Religiositas Islam dalam Sastra
1. Religiositas dalam Sastra
Dalam The World Book Dictionary, kata religiosity berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan.[1] Akar kata tersebut adalah religion atau yang kita disebut religi. Konon, kata religi berasal dari kata religo[2] yang berarti “menambatkan kembali” atau dalam pengertian N. Drijarkara “ikatan” atau “pengikatan diri”.[3] Pengertian ini lebih memperlihatkan personalitasnya sehingga lebih terlihat dinamis karena lebih menonjolkan eksistensi kemanusiaan.
Dengan begitu, bereligi berarti menyerahkan diri dan taat dalam pengertian positif, yakni berkaitan dengan kebahagiaan seseorang yang seakan memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan.[4] Sementara itu, perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan, perasaan berdosa, dan pengakuan akan kebesaran Tuhan.
Religiositas ini oleh Paul Tillich, filsuf profetik, disebut sebagai “dimensi kedalaman”. Menurutnya, manusia dapat menjadi religius sebab dengan penuh kerinduan menanyakan tentang eksistensinya dan sangat ingin memperoleh jawaban, sekalipun mungkin jawabannya akan “menyakitkan”. Seorang religius adalah orang yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah semata; yang bergerak dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini dan mentransendensikan hidup. Orang demikian, menurut Paul Tillich, dapat memeluk agama tertentu, tetapi tidak sebagai keharusan.[5] Dalam konteks itu, ia rupanya memahami religiositas dari dua pendekatan, yakni religiositas yang agamis dan yang nonagamis.
Di satu sisi, Y.B. Mangunwijaya berpandangan bahwa agama lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi dan yuridis, sedangkan di sisi lain religiositas dipandangnya lebih pada aspek yang berada “di dalam lubuk hati”, sikap personal yang menjadi sedikit misteri bagi orang lain.[6] Namun, Y.B. Mangunwijaya masih berharap bahwa, paling tidak, seorang agamawan sepantasnya sekaligus hommo religius.[7] Sebagaimana ungkapan William James yang dikutip oleh Abdul Rozak, manusia religius selalu sadar dalam melaksanakan institutional religion, menghayatinya dengan sepenuh jiwanya sehingga ia pun kerap tenggelam dalam pengalaman religius yang merupakan puncak pengalaman estetis.[8] Di sinilah tampak betapa dekatnya hubungan antara seni dan religi.
Ada religiositas yang memang bangkit dari pribadi nonagamis. Namun, tiap kebangkitan religiositas selalu dilandasi oleh keinginan untuk berbuat kebaikan kepada sesama makhluk. Pada konteks kebaikan ini pula orang memasuki lembaga ilahiah (agama), yang menurut Syekh Muhammad Abduh bukan demi pemisahan, tetapi demi penuntunan ke arah makna yang baik.[9] Jelas, saya sependapat dengan Syekh Muhammad Abduh, religi dan religiositas adalah satu kesatuan. Memang ini lebih islami, di dalamnya “demi penuntunan ke arah makna yang baik” merupakan salah satu ciri khas religiositas yang autentik.
Dengan demikian, kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya dipersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan di lubuk hati terdalam kemanusiaannya. Demi “melihat” Tuhan itu pula, penyair Amir Hamzah, melalui jendela hatinya, berdekat-dekat dengan Tuhan, seperti yang ditulis dalam “Padamu Jua”: [10]
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu.
Dalam sajak tersebut Amir Hamzah menyampaikan dimensi religiositas yang penting, yakni manusia tidak mungkin menemukan dirinya tanpa terlebih dahulu menemukan Tuhannya, pencipta yang menjadi sumber keberadaannya. Segi lain religiositas ialah tolok-ukurnya yang hakiki, sebagaimana pernah diungkap Roger Garaudy, yakni untuk menyampaikan makna dari realitas yang tidak tampak, yang berada di balik gejala yang tampak.[11]
Para penyair dan sastrawan yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini (realitas alam dan realitas budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah alamat (ayat) Tuhan, yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitas pun jika ia tidak ilahiah. Hal ini merupakan penjabaran dari Laa ilaaha illallah. Untuk itulah, penyair Sutardji Calzoum Bachri menulis sajak “Walau”.[12]
Walau
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
2. Religiositas Islam dalam Sastra
Karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya terkandung moralitas. Saat membaca karya sastra seperti itu, pembaca sering mengasumsikan bahwa moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Asumsi pembaca itu amatlah wajar sebab pembaca yang baik tentu akan menilai nilai-nilai kesungguhan dalam suatu karya, di samping kesungguhan moralitas yang ditawarkan pengarang.
Kesungguhan ini memang penting, baik itu kesungguhan estetis maupun kesungguhan moralitas. Kesungguhan estetis berhubungan dengan ekspresi kebahasaan karya sastra. Misalnya, sebelum seorang penyair menulis sajak tentang laut, tentu terlebih dahulu ia mesti mempunyai pengetahuan tentang laut, setidaknya lewat bacaan, dan lebih baik lagi jika ia pernah mengalami berada di laut. Dengan demikian, ia akan dapat memadukan nuansa objek (laut) dengan nuansa subjektivitasnya (pikir), sehingga dari perpaduan itu dapat muncul citraan sajak yang baik.
Demikian pula dengan kesungguhan moralitas. Pembaca yang kritis tentu menuntut keharmonisan antara moralitas-baik dalam karya sastra dan kebaikan moralitas pengarang. Jika seorang pengarang tidak meyakini dan tidak pernah hadir dalam situasi nilai moral yang sedang ia citrakan dalam karyanya, tentu saja karya semacam ini perlu dipertanyakan “kebenarannya” (sekalipun pada konteks ini tidak identik dengan 2 x 2 = 4).
Dalam pandangan Islam, kesungguhan teramat penting sebagaimana yang dikemukakan Al-Qur’an sebagai berikut :
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya), kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali (QS., 26:224-227).
Kutipan ayat Al-Qur’an itu justru lebih mengukuhkan bahwa moralitas baik karya sastra mestilah diikuti moralitas baik penciptanya. Hal ini menjadikan sastrawan muslim lebih berhati-hati dalam mencipta karyanya. Tidak setiap hal yang hadir di bawah-sadar kemanusiaan boleh ditulis, hanya hal bawah-sadar kemanusiaan yang menjadikan hidup lebih bermakna saja yang layak disampaikan kepada pembaca. Jika Sigmund Freud mempercayai bahwa energi terbesar manusia terletak pada Id melalui libido seksual, maka religiositas Islam lebih menekankan pembentukan ego ke arah penyerapan Ego Tak Terbatas (Allah).[13]
Pengaruh Al-Qur’an akan kesungguhan ini menjadi pijakan bagi pengucapan moral dalam karya sastra religius Islam.[14] Disebabkan pengaruh etis dan estetis Al-Qur’an pula, banyak kepustakaan sufi diungkapkan dalam bentuk puisi. Al-Qur’an sendiri diungkapkan dalam bentuk puisi yang mahaindah, kaya simbol dan imajinasi, serta sangat merangsang penciptaannya untuk menulis puisi dan melakukan berbagai tafsir puitis. Contohnya dapat dilihat dalam kesungguhan estetis dan etis karya Jalaluddin Rumi dan Hafiz. Selain karya sufi itu, di Indonesia juga ada karya-karya yang serupa, misalnya karya Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, dan K.H.A. Mustofa Bisri. Karya mereka tidak hanya berhenti pada estetika, tetapi melalui realitas yang dibangun di dalamnya, karya mereka itu menjadi simbol yang menyampaikan makna transendental.
Realitas dalam karya mereka dipahamkan sebagai alamat (ayat) Tuhan. Konsep demikian pernah disimpulkan oleh seorang peneliti dari Rusia, V.I. Braginsky, tatkala meneliti konsep kesusastraan Melayu Klasik, termasuk di dalamnya karya Hamzah Fansuri dan Amir Hamzah. Ia menyimpulkan tiga aspek konsep keindahan sebagai berikut: aspek ontologis, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan, yang disebabkan daya cipta-Nya, keindahan mutlak dari Tuhan (Yang Mahaelok = al-jamal), dikesankan pada dunia gejala (indah = husn); aspek imanen dari yang indah, yang terungkap melalui kata dalam wujud teratur, baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia; aspek psikologis atau pragmatik, yang efeknya terhadap pembaca menjadi mabuk atau dimabukkan oleh alam. [15]
Saya sependapat dengan V. I. Braginsky. Ada korelasi antara yang indah pada dunia gejala dan Yang Mahaindah, yang istilah Muhammad Iqbal disebut Eros.[16] Kesadaran terhadap keindahan ini digerakkan oleh keimanan kepada Yang Mahaindah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa konsep kesungguhan estetis ataupun kesungguhan moralitas dalam karya sastra religius Islam berpangkal pada Al-Qur’an dan tidak didasari penafsiran yang sempit. Contohnya karya sastra Muhammad Iqbal, yang dapat mengkritik tajam filsafat Barat. F.C. Happold pun mengakui bahwa di antara gerakan mistik di dunia, gerakan tasawuflah yang banyak melahirkan sastrawan besar.[17] Karya religius semacam itu dapat dijadikan sarana pengungkapan hasil penghayatan kehidupan yang merujuk pada Al-Qur’an dan hadis. Ayat-ayat yang mengilhami banyak karya sastra religius, antara lain QS., an-Nuur:35-42, QS., al-Baqoroh:115, QS., al-Ankabut:20. Sebagai contoh, mari kita simak baris sajak “2” karya Emha Ainun Nadjib ini.[18]
Tuhanku
Engkaulah cahaya langit dan bumi
pasti, sebab siapa yang lain lagi?
Baris sajak tersebut berintertekstualitas dengan QS., an-Nuur:35 ini.
Allah adalah cahaya langit dan bumi, cahaya-Nya bagai misykat, yang di dalamnya ada pelita.....
Namun, meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral, sastrawan tetap mempunyai kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni, yang sejalan dengan hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermanfaat (dulce et utile). Sejak jauh hari, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa keindahan dan kemanfaatan mestilah dicapai dalam karya sastra :
Sejumlah puisi mengandung hikmah; hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apabila ia menemukan kembali, ia memiliki kebenaran terbaiknya (al-Hujwiri melalui Abdul Hadi W. M.).[19]
Titik temu antara kesungguhan estetis dan kesungguhan etis atau moralitas, serta keindahan dan kemanfaatan inilah yang dapat menggeser anggapan bahwa kesusastraan hanyalah aktivitas lamunan belaka. Pada posisi demikian, kesusastraan religius dapat menjadi bagian penting dari gerakan Postmodern yang mengaitkan kembali sastra dengan kehidupan yang lebih luas.*****
[1] The World Book Dictionary (Chicago: Tanpa nama penerbit, 1980), hal.1766.
[2] Kamus Latin – Latin, 1969.
[3] N. Drijarkara, Percikan Filsafat ( Jakarta: Tanpa nama penerbit, 1966), hal.167.
[4] William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Collier Macmillan Publishers, 1984), hal.41.
[5] Paul Tillich, “Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama”, Terj. Soe Hok Djin, dalam majalah Horison, No. 2, Juli 1966, hal. 12.
[6] Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hal.12.
[7] Y.B. Mangunwijaya, Ibid.
[8] Abdul Rozak, “Sastra dan Agama dalam Tiga Kategori Hubungan”, dalam majalah Horison, No. 5, Th. XX, hal. 166.
[9] Y.B. Mangunwijaya, Ibid., hal.15.
[10] Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), hal.5.
[11] Roger Garaudy, Janji-janji Islam, Terj. H.M. Rajidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 141-146.
[12] Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 131.
[13] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, dkk. (Jakarta: Tintamas, 1982), hal. 121.
[14] Abdul Hadi W.M. (Ed.), Sastra Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hal. vii.
[15] A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 71-72.
[16] M.M. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, Terj. Yusuf Jamil, Peny. Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1989), hal. 83.
[17] Abdul Hadi W.M. (Ed.), Rumi Sufi dan Penyair (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hal. vii.
[18] Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), hal. 3.
[19] Abdul Hadi W.M. (Ed.), Sastra Sufi, hal.31.
Abdul Wachid B.S.
...