muncul pertama kali. Namun, yang pasti istilah tersebut kembali mencuat pada pertengahan tahun 2015 dan menjadi bahan perdebatan oleh banyak kalangan. Silang-sengkarut tersebut bermula pada saat media massa mengangkat isu penggunaan langgam Jawa dalam acara Isra Mi’raj di Istana Negara pada sekitar Mei 2015. Sontak publik larut dalam gemuruh perdebatan antara yang melarang dan membolehkannya. Dalil yang menegasikan adalah bid’ah dan kemajemukan yang unik sebagai sebuah bangsa (Mustofa, 2015: 405).
Islam Jawa sesungguhnya sudah pernah disinggung jauh-jauh hari oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jamaah. Ia mengungkapkan bahwa yang dimaksud agama Jawi, atau dalam istilah Ahmad Baso, Din Aran Jawi, bukan berati ‘agama baru’, melainkan sebuah dialektika Nusantara dengan ragam kearifan dan kebudayaannya dengan Islam sebagai sistem nilai universal.
Karena pentingnya spirit kepemilikan terhadap Nusantara (nation-state), K.H. Said Aqil Siroj dalam artikelnya yang berjudul “Mendahulukan Cinta Tanah Air” mengatakan bahwa ada tiga konsep ukhuwah (persaudaraan), yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia) (Siroj via Ubaid, 2015: 3). K.H. Said Aqil Siroj menekankan bahwa ukhuwah wathaniyah harus diutamakan terlebih dahulu dibandingkan dengan ukhuwah islamiyah. Alasannya adalah tanpa negara bagaimana umat Islam dapat melakukan kegiatan keagamaannya?
Dalam pepatah Arab dikatakan, “Barang siapa yang tidak memiliki tanah air, ia tidak memiliki sejarah. Barang siapa yang tidak memiliki sejarah, akan terlupakan”. Contoh nyatanya adalah bangsa Kurdi yang tidak memiliki tanah air sehingga tercerai-berai dan hidup berdiaspora di Turki, Irak, dan Suriah (Siroj via Ubaid, 2015: 4).
Dengan mengamini dalil di atas, rasa cinta dan kepemilikan terhadap Nusantara menjadi dasar epistemologis bagi setiap umat Islam untuk menegakkan Islam kaffah, Islam yang khas Indonesia. Ulil Abshar Abdalla menyebut Islam di Indonesia sebagai one among other Islam in the World, yang artinya adalah ‘upaya reseptif dan akomodatif yang dilakukan oleh Wali Songo dijadikan sebuah hujjah bagi umat Islam di Indonesia untuk beragama dengan toleran dan plural’. Paham kebangsaan harus khatam agar terwujud Islam rahamatan lil’alamin.
Islam Nusantara sebagai teks mengkomodasi semua variabel, mulai dari sosial, politik, ekonomi, hingga kebudayaan. Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan mengemukakan bahwa pengaruh Islam dalam budaya Indonesia bisa dibandingkan dengan pengaruh Islam terhadap budaya Barat. Seperti juga halnya budaya Indonesia terhadap budaya Barat. Pengaruh Islam dapat dilihat, antara lain, dari beberapa kata pinjaman bahasa Arab, misalnya dalam bahasa Inggris: admiral, alchemy, alcohol, alcove, alfalfa, algorithm, alkali, azimuth, azure, carafe, carat, carawy, cipher, coffe, cotton, elixir, macrame, magazine, mohair, mansoon, muslin, dan lain sebagainya (Madjid, 1995: 69—70).
Kenyataan itu sekaligus memberikan petunjuk tentang Islam hingga menjadi agama utamanya di kawasan Nusantara. Berkaitan dengan hal tersebut, Nurcholish Madjid, mengutip Dalton, mengajukan sebuah pertanyaan yang menarik.
“Apakah daya tarik Islam itu? ... Daya tariknya yang pertama dan utama adalah bersifat psikologis. Islam yang secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan itu, ketika datang pertama ke kepulauan ini merupakan konsep revolusioner yang sangat kuat, yang membebaskan orang-orang kebanyakan dari belenggu feodal Hindunya. Islam memiliki kesederhanaan yang hebat dengan hubungannya yang langsung dan pribadi antara manusia dengan Tuhan.” (Madjid, 1995: 70)
Egalitarianisme
Egalitarianisme dalam konsepsi Islam Nusantara meneguhkan sebuah sistem kebangsaan dan kenegaraan yang utuh, dalam representasi konstitusi, UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Banyak ulama bersepakat bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam.
Wujud egalitarianisme yang paripurna adalah dipakainya bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, hingga bahasa kultural masyarakat di Nusantara. Dipilihnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional amat mendukung budaya untuk saling menyapa secara lancar dan efektif di antara berbagai subkultur yang kaya sambil menyumbangkan kosakata baru kepada bahasa persatuan itu (Maarif, 2015: 54).
Dengan demikian, bahasa Indonesia menjadi subjek primer dalam menerjemahkan konsep Islam Nusantara. Ahmad Syafii Maarif men-dawam-kan apabila kita dapat bertahan sebagai sebuah bangsa dan negara yang utuh dan berdaulat penuh dalam rentang waktu yang tak terbatas, sungguh merupakan anugerah Allah yang sangat tinggi nilainya. Ke arah itulah kita harus melangkah dengan membuang ego subkultur, parokialisme, kepongahan daerah, kepentingan sesaat, dan pragmatisme politik yang tunanilai.
Islam Nusantara merupakan fenomena yang unik. Banyak yang mempersoalkan istilah tersebut. Ada tiga peristiwa yang berkelindan dalam konsep Islam Nusantara, yakni peristiwa politik, peristiwa kebangsaan, dan peristiwa kebudayaan. Peristiwa politik dalam konteks Islam Nusantara bukan bermakna politik praktis dan mengedepankan kepentingan pribadi atau pun golongan, melainkan politik kebangsaan. Kemaslahatan untuk umat manusia dan kebangsaan dikedepankan. Islam Nusantara memberikan referensi bagi semua warga bangsa untuk mencintai tanah airnya. Itu terjadi karena mencintai tanah air, setidaknya bagi umat Islam, adalah salah satu bagian dari bentuk iman. Sementara itu, peristiwa kebudayaan merupakan respons akomodatif para Wali Songo dan ulama penerusnya untuk tetap melestarikan kearifan lokal sebagai basis identitas Nusantara.
Dalam konteks kebudayaan dan kebangsaan, Islam Nusantara mengedepankan egalitarianisme. Wujud egalitarianismenya adalah diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. ***
DAFTAR PUSTAKA
Baso, Ahmad. 2015. Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia Jilid 1. Tangerang Selatan: Pustaka Afid.
Gunawan, Restu. 2005. Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan. Yogyakarta: Ombak.
Luthfi, Khabibi Muhammad. 2016. “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Shahih Vol. 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
Maarif, Ahmad Syafii. 2015. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Mustofa, Saiful. 2015. “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Islam Berkemajuan”, dalam Jurnal Episteme, Vol. 10, No. 2, Desember 2015.
Rahmat, M. Imdadun. 2003. Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sahal, Akhmad, dan Munawir Aziz (Ed.). 2016. Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan.
Sunyoto, Agus. 2017. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka IIMaN.
Ubaid, Abdullah dan Mohammad Bakir (Ed.). 2015. Nasionalisme dan Islam Nusantara. Jakarta: Kompas.
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair dan dosen negeri di IAIN Purwokerto.