Teralienasinya Manusia dari Dunia yang Dipersepsi dan Diposisikannya
Kesadaran terhadap ruang dan waktu adalah obsesivitas pribadi aku-lirik di dalam sajak-sajak Bagus Likurnianto. Kemarin, hari ini, dan esok senantiasa dipertanyakan eksistensinya oleh aku-lirik. Sampai batas yang paling ekstrem dia mempertanyakan, "Amaya, kita ini siapa?" (https://basabasi.co/puisi-puisi-bagus-likurnianto-amaya-kita-ini-siapa/). Itulah bentuk dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial aku-lirik di dalam banyak sajaknya, sebagaimana sebuah “Pawon”, yang telah membakar keheningan dalam dada:
PAWON
telah kami bakar keheningan dalam dada
kayu yang semula pernah jadi tubuhmu
menabahkan nyala-nyala doa
segala peristiwa
Banjarnegara, 2019
Penyair Bagus Likurnianto, putra sulung dari Ibu Laeliyah dan Bapak Budianto ini dilahirkan di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Dia beralamatkan di Dukuh Taman Sari, Kelurahan Parakancanggah, RT 04/I, Banjarnegara. Pada saat ini Bagus Likurnianto masih menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP), Universutas Islam Negeri (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, di Purwokerto. Puisinya banyak disiarkan di Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Harian Ekspres, Media Indonesia, dan Koran Tempo. Dia sempat menjadi penyair terpilih versi World Poet Convention yang diselenggarakan oleh Persatuan Penyair Malaysia pada tahun 2018. Bagus Likurnianto juga menjadi pimpinan redaksi Buletin CAKRA.
Dengan obsesivitas eksistensial tersebut, aku-lirik di dalam perpuisian Bagus Likurnianto memasuki ruang demi ruang kehidupan, dari waktu ke waktu. Akan tetapi, apakah dengan mempertanyakan terus-menerus eksistensi ruang dan waktu justru merupakan penanda dari suatu petanda kegagalan pribadi aku-lirik di dalam ruang-waktu puisinya (hidupnya)?
Melalui sajak "Amaya, Kita Ini Siapa?", yang untuk sementara waktu ini merupakan contoh sajak terbaiknya, peristiwa kehidupan dari cinta ke cita, dari diri hingga ke Tuhan, disajikan untuk dibaca, dipahami, diterjemahkan, ditafsiri, dan dijelaskan secara lirik naratif. Itulah pilihan ekspresi pengucapan banyak sajak karya Bagus Likurnianto, sebagaimana sajak “Pohon Manggis Nenek”, “Pawon”, “Elegi Penyair”, “Prasasti”, yang dapat dikategorikan sebagai sajak yang berhasil memiliki karakter membangun puitikanya.
Dengan persepsi yang demikian, maka posisi antroposentris aku-lirik menjadi dikukuhkan: realitas bukan lagi sebagai tiruan (mimetik) dari realitas budaya pun alam, melainkan “dipadatkan” oleh aku, manusia, sebagai satu-satunya pemberi arti dan makna terhadap realitas. Karena persepsi demikian itulah, maka realitas menjadi jungkir-balik di dalam sajak-sajak Bagus Likurnianto. Apakah penjungkirbalikan realitas itu merupakan penanda dari kelabilan pribadi aku-lirik? Ataukah justru sebaliknya?
Yang jelas, dengan persepsi terhadap realitas secara jungkir-balik itulah, wajah estetika puisinya berusaha diutuhkan. Hal itulah yang menjadikan semua kata yang merujuk kepada pertanyaan eksistensial ruang dan waktu, baik yang mewakili benda maupun alam di dalam sajaknya, menjadi dapat dicurigai sebagai simbol.
Dalam hal ini, perpuisian Bagus Likurnianto berhasil menjadi sajak sebab ungkapan-ungkapan yang seringkali unik, bahkan aneh, sebab tidak memenuhi standar gambaran imaji yang umum dipakai penyair apalagi pembaca umum. Imaji-imaji yang dibangunnya supralogis. Hal tersebut dimaksudkan untuk menggali makna bawah-sadar kemanusiaan agar ada pemaknaan hidup secara mendalam. Perhatikanlah sajak di bawah ini, bait yang saya cetak miring mempresentasikan supralogis gambaran imaji tersebut.
POHON MANGGIS NENEK
pohon manggis nenek sudah tua
batangnya mulai rapuh rantingnya ringkih-ringkih
tidak ada lagi perkara baik selain buah cantik
bergelayut di jari-jari para pemetik
mereka berduyun-duyun
sambil sesekali meraba tubuh sendiri
yang semakin membuyut
demi mengerti berapa jumlah anak dikandungannya
kau bisa mengira lewat kelopak bunga
yang mekar di bawah perut
kalau kau sudah puas mengetahuinya
maka sebaiknya cicipilah dengan segera
lewat robek tanganmu mengalirlah
darah manggis merah
di dalamnya ada keluarga
yang menunggu buaianmu satu adalah ibu
satu adalah ayah selebihnya adalah kau
dan segenap saudara-saudaramu
kami hidup karena magis manggis nenekmu
tapi magis tak pernah tinggal dalam tubuhnya
nenek adalah manggis yang jatuh sendiri
riwayatnya tertulis pada epitaf jejak kaki para nabi
dan saraf burung quddusi alpa pada musim
yang menjatuhkan kerinduan dari sebatang hayat ini
Banjarnegara, 2019
Dengan keunikan sekaligus keanehan menyikapi realitas sebagaimana memandang “Pohon Manggis Nenek”, maka pembaca memersepsi dan memosisikan setiap kata menjadi lambang, dan karenanya memasuki “dunia puisi".
Akan tetapi, apakah pembaca bisa memasuki “dunia puisi”, atau komunikasi makna yang dibangun oleh penyair Bagus Likurnianto? Saya yang sudah lama membiasakan diri membaca puisi, merasa terkaget-kaget, bahkan terkadang gagap memasuki “dunia puisi”-nya. Sekaligus harus diakui pula bahwa apa yang diungkapkan penyair ini merupakan imaji-imaji yang baru, karenanya tidak klise dan membosankan.
Seni yang memandang realitas secara supralogis dan menjungkirbalikkan realitas secara bentuk dan makna, dalam sejarah aliran seni disebut surealisme. Apakah perpuisian Bagus Likurnianto termasuk dalam kategori aliran seni surealisme, yang hendak berupaya mengatasi realitas dengan ketidakrasionalan umum? Karena ekspresi perpuisiannya bersifat tetap dalam memersepsi dan memosisikan realitas dalam perspektif jungkir-balik, maka saya memastikan bahwa sajak-sajaknya bukanlah sajak yang ditulis karena gagap dan gagal dalam membangun gambaran angan dan pikiran (citraan). Bukan! Akan tetapi, saya mengidentifikasi, sebagai teralienasi dari realitas. Hal ini lebih tepat dilakukan dalam menilai sajak-sajaknya.
Alienasi juga merupakan ciri utama dari kaum Surealisme dalam mengekspresikan dirinya ketika gagap dan gagal dalam berdamai dengan realitas, “... /sebelum sunyi mengutukmu/ menjadi sebongkah batu,” dikutip selengkapnya berikut ini.
PRASASTI
di dalam prasasti itu
kami hidup dalam nubuat penyair
yang meriwayatkan sejarah
sepanjang sungai mengalir
artefak waktu ini
belumlah berlalu
ke mana zaman akan diabadikan?
butiran air mata jatuh dari surga
merembes ke bumi yang fana
lewat selipan batu-batu
kesedihan yang jatuh
tempias di kedua matakakimu
aku rela membaca kitab paling alastu
demi menemukan cinta di hadiratmu
akulah aksara itu
jatuh ke dalam dadamu
tersungkur-sungkur
bacalah aku bacalah waktu
sebelum sunyi mengutukmu
menjadi sebongkah batu
Purwokerto, 2019
Tentu saja, penilaian ini harus diteruskan. Mengapa aku-lirik teralienasi dari realitas dunianya, sehingga membangun dunianya sendiri dengan sudut-pandang supralogis dan jungkir-balik?
Seni bukanlah mimetik dari realitas itu sendiri. Setidaknya, itulah pandangan kaum metafisik. Seni merupakan simbolitas dari realitas yang dibangun oleh seniman dengan sedemikian rupa guna membangun pandangan hidupnya terhadap realitas. Puisi karya penyair Bagus Likurnianto masih bisa diharapkan untuk menjawab hal ini sebagai sumbangannya bagi perpuisian Indonesia
Sebagai “prolog” memasuki “dunia puisi” supralogis dan jungkir-balik yang dibangun oleh penyair Bagus Likurnianto ini, kita baru sampai kepada pertanyaan AKHIR dari suatu AWALAN yang menggambarkan teralienasinya manusia (aku-lirik) dari dunia yang dipersepsi dan diposisikannya.
AMAYA, KITA INI SIAPA?
hati ini begitu gigil, amaya
kita ini siapa? menyusur jalan malam
mencari jejak yang bisa diikuti
mencari langkah kaki yang musti diharakati
dari rahim hujan engkau dilahirkan
kepada siapa engkau bertuhan?
demi meralat cinta
kau basahi semesta
demi menjadi cahaya
kau junjung wujud sabda
dan demi tersamar waktu
kau jelma doa ibuku
akulah pemilik malam
mezbah bagi segala keheningan
altar bagi hadirat untuk mempertanyakan
kalau sebenarnya ‘kita ini siapa?’
amaya, apakah kita
benar-benar ada?
Purwokerto, 2019
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair, dan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri di Purwokerto