Bahasa dan Pengalaman Hermeneutis

Richard E. Palmer (2005) mendasari pemikiran Hans-George Gadamer yang mengatakan bahwa bahasa memiliki struktur spekulatif secara intrinsik. Bahasa tidak baku dan tidak tertentu secara dogmatis, karena bahasa selalu dalam proses sebagai peristiwa penyingkapan. Ia terus bergerak, berubah, dan berakhir untuk membawakan sesuatu bagi pemahaman.

Sebagai studi kasus, dalam bahasa puisi atau oleh Gadamer disebut dengan bahasa “puitis”, kata-kata puitis memiliki kualitas yang sama dengan tindakan mengatakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan keseharian antara orang-orang yang saling memahami sesama mereka. Lebih eksplisit lagi, Gadamer mengatakan bahwa pernyataan puitis yang lebih jauh bersifat spekulatif tercermin dalam kejadian linguistik dari fakta puitis pada sisinya yang mengekspresikan hubungan,]\ khususnya dengan hal yang berada (Palmer, 2005).

Bahasa puitis merupakan medium untuk menyampaikan peristiwa tertentu dengan objektivikasi masing-masing. Meskipun Palmer masih merujuk Gadamer yang mengungkap bahwa penyair adalah orang yang berpengalaman spekulatif secara par excellence melalui keterbukaannya sendiri dengan hal yang berada, ia mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru dalam keberadaan. Dengan kata lain, Gadamer ingin mengatakan bahwa se-objektif-objektifnya klaim penyair dalam mengungkapkan peristiwa di dalam bahasa, ia tetap menjadi dunia personalisasi dan subjektivikasi penyair sendiri.

Penyair melakukan tafsir atas fenomena tertentu, maka pembaca puisi pun membaca hasil tafsiran penyair. Pernyataan puitis bersifat spekulatif. Dengan begitu, sejauh ia tidak menyalin dunia yang ada saat ini, maka ia tidak secara sederhana memperlihatkan pandangan sesuatu dalam bentuk yang sudah ada, tetapi lebih menghadirkan kepada kita pandangan baru dari dunia baru dalam mediasi imajinatif penemuan puitis (Gadamer dalam Palmer, 2005).

Persoalan yang ditekankan dalam konteks ini adalah bagaimana cara menulis puisi di luar persoalan pemilihan bahasa. Pengalaman hermeneutis penyair ditentukan sendiri oleh sudut pandang atau pandangan dunianya dalam menentukan objek peristiwa tertentu, sebelum dia, secara spekulatif menerjemahkannya melalui bahasa puitis. Istilah “spekulatif” bukan berarti tanpa pertimbangan atau “ujug-ujug”, melainkan proses peralihan dari dunia objektif-empirik menjadi dunia bahasa. Oleh karena itu, sang penafsir sendirilah yang harus mencurahkan pemikirannya dengan suatu yang bersifat terbuka dengan kemungkinan yang dimiliki oleh sang penyair (Gadamer, 2004).

Pada konteks inilah, kaidah dialogis-dialektis Gadamer berfungsi secara dinamis, selain penerapan fusi horizon atau cakrawala. Palmer (2005) mengatakan:

“Dengan begitu, spekulativitas mencakup segala gerakan, penangguhan, dan sikap keterbukaan yang menginginkan mengalirnya kemungkinan hubungan baru dalam keberadaan yang dibicarakan kepada kita dan mengarahkan kepada kita. Bagi penyair, ini merupakan keterbukaan akan keberadaan yang akan dihadirkan di dalam bahasa. Bagi penafsir, ini merupakan keterbukaan untuk menempatkan horizon seseorang dalam keseimbangan dan keinginan untuk memodifikasi subyek, dalam sinaran pemahaman keberadaan baru yang dapat muncul dari perjumpaan dengan makna teks.”

 

Bahasa berfungsi sentral dalam menciptakan situasi bagi penyair dan penafsir sekaligus. Hal ini pernah diungkap oleh Goenawan Mohamad melalui bukunya Di Sekitar Sajak (2011)Dia memulai dengan mengutip sebuah sajak Subagio Sastrowardoyo.

Asal mula adalah kata

Jagat tersusun dari kata

Di balik itu hanya kata

Ruang kosong dan angin pagi

 

Menurut Goenawan, seorang penyair –tetapi tidak hanya seorang penyair- akan mengenal keniscayaan kata: praktis, hanya melalui bahasalah yang bisa menangkap dunia. Bahkan, “ruang kosong dan angin pagi” yang ada di balik jagat yang “tersusun dari kata” tak hanya kita kenali, sebab indra kita berinteraksi dengan keadaan atau situasi itu. “Ruang kosong dan angin pagi” kita kenali karena nama itu telah terberi sehingga menyebut perasaan ini atau itu. Dengan kata itulah atau lebih tepat dengan kata sebagai penanda, kita dapat membedakan ruang kosong dengan celah, angin dengan badai, dan pagi dengan siang. Dari pembedaan itu, kita memberi dan mendapatkan arti.

Bahasa merupakan jagat predikat. Nama-nama yang telah dikonvensikan dalam aras kebudayaan manusia secara umum dikenal melalui bunyi dari bahasa. Persoalan inovasi dan kreativitas linguistik guna memunculkan situasi dan penamaan baru dalam jagat dunia merupakan tugas linguistik yang dibebankan kepada penyair dan penafsir dengan horizon historisitasnya masing-masing. Akan tetapi, khusus bagi penafsir, yang menjadi modalitas utama adalah teks sastranya, bukan pemikiran atau wacana penyair. Apabila penafsir melakukan klarifikasi terhadap intensi (kehendak puitik) penyair atas puisinya, tidak akan terjadi produksi makna atau pemahaman baru.

Bahasa bukan instrumen subjektivitas, juga bukan bahasa yang memenuhi dirinya sendiri dalam kontemplasi diri dari daya intelektual tak terbatas. Sebaliknya, bahasa bersifat terbatas dan historis, merupakan pusat dan gudang pengalaman berada yang telah hadir dalam bahasa di masa lalu. Bahasa harus mengarahkan seseorang dalam memahami teks. Menurut Gadamer, tugas hermeneutika kemudian adalah secara serius berpijak pada linguistikalitas bahasa dan pengalaman serta mengembangkan hermeneutika yang benar-benar historis (Palmer, 2005).

 Hal itu jelas meneguhkan hakikat pemahaman Gadamerian yang memberikan penekanan kepada persoalan linguistikalitas, historisitas, dan dialogis-dialektis. Hakikat hermeneutika adalah fenomenologi pemahaman, sebagaimana konsep pendahulunya, yaitu Husserl. Dalam Truth and Method, Gadamer (2006) mengatakan:

“Sastra (puisi) bukan kelanjutan mati dari pengada yang asing yang lahir dari pengalaman sebuah periode kemudian. Sastra adalah sebuah fungsi dari pemeliharaan intelektual dan tradisi, dan oleh karena itu, memunculkan sejarahnya yang tersembunyi ke setiap masa.”

 

Sesuatu yang berkaitan dengan sastra dunia mempunyai tempatnya di dalam semua kesadaran. Ia berkaitan dengan ‘dunianya’. Sekarang, dunia yang mempertimbangkan karya yang berkaitan dengan sastra dunia barangkali sangat jauh dari dunia orisinal tempat karya itu dilahirkan. Namun demikian, ia tidak lagi merupakan ‘dunia’ yang sama. Bahkan, perasaan normatif yang terkandung di dalam sastra dunia masih mengesankan, meskipun ‘dunia’ yang mereka bicarakan itu sangat berbeda (Gadamer, 2006).

Oleh karena itu, menurut Gadamer, proses pemahaman terhadap teks sastra (puisi) seperti sebuah seni yang magis. Mengapa demikian? Karena ruang dan waktu yang menjembatani antara pengarang (dalam istilah Gadamer, pengada), puisi dan penafsir ditunda atau ditangguhkan. Maka, kemampuan kognisi dan horizon pengalaman penafsir dalam memahami sebuah teks akan menyingkap misteri ruang dan waktu yang mengelilingi teks puisi, baik masa lalu maupun kontekstualisasi di masa depan.

Struktur puisi, yang dengan demikian menjadi bahasa, menjamin proses jiwa dan dunia saling menyapa sebagai sesuatu yang terbatas. (Gadamer, 2004).  Keterbatasan ini bersifat representatif, karena struktur pemahaman penafsir dengan horizon historisitas pengarang dipisahkan oleh masa atau waktu. Maka dari itu, ketika teks puisi dipahami, makna yang muncul adalah hasil dari pergumulan jiwa dan intelektual penafsir dengan konsep atau kata kunci yang terdapat di dalam puisi. Sebagaimana Quran dan hadis, puisi akan dipahami secara futuristik.

Representasi pernah disinggung oleh Aristoteles (2017). Menurut Aristoteles, proses jiwa pembacaan dan pemahaman atas puisi dalam Puitika menciptakan representasi (mimetik, objektif dan khayali). Menurut Aristoteles, representasi mimetik mampu mengubah spirit dan menimbulkan efek keterkejutan atas peristiwa objektif (kadhib). Representasi objektif berkebalikan dengan mimetik. Bagi Aristoteles, objektif tidak lagi menimbulkan keterkejutan dan akan menjadi topik yang melelahkan, sedangkan representasi khayali berada dalam konteks keduanya, bahkan sering muncul di luar dunia objektif (imajinasi).

Dengan demikian, hakikat bahasa sebagai media pemahaman di dalam puisi menjadi jalan untuk menciptakan sebuah dunia representatif. Dunia ini dihidupi oleh penafsir dengan segala horizon sejarah dan kebudayaan (bildung). Representasi yang dihasilkan oleh penafsir tergantung bagaimana dia mempersepsikan dan memposisikan diri di antara cakrawala pengetahuan.


Daftar Bacaan

Gadamer, Hans-Georg. 2004. Philosophical Hermenutics. Terj. David E. Linge. California: University of California Press.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________________. 2006. Truth and Method. New York: Continum.

Mohamad, Goenawan. 2011. Di Sekitar Sajak. Jakarta: Tempo dan Grafiti.

Aristoteles. 2017. Puitika. Yogyakarta: Basabasi.

Wahyu Budiantoro

*Wahyu Budiantoro adalah Kepala Sekolah sekaligus pengajar di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa