Teladan Literasi dari Tokoh Anutan

Edisi #RabuBerliterasi yang diunggah Badan Bahasa melalui akun Instagram @badanbahasakemendikbud pada 28 Juli 2021 menarik untuk disimak. Pada unggahan itu ada empat cara untuk menumbuhkan minat baca anak usia dini. Pertama, sediakan banyak buku bacaan. Kedua, luangkan waktu untuk membaca. Ketiga, bacakan buku setiap hari. Keempat, ceritakan hasil bacaannya. Pada keempat cara menumbuhkan minat baca itu Badan Bahasa berfokus pada orang tua. Mengapa orang tua? Saya pikir karena orang tua adalah tokoh sekaligus anutan di rumah.

Nah, mari masuk lebih mendalam. Mengapa Badan Bahasa sampai membuat empat cara untuk menumbuhkan minat baca anak usia dini? Apakah membaca itu memang sangat penting? Mari, mengutip tokoh pada artikel tersebut. “Jika bangsa adalah sebuah tubuh, pengetahuan—dalam pengertiannya yang paling luas—adalah oksigen yang menentukan kesehatan dan keutuhan bangsa tersebut,” demikian suatu kali Nirwan Ahmad Arsuka menulis. Apa yang dikatakan Nirwan Ahmad Arsuka sangat masuk akal dan memang begitulah adanya.

Saya jadi teringat pada David Mc Clelland. Kebetulan dia merupakan psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah-masalah pembangunan. Suatu ketika, dia meneliti Inggris dan Spanyol yang kita tahu bahwa pada abad ke-16 merupakan negara hebat. Bedanya, sejak abad ke-16 Inggris makin jaya, tetapi Spanyol malah cenderung melempem. Mengapa? Ternyata faktor penentunya ada pada buku, tepatnya muatan buku. Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need for achievement). Sementara itu, muatan buku di Spanyol cenderung didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati seolah dininabobokan.

Buku Adalah Senjata

Simpulan yang bisa diambil dari penelitian itu adalah bahwa buku, terutama muatannya, sangat menentukan peradaban dan kemajuan. Karena itu, tepatlah kalau orang mengatakan bahwa buku adalah senjata. Masalah selanjutnya adalah, jika buku adalah senjata dan karena itu literasi pun demikian, bagaimana kita menggunakan senjata (baca: literasi) dalam kehidupan?

Kita melukai orang lain agar menang; melukai diri agar orang lain menang; tak melukai orang lain agar menang; atau tak melukai orang lain, tetapi menang? Idealnya adalah tak melukai siapa pun, tetapi menang. Hanya saja, segala sesuatu yang ideal telanjur diartikan sebagai sesuatu yang mustahil atau terlalu muluk-muluk. Dengan kata lain, itu hanya khayalan. Hal itu akan makin dikhayalkan pula, terutama oleh bangsa yang belum melek literasi, seperti Indonesia yang konon menurut The World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016, hanya menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang dikaji.

Kita hanya berada satu tingkat di atas Botswana, negara kecil di Benua Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa. Indeks membaca kita pun, menurut UNESCO, sangat memprihatinkan, yakni hanya 0,001. Betul-betul memprihatinkan. Memang, skor PISA pada tahun 2015 telah memberikan sinyal kemajuan. Kemajuan itu berupa kenaikan peringkat dari yang semula berada pada peringkat 64 dari 65 negara pada tahun 2012, pada tahun 2015 naik enam peringkat dan mengungguli Brazil, Peru, Lebanon, Tunisia, Macedonia, Kosovo, Algeria, dan Dominika. Kita bahkan menanjak begitu signifikan pada ranah sains (21 poin) dan matematika (11 poin).

Namun, pada ranah literasi skor kita terkesan statis, yakni hanya mengalami peningkatan satu poin dari 396 menjadi 397. Bahkan, sebagian besar peuji berada pada level <1>

Bebas ke Mana Saja

Bangsa Yahudi ternyata bisa melahirkan orang-orang genius bukan karena faktor keturunan, melainkan karena asupan need for achievement melalui kitab suci mereka yang secara tegas menyebut mereka sebagai bangsa pilihan. Karena itu, sangat menarik untuk bertanya kepada bangsa Indonesia tentang hal yang dapat memberikan ilham agar menjadi bangsa yang maju. Apabila merujuk pada literatur dari leluhur, rasanya belum cukup memberikan jawaban karena kebetulan tradisi kita lebih condong pada budaya lisan, bukan tulis. Kita lebih banyak mendongeng, bukan menuliskan ide.

Kita bahkan lebih sering membual, termasuk berjanji ini-itu ketika musim pemilu tiba, lebih banyak memberikan mimpi muluk-muluk daripada berbuat melalui hal-hal kecil. Lantas, bagaimana kita bertindak? Tindakan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi, melalui tawaran metode sekolah seharian dengan salah satu klausulnya mendatangkan budayawan/seniman/penyair ke sekolah, sebenarnya sempat bisa menjadi salah satu tindakan yang tepat. Dengan klausul tersebut, siswa akan rajin membaca. Andai saja hal itu terjadi, seperti kata Joko Pinorbo, “(Jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca, kepalamu berambutkan kata-kata,” kepala kita akan menjadi ruang ide-ide yang liar.

Kepala yang, seperti kata Albert Einstein, tak lagi dibatasi logika akan membuatnya bebas pergi ke mana saja. Jadi, langkah pertama membangun bangsa sebenarnya adalah dengan membaca. Namun, membaca pun bukan sekadar bagaimana kita menggabungkan kata demi kata sebab menggabungkan kata demi kata berupa hoaks di media sosial pun sebenarnya dapat dikategorikan sebagai membaca. Di sinilah kita harus masuk pada fase muatan bacaan, seperti yang dialami Inggris, bukan Spanyol. Mungkin masalah lanjutannya adalah bagaimana membuat buku, terutama bagaimana membuat agar masyarakat tertarik membaca buku?

Sadar atau tidak, langkah yang pernah dilakukan Presiden Jokowi dengan pamer membeli buku di mal adalah tindakan produktif. Saya bermimpi, andai orang-orang besar di negeri ini mencontoh Jokowi dengan tidak hanya memberi nasihat, tetapi juga aksi; tidak hanya membuat UU, tetapi memberi teladan. Apabila perlu, hal yang dilakukan lebih atraktif dari tindakan Jokowi, seperti membaca di bandara atau di kursi-kursi bus dan mengunjungi perpustakaan. Andai itu terjadi, kita akan mempunyai pengalaman yang kurang lebih sama dengan sastrawan besar Argentina, Jorge Luis Borges (1899—1986), yang berujar, “I have imagined that paradise will be a kind of library!”

Tiruan Baik di Rumah

Pada saat itu terjadi, kita akan lebih sibuk berkarya, bukan membual. Kita sibuk mengembangkan potensi, bukan menimbulkan pertengkaran. Pada saat itu pula, kemewahan bukan lagi monopoli orang kaya. Kita akan mengutuk kemewahan dan gengsi, persis seperti cerita dalam film “Good Will Hunting” (1999) yang meraih Oscar untuk Skenario Asli Terbaik dan berkata, "Sayang sekali kau menghabiskan puluhan ribu dolar uang orang tuamu untuk ilmu yang bisa engkau dapatkan secara gratis di perpustakaan umum!"

Yang lebih penting, pada saat itu terjadi, adalah apa yang telah dilakukan oleh tim-tim kecil, seperti kami di Toba Writers Forum (TWF) yang mengadakan pelatihan menulis bagi mahasiswa-mahasiswa dari satu universitas ke universitas lain selama dua tahun ini, akan berbuah ranum. Mereka tak akan menganggap kami sebagai penjual kata-kata atau bahkan penjaja buku. Mereka akan sadar bahwa membaca buku adalah membangun peradaban. Di ujung kolom ini izinkan saya bermimpi lagi, andai tokoh-tokoh di negara ini berlomba “pamer” membaca buku, baik di torotoar, di kedai kopi, maupun di halte bus, oh, betapa indahnya negeri ini!

Untuk skala lebih kecil, hal itulah yang sesungguhnya diharapkan oleh Badan Bahasa pada edisi #RabuBerliterasi sebagaimana dikutip di atas. Jika orang tua sebagai anutan atau tokoh teladan rajin membaca di rumah, sudah pasti anak akan mencontohnya sehingga rumah tak lagi sekadar tempat tidur. Rumah pun menjadi perpustakaan kecil bagi anak-anak kita. Izinkan saya mengutip ungkapan Badan Bahasa dalam posting-an tersebut pada akhir tulisan singkat ini, “Orang tua adalah figur pertama kali yang diidolakan anak. Jika idolanya gembar membaca, anak otomatis akan menirunya.” Semoga kita menjadi tiruan yang baik di rumah kita masing-masing.

--------------------------------------------

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa