Hikmah Pandemi: Penyair, Puisi, Pembaca
(1)
Setiap karya sastra ditulis oleh sastrawan bukan tanpa maksud. Minimal, sastrawan menulis dengan maksud untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan, dan aktualisasi dirinya agar dibaca oleh orang lain.
Di sepanjang sejarah sastra Indonesia, munculnya berbagai angkatan dan periodisasi sastra, menjadi bukti dari maksud (intensi) penulisan karya sastra itu. Dalam ilmu sastra, hal ini sering disebut sebagai identifikasi karya sastra berdasarkan ekstra-estetik. Novel-novel Balai Pustaka (BP) banyak yang menyuarakan pertentangan adat antara kaum tua sebagai representasi dari tradisionalis, dan kaum muda sebagai representasi dari kaum modernis. Puncak dari karya periode BP adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1921), Siti Nurbaya karya Marah Roesli (1922), dan Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati (1929). Novel-novel Pujangga Baru diwarnai oleh ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan, seperti Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana (1937) dan Belenggu karya Armjn Pane (1940).
Melalui puisi Sanusi Pane (Madah Kelana) dan Amir Hamzah (Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu), kita tidak lagi hanya belajar kepada perpuisian penyair romantik Belanda dan Inggris. Sebagai pencarian orientasi budaya dan manusia Indonesia, kita tidak lagi memperkarakan belajar kepada Barat (Eropa) sepenuhnya, sebagaimana ditegaskan Sutan Takdir Alisjahbana. Bahkan, Amir Hamzah telah menerjemahkan sejumlah sajak penyair Parsia, India, China, Jepang, dan Turki (Setanggi Timur). Dari orientasi budaya dan karya puisi kedua penyair ini, setelah perpuisian Chairil Anwar (dan Angkatan ’45) yang masih kuat orientasi puisi Belandanya, maka perpuisian Indonesia menjadi beragam karakteristiknya. Khususnya dari perpuisian Amir Hamzah, hubungan perpuisian Indonesia dengan sastra sufistik Parsi dan Melayu turut mendorong lahirnya puisi keagamaan Islam, baik yang berkecenderungan sufistik maupun profetik pada periode 1970-an.
Bahkan, untuk menegaskan maksud (intensi) sastrawan itu pula, H.B. Jassin menjadi “penyambung lidah” dari Angkatan’45 dan Angkatan’66. Dalam kata pengantar Angkatan 66 (2013:21-22), H.B. Jassin menuliskan pendeklarasiannya, “Kini dalam tahun 1966, di Indonesia terjadi suatu peristiwa yang penting. Peristiwa yang melahirkan angkatan yang menyebut dirinya Angkatan 66. Ialah pendobrakan terhadap kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa ke jurang kehancuran total.”
Periode 1970-1990-an diwarnai oleh perkembangan realitas sosial di bawah perpolitikan rezim Orde Baru yang otoriter. Karenanya, kecenderungan puisi Indonesia dalam merespon realitas sosial mengarah pada dua tipologi, pertama dalam bentuk puisi “protes sosial”, dan kedua dalam bentuk eksplorasi moralitas (melalui sastra transedental atau sufistik dan sastra profetik).
Beragamnya karya sastra pada periode 2000, baik intra-estetik maupun ekstra-estetik, dicari keterkaitannya, sehingga dikumpulkan oleh Korrie Layun Rampan menjadi buku Angkatan Sastra 2000.
Semua dan segala itu mempresentasikan bahwa sastra selalu memberi respon terhadap realitas zamannya. Berbagai konsep sastra yang melatari penciptaan dari setiap sastrawan, atau kelompok sastrawan, adalah keniscayaan sejarah, sebab karya sastra ditulis oleh sastrawan, dan sastrawan hidup di tengah masyarakatnya. Sudah dapat dipastikan, sastra merupakan common sense, penilaian yang sangat masuk akal terhadap suatu situasi.
(2)
Dalam setiap keadaan normal dan individual saja, realitas alam maupun budaya direspons oleh sastrawan atau kelompok sastrawan. Ada yang memilih sastra menjadi “corong zaman”, hal itu terutama pada karya sastra yang ditulis oleh kaum sosialis. Ada sastra yang berpusat kepada “aku”, yang dengan berbagai ragam eksistensialismenya, ia tidak mau didikte oleh suara zamannya, apalagi “Jaman Edan”. Sebagaimana Rendra, “berdiri di atas angin”, tidak memihak dewa (kekuasaan), bukan pula sebagai kelatahan suara rakyat, yang bisa juga menjadi anarki ideologi.
Belum lagi suatu karya sastra yang merespon secara estetis terhadap berbagai fenomena, baik alam maupun budaya, sehingga terkesan ia menghindar dari hiruk-pikuk keramaian sosial. Misalnya, pada periode Balai Pustaka dan Pujangga Baru, yaitu dalam perpuisian lirik romantik berorientasi mistisisme yang dibangun Sanusi Pane dan Amir Hamzah, lirik ekspresionisme-realisme yang dikembangkan Chairil Anwar, lirik imajis dengan gaya khas Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., lirik bergaya mantra ala Sutardji Calzoum Bachri, Lirik warna lokal dengan khas masing-masing Darmanto Jatman dan Linus Surdai AG, lirik surealistis sedari puisi Iwan Simatupang, hingga Afrizal Malna. Gaya puisi lirik yang bersifat lukisan, seperti puisi Barok, menyajikan percampuran antara kehidupan duniawi dengan kehidupan surga-neraka, atau kehidupan gaib, sebagaimana karya Acep Zamzam Noor. Tentu, masih banyak lagi gaya puisi lirik yang lain, sebab gaya inilah yang dominan dalam perpuisian Indonesia. Semua respon secara estetis tersebut dalam perpuisian Indonesia kian menegaskan bahwa dimensi kesastraan suatu karya sastra juga tidaklah steril dari intensi pengarang (author’s intentions).
(3)
Sementara itu, banyak unsur yang memengaruhinya intensi pengarang, seperti lingkungan alam dan budaya. Dalam perspektif sosiologis, unsur yang memengaruhi mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, budaya, dan agama. Hal tersebut berpengaruh terhadap cara pandang seseorang terhadap realitas, yang menjadi perspektif etika sekaligus estetika dalam berkarya sastra. Sebagaimana diungkapkan Gus Mus (K.H. A. Mustofa Bisri) dalam sajaknya:
AKU TAK AKAN MEMPERINDAH KATA-KATA
Aku tak akan memperindah kata-kata
Karena aku hanya ingin menyatakan
Cinta dan kebenaran
Adakah yang lebih indah dari
Cinta dan kebenaran
Maka memerlukan kata-kata indah?
1997
(Gandrung, 2000:21)
Dengan sudut-pandang transendental itu, realitas tidak perlu diindah-indahkan, baik di dalam maupun di luar realitas puisi, karenanya hal itu berpengaruh pada penyikapan terhadap bahasa sajak. Bagi A. Mustofa Bisri, bahasa sajak disikapi sebagaimana “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”. Bahkan, sudut-pandang aku-lirik yang transendental itu pun tidak saja ditampilkan melalui bahasa sajak yang simbolik, melainkan dinyatakan secara langsung. “Cinta dan kebenaran”, memang, tidak memerlukan “kata-kata indah” sebab cinta dan kebenaran itu sendiri adalah keindahan. Cinta yang dimaksudkan ialah mahabbah, cinta mutlak kepada Allah SWT.
(4)
Apakah semua genre sastra, baik dari aspek kesastraan maupun keadiluhungannya itu, semua dicatat oleh sejarah sebagaimana dikemukankan Chairil Anwar dalam sajaknya? “.../ Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu/ Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.//...” (Sajak “Catetan Th. 1946”).
Ternyata tidak semuanya demikian, banyak berbagai konsep yang rontok di tengah jalan, seperti tidak semua tanaman yang tumbuh lantas terus berkembang, bahkan berbuah. Banyak nama-nama dan karyanya yang dilupakan oleh sejarah, bahkan sekadar sejarah sastra sekalipun. Sebagai contoh, nama-nama sastrawan dan karyanya yang seringkali disebutkan dan dibahas, hal itu menjadi presensi sejarah bahwa karyanya memang telah “dicatet” dan dapat “tempat” di setiap halaman zaman.
(5)
Nah, kalaulah dalam setiap keadaan normal dan individual saja, realitas hidup dengan berbagai ragam alam dan manusia, mendapatkan respon, ditulis menjadi karya sastra oleh sastrawan, apa lagi fenomena manusia yang terjangkit Covid-19 yang mewabah ke semua negara ini.
Kita pernah memiliki sejarah wabah dalam sastra prosa, boleh jadi karena tak mendapatkan perhatian kritikus sehingga tercecer dari sejarah sastra. Buku berjudul Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936), memuat peristiwa dan imajinasi mengenai cacar di Banten awal abad XX. Achmad Djajadiningrat mengisahkan, menurut kepercayaan orang Banten penyakit cacar dibuat oleh setan yang terkadang menyamar menjadi anak berumur enam tahun sampai delapan tahun. Dulu, orang-orang terkena cacar biasa diasingkan di barak-barak, dijauhkan dari keluarga. Pada awal abad XX, pengertian kesehatan dan wabah belum terlalu diketahui oleh kaum jajahan. Pada masa lalu, wabah cacar dan wabah imajinasi seram berbarengan bersebaran ke segala tempat.
Ada juga novel anak berbahasa Sunda, Djatining Sobat (1931) ditulis oleh Samsoedi. Pada 1957, novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ajip Rosidi dengan judul Sahabat Sedjati. Samsoedi mengisahkan, setiap hari di setiap desa berduyun-duyun orang mengubur mayat, hampir tidak ada waktu istirahat, sungguh sangat mengerikan. Kita membaca wabah kolera dalam novel anak-anak yang terbit pada 1930-an ini. Samsoedi berimajinasi atau menjadi saksi pernah terjadi wabah kolera di Bandung. Keduanya berada dalam situasi mirip saat ini, pengetahuan tentang pandemi Covid-19 simpang-siur, tetapi imajinasi ketakutan terlalu cepat bersebaran karena media sosial.
(6)
Akan tetapi, mengapa banyak konsep dan karya sastra yang rontok di tengah jalan, seperti tidak semua tanaman itu tumbuh lantas terus berkembang bahkan berbuah? Banyak nama dan karyanya dilupakan oleh sejarah, boleh jadi, seperti dua karya prosa fiksi di atas. Kenapa bisa terjadi?
Salah satu pandangan yang menjawab persoalan ini ialah “Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair” Rendra (Mempertimbangkan Tradisi, 1984). Jembatan yang benar-benar bisa diandalkan antara seniman dengan penonton atau pembacanya adalah kekuatan “bentuk seni-nya”. Akan tetapi, setelah publik menyebrangi jembatan itu, kekuatan yang bisa memuaskan publik dalam hal mutu adalah “isi seni” itu. Seorang penyair warga negara Inggris kelahiran Amerika Serikat, T.S. Eliot, peraih Nobel Sastra pada tahun 1948, berpandangan sejalan: kesusastraan diukur dengan kriteria estetis, sedangkan kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika.
Sebagus apapun konsepsi pemikiran yang menjadi “isi seni” itu diwadahi karya sastra, jika “wadah seni”-nya tidak memadai, akan tidak pas, atau kelebihan muatan sehingga hanya menjadi risalah filsafat atau agama. Contoh, novel Kalah dan Menang (1978) karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Novel setebal (530 halaman) ini tidak banyak diperbincangkan kritikus sebab terlalu terbebani oleh pesan pemikiran STA tentang berbagai macam perasaan tokoh-tokoh ketika harus menghadapi berbagai macam perubahan sosial yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945). Lain halnya dengan novel awal karya STA, Layar Terkembang (1936), ia masih proporsional antara pemikiran dan kesastraannya, isi dan wadahnya.
Di jagad puisi, kita ingat perpuisian Iwan Simatupang, yang terbit dengan judul Ziarah Malam (Sajak-sajak 1952-1967) yang diberi catatan enutup oleh Dami N. Toda. Membaca puisi Iwan Simatupang, terasa abstrak memaknai imaji simboliknya, yang dia maksudkan mengandung pemikiran eksistensialismenya. Kelak, puisi Iwan Simatupang tersebut menginspirasi “gaya surelisme” dalam puisi Indonesia 1980-1990-an, yang dikenal sebagai “sajak gelap”, yang eksistensinya menjadi polemik panjang di Harian Republika. Ada yang memaknakan, gaya surelisme menguat dalam puisi Indonesia karena tekanan politik rezim Orde Baru sehingga bermunculan puisi yang menyembunyikan gagasannya di balik penggelapan imaji. Puisi Iwan Simatupang yang mengawali citraan abstrak itu sebagaimana dikutip dari Ziarah Malam berikut ini.
BALLADE KUCING DAN OTOLET
Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet
Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru
Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan
Bangke makin rata
Di aspal panas
Penumpang gigimas
Bercanda
Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan
(7)
Dialektika “bentuk seni” dan “isi seni” ini sebagaimana dialektika antara estetika dan etika, keduanya bersenyawa di dalam kehidupan seorang sastrawan, yang tentu terkait dengan kehidupan secara luas: dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan. Tema dan bentuk seni apa pun akan dapat diterima oleh pembaca dan penonton selama ada kaitannya dengan kehidupan. Hal ini tak terkecuali hubungan antara pandemi dan puisi, keduanya pun akan dimaknai oleh pembaca selama ada kaitannya dengan kehidupan.
Bagaimana pun bebasnya seorang sastrawan berkreasi dalam menggapai proporsionalnya bentuk seni dan isi seni itu, secara langsung maupun tidak langsung dia akan berinteraksi dengan kehidupan manusia, sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai pemeluk agama, dan sebagai warga negara. Terkait hal itu, suatu hasil karya sastra akan ternilai secara alamiah: apakah masyarakat pembaca akan menerimanya sepenuh hati ataukah setengah hati, ataukah tidak menganggapnya, atau justru akan menghujatnya sebab dinilai telah bertabrakan dengan SARA yang dilindungi oleh hukum negara?
Terkait dengan beragam sektor kehidupan itulah, suatu karya sastra akan diukur oleh kehidupan itu sendiri, apakah ia akan dicatat dan mendapatkan tempat dalam sejarah, ataukah dilupakan. Tak terkecuali, pembacaan dan penilaian itu juga akan diberikan kepada puisi yang bertemakan pandemi dan bentuk seni yang dipilihnya.
(8)
Begitu virus korona masuk ke Indonesia di bulan Maret 2020, terbitlah aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam kehidupan sehari-hari. Pertokoan, pasar, dan plaza ditutup, sepi. Ativitas sekolah, kampus, serta perkantoran dilakukan secara daring (dalam jaringan). Bahkan, rumah-rumah ibadah, masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng, ditutup. Itulah yang kemudian memunculkan berbagai aktivitas seni, sastra, budaya, beralih ke dunia virtual.
Penyair Isbedy Stiawan ZS, Hasan Aspahani, dan Zulfaisal Putera, aktif sekali membuat vlog, baca puisi, dan aktivitas sastra lainnya melalui channel YouTube. Begitu pula bertumbuhannya website seni budaya, dan sastra khususnya. Saya terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Yulden Erwin (AYE), yaitu menghidupkan seleksi puisi, terkait cita-citanya menerbitkan buku antologi puisi Indonesia, meneruskan penegakan “Tonggak Puisi Indonesia”. Usaha tersebut ditempuh AYE melalui facebook, media yang selama ini dianggap kurang bergengsi untuk pemuatan karya sastra karena dianggap tidak memiliki legitimasi mutu sastra. Akan tetapi, setelah berjalan, terasalah, setidaknya oleh saya, bahwa apa yang ditempuh AYE dengan sangat serius ini, juga penting sebagai bagian dari menegakkan pilar-pilar bangunan sastra Indonesia.
Di tengah ketakutan terpapar virus korona, diperparah oleh berita bagaimana kematian sampai tidak tertangani pemakamannya di Equador Amerika Selatan hingga mayat-mayat bergelimpangan di jalan,. kita menjadi sangat cemas akan sakit dan kematian. Dalam kecemasan, terasa sekali manusia sangat membutuhkan pertolongan Tuhan. Tetapi, tempat peribadatan ditutup. Manusia membutuhkan fatwa kekuatan iman dari agamawan, agar menjadi imun. Dalam keadaan merasa tidak aman, tiba-tiba muncul di media sosial, sebuah sajak berjudul “Bubarnya Agama” dengan nama Gus Mus sebagai penulisnya. Serta-merta sajak itu langsung viral.
BUBARNYA AGAMA
Makkah sepi
Madinah sunyi
Kakbah dipagari
Masjid tutup
Jamaah bubar
Jumat batal
Umrah di stop
Haji tak pasti
Lafadz adzan berubah
Salaman dihindari
Corona datang
Seolah-olah membawa pesan
Ritual itu rapuh!
Ketika Corona datang
Engkau dipaksa mencari Tuhan
Bukan di tembok Kakbah
Bukan di dalam masjid
Bukan di mimbar khutbah
Bukan dalam thawaf
Bukan pada panggilan azan
Bukan dalam shalat jamaah
Bukan dengan jabat tangan
Melainkan,
Pada keterisolasianmu
Pada mulutmu yang terkunci
Pada hakikat yang tersembunyi
Corona mengajarimu,
Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian
Tuhan itu bukan (melulu) pada syariat
Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu
Dengan dunia yang berpenyakit
Corona memurnikan agama
Bahwa tak ada yang boleh tersisa
Kecuali Tuhan itu sendiri!
Temukan Dia
Banda Aceh, 16 Maret 2020
(https://saidmuniruddin.com/2020/03/16/bubarnya-agama/)
(9)
“Apakah tulisan tersebut karya Abah?” Melalui whatssap, Gus Mus menjawab, “Bukan. Itu puisinya orang yang diakukan puisiku.”
Sejak awal, saya tidak percaya kalau “puisi” tersebut karya Gus Mus, sekalipun sekilas tampak ada persamaan, dari aspek tipografi dan gaya ungkap bahasa yang sederhana. Setidaknya, sang penulis menyebutnya sebagai “puisi” ketika melakukan “Klarifikasi Puisi “Bubarnya Agama”. Persepsi demikian adalah hak, biarlah sejarah yang akan menguji, bermutu “puisi”, ataukah tidak.
Akan tetapi, “kesederhanaan bahasa puisi” Gus Mus memiliki dasar sudut-pandang “kesederhanaan” secara profetik, yaitu hikmah. Sastra Gus Mus berdimensi hikmah, dan karenanya mengandung hikmah. Hikmah sastra Gus Mus menempatkan “agama” menjadi perantara (wasilah) yang berharga, sebagaimana “kereta kencana”, yang mengantarkan kepada tujuan (ghayah), yaitu Tuhan. Sekalipun demikian, Gus Mus mengingatkan, jangan terpukau meskipun kereta itu bak kencana, toh hanyalah sarana, bukanlah tujuan. Janganlah tertukar antara sarana dan tujuan, apalagi sampai bertikai dalam memperebutkannya. Saya kutip selengkapnya berikut ini.
AGAMA
Agama
adalah kereta kencana
Yang disediakan Tuhan
untuk kendaraan kalian
berangkat menuju hadiratNya
Jangan terpukau keindahannya saja
Apalagi sampai
dengan saudara-saudara sendiri bertikai
berebut tempat paling depan
Kereta kencana
cukup luas untuk semua hamba
yang rindu Tuhan
Berangkatlah!
Sejak lama
Ia menunggu kalian.
Rembang, 12.12.2005
(Aku Manusia, 2016:69-70)
Itulah sebabnya, sejak awal saya tidak percaya kalau “Bubarnya Agama” dikatakan sebagai karya Gus Mus sebab di dalam hidup dan kehidupan, Gus Mus dan karyanya, bersendikan cinta dan kebenaran, dan disampaikan dengan hikmah dan pelajaran yang baik (bil-?ikmati wal-mau'i?atil-?asanati). Teks “Bubarnya Agama” meniadakan hubungan keduanya, wasilah dan ghayah. Pandangan keagamaannya terasa keras, terkesan ada penghindaran terhadap manusia dan agama, “.....Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu/Dengan dunia yang berpenyakit//Corona memurnikan agama/Bahwa tak ada yang boleh tersisa/Kecuali Tuhan itu sendiri!//.....” Anehnya, ketika semua hal sudah disingkirkan, kecuali Tuhan, pembaca berharap seperti al-Hallaj, “ana al-Haq”, menemukan Tuhan. Ternyata tidak, tulisan ini justru berujung perintah kepada “engkau” agar mencari Tuhan, “...//Temukan Dia”. Ada kerancuan pandangan dalam teks “Bubarnya Agama” tentang manusia, agama, dan Tuhan, yang justru berujung kepada kehilangan Tuhan, atau Tuhan hilang dan harus ditemukan.
Mengapa rancu? Secara logika biasa saja, dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang dia klaim sebagai “ritual itu rapuh” yaitu “Makkah sepi/ Madinah sunyi/ Kakbah dipagari/ Masjid tutup/ Jamaah bubar/ Jumat batal/ Umrah di stop/ Haji tak pasti/ Lafadz adzan berubah/ Salaman dihindari/ ...; tetapi pada saat yang sama, justru mengukuhkan “ritual” baru versinya yaitu ritual “keterisolasianmu”, “mulutmu yang terkunci”, “keterputusanmu”, dan klaim keras bahwa “dunia berpenyakit”. Karenanya dia berkesimpulan, inilah “Bubarnya Agama” dan menjadikannya sebagai judul sebab tidak mampu menjawab problematika hidup di tengah pandemi korona.
Ada seekor tikus masuk ke sebuah lumbung berisi padi hasil panen untuk kebutuhan pokok keluarga. Tikus itu bisa menimbulkan penyakit pes, maka harus disingkirkan. Lalu serta-merta sang pemilik membakar lumbung itu agar tikus tidak membawa wabah pes. Inilah analogi kerapuhan yang merapuhkan agama.
(10)
Di tengah pandemi, batas antara hidup dan mati berubah begitu cepat. Hal ini tentu memerlukan kesigapan respon, tidak terkecuali dalam penciptaan karya sastra. Akan tetapi, sesungguhnya bukanlah perkara bagaimana seorang sastrawan menggantikan peran wartawan dalam menyuguhkan berita secara cepat melalui ekspresi karya sastra, seperti puisi. Justru di situlah perbedaan antara karya tulis itu disebut sebagai karya berita, dan karya sastra puisi. Karya berita membutuhkan akurasi fakta yang disuguhkan secara cepat. Lain halnya puisi, fakta itu bukannya tetap menjadi sesuatu di luar diri penyair, melainkan fakta yang merupa realitas itu menjadi bagian hidup yang dihidupi pemaknaannya oleh penyair. Fakta bukan hanya menjadi realitas empiris di mata penyair, melainkan menjadi sesuatu yang tersurat, yang eksistensi pemaknaannya membutuhkan imajinasi kreatif penyair. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di balik setiap sesuatu, baik peristiwa alam maupun budaya, dapat dicarikan hikmah pemaknaan bagi kehidupan manusia penyair.
Hal tersebut kemudian akan dibaca oleh pembaca sebagai karya seni sastra, yang dicarikan hikmahnya oleh penyair, baik dalam proses kreatifnya, maupun setelah menjadi karya sastra. Sastrawan, dalam kehidupan sehari-hari dia mencari hikmah, dan ketika menuliskan kehidupan menjadi karya sastra, dia juga menyampaikan hikmah; dan di sisi pembaca, ketika membaca karya sastra, pembaca juga mencari hikmah. Dengan begitu, ada hububungan trinitas dalam mencari hikmah, yaitu penyair, karya sastra, dan pembaca.
Jadi, ketika sastrawan berproses kreatif di dalam kehidupannya, dia mencari hikmah; dan ketika dituliskannya kehidupan itu menjadi karya sastra, dia juga mengupayakannya menjadi hikmah, “minazh-zhulumaati ilannuuri”, berproses dalam pemaknaan hidup “dari kegelapan menuju cahaya”. Demikian pula pembaca, ketika membaca karya sastra tersebut, pembaca juga mempunyai harapan agar dia mendapatkan hikmah dari karya sastra yang dibacanya. Karya-karya sastra yang demikianlah, yang akan terus hidup, menyala api pemaknaannya.
(11)
Sebagai penutup, ingin saya kutip dua sajak, “Tiarap” karya D. Zawawi Imron, dan “Maut Tersenyum” karya Joko Pinurbo, yang pada pertimbangannya mengandung hikmah. Karya sastra yang berhikmah itu, setelah dibaca, justru mampu memunculkan pertanyaan yang menggoda pembaca sekaligus memberikan ruang dialektika kepadanya untuk merdeka menemukan jawabannya, suatu jawaban yang bersemi dalam diri pembaca itu sendiri, dan bukan sebuah jawaban yang sudah disediakan oleh pengarang secara gampang.
Karena sajak berjudul “Tiarap” karya D. Zawawi Imron itu panjang, rasanya lebih elok kalau dalam kesempatan ini terlebih dahulu saya kutip sajak “Maut Tersenyum” karya Joko Pinurbo, agar pembaca penasaran untuk mencari hikmah itu pula.
MAUT TERSENYUM
Mengulurkan mawar sekuntum
Dan dengan takzim mengecup jidatmu
Kamu di rumah saja merawat dirimu sendiri
Jangan berlagak gagah dan berani menghadapi pandemi yang ganas ini
Biar aku yang berkeliaran
Membagikan masker dan pembersih tangan
Kamu di rumah saja merawat sepimu sendiri
Biar aku yang berkeliling kota membagikan doa dan pembersih dosa
Maut tersenyum
Mengulurkan mawar sekuntum
Dan dengan takzim mencium takutmu
- Joko Pinurbo
2020
Abdul Wachid B.S.
...