Mendekatkan Dongeng pada Kurikulum
Apa spesialnya dongeng sehingga diperingati secara internasional (20 Maret) dan nasional (28 November)? Dilansir dari kemdikbud.go.id, mendongeng bukan hanya kegiatan menidurkan anak, melainkan juga upaya meningkatkan perkembangan pada otak kanan anak yang, antara lain, berfungsi dalam hal psikologi, emosi, serta imajinasi. Dalam jurnalnya yang bertajuk “Why Story Telling Matters: Unveiling the Litteracy Benefits of Storytelling”, sekurang-kurangnya Profesor Denise E. Agosto sampai pada sebuah simpulan bahwa mendongeng merupakan metode ideal untuk memperkenalkan pendidikan kepada anak-anak kecil.
Salah satu simpulan tersebut kemudian seperti termaktubkan melalui kinerja pendongeng ulung, Robert McKee. Betapa tidak? Secara tak terduga, pada awal abad XXI (2003), majalah Harvard Business Review menurunkan artikel menarik berjudul “Storytelling that Moved People”. Saya sebut tak terduga karena majalah tersebut bukan majalah sastra, melainkan majalah yang mengkhususkan dirinya dalam pengkajian manajemen. Majalah tersebut dirintis oleh Sekolah Bisnis Harvard. Karena itu, cakupan beritanya biasanya adalah tentang bisnis. Namun, pada saat itu majalah tersebut justru menerbitkan hasil wawancara khusus dengan Robert McKee.
Pihak majalah seperti ingin tahu bagaimana pendongeng ulung, Robert McKee, bisa berhasil menciptakan anak didik yang berprestasi. Benar saja, pada saat wawancara itu diturunkan, anak didiknya sudah mengoleksi 18 Academy Awards, 109 Emmy Awards, 19 Writers Guild Awards, dan 16 Directors Guild of America Awards. Tak diragukan lagi, ia adalah guru yang cukup berhasil. Pertanyaan kita tentu sama: mengapa dia seberhasil itu? Ternyata jawabannya terletak pada dongeng. Itu terjadi karena menurutnya cerita adalah perangkat terbaik untuk merangkul orang lain dan menyentuh emosi mereka.
Makin Punah
Hal itu masuk akal sebab dengan menyentuh emosi, kita sudah menyentuh apa yang disebut Blaise Pascal sebagai rasional hati. Di samping itu, dengan cerita kita dimungkinkan untuk meletupkan imajinasi anak didik. Dengan cerita, kita bisa membuat anak didik memosisikan dirinya sebagai pahlawan dalam memberantas kedegilan (protagonis). Dengan cerita, kita bisa mengajarkan anak didik untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan hati. Dengan demikian, cerita bukan sekadar ungkapan pelipur lara. Cerita justru membuat kita makin kreatif dan penuh imajinasi.
Terkait dengan imajinasi, ada pernyataan menarik dari Albert Einstein, yaitu imajinasi lebih “menakjubkan” daripada logika sebab logika hanya akan mengantar kita dari A ke B, sedangkan imajinasi akan mengantar kita ke mana kita suka. Jangan salah, kehidupan modern saat ini adalah seumpama rekayasa dari imajinasi manusia masa silam. Dalam studi yang banyak dikutip, Guru Besar Antropologi-Biologi dari Oxford, Rubin Dunbar, makin meneguhkan bahwa dari zaman purba sampai dengan sekarang manusia sangat terpengaruh cerita imajinatif. Sampai di sini rasanya sah bagi kita untuk memperingati hari dongeng.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita membangkitkan tradisi mendongeng? Faktanya saat ini tradisi mendongeng sudah makin punah. Secara otomatis, salah satu pemasok daya imajinasi anak didik kita pun makin menurun. Menurunnya pasokan imajinasi ke ruang berpikir anak didik tentu saja akan membuat mereka terbatas untuk berpikir dan menganalisis. Jika bisa mengutip sambil membuat simpulan studi Rachmawati dan Kurniaty (2010), minimnya pasokan imajinasi akan membuat kemampuan berpikir divergen anak didik makin terbatas sehingga tak mampu untuk merespons suatu stimulasi yang diterima.
Sampai di sini semoga kita makin paham bahwa jika budaya mendongeng makin terpinggirkan, kreativitas dan kematangan emosional anak didik kita pun bisa-bisa makin tersisih. Pasalnya, mendengar dan membaca dongeng sejatinya bukan sebuah kesia-siaan. Dengan ucapan lain, mendengar dan membaca dongeng justru merupakan tindakan produktif. Joko Pinorbo mengatakannya dengan sangat puitis, “(Jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca, kepalamu berambutkan kata-kata.” Artinya adalah mendengar dan membaca dongeng juga merupakan investasi untuk masa depan.
Barangkali kalimat-kalimat yang saya suguhkan tersebut terkesan mengada-ada dan terlalu beraroma fiksi (bahkan fiktif?). Namun, mari, saya suguhkan hasil studi lawas ini kepada Anda. Adalah David C. Mc. Clelland—psikolog sosial asal Amerika yang sangat tertarik pada masalah-masalah pembangunan—yang mencoba mencari tahu faktor apa yang kiranya membuat atau melejitkan kemajuan sebuah bangsa di dunia ini. Dia lalu membandingkan Inggris dan Spanyol yang pada abad ke-16 yang merupakan dua negara raksasa. Perbedaannya adalah sejak saat itu Inggris makin jaya, tetapi Spanyol malah melempem.
Bilakah?
Mengapa hal itu terjadi? Sebagaimana dimuat dalam buku Arief Budiman yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995), ternyata faktor penentunya ada pada muatan cerita buku. Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need for achievement). Sebaliknya, Spanyol malah didominasi cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati seolah dininabobokan.
Artinya adalah dongeng ternyata bukan semata karangan-karangan khayalan biasa. Dongeng adalah jiwa yang menubuh. Dongeng adalah pelecut dan penentu. Bahwa memang barangkali isi dongeng sangat di luar dugaan dan nalar, justru menjadi pelecut bagi pikiran kita sehingga kita tidak menghindarinya. Ingatlah akan satu hal ini: banyak imajinasi di luar nalar pada masa silam menjadi kenyataan pada saat ini. Itu sama halnya dengan kalimat ini: segala imajinasi saat ini adalah kenyataan pada masa depan. Hal itu berarti bahwa kalau tak berimajinasi, kenyataan pada masa depan hanyalah olok-olok.
Karena itu, dengan mengekor pada Eagleton (1983), imajinasi harus dipandang sebagai kekuatan yang berdiri sendiri dan otonom sehingga dapat melampaui batas-batas realitas. Imajinasi adalah bibit unggul sebuah kenyataan. Dalam hal ini dengan memperingati Hari Dongeng Sedunia, terutama dalam konteks dunia pendidikan, berarti kita harus mendekatkan kembali dongeng pada muatan kurikulum. Harapannya adalah dengan dongeng itu guru-guru kita akan menjadi “pendongeng” baru, persis seperti Robert McKee. Namun, bilakah?
Riduan Situmorang
Penulis adalah Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF), Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional.