Membaca Buku sebagai Praktik Sosial yang Menyenangkan
Saya masih ingat dengan ayah dan ibu saya yang hampir setiap malam menceritakan banyak hal, mulai dari cerita pengalaman masa kecil, cerita kegiatan sehari-hari, sampai dengan cerita hantu-hantu yang membuat saya takut. Karena kebiasaan itu, setiap malam pun saya terbiasa berteriak sebelum tidur, "Di tempat tidur siap grak, bercerita mulai!" Maka, rangkaian cerita segera meluncur dari ayah dan ibu saya. Cerita-cerita itulah yang membuat saya hanyut sampai susah untuk terlelap tidur. Setelah cerita disudahi, baru saya tidur dengan lelap ditemani imajinasi cerita ayah dan ibu yang selalu hidup dalam mimpi-mimpi saya.
Saya pun masih ingat ketika saya menangis karena marah, ayah dan ibu sering menghibur saya dengan membacakan buku. Entahlah, awalnya saya tidak suka dibacakan buku. Namun, lama-kelamaan saya menikmati cerita yang dibacakan ayah dan ibu. Saya pun kemudian berhenti menangis. Dalam keadaan masih sesenggukan, saya hanyut mendengarkan ayah dan ibu membacakan buku. Buku yang dibacakan ayah dan ibu meredakan kesedihan dan kemarahanku. Saat itu saya tahu betapa memukaunya buku-buku yang dibacakan.
Pada saat saya sudah duduk di bangku sekolah dasar, sekalipun sekolah saya tidak mempunyai perpustakaan, guru saya menjadi perpustakaan hidup buat saya. Setiap minggunya, tepatnya pada hari Sabtu, guru saya masuk ke kelas dengan membawa buku dalam kardus lusuh. Buku-buku itu dibagikan kepada saya dan murid-murid lainnya. Setiap anak mendapat satu buku. Kebanyakan merupakan buku cerita. Kemudian, guru saya berkata, "Baca bukunya selama satu minggu. Setiap minggu buku ditukar dengan buku teman lainnya secara bergantian."
Setiap minggu saya dan teman-teman mempunyai satu buku baru yang selalu kami baca. Kami pun banyak membaca buku. Pada saat buku dikumpulkan karena setiap siswa sudah mendapat giliran membaca, buku-buku itu rusak. Pada saat buku dimasukkan kembali ke dalam kardus, guru kami berkata, "Terima kasih untuk kalian yang telah membaca buku-buku ini. Jika buku ini rusak dan hilang, saya senang. Takdir buku yang banyak dibaca adalah rusak dan hilang." Kata-kata penuh kebijakan itu selalu saya ingat dan pengalaman membaca yang menyenangkan menjadi bagian hidup yang tidak terlupakan.
Saya masih ingat pada saat pelajaran dimulai. Guru kami di sekolah dasar sering meminta kami, para muridnya, membaca buku pelajaran bersama-sama dengan suara keras. Setelah selesai membaca, kami diberi pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab secara lisan dan tulis. Membaca buku bersama dengan suara keras (read aloud) pun menjadi kegiatan belajar bersama yang menyenangkan.
Pada saat belajar di sekolah juga, guru saya sering menunjuk satu siswa membaca dan siswa lain mendengarkan. Semuanya dilakukan secara bergiliran. Satu siswa membacakan buku dan siswa lain mendengarkan. Setelah selesai, guru kemudian menerangkan dan menambahkan materi, kemudian ia melanjutkannya dengan tanya jawab. Saya dan teman-teman senang karena pemahaman kami atas bacaan menjadi komprehensif sehingga kami pun bisa menjawab pertanyaan guru dengan baik dan tepat.
Ketika salah satu dari kami melakukan kesalahan dalam belajar, misalnya tidak mengerjakan tugas atau terlambat masuk ke kelas, guru sering memberikan hukuman dengan meminta kami membacakan buku dengan keras di depan kelas atau di depan guru. Sering juga kami dihukum untuk membaca buku dan menceritakannya di depan kelas. Membaca buku menjadi hukuman yang menyenangkan.
Dari pengalaman-pengalaman itu, saya menyimpulkan bahwa membaca buku sudah sejak lama menjadi praktik sosial yang menyenangkan dalam kehidupan keluarga dan sekolah. Membaca buku dilakukan secara kolektif dalam kegiatan belajar yang interaktif dan komunikatif. Dari sinilah, membaca buku menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan dan memberikan dampak berupa budaya membaca yang baik.
Namun, praktik-praktik sosial membaca buku itu kini telah luntur, bahkan hilang. Membaca kini telah menjadi praktik sunyi di ruang yang teralienasi. Di rumah, orang tua lebih sering meminta anaknya untuk belajar (membaca buku) sendiri. Di sekolah juga anak-anak sering diperintah untuk membaca sendiri-sendiri. Membaca dan belajar pun telah terprivatisasi menjadi ruang individual. Dari sinilah persoalan muncul, terutama pada saat anak-anak merasa bahwa membaca adalah aktivitas yang membosankan.
Inilah yang menjadi kenyataan saat ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rendahnya budaya membaca kita salah satu sebab praduganya adalah pergeseran budaya membaca. Dahulu membaca buku dilakukan secara sosial-kolektif, baik di ruang keluarga maupun sekolah sehingga membaca bisa menjadi aktivitas yang menyenangkan, seperti membaca bersama, membaca dengan suara keras, mendongeng dan bercerita, sampai membaca di depan teman dan guru.
Namun, sekarang membaca dipahami sebagai aktivitas personal. Membaca berarti duduk di ruang bunyi sendirian. Membaca berarti memegang buku sendiri-sendiri di ruang kelas. Membaca pun menjadi pengalaman personal, bukan pengalaman sosial. Dari sinilah membaca menjadi aktivitas yang membosankan dan tidak menyenangkan.
Inilah yang terjadi di keluarga dan sekolah-sekolah saat ini. Membaca buku berarti anak duduk tenang dengan buku di hadapannya. Lalu, semua diam dan larut dalam bacaannya. Namun, persoalannya adalah apakah anak-anak kita itu membaca dengan sungguh-sungguh? Apakah membaca individual ini bisa mendatangkan pengalaman yang menyenangkan? Di sinilah persoalannya.
Berbagai kajian tentang pentingnya read aloud dan group reading menandakan bahwa pengalaman membaca yang menyenangkan akan memberikan dampak terhadap minat baca anak-anak dan membaca yang dilakukan bersama-sama memberikan dampak sosial membaca yang baik.
Dengan demikian, tercerabutnya kegiatan membaca dalam interaksi sosial bersama bisa jadi berperan penting terhadap rendahnya budaya membaca kita. Inilah yang perlu kita renungkan bersama. Jika demikian adanya, sudah saatnya keluarga dan sekolah dalam setiap pelajarannya bisa menciptakan kegiatan membaca sebagai praktik sosial dalam setiap kegiatan dan pembelajaran. Dengan cara itu, kita bisa mengembalikan membaca sebagai aktivitas yang bermuara pada praktik bersama dalam melakukan aktivitas yang menyenangkan.
Heru Kurniawan
Penulis merupakan pengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, pendiri Komunitas Literasi Rumah Kreatif Wadas Kelir, dan penulis buku bacaan dan aktivitas literasi anak.