Tuhan sebagai “Kekasih”
Sana’i, sufi penyair yang karya terkenalnya ialah Haqiqatul Haqaiq (Taman Kebenaran), dengan kemesraan yang dalam melukiskan saat-saat yang pedih setelah bersatunya dengan Yang Mahakasih. Kerinduan itu, “Semua itu menyiksa hatiku,” ungkap guru dari sufi penyair Fariduddin Attar itu dalam sajaknya. Sekalipun demikian, sufi yang dilahirkan di Ghazna pada tahun 1046 dan meninggal pada tahun 1131 itu pun tetap tegar dalam upaya bertemu dan menyatu dengan Yang Mahakasih. Ungkapan sajak tersebut dikutip selengkapnya berikut ini.[1]
Selamat Malam
Kekasih, kulimpahkan hatiku padamu ---
Selamat malam! Aku pergi.
Kau tahu keharuan hatiku yang dalam ---
Selamat malam! Aku pergi.
Apa aku tak bisa melihatmu lagi?
Sungguh? Sungguh?
Kudekap jam-jam Perpisahan erat-erat ---
Selamat malam! Aku pergi.
Rambutmu yang nanar dan wajah berseri
Menawan dan menjerat
Membuat hari-hariku kelam dan muram
Selamat malam! Aku pergi.
O, Wajahmu adalah Cahaya Iman, rambutmu
Seperti kebingungan yang sangsi :
Semua ini menyiksa hatiku ---
Selamat malam! Aku pergi.
Aku berdiri di antara api dan air
Kau lihat aku
Bibirku pecah dan kering, mataku berurai airmata :
Selamat malam! Aku pergi.
Memuliakan Wanita sebagai Ciptaan Allah
Pencitraan serupa sajak Sana’i tersebut banyak kita jumpai dalam puisi yang ditulis oleh para sufi untuk menggambarkan kerinduan dan kemabukan cinta dalam ekstase (wajd). Sajak Sana’i tersebut melukiskan saat malam hampir berakhir di ujung pagi sehingga seorang pencinta merasa sangat berat meninggalkan pertemuannya dengan Tuhan (“Kekasihku”), yang dicitrakan sebagaimana kekasih perempuan dengan fisiknya, dengan “Rambutmu yang nanar dan wajah berseri/Menawan dan menjerat. Namun, pencitraan fisik perempuan itu pada akhirnya diposisikan sebagai penanda saja dari sebuah pengetahuan tentang kehadiran Allah (‘ilm al-hudluri) melalui tahajud cinta seorang hamba. Hal itu dikatakan oleh Sana’i sebab “Wajahmu adalah Cahaya Iman” sehingga menyerap kedirian “aku” sehingga “Aku berdiri di antara api dan air”, yang dapat dimaknai sebagai hasrat berkobar yang disebabkan oleh api cinta sekaligus dahaga kalbu yang terpenuhi karena meminum air cinta itu sendiri. Segala kemabukan itu berfungsi memberikan gambaran bahwa betapa pertemuan dengan Tuhan merupakan berahi yang ilahiah (‘asyiq), suatu gambaran mesra yang dekat dengan pemahaman keberahian manusia pada saat merasakan cinta terhadap lawan jenisnya sebab hal itu merupakan puncak pengalaman keindahan yang pernah dialami oleh manusia di dunia. Demikian pula dengan mabuk cinta kepada Allah ini. Menurut Sangidu,[2] “Merupakan keadaan yang tidak dapat dihindari oleh para sufi yang telah merasakan nikmatnya mengenal dan bertemu Allah Ta’ala.”
Kenikmatan pertemuan antara sufi dan Allah itu tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata biasa. Oleh karena itu, para sufi menggunakan ungkapan-ungkapan tamsil dan metafora agar mabuk cinta kepada Allah itu bisa diungkapkan. Karena pengalaman cinta yang paling maksimal yang pernah dialami manusia adalah penyatuan lelaki dan perempuan dalam bercinta, pencitraan cinta erotis itu dijadikan perbandingan untuk menggambarkan nikmatnya bercinta dengan Allah.
Alasan psikologis yang Freudian ungkapkan tentang kecenderungan manusia itu tentu saja dalam pemikiran sufisme tidaklah cukup. Akan tetapi, pencitraan cinta erotis sepasang kekasih itu lebih didasarkan pada alasan memuliakan wanita sebagai ciptaan Allah. Hal itu lebih merepresentasikan kesempurnaan sebagai tanda (ayat kauniyah) keindahan Allah dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Arabi.
“Perbandingan” Tuhan dengan “Kekasih”
Ungkapan-ungkapan mabuk cinta, bahkan ajaran cinta dalam tasawuf (‘isyq, mahabbah) ini dipopulerkan oleh wanita sufi penyair, Rabi’ah al-Adawiyah, yang dilahirkan di Basrah, Irak, pada tahun 714 M dan meninggal pada tahun 801 M. Pencitraan cinta erotis dalam puisi Rabi’ah menggunakan metafora Tuhan sebagai maskulin sebagaimana ungkapan ini: “O penawar jiwaku, hatiku/Adalah santapan yang tersaji bagi mau-Nya/Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan-Mu/”.
Namun, Tuhan tetaplah dikenali Rabi’ah sebagai “Kekasih” yang “Cinta-Nya padaku tak pernah terbagi”. Tuhan merengkuh dengan sifat femininitas-Nya sebagai Yang Maha Pencipta Keindahan (al-Badi’) dalam ungkapan, “Kapan dapat kurenungi keindahan-Nya”; juga sebagai Yang Mahaasih (al-Ra’uf) dan Yang Maha Mengasihi (al-Wadud) dalam ungkapan “O, Sukacita dan Nyawaku, moga kekallah/Jiwaku. Kaulah sumber hidupku/Dan dari-Mu jua birahiku berasal/”. Ungkapan-ungkapan yang mencitrakan Tuhan sebagai “Kekasih” itu tiada lain sebagai perluasan dari sifat femininitas Tuhan (Maha Pengasih/al-Rahman, Maha Penyayang/al-Rahim). Ungkapan terhadap “Kekasih” itu jelas sekali mencitrakan cinta erotis dan tujuan akhir dari erotisitas ungkapan bahwa “/Hasratku adalah bersatu dengan-Mu/ melabuhkan rindu”, yakni cinta dan rindu sebagai hasrat kedekatan (uns). Sajak Rabi’ah al-Adawiyah dikutip selengkapnya berikut ini.[3]
Tenteram
Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
Cinta-Nya padaku tak pernah berbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahan-Nya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan arah-Nya menjadi kiblatku
Bila kumati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O penawar jiwaku, hatiku
Adalah santapan yang tersaji bagi mau-Nya
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan-Mu
O Sukacita dan Nyawaku, moga kekallah
Jiwaku. Kaulah sumber hidupku
Dan dari-Mu jua birahiku berasal
Dari semua benda di dunia ini
Diriku telah tercerai
Hasratku adalah bersatu dengan-Mu
Melabuhkan rindu.
Yang dimaksudkan Rabi’ah dengan ungkapan “Hasratku adalah bersatu dengan-Mu/Melabuhkan rindu” adalah bahwa seorang pencinta (muhibb) hanyut dalam ketiadaan dan hilang diri (fana), menyatukan diri dengan Tuhan, dan menjadi milik Tuhan. Hal itu merupakan perluasan dari ayat Al-Qur’an bahwa “Tuhan mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (5: 59), bahkan “Mereka yang beriman hanyut di dalam cinta mereka kepada Allah Swt.” (2: 165).
Ungkapan “hanyut” atau “karam” cinta juga digali melalui pencitraan cinta erotis oleh sufi penyair Sa’di dalam sajaknya. “Dalam semua aku hapus,” ungkapnya sebab puncak dari cinta (mahabbah) tiada lain adalah penghapusan total terhadap sifat-sifat aku-manusia dengan menggantikannya dengan sifat-sifat Aku-Allah. Namun, berbeda dengan sufi lainnya, penggantian sifat aku-manusia dengan sifat Aku-Allah itu oleh Sa’di diimplementasikan di dalam kehidupan sosial. Ia tidak hanya menjalani kehidupan asketik. Sa’di dilahirkan pada tahun 1184 M dan meninggal dunia pada tahun 1292 M. Karyanya yang paling berpengaruh terhadap kesusastraan dunia adalah Gulistan dan Bustan. Menurut Emerson[4], kedua karyanya itu berpengaruh terhadap kesusastraan Jerman. Di antara sajak Sa’di yang menarik itu dikutip selengkapnya berikut ini.[5]
Karam
Mataku membanjir rinduku kehendaknya
Hatiku membakar di api nafsunya
Dalam semua aku hapus
Dalam banjir karam dalam api hangus
Dengan Sa’di mengungkapkan bahwa “Mataku membanjir rinduku kehendaknya”, sesungguhnya setiap ungkapan kerinduan dan cinta mistik itu adalah manifestasi dari mengingat (dzikir) Tuhan. Penyebutan “Kekasih” yang berulang-ulang dalam puisi sufi pun tiada lain sebagai cara mengingat (dzikir), memikirkan (fikr), dan merenung (musyahadah) terhadap “Wajah” Kekasih Yang Mahaindah. Pada saatnya Kekasih menyingkapkan keindahan wajah-Nya, pada saat itu puisi oleh sufi difungsikan sebagai tempat menyatakan kemabukan (syawq) dan penyatuan cinta (fana). Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Hadi W.M.[6] yang memandang puisi sebagai proyeksi zikir dan ekspresi kerinduan, sedangkan keindahan yang dihadirkan melalui puisi dimaksudkan agar dapat menerbitkan keadaan-keadaan rohani yang diperlukan oleh pembaca dalam mencapai musyahadah. Musyahadah, menurut Imam al-Ghazali, adalah ‘kesanggupan merenungi keindahan Yang Haqq melalui makrifat’.[7]
Oleh karena itu, sangatlah tepat gambaran tentang seorang pencinta (‘asyiq) yang sedang mengalami kegairahan mistik (wajd) kepada kekasihnya di dalam puisi karya Jami, seorang sufi penyair yang lahir pada tahun 1414 M dan meninggal pada tahun 1492 M. Jami dipandang oleh Abdul Hadi W.M.[8] sebagai penyair besar terakhir Persia Klasik. Ia adalah seorang sufi yang ilmu keislamannya luas sehingga mampu menulis berbagai hal dan karyanya memengaruhi kesusastraan Prancis.
Sajak “Denganmu” karya Jami[9] dan sajak “Kau dan Aku” karya Jalaluddin Rumi[10] berikut juga menggambarkan kegairahan cinta melalui pencitraan cinta erotis.
Denganmu
Orang meletakkan jemarinya pada kening indahmu
Dan berseru : “Lihat, bulan purnama ada di sini!”
Janji fajar kemilau kalbu yang diberkahi
Berpijar di wajahmu menulari para pencintamu
Pesta suci hanya setahun sekali
Namun setiap hari denganmu aku pergi ke pesta
Dan dari pipimu kutahu betapa meriah pesta itu
Walau tak seorang pun muncul di sana
Bila kau berkata : “Dengan siksa derita kubunuh jiwamu!”
Bagiku pembunuhan itu adalah sebuah perayaan
Penjahit Waktu, ukurlah tinggi badanmu
Potonglah jubah karunia yang tak terperikan itu
Namun, o Jami, pawai yang menyenangkan itu
Jika tak bersama-Nya adalah derita yang begitu menyiksa
Kau dan Aku
Bahagia saat kita duduk di pendapa, kau dan aku.
Dua sosok dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.
Harum semak dan nyanyi burung menebarkan kehidupan
Pada saat kita memasuki taman, kau dan aku.
Bintang-bintang yang beredar sengaja menatap kita lama-lama;
Bagai bulan kita bagikan cahaya terang bagi mereka.
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi,
menyatu dalam nikmat tertinggi,
Bebas dari cakap orang, kau dan aku.
Semua burung yang terbang di langit mengidap iri
Lantaran kita tertawa-tawa riang sekali, kau dan aku.
Sungguh ajaib, kau dan aku, yang duduk bersama di sudut rahasia,
Pada saat yang sama berada di Iraq dan Khorastan, kau dan aku.
Dari kedua sajak itu, terutama sajak Rumi, tergambarkan penyatuan sepasang kekasih di dalam percintaan profan, yang dilatari oleh keindahan taman, suatu pencitraan cinta erotis seperti ungkapan ini, “Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi,/menyatu dalam nikmat tertinggi,/”. Akan tetapi, Rumi tak sebatas menggambarkan keindahan sepasang kekasih yang sedang bercinta di suatu taman. Keindahan semacam itu oleh Al-Jili disebut sebagai keindahan-luar (husn) dari puisi. Keindahan-luar atau keindahan-lahir dari puisi disebut shurah, yang berarti ‘gambar, contoh atau salinan’, yakni salinan dari makna yang berada di dalamnya.[11] Hal itu berarti jika seorang pembaca hanya terikat pada keindahan-luar dari puisi, ia akan terjebak pada yang tersurat belaka, tanpa mampu membaca makna yang tersirat di dalam puisi yang justru merupakan hakikat atau “isi” dari puisi tersebut.
Tentang wawasan estetik sufi berkenaan dengan puisi, Abdul Hadi W.M.[12] menyatakan bahwa
Puisi adalah sebuah bangunan kejiwaan dalam wujud bahasa yang pengucapannya tidak langsung dan strukturnya unik. Dalam wawasan estetik sufi bahasa puisi hanya dapat wujud apabila terdapat makna yang hendak dicetakkan ke dalam sebuah struktur pengucapan yang bernama bahasa atau komposisi puitik. Jika tidak ada makna, sebuah puisi hanya merupakan susunan bahasa yang tidak berjiwa. Makna adalah keindahan sisi dalam dari sebuah puisi. Wilayah makna adalah pengalaman atau keadaan ruhani seorang penyair.
Dalam hal ini, sebagaimana para sufi penyair lain, Rumi pun menekankan makna yang tersirat dalam puisi itu, yakni keindahan-dalam (jamal). Rumi tidak bermaksud menggambarkan percintaan erotis belaka. Gambaran sepasang kekasih yang sedang asyik masyuk itu hanyalah tamsil dari kemabukan kalbu seorang pencinta (‘asyiq) yang sedang mengalami kegairahan mistik (wajd) dan fana di dalam jiwa Yang Mahakasih sehingga merasakan puncak nikmat dari persatuan tersebut. Dari sajak yang serupa dengan milik Jami dan Rumi itu tergambar hubungan antara keindahan-lahir dan keindahan-batin. Hal tersebut merupakan perluasan makna dari pernyataan Al-Qur’an bahwa mengenal Allah adalah mengenal “Yang Lahir dan Yang Batin” (QS. Al-Hadid, 57: 3), mengenal “Ayat-ayat-Nya terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia” (QS. Fussilat, 41: 53), dan oleh karena itu, “Ke mana pun kau memandang akan terlihat wajah-Nya” (QS. Al-Baqarah , 2: 115).
Puisi dalam konsepsi sufisme pun merupakan gambaran dari kebertautan antara yang tersurat dan yang tersirat itu, antara yang lahir dan yang batin; antara keindahan-luar pada ungkapan-ungkapan bahasa, dan keindahan-dalam pada kandungan hikmahnya, yaitu pengetahuan tentang hakikat kehidupan.
Menurut Braginsky,[13] dalam puisi, hikmah memperkaya batin pembaca. Selanjutnya, Abdul Hadi W.M. menguraikan pandangan Braginsky tersebut sebagai berikut.[14]
Karena sifatnya yang tak terbatas dan universal, serta dapat memperkaya batin itulah para penulis sufi lebih mengutamakan jamal dibandingkan dengan husn, tanpa mengecilkan peran husn. Dalam puisi keindahan batin melahirkan makna. Maknalah yang merupakan struktur batin puisi. Sedang keindahan luar melahirkan shurah, yaitu bentuk yang ada di luarnya. Shurah adalah wakil makna di alam penampakan dan kehadirannya sepenuhnya ditentukan oleh makna. Shurah merupakan struktur fisik sebuah puisi.
Dengan begitu, penampakan melalui ungkapan pencitraan-pencitraan cinta erotis dalam puisi sufi itu masih perlu diburu pemaknaannya dengan mencari rujukannya (hipogram). Hal itu, sebagaimana sudah diuraikan di depan, jelas berkaitan dengan pandangan dunia kaum sufi terhadap hubungan antara makhluk (alam dan manusia) dan Tuhan. Oleh sebab itu, “perbandingan” melalui pencitraan cinta erotis merupakan hal yang vital dalam perpuisian sufi sebab cara itu dapat memberikan ungkapan puitik halus dan penuh nuansa estetik; dapat mudah meresap dan berkesan dalam hati pembaca; dan para sufi dapat melindungi rahasia perjalanan rohani mereka dari pengetahuan orang biasa. Di samping itu, dengan menggunakan citra-citra simbolik erotis, para sufi sekaligus memberi gambaran kedekatannya dengan Tuhan sehingga membuktikan betapa manusia merupakan penyaksian citra Tuhan yang paling lengkap dan sempurna, terutama pada diri wanita, sebagaimana pandangan Ibnu Arabi.
“Perbandingan” Tuhan dengan “Kekasihku” juga secara estetik dan imajinatif digambarkan dalam perpuisian Amir Hamzah, terutama dalam sajak berjudul “Doa”[15] dan “Padamu Jua”[16]. Dengan perbandingan serupa itu, gagasan tentang sifat Tuhan yang feminin, Yang Rahman dan Yang Rahim, yang penyaksian-Nya lebih terepresentasi melalui diri wanita, menjadi lebih dapat dirasakan oleh pembaca. Amir Hamzah digelari oleh H.B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Ia dilahirkan pada tahun 1911 dan meninggal pada tahun 1941 sebagai korban revolusi yang dibunuh oleh sekelompok pemuda komunis ketika ia menjabat sebagai Bupati Langkat. Sajak-sajaknya dibukukan dalam Buah Rindu serta Nyanyi Sunyi dan dinilai oleh banyak kalangan memperoleh pengaruh dari Hamzah Fansuri (seorang sufi penyair yang hidup di Barus, Aceh, antara pertengahan abad ke-16 dan perempat awal abad ke-17). Di antara sajak Amir Hamzah itu dikutip selengkapnya berikut ini.
Doa
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayang pikir, membawa angan
ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam
menyirak kelopak.
Aduh, kekasih, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku
dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu,
biar berbinar gelakku rayu!
Penutup
Semua sajak karya sufi penyair yang dicontohkan merepresentasikan posisi pentingnya Tuhan sebagai “Kekasih”. Peleburan cinta melalui pencitraan cinta lawan jenis begitu pentingnya sebab aktivitas cinta tersebut merupakan gambaran paling mewakili dari kebersamaan cinta yang dapat dikenali oleh manusia. Hal itu juga merupakan tamsil yang mengejawantahkan “penampakan” eksistensi Tuhan melalui alam syahadah. Oleh karena itu, simbol atau misal, perumpamaan atau tamsil, analogi atau kias, dan metafora secara luas di dalam perpuisian sufisme menjadi penting untuk dimaknai. Dengan demikian, sesungguhnya puisi sufi, sebagaimana tasawuf itu sendiri, menggambarkan hubungan keindahan Yang Mahasatu dengan keindahan objek yang bermacam-macam di alam syahadah. Dengan demikian pula, puisi sufi merupakan bentuk dari penyaksian (syahadah) dan perenungan (musyahadah) akan keesaan Tuhan. Tujuannya adalah menimbulkan pencerahan berupa kesadaran terhadap pengetahuan (makrifat) tentang diri dan Tuhan sehingga sampai pada cinta ilahiah (mahabbah).
Daftar Pustaka
Arabi, Ibn. 2004. Fusus al-Hikam, terj. Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Damono, Sapardi Djoko. 1985. Jalaluddin Rumi Sufi Penyair Terbesar. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Fromm, Erich. 2002. The Art of Loving. Jakarta : Fresh Book.
Hadi W.M., Abdul. 1985. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
_________________. 2001. Tasawuf yang Tertindas. Jakarta: Paramadina.
Hamzah, Amir. 1985. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat, Cet.X.
Murata, Sachiko. 1996. The Tao of Islam. Bandung: Mizan.
Nasr, Seyyed Hossein.1981. Knowledge and the Sacred. New York: The Crossroad Publishing Company.
_________________. (ed.). 2002. Ensiklopedi Tematis: Spiritualitas Islam (Fondasi) (Bandung: Mizan).
Sangidu. 2003. Wachdatul Wujud : Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani dengan Nurruddin ar-Raniri. Yogyakarta: Gama Media.
Schimmel, Annemarie. 2003. Dimensi Mistik dalam Islam, cet. II. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Seyyed Hossein Nasr (Ed.). 2002. Ensiklopedi Tematis : Spiritualitas Islam (Fondasi). Bandung : Mizan.
Wachid B.S., Abdul. 2002. Religiositas Alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media
Abdul Wachid B.S
...