Merdeka Ujian Bahasa

Kebijakan pemerintah Indonesia melalui Kemendikbudristek untuk meniadakan Ujian Nasional pada tahun 2020 disambut antusias oleh sebagian besar kalangan, baik pelajar, guru, maupun orang tua. Sebagian besar yang mendukung kebijakan tersebut memandang bahwa peserta didik harus diberi kesempatan yang seluas mungkin untuk meraih pendidikan pada jenjang selanjutnya tanpa terkendala ujian yang akan mengklasifikasi mereka dan mendegradasi semangat belajar mereka. Sebagian kecil lain yang juga mendukung kebijakan tersebut  memandang bahwa ujian merupakan bentuk kontrol kekuasaan terhadap peserta uji sehingga pilihan meniadakan ujian nasional merupakan hal yang akan membebaskan mereka terhadap kontrol tersebut.

Di sisi lain terdapat pula pandangan yang menyayangkan peniadaan tersebut dengan beberapa alasan, di antaranya akan membuat pelajar kurang tertantang dan melemahkan prestasi peserta didik. Selain itu, terdapat alasan pragmatis bahwa kebijakan itu akan melemahkan sistem ekonomi tertentu  yang terbangun dengan adanya ujian nasional.

Terlepas dari dua pandangan tersebut, ujian pasti dibutuhkan dalam pendidikan. Penghilangan UN bukan berarti tidak ada ujian apa pun bagi peserta didik.  Tujuan, sistem, bentuk, dan materi ujinya yang akan membuatnya berbeda dari masa ke masa, dari satu kebijakan kepada kebijakan lain yang dianggap lebih baik dan lebih bermanfaat. Saat ini Kemendikbudristek telah meramu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) sebagai bentuk penilaian pendidikan. Sekalipun pesertanya adalah peserta didik, hasilnya tidak berkaitan dengan kualifikasi lulusan dan pemeringkatan peserta didik, tetapi untuk sekolah dan wilayah.

Sebenarnya apa manfaat ujian? Mengapa ujian yang bersifat nasional, bahkan internasional, terus dikembangkan dalam beberapa dekade? Dengan mengabaikan motif ekonomi dan kekuasaan yang mungkin saja muncul pada  penstandaran  apa pun, terutama pada tingkat internasional, tentu ada manfaat utama ujian dalam kaitannya dengan pendidikan. Hasil ujian dapat digunakan oleh pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan untuk menargetkan sumber daya pendidikan ke sekolah atau wilayah geografis yang berprestasi rendah. Ujian juga dapat dimanfaatkan untuk membentuk dan mendorong praktik pedagogis guru sesuai dengan cara yang diinginkan. Kalangan pendidik dan pengambil kebijakan dapat mengambil manfaat langsung dari ujian kepada siswa berupa informasi yang dapat dijadikan landasan target perbaikan dalam pengajaran. Hasil ujian juga dapat memperkuat penarikan dana pada sektor pendidikan.

Dalam konteks kebahasaan terdapat beberapa karakteristik ujian. Ujian yang dikembangkan untuk menjawab seberapa tingkatkah kemahiran berbahasa seseorang disebut dengan uji kemahiran. Ujian yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan di manakah kedudukan seorang pelajar atau pemelajar dalam suatu pembelajaran disebut dengan uji penempatan. Ujian yang dikembangkan untuk mengetahui seberapa tepat peluang seseorang pada penggunaan beberapa elemen kebahasaan, seperti struktur, fungsi, situasi, atau kosakata disebut dengan uji diagnosis. Ujian yang dikembangkan untuk mengetahui seberapa banyak seorang pelajar atau pemelajar mampu memperoleh hasil dalam suatu proses pembelajaran disebut dengan uji pemerolehan atau biasa disebut dengan tes hasil belajar. Ujian yang dikembangkan dengan tujuan berbeda akan memiliki bentuk yang berbeda dan dampak yang berbeda pula.

Ujian yang berkaitan dengan kebahasaan sedikit banyak akan bertalian, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan mata pelajaran atau mata kuliah bahasa Indonesia. Mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat berkaitan erat dengan jati diri dan kehidupan peserta didik. Pendidikan yang berkaitan dengan kebahasaan kepada pelajar akan memiliki tantangan langsung, yaitu tuntutan kemahiran berbahasa pelajar yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, dalam situasi pembelajaran saat menuntut dan menuai ilmu, kehidupan sosial antarpeserta didik, dan kehidupan profesional yang akan dijalani peserta didik di masa depan. Hal ini karena dalam kehidupan peserta didik, dalam dimensi apa pun, dalam dinamika mana pun, membutuhkan kemahiran berbahasa, baik kemahiran mendengarkan, membaca, menulis, maupun berbicara. Dengan demikian, terdapat suatu kebutuhan bagi peserta didik untuk melakukan uji kemahiran agar yang bersangkutan dapat meningkatkan kemahirannya secara mandiri atau dapat pula mengikuti program peningkatan kemahiran berbahasa yang akan sangat bermakna bagi kehidupannya.  

Empat kemahiran berbahasa  dapat saja dikuasai secara penuh oleh penutur bahasa. Akan tetapi, tidak sedikit yang memperlihatkan kekuatan pada satu kemahiran berbahasa dan kelemahan pada kemahiran berbahasa lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kalangan profesional tertentu dapat memiliki kemahiran  menulis yang tinggi,  tetapi memiliki kelemahan pada kemahiran berbahasa yang lain.  Hal itulah yang menunjukkan perbedaan hasil UKBI pada kalangan profesional, seperti wartawan, penerjemah, manajer, guru, dan dosen. Yang perlu dipertimbangkan tentu disparitas antarkemahiran tersebut tidak terlalu jauh sehingga yang bersangkutan, sekalipun lemah dalam satu kemahiran tertentu, tetap dapat melaksanakan tugas kebahasaan dalam kemahiran yang lain.

Uji kemahiran berbahasa dalam era modern seharusnya memang dapat dilakukan sedinamis mungkin, sefleksibel mungkin, semudah mungkin untuk diakses, dan seluas mungkin kesempatan untuk dilakukan, serta tidak terkendala ruang dan waktu. Uji kemahiran berbahasa seyogianya dapat dilakukan sepanjang kebutuhan untuk mengetahui kemahiran berbahasa sebagai landasan peningkatan atau pengayaan kemahiran berbahasa seseorang diperlukan. Uji kemahiran berbahasa Indonesia (UKBI) Adaptif Merdeka yang dikembangkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek memberi ruang dan kesempatan bagi peserta didik untuk mengikuti ujian dengan kriteria itu.

Melalui UKBI Adaptif Merdeka, peuji akan diperlihatkan tingkat kemahiran berbahasanya, apakah berada pada jenjang Istimewa (rentang skor 725--800), jenjang kemahiran Sangat Unggul (641--724), Unggul (578--640), Madya (482--577), Semenjana (405--481), Marginal (326--404), dan terbatas (251—325). Predikat itu bertalian dengan kemahiran berbahasa yang diuji, yaitu kemahiran berbahasa mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara disertai dengan tes yang berkaitan dengan pemahaman kaidah bahasa Indonesia. Tentu saja tingkat atau predikat yang tepat dan direkomendasikan untuk setiap penutur akan berbeda. Misalnya, standar kemahiran berbahasa antara pelajar SMP dan mahasiswa tentu akan berbeda. Ihwal standar itu tertera dalam Permendikbud Nomor 70 Tahun 2016.

Bagi peserta didik kesempatan untuk berkembang dan meningkatkan kemahiran berbahasanya jauh lebih besar daripada karakteristik peserta uji lain. Oleh karena itu, pelaksanaan UKBI sangat bermakna karena hasilnya dapat dijadikan landasan dalam kerangka peningkatan kemahiran berbahasa mereka, baik pada saat ini maupun kelak saat mereka memasuki kehidupan sosial dan kehidupan profesional. UKBI Adaptif Merdeka memberi pilihan kepada peserta didik untuk merdeka dalam mengikuti ujian bahasa.

Atikah Solihah

Atikah Solihah, Koordinator KKLP UKBI di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek, dan Teknologi.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa