Bahasa Indonesia dalam Sejarah Penyebaran Injil di Kalimantan
A. Pendahuluan
Berdasarkan Peta Bahasa Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, dari 668 bahasa dituturkan di wilayah Republik Indonesia, ada 68 bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu yang dituturkan di wilayah Kalimantan. Dengan banyaknya bahasa daerah itu, di wilayah tertentu di Kalimantan bisa jadi kita akan berbeda bahasa ibu dengan tetangga di samping kanan, samping kiri, depan, atau di belakang rumah kita. Adanya bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional Indonesia atau bahasa (Melayu) Banjar yang menjadi bahasa pergaulan atau lingua fraca di beberapa provinsi di Kalimantan menjadikan penutur-penutur dari 68 bahasa ibu tersebut dapat berkomunikasi dengan baik karena ada bahasa yang membuat mereka mempunyai kesalingpahaman.
Bayangkan, ketika para penyebar agama seperti ulama dan misionaris pada abad ke-17 hingga ke-19 datang ke Kalimantan untuk menyebarkan agamanya, bahasa apa yang harus mereka gunakan untuk tujuan itu? Adanya bahasa Melayu (yang kemudian menjadi bahasa Indonesia) dan bahasa (Melayu) Banjar menjadi salah satu jalan untuk berkomunikasi dengan penutur dari 68 bahasa daerah yang berbeda tadi. Oleh karena itu, penggunaan, perkembangan, dan penyebaran bahasa Melayu di Nusantara, termasuk di Kalimantan, tidak lepas dari penyebaran agama, termasuk penyebaran Injil oleh para misionaris.
Di wilayah Nusantara, penyebaran Injil dimulai dengan penerjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu sebagai lingua franca sekitar tahun 1600-an. Kemudian, Injil juga diterjemahkan ke dalam bahasa Nusantara lainnya, seperti bahasa Jawa, bahasa Batak Toba, dan bahasa Dayak Ngaju yang merupakah salah satu bahasa daerah di Kalimantan. Walaupun Injil dan kemudian Alkitab menggunakan bahasa setempat, tetapi bahasa Melayu tetap digunakan.
Tulisan ini menggambarkan bagaimana penggunaan bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia dalam penyebaran Injil di Nusantara, terutama di Kalimantan. Gambaran itu diperoleh dengan melihat sejarah penerjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu juga bahasa Nusantara lainnya dan peran gereja di Kalimantan dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Data dalam tulisan ini merupakan hasil studi pustaka dan wawancara dengan jemaat Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) sebagai representasi gereja wilayah di Kalimantan. Data dianalisis untuk memperoleh gambaran kronologis tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam penyebaran Injil di Kalimantan.
B. Penerjemahan Injil ke dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Nusantara Lainnya
Dalam “Sejarah Alkitab Indonesia”, Yayasan Sabda (http://sejarah.sabda.org/) menyebutkan bahwa kitab Injil Matius pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh dwibahasaan bernama Albert Cornelisz Ruyl pada tahun 1612 dan diterbitkan tahun 1629. Kitab itu merupakan kitab dwibahasa, yaitu bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Kemudian, Ruyl melakukan penerjemahan Injil Markus pada tahun 1638. Jan van Hasel menerjemahkan Lukas dan Yohanes yang diterbitkan tahun 1638. Secara keseluruhan kemudian Injil diterjemahkan oleh Daniel Brouwerios tahun 1668. Melchior Leijdecker yang merupakan pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia menerjemahkan Alkitab secara lengkap dengan bahasa Melayu Tinggi dari tahun 1691 sampai 1701. Karena berbahasa Melayu Tinggi, Alkitab itu sulit dipahami oleh pengguna bahasa Melayu Rendah. Alkitab itu kemudian direvisi oleh Caludius Thomsen lalu oleh Benjamin Keasberry ke dalam bahasa Melayu agar lebih mudah dipahami dengan bantuan dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kitab ini dicetak dalam aksara Latin dan aksara Arab Melayu (Jawi) tahun 1875.
Di tempat lain, Hillebrandus Cornelius Klinkert merevisi pula terjemahan Leijdecker dengan menyesuaikannya dengan dialek Melayu yang digunakan di Pulau Jawa, yaitu Melayu Rendah, tahun 1861 (Alkitab terjemahan Klinkert dicetak ulang tahun 1949). Namun, karena bahasa Melayunya dianggap terlalu rendah, Klinkert dipindah ke Tanjung Pinang di Riau untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Melayu Tinggi. Kemudian, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Tinggi dan diselesaikan tahun 1879 sebelum kembali ke negaranya dan menjadi dosen bahasa Melayu. Selain itu, juga ada terjemahan-terjemahan lainnya yang digunakan di daerah Semenanjung Malaka dan Singapura.
Sebelum ikrar Sumpah Pemuda diucapkan tahun 1928, selain ke dalam bahasa Melayu Tinggi dan bahasa Melayu Rendah, Injil/Alkitab telah diterjemahkan ke dalam bahasa di Nusantara, di antaranya bahasa Jawa, Batak Toba, dan Dayak Ngaju. Tahun 1820, Gottlob Bruckner menyelesaikan penerjemahan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa. Di Sumatra, tahun 1885, Nommensen menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak Toba. Tahun 1846, Johann Friederich Becker, August Friederich Albert Hardeland, Timotheus Marat (seorang Dayak Ngaju), dan Nikodemus Tomonggong Joyo Negoro menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Dayak Ngaju.
Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Dayak Ngaju erat terkait dengan penyebaran Injil di Kalimantan. Johan Heinrich Barstein, seorang misionaris Jerman, berangkat dari Batavia tiba di Banjarmasin untuk pertama kalinya tahun 1835. Ia menyusuri Sungai Barito, kemudian Sungai Kapuas, lalu menetap di daerah di tepi Sungai Kapuas. Daerah itu merupakan daerah berbahasa Dayak Ngaju. Alkitab pertama berbahasa setempat di Kalimantan merupakan terjemahan langsung dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Dayak Ngaju. Namun, di Kalimantan, Injil tidak hanya disampaikan kepada masyarakat berbahasa Dayak Ngaju. Kepada subsuku Dayak yang tidak berbahasa Dayak Ngaju, para penginjil menggunakan Alkitab berbahasa Melayu. Di sinilah bahasa Melayu yang kemudian bernama bahasa Indonesia itu digunakan dan disebarkan seiring sejalan dengan penyebaran Injil kepada subsuku Dayak yang tidak berbahasa Dayak Ngaju.
C. Peran Gereja di Kalimantan dalam Penggunaan Bahasa Indonesia
Keberadaan gereja di Kalimantan tidak dapat dipisahkan dari Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Seratus tahun setelah kedatangan misionaris Jerman—yang dilanjutkan oleh misionaris dari Swiss—ke Kalimantan, lahirlah Gereja Dayak Evangelis (GDE) tahun 1935. Kelahiran gereja tersebut bersamaan dengan penempatan lima pendeta Dayak ke beberapa wilayah di Kalimantan. Gereja yang semula berkonsep suku ini kemudian berubah menjadi gereja wilayah dengan nama Gereja Kalimantan Evangelis pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia merdeka.
Adanya Alkitab berbahasa Dayak Ngaju di Kalimantan tidak menghilangkan peran bahasa Melayu saat itu. Masyarakat Kalimantan adalah masyarakat etnis yang memiliki bahasa subsuku masing-masing. Oleh karena itu, Alkitab berbahasa Dayak Ngaju tidak dapat digunakan, kecuali untuk orang Dayak Ngaju. Bahasa Melayu atau bahasa Indonesialah yang kemudian berperan dalam penginjilan kepada subsuku Dayak lainnya dan juga menjadi bahasa yang digunakan oleh GDE/GKE. Ukur (2002: 262) mengatakan bahwa dokumen “Peraturan Gereja Dayak Evangelis” Tahun 1935 hanya ia temukan dalam bahasa Dayak Ngaju, Belanda, dan Jerman. Namun, pada fakta di kehidupan jemaat, dokumen lainnya seperti surat kesaksian permandian suci atau surat baptis ditemukan dalam dua bahasa, yaitu Melayu dan Belanda. Dokumen gereja setelah Indonesia merdeka, yaitu peraturan yang dikeluarkan tahun 1950 dan seterusnya, dengan konsisten menggunakan bahasa Indonesia.
Gambar 1 Surat Permandian Suci Tahun 1930
Hal ini menunjukkan bahwa dokumen yang digunakan dalam kehidupan bergereja merupakan dokumen berbahasa Indonesia.
Alkitab berbahasa Melayu terjemahan Klinkert pun digunakan secara luas di Kalimantan karena keterbatasan penguasaan subsuku Dayak lainnya terhadap bahasa Dayak Ngaju. Di daerah berbahasa Maanyan yang didiami subsuku Dayak Maanyan di Tamiang Layang dan sekitarnya, digunakan Alkitab berbahasa Indonesia (Melayu). Terjemahan Injil tertentu ke dalam bahasa Maanyan digunakan lebih kemudian.
Jemaat gereja yang telah tinggal wilayah Gereja Kalimantan Evangelis sejak 1950-an menuturkan bahwa ketika mereka kecil, liturgi atau tata ibadah di wilayahnya telah menggunakan bahasa Indonesia. Pada Sekolah Minggu (ibadah atau kegiatan keagamaan untuk anak-anak) digunakan bahasa Indonesia dan sedikit bahasa daerah. Ketika masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah adalah masyarakat yang memahami bahasa subsuku yang sama, ibadah lingkungan di rumah-rumah jemaat yang dilakukan secara bergiliran dilakukan dalam bahasa daerah, tetapi dengan pembacaan Alkitab dan kidung pujian berbahasa Indonesia. Di Tamiang Layang sendiri, ibadah rumah lingkungan berbahasa Maanyan dilakukan hingga tahun 1990-an. Ketika pemekaran wilayah menjadi kabupaten dan banyak pendatang yang tidak mampu berbahasa Maanyan di sana, masyarakat menjadi multietnis sekaligus multilingual. Ibadah lingkungan pun dilakukan dengan bahasa Indonesia.
D. Simpulan
Dengan melihat sejarah penerjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu juga bahasa Nusantara lainnya dan peran gereja di Kalimantan dalam penggunaan bahasa Indonesia, dapat disimpulkan hal sebagai berikut.
- Penyebaran Injil di Nusantara pada tahun 1600-an dilakukan menggunakan bahasa Melayu yang menjadi bahasa pergaulan dan perdagangan saat itu. Hingga dua abad setelahnya, bahasa Melayu menjadi bahasa utama dalam penyebaran Injil. Penggunaan bahasa Melayu tetap dominan walaupun telah ada kitab Injil berbahasa subsuku Dayak pada pertengahan abad ke-19.
- Setelah Indonesia merdeka, penggunaan bahasa Indonesia makin kuat dalam kehidupan bergereja di Kalimantan yang tergambar dari tidak ada padanan bahasa Belanda dalam dokumen kegerejaan.
- Bahasa Indonesia menyebar luas karena penggunaannya dalam kehidupan bergereja di Kalimantan dalam masyarakat yang multietnis sekaligus multilingual. Bahasa Indonesia digunakan dalam dokumen gereja, kitab, dan dalam tata ibadah di samping digunakannya bahasa daerah subsuku Dayak tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Ukur, Fridolin. 2002. Tuaiannya Sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak 1835. Jakarta: Gunung Mulia.
Yayasan Sabda. 2016. “Sejarah Penerjemahan Alkitab Bahasa Melayu Indonesia” dalam http://sejarah.sabda.org/ diakses tanggal 10 Mei 2018.
Kity Karenisa
...