Dialektika Kebudayaan dengan Islam Nusantara

Islam Nusantara akhir-akhir ini menjadi ramai diperbincangkan. Terdapat tiga arus peristiwa yang berkelindan dalam eksistensi Islam Nusantara, pertama, peristiwa politik, kedua, peristiwa kebangsaan dan peradaban, ketiga, peristiwa kebudayaan. Sebagai peristiwa politik, konsepsi Islam Nusantara sesungguhnya mengilhami Piagam Madinah yang digagas oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW memberikan mandat demokratis kepada masyarakat Yatsrib (sekarang Madinah). Implikasinya adalah kuatnya toleransi, gotong-royong, dan sikap menjaga semangat kebangsaan dan keberagaman.

Peristiwa politik dalam konsepsi Islam Nusantara yang erat relasinya dengan jamaah dan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), tidak dimaksudkan untuk menjadi ideologi politik praktis. Akan tetapi, sebagai pandangan hidup atau weltanschauung (pandangan dunia) agar dinamika politik mengutamakan agenda bersama menuju Indonesia yang beradab dan bermartabat. Orientasi primernya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, Islam Nusantara menjadi sangat fleksibel dan terbuka dengan paham kebangsaan, yaitu: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tungga Ika. NU, juga Muhammadiyah, menganggap bahwa Pancasila bukan hanya tidak bertentangan dengan syariat, melainkan juga dianggap sebagai sistem yang syar’i dan Islami (Sahal, 2016: 24). Argumen fikih K.H. Sahal Mahfudz dalam menerima sistem demokrasi dan kebangsaan menguatkan posisi Islam Nusantara dengan mengatakan:

“muara fikih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Dasarnya di antaranya adalah pernyataan Ali bin Abi Thalib: “kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’al al-kufri (di tangan orang kafir) dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’al al-muslimin (di tangan orang muslim)”; dan Ibnu Taimiyah: “Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) muslim” (K.H. Sahal Mahfudz via Sahal, 2016: 25).

Artinya, bukan siapa dan dari latar belakang apa yang memerintah, melainkan sikap adil, ikhlas, serta mengutamakan kepentingan bangsalah yang akan membawa kepada iklim politik yang kondusif. Akan tetapi, agar harapan tersebut terwujud, Kuntowijoyo mengungkapkan sebuah amanat, bahwa Pancasila harus terus dimasyarakatkan sebagai common denominator (rujukan bersama) semua golongan agama, ras, suku, dan kelompok kepentingan. Semua agama perlu melihat Pancasila sebagai suatu objektivikasi ajaran agama, sebagai rujukan bersama (Kuntowijoyo, 2018: 110).

Karakteristik Islam Nusantara

Sebagai peristiwa kebangsaan dan peradaban, Islam yang ekspansinya dibawa oleh bangsa Cina, Arab, dan Persia, akan melakukan adaptasi dengan realitas kebangsaan Jawi (Nusantara). Masdar Farid Mas’udi berpendapat bahwa Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara-bangsa ibarat jiwa dan raga, keduanya membentuk satu entitas Islam Indonesia, bukan sekadar Islam di Indonesia. Demikian pula muslim yang hidup di Nusantara ini pada dasarnya telah menjadi muslim Indonesia, bukan sekadar pemeluk agama Islam yang menumpang hidup atau indekos di Indonesia (Mas’udi, 2015: 67).

Eksistensi “kebangsaan” bahkan “kesukuan” dalam Al-Qur’an eksplisit diakui sebagai takdir yang tidak bisa diingkari. Argumen teologisnya adalah:

“Wahai manusia, Kami telah ciptakan kalian dari lelaki dan perempuan, dan kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenali dan berbuat kebaikan satu sama lain. Yang paling mulia di sisi Allah bukan bangsa/suku ini atau itu, melainkan yang paling takwa di antara kalian” (Al-Qur’an/ 49: 13).

Oleh karena itu, biarlah bangsa Indonesia penganut Islam tetap dengan dan dalam ke-Indonesiannya. Juga bangsa-bangsa lain, mereka boleh meyakini dan mengaktualisasikan ke-Islamannya tanpa harus mengharamkan identitas kebangsaan dan kesukuannya. Benar, wahyu Islam diturunkan di Arab dan kepada manusia pilihan berbangsa Arab. Namun, Nabi Muhammad saw. sendiri bersabda, “Tidak ada keunggulan bagi Arab atas bangsa lain, kecuali karena ketakwaannya” (H.R. Ahmad via Mas’udi, 2015: 68).

Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asyari pernah menggambarkan ke-Islaman negeri Jawa di awal abad 20 dalam kitabnya, Risalat al- Sunnah wa al-Jama’ah, sebagai masyarakat yang memiliki pandangan dan mazhab yang sama, serta memiliki referensi dan kecenderungan yang sama, yaitu pengikut mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur berpikir Imam Abu Hasan al-“Asy’ari, dan corak tasawuf konsep Imam al-Ghazali dan Imam Abi Hasan al Syadzili.

Diksi ‘negeri Jawa’ dalam kitab tersebut bukan ekspresi politik sektarian di tengah masyarakat Nusantara yang multikultural. Diksi ‘negeri Jawa’ hanya mengikuti kebiasaan para ulama Timur Tengah, Jazirah Arab, dan Afrika yang dalam rentang waktu abad 17-19 M menggunakannya untuk mendeskripiskan sebuah negeri kepulauan di Asia Tenggara. Hal yang sama seperti saat menulis nama Syaikh Yusuf Makassar (1626 M-1699 M) masih ditambahi kata ‘al-Jawi’, begitu juga nama Syaikh Achmad Chatib al-Jawi al-Minangkabau (1860 M – 1916 M), Syaikh Muhammad Nur al-Jawi al-Fatani (1873 M – 1944 M) (yang sekarang masuk wilayah Thailand), dan lainnya (Sahal, 2016: 234-235).

Oleh karena itu, Islam Nusantara itu bukan “agama baru’ sebagaimana dikhawatirkan beberapa kalangan yang sudah jenuh dengan konflik Syiah-Wahabi. Islam Nusantara juga bukan “aliran baru” seperti ketakutan beberapa orang yang telah masuk dalam pusaran pertentangan JIL dan Anti JIL. Islam Nusantara adalah wajah ke-Islaman yang ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya. Dengan demikian, Islam Nusantara telah berdiaspora sejak dahulu.

Sebagai kebudayaan, Islam Nusantara memunculkan tiga istilah, yaitu Islam Nusantara sebagai “Islam bahari”, “Islam sehari-hari”, dan “model”. Islam Nusantara sebagai “Islam bahari” adalah praktik keislaman yang diwarisi dari gaya hidup masyarakat bahari atau masyarakat maritim yang biasa berhubungan dengan para pendatang baru dari berbagai pulau. Radhar Panca Dahana menunjukkan karakteristik Islam Nusantara sebagai keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda, terbuka, egaliter dan tidak merasa paling tinggi satu sama lain. Karakter ini diambil dari horison laut Indonesia yang lurus dan setara (Lutfi, 2016: 5).

Sementara itu, Faisol Ramdhoni sebagaimana dikutip oleh Khabib Muhammad Lutfi, menjelaskan Islam Nusantara dengan “Islam sehari-hari”, yakni pelaksanaan ajaran Islam, baik terkait tata cara peribadatan, ritual, maupun tradisi keagamaan lain yang telah dilakukan, diturunkan, serta ditanamkan oleh para leluhur dalam praktik keagamaan keseharian masyarakat. Selanjutnya, pengertian Islam Nusantara sebagai model dijadikan sebagai contoh Islam ideal yang bisa diterapkan di seluruh dunia. Contohnya dapat dilihat dari Islam yang dipraktikkan warga Nahdliyyin sejak era Walisongo (Luthfi, 2016: 6).

Hamzah Fansuri: Me-Nusantara-Kan Konsep dan Istilah Kunci dalam Al-Qur’an melalui Puisi

Beberapa konsep di atas menjadi elan vital bagi dialektika Islam Nusantara dan Kebudayaan. Sementara itu, salah satu produk kebudayaan yang paling “purba” adalah sastra (puisi). Dalam konteks Islam Nusantara, sebelum diramaikan kembali saat menjadi isu utama Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, sufi-penyair dari Barus, Sumatera Barat, Syaikh Hamzah Fansuri sudah merepresentasikan corak puisi dan kearifan lokal (kebudayaan Melayu).

Peranan penting Syaikh Barus, nama lain dari Syaikh Hamzah Fansuri dalam sejarah pemikiran di dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, melainkan juga disebabkan karangan-karangan puisinya yang mencerminkan sengitnya pergulatan penyair menghadapi realitas zamannya, dan luasnya pengembaraan spirtualitasnya. Dia adalah pencipta pertama ‘syair Melayu’, bentuk puisi 4 baris dengan pola sajak akhir AAAA dan digemari oleh penulis-penulis Nusantara sejak abad ke– 17 (Hadi W.M., 2004: 102).

Dia memasukkan ratusan kata-kata Arab, istilah-istilah konseptual dari Al-Qur’an dan falsafah Islam, ke dalam bahasa Melayu. Bahasa ini lantas menjadi bahasa intelektual yang dihormati sebab dapat menampung gagasan-gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu. Artinya, sudah ada upaya kultural dari Syaikh Hamzah Fansuri dalam me-Nusantara-kan konsep dan istilah kunci dalam Al-Qur’an melalui puisi-puisinya. Abdul Hadi W.M. menambahkan, ciri khas dari perpuisian Syaikh Hamzah Fansuri adalah tamsil-tamsil sufistik atau citraan simbolik yang digunakan dalam syairnya diambil dari kehidupan budaya masyarakatnya dan lingkungan alam Nusantara. Dengan cara demikian, dia melakukan pribumisasi pandangan hidup dan nilai-nilai Islam yang diasaskan para pemikir tasawuf sekaligus universalitas kebudayaan Melayu melalui saluran falsafah perenial Islam (Hadi W.M., 2004: 105).

Pertanyaan yang muncul kemudian, mana yang lebih diutamakan, budaya lokal atau ekspresi keagamaan? Berkaitan hal ini, Ahmad Baso memberikan argumen bahwa Al-Qur’an justru turun dalam situasi kelembagaan yang dipakai sendiri oleh umat Islam. Misalnya, haji sebagai ekspresi kultural orang Arab. Namun, sampai saat ini kegiatan haji masih dipakai. Begitu pula Nusantara memiliki bedug, juga menjadi ekspresi keagamaan. Jadi, tidak ada ekspresi kultural mendominasi ekspresi keagamaan. Justru sebaliknya, ekspresi kultural mempunyai nuansa baru ketika berinteraksi dengan nuansa keagamaan (Baso, 2003: 219-220).

Puisi Gus Mus: Mensyiarkan Islam Nusantara yang Tasamuh, Tawasuth, dan Tawazun

Dialektika kebudayaan dengan Islam Nusantara juga dapat kita cermati dari kiai-penyair, A. Mustofa Bisri. Dia meletakkan Islam Nusantara sebagai “sistem nilai” dan penerapannya dalam menanggapi masalah-masalah aktual dari waktu ke waktu. A. Mustofa Bisri cenderung melihat Islam Nusantara pada nilai-nilai yang selama ini dipraktikkan, diresapi, dan dijadikan prinsip warga Nahdlatul Ulama (NU), seperti tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmonis), tawassut (moderat), ta’addul (keadilan), dan ‘amr ma’ruf nahi munkar sehingga Islam Nusantara ditempatkan secara aksiologis (Luthfi, 2016: 4).

Oleh sebab itu, jamak diketahui oleh banyak orang bahwa A. Mustofa Bisri menjadi seorang kiai dan penyair besar yang tidak hanya mencintai Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mencintai sesama manusia dan alam semesta. Islam Nusantara bagi A. Mustofa Bisri merupakan sistim nilai yang harus senantiasa diterjemahkan dalam hubungan dengan manusia (hablum min an-nas), dengan alam (hablum min al-alam), dan hubungan dengan Allah (hablum min Allah).

Untuk dapat mempraktikkan nilai Islam Nusantara dengan komprehensif, maka A. Mustofa Bisri mengharuskan umat beragama, khususnya Islam untuk mengenali dan memahami agamanya terlebih dahulu. Tidak mungkin pemahaman ke-Indonesiaannya akan baik, apabila pemahaman terhadap agamanya pincang. A. Mustofa Bisri mengungkapkan bahwa agama adalah wasilah. Mengapa demikian? Dasar argumentasinya adalah Q.S. al-Baqarah ayat 256: “tidak ada paksaan dalam agama, telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”, kemudian Q.S. 6: 161: “katakanlah (Muhammad), “sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang hanif”.

A. Mustofa Bisri menambahkan bahwa apabila dicermati ayat-ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agama itu adalah ‘jalan’, jalan menuju keridhaan Allah. Jadi, agama menurut A. Mustofa Bisri adalah wasilah. Jalan menuju keridhaan Allah (ghayah), ada yang lurus dan benar, ada yang berkelok-kelok dan menyesatkan. Menurut keyakinan, sesuai dengan Al-Qur’an, jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim AS, yaitu Islam (Bisri, 2009: 49).

Dengan demikian, pemahaman terhadap agama Islam dalam konteks Islam Nusantara harus dimiliki oleh semua orang. Pemahaman terhadap agama berfungsi sebagai dasar epistemologi bagi umat Islam untuk bertindak dengan arif dan bijaksana sehingga toleransi dan fleksibilitas sikap dapat terjaga dengan baik, serta peradaban Islam di Nusantara mendapatkan muru’ah-nya.

Menurut A. Mustofa Bisri, Islam yang selama ini “orang Nusantara” jalani ternyata unik dan menarik setelah maraknya fenomena keberagamaan kelompok di luar yang menamakan diri muslim dan membawa bendera Islam, namun meresah-gelisahkan dunia. Dunia kemudian bertanya-tanya tentang Islam yang rahmatan lil’alamin, Islam yang ramah, damai, dan teduh pun mendapatkan jawaban dari perilaku ke-Islaman kita yang di Nusantara ini. Karenanya, Islam kita – Islam yang kita jalani di Nusantara ini – ternyata dapat membantu peradaban, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia (Bisri via Sahal dan Azis, 2016: 4).

Oleh karena itu, A. Mustofa Bisri memilih jalan kebudayaan, juga kesenian untuk mensyiarkan nilai-nilai Islam Nusantara yang tasamuh, tawasuth, dan tawazun. A. Mustofa Bisri menulis apa pun didasarkan kepada alasan keruhanian, menyampaikan hikmah, dan mencari keberkahan hidup. Sebagaimana diungkapkan sendiri oleh A. Mustofa Bisri, sebagai pecinta keindahan sejati dia yakin bahwa karya seni yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang telah tidur di dalam hati, baik cinta yang bersifat duniawi dan indrawi, maupun cinta yang bersifat ketuhanan dan keruhanian (Wachid B.S., 2008: 122). ***

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalwati, Ismail Haqqi al-Hanafi. n.d. Ruhul Bayan, Juz 6. Beirut: Dar Al-Fikr.

Bagir, Haidar. 2017. Islam Tuhan Islam Manusia, Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau. Bandung: Mizan.

Bisri, A. Mustofa. 2009. “Meneguhkan Islam Budaya Menuju Harmoni Kemanusiaan”, Pidato Penganugerahan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam Bidang Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.

_______. 2011. Membuka Pintu Langit, Momentum Mengevaluasi Perilaku. Jakarta: Kompas.

Baso, Ahmad. 2015. Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia Jilid 1. Tangerang Selatan: Pustaka Afid.

Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Gunawan, Restu. 2005. Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan. Yogyakarta: Ombak.

Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiuitas. Yogyakarta: Matahari.

________. 2016. Semesta Maulana Rumi. Yogyakarta: Diva Press.

Hardiman, F. Budi. 2015. Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius.

Kuntowijoyo. 2006. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.

_________. 2018. Identitas Politik Umat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.

Luthfi, Khabibi Muhammad. 2016. “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Shahih Vol. 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016.

Maarif, Ahmad Syafii. 2015. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Mahayana, Maman S. 2016. Jalan Puisi, Dari Nusantara ke Negeri Poci. Jakarta: Kompas.

Muhammad, Husein. 2012. Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.

Mustofa, Saiful. 2015. “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Islam Berkemajuan”, dalam Jurnal Episteme, Vol. 10, No. 2, Desember 2015.

Rahmat, M. Imdadun. 2003. Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ricoeur, Paul. 1981. Hermeneutics and the Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.

Sahal, Akhmad, dan Munawir Aziz (Ed.). 2016. Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan.

Sawitri, Ken. 2008. Album SajakSajak A. Mustofa Bisri. Surabaya: Mata Air.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika (Sebuah Metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius.

Sunyoto, Agus. 2017. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka IIMaN.

Ubaid, Abdullah dan Mohammad Bakir (Ed.). 2015. Nasionalisme dan Islam Nusantara. Jakarta: Kompas.

Wachid B.S., Abdul. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______. 2015. “Puisi Sufi A. Mustofa Bisri”, dalam Jurnal Ibda’, Vol. 13, No. 1, Januari – Juni 2015. Purwokerto: Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia bekerja sama dengan P3M STAIN Purwokerto.

Abdul Wachid B.S

Penulis adalah penyair, dan menjadi dosen negeri di IAIN Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa