Persebaran Bahasa Daerah di Papua dan Analisis Pergeserannya (Kasus Bahasa Daerah Tepra dan Sentani di Jayapura)

Abstrak

Tulisan ini kami dedikasikan khusus untuk mendiang istri kami tercinta, Maria F. Suwae, sebagai Tepra Iron Women yang telah menjadi guru yang mengajari kami mengenal kebudayaan Tepra.

Tulisan ini sebenarnya merupakan catatan kuliah dan tugas-tugas mata kuliah Etnolinguistik yang diasuh oleh Dr. Peter J. Silzer (Summer Institute of Linguistic-UNCEN) dan Dr. Dan Ayamiseba, ahli Etnolinguistik Pasifik tahun 1988. Tulisan ini menyajikan persebaran bahasa-bahasa daerah di Papua serta mengetengahkan beberapa informasi etnolinguistik sebagai berikut: (1) analisis pergeseran bahasa daerah di Papua dan (2) faktor-faktor pendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah.

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang melakukan penelitian pemetaan bahasa daerah di Indonesia yang dilaksanakan sejak 1991 hingga 2017, bahasa daerah (tidak termasuk dialek dan subdialek) di Indonesia yang telah diidentifikasi dan divalidasi ialah sebanyak 668 bahasa di 2.468 daerah pengamatan. Jika didasarkan pada akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi, bahasa di Indonesia berjumlah 750. Bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat belum semua teridentifikasi (Infografik Data Bahasa Daerah, 2018).

 

Pensebaran Bahasa-Bahasa Daerah di Papua

Secara umum, penduduk Papua terbagi ke dalam dua rumpun bahasa besar berdasarkan pembagian bahasa yang digunakannya, yaitu rumpun bahasa Austronesia dan rumpun bahasa non-Austronesia. Bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia sering kali disebut juga rumpun bahasa Melanesia, sedangkan rumpun bahasa non-Austronesia sering kali disebut juga bahasa Papua.

Dua rumpun bahasa ini merupakan bahasa induk yang di dalamnya termasuk bahasa-bahasa lokal yang terdapat di Papua. Jumlah bahasa-bahasa lokal yang ada di Papua, seperti yang dilaporkan oleh ahli-ahli bahasa yang bekerja di Papua di bawah organisasi Summer Institute for Linguistics (SIL), berjumlah kurang lebih 240 bahasa (Silzer–Haikinen, 1986).

Tabloid Jubi pada tanggal 17 April 2014 menuliskan artikel berjudul “Ternyata Ada 307 Bahasa Daerah di Papua”. Artinya, terdapat perbedaan hingga 32 bahasa daerah dibandingkan dengan data yang selama ini ada. Fakta itu sekaligus memperkukuh posisi  Tanah Papua sebagai daerah yang paling banyak memiliki bahasa daerah dibandingkan dengan daerah atau suku lain di Indonesia. Ini adalah hasil penelitian tim Balai Bahasa Papua dan Papua Barat pada tahun 2013 lalu. Dari hasil tersebut, ternyata teridentifikasi sebanyak 307 bahasa daerah di Tanah Papua,” ungkap Supriyanto Widodo, Kepala Balai Bahasa Papua dan Papua Barat tentang jumlah bahasa daerah yang tersebar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada hari ini pun kemungkinan ada sejumlah bahasa daerah di Papua dan Papua Barat yang telah bertambah jumlahnya, tetapi berbanding terbalik dengan jumlah penutur bahasa daerah di tanah Papua yang terus mengalami penurunan jumlah. Misalnya saja, jumlah penutur bahasa daerah Tabatji di Teluk Yotefa hingga saat ini terus menurun karena secara geografis Kampung Tabatji dan Enggros saat ini berada di tengah kota, jika dibandingkan dengan sebelumnya. 

Para penutur bahasa lokal yang berbeda-beda satu sama lain ini, tergolong ke dalam rumpun atau bahasa induk Austronesia, terdapat terutama di kalangan masyarakat di sekitar pantai, misalnya bahasa Biak, bahasa Wandamen, bahasa Waropen, dan bahasa Maya. Sebaliknya, kelompok-kelompok penutur bahasa non-Austronesia yang disebut juga sebagai bahasa Papua itu terdapat di kalangan penduduk di daerah pedalaman dan pegunungan tengah, mulai dari Kepala Burung di sebelah barat sampai di ujung timur Pulau Nieuw Guinea, seperti bahasa Meybrat, bahasa Dani, bahasa Ekari, bahasa Asmat, bahasa Muyu dan bahasa Sentani. Bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam bahasa Papua itu oleh para ahli linguistik dibagi ke dalam sepuluh phylum, yaitu Trans New Guinea Phylum, West Papuan Phylum, Sepik-Ramu Phylum, Toricelli Phylum, Sko Phylum, Kwomtari Phylum, Arai (Left May) Phylum, Amto-Musian Phylum, Geelvink Bay Phylum, dan East Bird’s Head Phylum (Wurm & Hattori, 1981). Pembagian tersebut kemudian diperinci ke dalam keluarga-keluarga bahasa sehingga satu phylum terdiri atas sejumlah keluarga bahasa dan tiap-tiap keluarga bahasa itu terdiri atas bahasa-bahasa lokal atau dialek tertentu. Upaya ke arah pengklasifikasian seperti itu dilakukan oleh Voorhoeve dan McElhanon (Voorhoeve 1975; McElhanon & Voorhoeve, 1970).

Ahli bahasa yang pertama kali membuat pembagian bahasa-bahasa di Papua ke dalam dua rumpun  bahasa adalah seorang warga Austria bernama Müller pada 1876 (lihat Vol. I: 82, Vol. II: 67, Vol. IV: 19). Pembagian tersebut kemudian dilengkapi oleh Ray (1926) dan Capell (1932—1933).

PetPersebaran Bahasa-Bahasa Daerah di Papua

Sumber: Voorhoeve 1975: 63 (Diunduh dari Papua Web September, 2021)

 

 

Analisis Persebaran Bahasa Daerah Tepra dan Sentani

Bahasa Tepra dan bahasa Sentani di Kabupaten Jayapura tergolong ke dalam dua keluarga bahasa setingkat stock level, yaitu Demta family dan Sentani family language (keluarga bahasa). Dalam keluarga bahasa Sentani inilah terdapat bahasa daerah Tepra dan bahasa daerah Sentani.

Bahasa Tepra memiliki tiga dialek secara geografis, yaitu dialek Yokari (bahasa Tepra yang digunakan oleh kelompok masyarakat Tepra di sebelah timur atau di Distrik Yokari), dialek sentral Tepra (dialek bahasa daerah yang digunakan oleh kelompok masyarakat di Distrik Depapre, khususnya di Kampung Tablanusu, Waya, dan Tablasupa), serta dialek Tawano yang merupakan dialek bahasa Tepra yang digunakan kelompok masyarakat Tepra di Distrik Depapre ke sebelah timur, mulai dari Kampung Yepase hingga Kampung Yongsu Desoyo (Distrik Ravenirara).

Bagan Analisis Bahasa Daerah Tepra

 

 

 

 

 

Bahasa Sentani juga memiliki tiga dialek secara geografis. Yang pertama adalah dialek timur yang meliputi bahasa Sentani yang digunakan oleh kelompok masyarakat Sentani di sebelah timur, yakni di Kampung Yoka, Waena, Nolokla, Asei, Kampung Harapan, Netar, Itakiwa, Ayapo dan Puay.

Yang kedua adalah dialek sentral Sentani, yaitu dialek bahasa daerah yang digunakan oleh kelompok masyarakat di kampung, seperti Ajau, Ifale, Ifar Besar, Kehirang, Hobong, Ebungfa, Abar, Atamali, Putali, Kessio, Yosiba, Simporo, Babrongko, Yobo, Sentani dan Dobonsolo, dan Sereh Yobe. Sementara itu, yang ketiga adalah dialek barat, yaitu dialek bahasa Sentani yang digunakan kelompok masyarakat Sentani di Kampung Kanda, Donday, Kwadeware, Boroway, Yakonde, Sosiri, Doyo Lama dan Doyo Baru, dan Bambar.

Analisis Pergeseran Bahasa Daerah Tepra dan Sentani

Jika menyangkut pergeseran bahasa daerah di Papua, sesungguhnya hal itu tidak terlepas dari perkembangan dan kemajuan pembangunan Papua sejak satu abad lalu, yaitu ketika dimulainya kontak antara pribumi dan para pelancong dari luar yang sedikit lebih intensif ketika era Pekabaran Injil di Papua karena bahasa yang digunakan saat itu adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu (Indonesia). Bahkan, para pekabar Injil menggunakan bahasa Melayu untuk mengabarkan Injil di Papua kala itu.

Indikator untuk menganalisis kasus pergeseran bahasa daerah dalam kajian etnolinguistik memang ada beberapa aspek, tetapi dalam tulisan ini kami mengambil dua indikator untuk melihat kasus pergeseran bahasa daerah Tepra dan Sentani, yaitu indikator jumlah penutur bahasa daerah bersangkutan dan gap komunikasi antara generasi terdahulu dan generasi saat ini.

Jumlah populasi di Distrik Depapre pada tahun 1984 yang dicatat oleh Peter Silzer–Helja Heikkinen adalah sebanyak 3.600 orang dan jumlah tersebut merupakan jumlah penutur bahasa daerah karena saat itu Distrik Depapre belum berkembang seperti saat ini. Sementara itu, populasi di Distrik Sentani pada tahun 1984 tercatat 25.000 orang sehingga dapat dipastikan bahwa semuanya merupakan penutur bahasa daerah Sentani yang fasih (Index Of Irian Jaya Langguages, 1984).

Beberapa saat kami mengamati percakapan-percakapan antarindividu, baik dalam keluarga maupun khalayak umum, baik antarindividu satu generasi maupun antargenerasi terdahulu dengan generasi saat ini. Dengan begitu, terlihat adanya kesenjangan dalam berkomunikasi sehingga ada banyak istilah dalam bahasa daerah yang kurang atau bahkan tidak dapat dipahami oleh lawan komunikasi. Hal itu rata-rata terjadi dalam komunikasi antargenerasi terdahulu dengan generasi saat ini. Kami berpikir bahwa gejala pergeseran bahasa daerah sedang berjalan lambat, tetapi pasti.

 

Faktor-Faktor Pendorong Pergeseran Bahasa Daerah Tepra dan Sentani

Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa daerah. Namun, kami hanya menyajikan beberapa faktor pendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah yang tidak hanya perlu disimak dari sejarah peradaban orang Papua secara keseluruhan, tetapi juga peradaban orang Sentani dan Tepra, khususnya pada aspek komunikasi dan bahasa yang digunakan saat itu. Beberapa aspek yang dapat kami sebutkan adalah sebagai berikut.

  1. Kontak dengan Dunia Luar dan Penginjilan di Tanah Tabi

Diakui bahwa kontak pertama orang Papua yang mengubah peradaban mereka terjadi pada tanggal 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam, Teluk Doreri, yakni ketika dua penginjil, Ottouw dan Geisller, menginjakkan kaki di sana. Beberapa sejarawan gereja mengungkapkan bahwa sebelum dua penginjil asal Eropa itu tiba di Papua, terlebih dahulu mereka berdua belajar bahasa Melayu di Batavia. Setelah beberapa waktu belajar di Batavia, mereka berdua tiba di Kesultanan Tidore.

Kontak orang Sentani dan sekitarnya dengan dunia luar (orang Eropa) terjadi pada akhir abad lalu, yaitu ketika seorang Inggris bernama Doherty mengunjungi Danau Sentani pada tahun 1892 (Galis & Van Doornik, 1960: 4). Kunjungan tersebut terjadi 16 tahun sebelum pengawas pos pemerintah, Tuan Windhouwer, membuka pos pemerintah Hindia Belanda yang pertama dan resmi di Pulau Metu Debi, Teluk Yotefa, pada tahun 1908 (Dubois, 1961: 28). Kunjungan orang asing kedua di Danau Sentani terjadi pada tahun 1893 oleh Pendeta Bink yang berada di sana selama kurang lebih 3 bulan. Setelah kedua kunjungan pertama tersebut, banyak kunjungan dilakukan oleh orang Eropa ke daerah ini.

Pos pemerintah Belanda yang pertama di daerah Danau Sentani dibuka di Koyabu yang terletak di ujung timur laut danau (Pantai Waena sekarang) pada tahun 1916. Pos tersebut pada tahun 1921 dipindahkan ke Doyo Baru, tetapi tidak lama kemudian berpindah kembali ke Koyabu pada tahun 1926.

Selain pembukaan pos pemerintah, pihak pekabaran Injil dari agama Kristen Protestan telah berupaya untuk membuka wilayah penginjilannya di daerah ini sejak kunjungan Pendeta Bink (1893). Upaya tersebut baru kelihatan pengaruhnya pada sekitar tahun 1921 sampai tahun 1926 ketika terjadi pemusnahan terhadap benda-benda yang dianggap berhala melalui pembakaran bangunan-bangunan obe (tempat menyimpan benda-benda magi) dan khombubulu (tempat inisiasi para pemuda remaja).

Pembakaran bangunan-bangunan untuk memusnahkan benda-benda berhala itu dilakukan di semua kampung dan sejak itu masyarakat tidak lagi melaksanakan upacara adat inisiasi bagi para pemuda remaja di daerah ini (Galis & Van Doornik, 1960; Siregar, 1987: 33). Selanjutnya, daerah ini secara resmi dinyatakan sebagai wilayah penginjilan Zending der Nederlandsche Hervormde Kerk (ZNHK) pada tahun 1928.

Bersamaan dengan itu pula dibuka sekolah-sekolah desa yang pertama di daerah Sentani. Proses modernisasi yang dibawa, baik oleh pemerintah maupun oleh gereja ke daerah tersebut yang dimulai pada awal dekade kedua abad ini sampai sekarang membawa banyak perubahan, baik yang bersifat positif maupun negatif seperti yang terjadi sekarang.

Jauh sebelum masuknya pengaruh asing dari Eropa ke daerah ini, telah terjadi kontak antara penduduk setempat dan dunia luar. Kapan dan dengan siapa tidak ada informasi yang pasti, tetapi sejumlah benda budaya yang terdapat di daerah ini menunjukkan adanya hubungan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti yang dikemukakan di atas, di sekitar Danau Sentani terdapat sejumlah benda perunggu yang oleh penduduk Sentani sekarang tidak diketahui asal-usulnya. Benda-benda itu merupakan peninggalan kebudayaan Dongsong kurang lebih 2.000 tahun yang lalu. Terdapatnya benda-benda kebudayaan Donsong di daerah ini menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan tersebut sampai juga di daerah ini.

Selain benda-benda perunggu itu, di sekitar Danau Sentani dan daerah-daerah lainnya di kawasan timur laut Papua, yaitu di lingkungan masyarakat yang mengenal sistem kepemimpinan ondoafi, terdapat benda-benda berupa gelang dan kalung manik-manik yang mempunyai nilai barang bergengsi (prestige goods).

Benda-benda tersebut mempunyai nilai tinggi karena digunakan sebagai alat pembayar maskawin, alat pembayar denda, atau alat pembayar lain yang bersifat adat (Tim Universitas Cenderawasih, 1973) serta karena jenis-jenis tertentu dari benda-benda itu hanya dimiliki oleh kelompok penguasa dalam masyarakat, bukan oleh rakyat biasa.

Sejauh ini kita belum mendapat keterangan pasti tentang asal-usul benda-benda tersebut dan kapan benda-benda itu menyusup ke dalam kebudayaan masyarakat setempat. Namun, cerita lisan yang diwariskan mengisahkan bahwa benda-benda itu dibawa ke daerah ini oleh para pedagang dan pemburu burung cenderawasih yang berasal dari Maluku (Ternate dan Tidore) beberapa abad yang lalu (Oscar Siregar, 1987: 31).

Perlu diketahui bahwa bahasa yang digunakan pada kontak pertama ini adalah bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Hal itu telah mendorong masyarakat Sentani dan sekitarnya menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Indonesia sebagai bahasa verbal. Setelah kontak pertama itu, para pekabar Injil yang masuk kemudian juga melakukan penginjilan di wilayah Sentani dan Tepra dengan menggunakan bahasa Belanda dan Indonesia. Dengan demikian, kondisi itu telah mendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah meskipun berjalan lambat, pergeseran terjadi secara pasti.

 

  1. Nasionalisme dan Kemajuan Pembangunan Wilayah

Memasuki tahun 1892, ketika Penginjil Bink dan pembukaan Pos Pemerintah Belanda di Danau Sentani 1921, dimulailah tahapan pembangunan wilayah. Banyak instalasi penting pemerintah dibangun dengan mengerahkan tenaga kerja tidak hanya dari seluruh Papua, tetapi juga dari luar Papua yang dibawa pemerintah untuk membangun instalasi penting pemerintah Belanda, seperti instalasi kesehatan serta instalasi pertanian di Kampung Harapan, Kemiri, Genyem, dan juga Manokwari.

Setelah tahapan kontak pertama dengan penginjilan, Pemerintah Indonesia masuk ke Papua dan mulai membuka isolasi daerah pada tahun 1960-an. Dengan kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi, masuk juga paham kebangsaan yang mengharuskan masyarakat Papua, termasuk Orang Tepra dan Orang Sentani kala itu untuk menggunakan bahasa Indonesia.

Sekolah-sekolah dibangun untuk memajukan sumber daya manusia di Papua. Isolasi pun terbuka bagi dunia luar sehingga banyak orang datang ke Papua. Kemajuan-kemajuan pembangunan di berbagai sektor berjalan begitu cepat untuk mengejar ketertinggalan Papua. Di satu sisi hal itu membawa angin segar karena keberhasilan dan kemajuan yang dicapai. Namun, hal itu juga berdampak negatif terhadap perkembangan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang ikut tergerus arus kemajuan pembangunan wilayah.

Dengan makin gencarnya kemajuan Papua dalam pembangunan di segala sektor, hal itu sekaligus mengundang banyak orang untuk datang dan menetap di tanah Papua sehingga terjadi perkawinan campur (asimilasi) antara orang Papua dan para pendatang. Hal itu juga disinyalir merupakan salah satu faktor adanya pergeseran bahasa daerah, terutama bahasa daerah Tepra dan Sentani.

Faktor lain yang turut mendorong adanya pergeseran bahasa daerah di Papua adalah faktor letak beberapa daerah yang dulunya masih terisolasi karena belum ada jalan penghubung. Namun, saat ini daerah-daerah itu berada di tengah kota yang cukup maju. Hal itu juga merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah di Papua.  

 

Dampak Pergeseran Bahasa

Pada dasarnya membicarakan dampak pergeseran bahasa daerah ada dua aspek yang mendasar, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Namun, dalam hal ini, kami hanya membicarakan dampak. Kami berharap bahwa pembaca dapat menilai dampak pergeseran bahasa daerah itu sendiri.

Dampak yang menonjol dari pergeseran bahasa daerah ini adalah adanya gap komunikasi antara generasi terdahulu dan generasi saat ini (generasi milenial). Hal itu tampak jelas ketika kami mengamati komunikasi verbal di Sentani dan Depapre. Beberapa orang tua dari kedua suku tersebut berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Para orang tua menggunakan bahasa daerah kepada anak-anaknya, tetapi anak-anak mereka membalasnya dengan bahasa Indonesia dan bahkan menyisipinya dengan bahasa asing yang kurang dipahami oleh orang tua. Komunikasi pun berujung rancu karena pesan tidak dipahami secara baik oleh tiap-tiap pihak.

Dampak lain dari pergeseran bahasa daerah adalah beberapa aspek yang sifatnya rahasia dalam satu keluarga atau suku yang sangat berwibawa ketika dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa daerah. Saat ini hal itu sudah menjadi rahasia umum karena semua hal dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pada akhirnya, tak ada lagi yang bersifat rahasia dalam satu keluarga atau sekelompok suku.

Dampak pergeseran bahasa daerah lainnya adalah dalam hal pengelolaan sumber daya alam di sekitar, yaitu sumber daya alam yang dahulunya bersifat religius dan magis atau keramat (pamali/tabu) dengan menggunakan bahasa daerah yang disandangnya. Namun, saat ini nilai-nilai religius dan magis dari sumber daya alam itu tampaknya mulai luntur. Contoh kasus yang dapat kami sampaikan di sini adalah kasus lunturnya nilai-nilai religius dan magis di hutan di kaki Pegunungan Cycloop yang pada zaman dahulu menjadi tempat keramat dan tidak boleh diganggu. Namun, saat ini tempat itu bukan lagi kawasan kaki gunung yang terbuka luas untuk tempat berladang penduduk. Dasarnya apa? Ternyata karena lunturnya nilai-nilai religius dan magis kawasan kaki Pegunungan Cycloop terhadap pemilik hak ulayat. Hal itu telah mendorong terjadinya pelepasan hak ulayat kepada para pendatang untuk dijadikan tempat berladang, perkantoran, kampus, dan perumahan penduduk.

 

Solusi

Solusi yang dapat kami sarankan kepada berbagai pihak, antara lain ialah sebagai berikut:

  1. adanya peraturan daerah yang mendukung penggunaan bahasa daerah dalam kebaktian Hari Minggu paling tidak sekali dalam sebulan;
  2. penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah;
  3. penetapan kurikulum muatan lokal bahasa daerah dan culture awareness sebagai mata pelajaran di sekolah; dan
  4. pemahaman agar tidak merasa minder untuk menggunakan bahasa ibu.

Referensi

Dubois, J.J.W. 1961. Memorie van Overgave van de Onderafdeling Hollandia. 1960-12 Augustus 1961.

Galis, K.W. & H.J. van Doornik. 1960. 50 Jaar Hollandia. Hollandia: Landsdrukkerij.

Mansoben, J.R. 1995.  Kepemimpinan Tradisional di Irian Jaya. Jakarta:LIPI.

Muller, F. 1876. Grundrisse der Sprachwissenschaft [4 Vols]. Vienna: Hölder.

Ray, S.H. 1926. A Comparative Study of the Melanesian Island Language. Cambridge: Oxford University Press.

Silzer, Peter J. & Helja Heikkinen. 1984Bulletin of Irian Jaya; Volume 12, tahun; Index of Irian Jaya Langguages,  SIL-UNCEN.

Supriyanto Widodo. 2014. Ternyata Ada 307 Bahasa Daerah di Papua dalam Tabloid Jubi.

Tim Pemetaan Pusat Pengembangan dan Pelindungan. 2018. Infografik Data Bahasa Daerah di IndonesiaBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI.

Wurm, S.A. & C.L. Voorhoeve & K. McElhanon. 1975. The Trans-New Guinea Phylum in General. Pacific Linguistics, Series C, 38: 299—322.

Wurm, S.A. & S. Hattori. 1981. Language Atlas of the Paciflc Area. Canberra: Australian Academy of Humanities.

Richard Kalilago

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa