Modifikasi Pengajaran Bahasa Indonesia
Seorang siswa saya pernah bertanya, “Mengapa pelajaran bahasa Indonesia kita tidak membahas sastrawan dan karangan-karangannya, Pak?” Menjawab pertanyaan itu, saya balik bertanya, “Emangnya apa pentingnya kita harus mempelajari itu?” Dengan singkat dia menjawab, “Kan lebih fun belajarnya.” Konon, siswa tersebut pernah mengikuti pertukaran pelajar selama satu tahun di Italia. Menurut pengakuannya, ketika belajar bahasa di sana, mereka sangat sedikit membahas kebahasaan. Mereka lebih sering membahas dan mendiskusikan hasil karya sastra dan sastrawan-sastrawan besar.
Memang, harus saya akui, sejauh pengalaman saya, pengajaran bahasa Indonesia sangat membosankan seperti pengakuan siswa itu. Selama ini belajar bahasa Indonesia tidak fun. Guru lebih sibuk mengajarkan bahasa Indonesia melalui pendekatan soal-soal. Ini terjadi karena pada akhirnya, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sangat sederhana, yaitu lulus UN dan PTN melalui seperangkat soal-soal. Padahal, kemampuan yang diharapkan melalui belajar bahasa adalah mahir menyimak, membaca, berbicara, hingga menulis, bukan semata mahir menjawab soal.
Nah, karena sibuk membahas soal-soal itulah mengapa kemudian kita lupa pada hal yang paling mendasar, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sebagai dampaknya, seperti yang sudah dikutip banyak media, kemampuan literasi kita selalu rendah. Menurut UNESCO, indeks membaca kita sangat memprihatinkan, yaitu 0,001. Konon lagi, dalam peringkat The World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016, kita hanya menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang dikaji. Kita hanya berada satu tingkat di atas Botswana, negara kecil di Benua Afrika.
Sangat Sederhana
Menurut PISA (2015), poin kita di ranah literasi juga sangat miris. Kita berada pada level <1>
International Publishers Association menyebutkan bahwa sehat tidaknya keterbacaan dapat dilihat dengan membandingkan jumlah buku per sejuta penduduk. Menurut BPS (2015), penduduk kita berjumlah 255.461.700 jiwa. Itu berarti bahwa hanya 8 judul buku per sejuta penduduk (Billya Arianto). Angka ini kalah jauh dari Thailand yang mencapai angka 168, bahkan dari Kenya sekalipun, yaitu mencapai angka 11 judul per sejuta penduduk. Uniknya, meski kalah dari segi buku, kita justru unggul dari segi infrastruktur. Dalam survei Central Connecticut State University, kita berada pada peringkat ke-36, unggul dari Singapura dengan peringkat ke-59, Malaysia pada peringkat ke-44, Korea Selatan pada peringkat ke-42, dan Jerman yang berada pada peringkat ke-47.
Pertanyaannya adalah mengapa tingkat literasi kita sangat jelek? Jawaban atas pertanyaan ini sebetulnya sangat sederhana, yaitu karena pelajaran bahasa Indonesia kita tak menggalakkan literasi sejak dini. Penyebabnya beragam. Salah satunya adalah karena muara pengajaran bahasa Indonesia sangat dangkal, sekadar mampu lulus UN dan SBMPTN. Pengajaran bahasa Indonesia akhirnya fokus pada tanda-tanda baca atau penulisan kata sehingga lupa bahwa ada yang paling penting di dalam bacaan itu, yaitu alur cerita dan segenap persoalan yang ada di dalamnya.
Dampak yang lebih hebat pun terjadi, seperti imajinasi, ketahanan, apalagi minat membaca siswa sama sekali tidak terbangun. Alih-alih terbangun, ketika menghadapi soal wacana, para siswa lebih sering meminta trik tentang bagaimana menjawab soal-soal tanpa membaca wacana kepada gurunya. Triknya tentu sederhana, yaitu lihat tanda baca jika yang ditanya tanda baca, fokus pada penulisan kata-kata jika yang ditanya penulisan kata, atau beri perhatian khusus pada kalimat pertama dan kedua atau kalimat terakhir jika yang ditanya adalah ide pokok paragraf. Jangan habiskan waktumu untuk membaca wacana! Itu saja!
Untuk menjawab soal-soal demikian, metode di atas, selain hemat waktu, juga ternyata sangat jitu. Sayangnya, kalau siswa sudah diajarkan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Berbahasa Indonesia) berkali-kali, dengan metode di atas sebenarnya kita justru menyingkirkan satu tujuan penting dari pengajaran bahasa, yaitu membaca. Jadi, tidak mengherankan jika saat ini minat membaca siswa kita sangat rendah. Hal ini diperparah lagi dengan lingkungan siswa yang tak memberi teladan tentang pentingnya budaya membaca.
Jangankan lingkungannya, guru bahasa Indonesianya saja malas membaca, apalagi menulis. Saya tak sedang main-main dengan kalimat ini. Dalam esainya yang terangkum di Guru Gokil Murid Unyu, Johannes Sumardinata mengisahkan fakta yang sangat gawat, yaitu dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5 persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, mereka tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire.
Dengan sangat sederhana, fakta di atas dapat ditafsirkan bahwa jangankan menulis, membaca saja guru bahasa Indonesia sangat jarang. Di sinilah saya pikir pertanyaan dari salah seorang siswa yang saya sebutkan di atas harus menemukan jawabannya, yaitu pengajaran bahasa Indonesia harus segera dimodifikasi agar kegiatan berbahasa berjalan dengan benar. Modifikasi ini penting karena fakta sudah berbicara bahwa ketika soal tipe HOTS (Higher-Order Thinking Skills) diterapkan tahun lalu, siswa kita langsung meraung-raung di media sosial.
Terasuki Virus Butuh Prestasi
Raungan itu sebenarnya masuk akal karena bagaimana mungkin siswa bisa mengerjakan soal HOTS jika selama ini mereka sibuk pada penulisan tanda baca atau penulisan kata tanpa ikut mendalami kasus dalam alur cerita wacana itu? Oleh karena itu, sudah saatnya kita masuk mendalami bacaan. Tentu, semua guru tahu bahwa yang lebih berarti dari kata-kata adalah teladan. Kata-kata tanpa teladan tidak akan bertaji. Maksudnya, guru bahasa Indonesia sudah harus meneladankan diri menjadi pembaca yang baik sebelum menjadi penulis yang baik.
Teladan ini, meski sederhana, jangan diremehkan. Eropa bangkit dari zaman kegelapan adalah karena membaca. Jepang maju, salah satunya terilhami oleh buku Komik Manga Captain Tsubasa dan masih banyak lagi. Ada cerita menarik tentang hebatnya dampak membaca. Cerita menarik ini saya dapatkan dari David Mc Clelland. Dia merupakan psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah pembangunan. Suatu ketika, dia meneliti Inggris dan Spanyol yang kita tahu bahwa pada abad ke-16 kedua negara tersebut merupakan negara hebat.
Namun, kedua negara ini berbeda. Sejak abad ke-16, Inggris makin jaya, tetapi Spanyol malah cenderung melempem. Mengapa? Ternyata faktor penentunya ada pada buku, tepatnya muatan cerita buku. Pada awal abad ke-16, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need for achievement). Sementara itu, muatan cerita Spanyol cenderung didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati dan terninabobokan.
Jika simpulan David Mc Clelland itu betul, rasanya sudah benar kekhawatiran sekaligus pertanyaan siswa saya tadi. Kita harus mengubah pola pikir bahwa mengajarkan bahasa itu tidak cukup semata pada menghafalkan mana kata-kata baku, mana tanda baca yang benar, dan sebagainya. Kita harus bisa mengantar siswa menjadi pendengar yang baik, pembaca yang tekun, pembicara yang tidak asal bunyi, serta penulis yang gigih. Dengan modifikasi seperti itu, imajinasi siswa kita juga akan terasuki virus-virus butuh prestasi.
Riduan Situmorang
Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan dan Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF)