Wanita Adalah Seberkas Sinar Tuhan
Ungkapan-Ungkapan Pengalaman Cinta
Tentang pemahaman cinta seorang sufi kepada Tuhan, ada kesejajaran pandangan antara Ruzbihan Baqli dan Ja’far al-Shidiq, yakni pada saat terjalin hubungan antara seorang sufi dan Tuhan di dalam pengalaman mistik, pada saat itulah seorang sufi mengalami ekstase spiritual yang memunculkan ungkapan-ungkapan asketik (syathiyyah). Hal itu senada dengan pernyataan Abu Yazid, “Terpujilah aku (subhaanii)” atau ungkapan al-Hallaj, “Akulah kebenaran (anaa al-Haqq).”
Syathiyyah merupakan suatu bentuk pengalaman kerohanian seorang sufi yang telah wajd, yaitu seorang yang telah mencapai ekstase mistik dalam peringkatnya yang tinggi. Keadaan-keadaan rohani (ahwal) yang dicapainya memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang timbul dari kedalaman pengalaman kalbunya, yakni berupa ucapan-ucapan yang dalam. Contoh dari pengalaman syathiyyah itu diungkapkan oleh Ja’far al-Shidiq[1], sebagaimana pengalaman ketuhanan yang dialami oleh Nabi Musa AS di Lembah Tuwa. Dalam peristiwa itu, Nabi Musa melihat semak terbakar, lalu mendapat perintah dari Tuhan agar melepaskan kedua alas kakinya.
Pengalaman kerohanian seperti yang dialami Nabi Musa itu dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan kasyf sehingga kalbunya terisi pengetahuan ketuhanan. Dalam perkembangannya, pengalaman syathiyyah itu berubah menjadi “pengalaman cinta” sebab makin dekat seorang sufi terhadap Tuhan, makin bertambah cintanya kepada Tuhan. Dalam keadaan demikian, ungkapan bahasa menjadi bahasa cinta, bukan bahasa biasa, melainkan bahasa simbolik puisi yang dapat mengungkapkan sekaligus menandai kedekatan hubungan seorang sufi dengan Tuhannya. Hal itu terjadi karena pengalaman syathiyyah merupakan pengalaman kalbu sehingga membutuhkan bahasa kalbu pula untuk mewadahinya. Bahasa kalbu tidak bersifat deskriptif, tetapi bersifat figuratif seperti halnya bahasa puisi.
Pengalaman syathiyyah itu pada tingkat umum dapat disamakan dengan pengalaman religius, yang kenyataannya tidak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan merupakan pengalaman indrawi. Sementara itu, bahasa memiliki keterbatasan, yaitu hanya mengungkap apa yang menjadi realitas indrawi. Karena itu, ada realitas yang dapat disentuh melalui bahasa dan ada yang tidak (the unutterable). Oleh sebab itu, bahasa religius mempunyai logika tersendiri, yakni bersifat analogi, sebagian sama dan sebagian berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari. Pengalaman religius itu bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung oleh subjek dan objek serta berlangsung dalam taraf tak sadar sehingga berlangsung tanpa bahasa. Namun, pada saat subjek membahasakan pengalaman religiusnya, aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman religius yang telah terabstraksikan ke pola indrawi. Perpindahan itu dalam bahasa religius berlangsung dengan jalan analogi, yakni melalui bahasa puisi.[2]
Oleh sebab itu, tiada pengalaman religius yang dapat diungkapkan selain melalui bahasa puisi atau setidaknya bahasa simbolik. Demikian pula halnya dengan pengalaman syathiyyah yang dialami oleh para sufi. Pencapaian keadaan rohani (ahwal) tersebut memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang timbul dari kedalaman kalbunya, yakni berupa “ucapan-ucapan yang dalam”.
Penggambaran Cinta Erotis
Bagaimana percintaan mistik itu diungkapkan melalui “ucapan yang dalam” atau ungkapan asketik oleh para sufi? Pada dasarnya ungkapan-ungkapan asketik itu terekspresikan melalui bentuk-bentuk majas atau analogi-analogi. Mengapa demikian? Ibnu Arabi menjawab, “Ahli makrifah tidak dapat menyampaikan perasaan mereka kepada orang lain, mereka hanya dapat menyatakannya secara simbolik kepada mereka yang memiliki pengalaman serupa.” Kenyataan bahwa pengalaman religius itu selalu memerlukan bahasa simbolik juga digunakan di dalam Al-Qur’an. Menurut Muhammad Iqbal, Al-Qur’an menggunakan bahasa figuratif atau majas tatkala mengungkapkan pengalaman Nabi Muhammad SAW ketika beliau melakukan mikraj ke langit lapis ketujuh dan berdialog dengan Tuhan di Sidrat al-Muntaha.[3] Banyak sekali ungkapan dalam Al-Qur’an yang figuratif untuk menyatakan pengalaman ketuhanan, sebagaimana terdapat di dalam surah An-Nuur (24: 35) berikut ini.
Allah adalah sumber cahaya langit dan bumi
Perumpamaan cahaya-Nya seperti bejana
yang tidak tembus, di dalamnya ada pelita:
pelita itu yang tertanam dalam kaca;
kaca itu bersinar bagaikan bintang cemerlang
yang menyala karena minyak zaitun
yang penuh berkah
yang tidak di timur dan tidak pula di barat
minyaknya bercahaya sendiri meski tak tersentuh api
Cahaya berselaput cahaya
Allah memberikan petunjuk dengan cahaya-Nya
kepada orang yang Ia kehendaki
Demikian Ia membuat perumpamaan bagi manusia
Allah Mahatahu akan segala hal
Di dalam puisi yang ditulis para sufi, majas serupa itu menandai kedekatan hubungan antara manusia dan penciptanya. Majas-majas tersebut sangatlah beragam. Sekalipun demikian, menurut Abdul Hadi W.M., semua pencapaian keindahan itu berkisar pada keindahan Yang Satu, kehadiran spiritual-Nya dalam objek yang beraneka ragam di alam syahadah dan afinitas rahasia-Nya dalam jiwa manusia.[4] Hal itu didasarkan pada pernyataan dalam Al-Qur’an bahwa Yang Satu menghadirkan Diri secara rahasia dalam berbagai tingkat “wujud” sebab Dia adalah “Yang Lahir dan Yang Batin” (QS. Al-Hadid, 57: 3) dan “Ayat-ayat-Nya terbentang di alam semesta dan di dalam diri manusia” (QS. Fussilat, 41: 53) sehingga “Kemana pun kau memandang akan terlihat wajah-Nya” (QS. Al-Baqarah, 2: 115).
Di sinilah pentingnya puisi pada saat meneliti pandangan sufisme sebab puisi menjadi media ekspresi terpenting bagi sufi dalam menyampaikan pengalaman cinta ilahiahnya. Menurut Seyyed Hossein Nasr,[5] para sufi meyakini bahwa kekuatan bahasa puisi dapat membawa seseorang menuju alam hakikat atau mengalami penyatuan mistik dengan Tuhan.
Memang mengalami penyatuan mistik dengan Tuhan inilah yang menjadi tujuan utama dari ritual hidup para sufi dan puisi menjadi bagian dari ritus itu. Kemabukan mistikal itu dicarikan tamsilnya dengan taman-taman, kebun, istana, pasar, atau kedai tempat minuman anggur yang menyebabkan kemabukan rohani terhadap Yang Mahakasih. Semua itu demi mencitrakan keadaan kalbu dan pengalaman rohani seorang ahli makrifah. Sebagian tamsil itu dapat dicarikan rujukannya di dalam Al-Qur’an, sebagaimana penggunaan tamsil taman firdausi bahwa seorang ahli makrifah itu tingkatannya ibarat berada di “Surga yang terbentang di antara langit dan bumi” (QS. Ali Imran, 3: 133).
Menurut Abdul Hadi W.M., maksud penggunaan tamsil taman tersebut adalah untuk menjelaskan fungsi puisi bagi penempuh jalan tasawuf, “Seperti halnya taman istana dan kalbu orang arif, puisi sebagai hasil perenungan dan makrifat merupakan tempat mengingat (dzikr), memikirkan (fikr), dan merenungi (musyahadah) wajah Kekasih Yang Mahaindah.”[6]
Di samping tamsil yang telah disebutkan, ada tamsil lain yang sangat dominan di dalam puisi yang ditulis oleh para sufi. Cinta mistik itu diungkapkan dengan pencitraan cinta yang erotis (pinjam istilah Erich Fromm),[7] yakni pencitraan cinta hubungan lelaki dan wanita (yang profan). Pencitraan cinta erotis itu dijadikan penanda kemabukan mistik. Karena kebanyakan sufi itu adalah kaum lelaki, pencitraan erotis yang digunakan adalah kemabukan terhadap wanita. Demikian halnya dengan Nizhami yang mencitrakan pesona Layla yang menggilakan cinta si Qais; Jami mencitrakan pesona Zulaikha yang menjadikan Yusuf merasa takjub; Fariduddin Attar mencitrakan kecantikan seorang wanita Nasrani yang menjadikan Syekh Shan’an tergila-gila sehingga meninggalkan para santrinya; dan Ibnu Arabi mencitrakan pesona seorang wanita Persia bernama Nizham yang dijumpainya di sekitar Ka’bah sehingga membuatnya mengalami mikraj sampai berulang-ulang. Demikian halnya dengan puisi yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi, Mansur al-Halajj, Omar Khayam, Abu Nuwas, dan lainnya. Bahkan, seorang penyair Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, (1749—1832) juga mengungkapkan pesona tujuh wanita yang begitu kuat sehingga mengubah nasib pasangan-pasangan mereka, yakni Rudaba, Zulaikha, Sirin, Layla, Butsayna, Bilqis, dan ‘Azra. Semua itu oleh penyairnya, yang juga seorang sufi, ditulis di dalam bahasa puisi yang begitu memukau.
Sekalipun demikian, ada juga pengalaman mistis yang diungkapkan dengan pencitraan kemabukan terhadap seorang lelaki, sebagaimana dalam puisi yang ditulis oleh wanita sufi penyair, Rabi’ah al-Adawiyah. Namun, pada intinya semua pencitraan cinta erotis itu bermaksud sama, yakni dijadikan penanda dari pengalaman mistis atau suatu upaya untuk mengonkretkan pengalaman mistis yang semula abstrak itu ke dalam suatu pencitraan yang konkret sehingga menyentuh indra kemanusiaan kita. Dengan begitu, gambaran dari berahi cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) seorang sufi kepada Tuhannya akan dapat dibayangkan, dirasakan, dan dipikirkan oleh pembacanya, yang boleh jadi adalah para muridnya atau pembaca lain.
Pencitraan cinta erotis antara lelaki dan wanita itu dapat dikatakan sebagai pencitraan dari penyatuan cinta yang paling maksimal sebab tidak hanya secara batiniah, tetapi ada keterwakilan dari penyatuan itu, yakni melalui hubungan tubuh. Dari itu cinta erotis menandai (ditandai) adanya kemabukan yang paling kepayang dari hubungan antara lelaki dan wanita, yang tiap-tiapnya merupakan subjek sekaligus objek bagi pasangannya. Bahkan, pencitraan cinta erotis ini dapat dikatakan lebih mewakili kemabukan mistis dibandingkan dengan pencitraan minum anggur sebab kemabukan yang disebabkan minum anggur itu hanyalah sesaat, “lupa diri” sesaat. Namun, kemabukan cinta erotis tidak pernah berhenti sekalipun telah terjadi penyatuan antara diri dan Sang Kekasih. Hal itu seperti kemabukan seorang pria terhadap kekasih sejatinya yang tidak pernah berhenti untuk berupaya melakukan kedekatan. Sekalipun penyatuan tubuh itu telah berlangsung, justru dari situlah sesungguhnya perjalanan cinta baru dimulai menuju hakikat cinta sejati yang maknawi.
Pemakaian citra simbolik erotis dalam puisi karya sufi ini, menurut Abdul Hadi W.M., dapat dimaklumi sebab mereka berbicara tentang cinta sejati dan sasaran cinta mereka adalah Dia Yang Mahaindah. Sekadar contoh, “pelukan” dan “ciuman” digunakan sebagai simbol pesona cinta, sedangkan “tidur” seperti banyak kita jumpai dalam puisi karya Jalaluddin Rumi dimaksudkan sebagai tafakur yang makna spiritualnya ialah “tidur terhadap dunia, tetapi bangun memandang Kekasih”. Sementara itu, mengapa para sufi menggunakan citra-citra simbolik yang erotis? Alasan Abdul Hadi W.M. berikut ini baru sampai pada tataran estetik dan efeknya bagi kejiwaan pembaca.
Pertama, dengan menggunakan citra-citra simbolik yang erotik mereka dapat memberi ungkapan puitik halus dan penuh nuansa estetik tentang Keesaan Tuhan; kedua, citra-citra simbolik dan metafora-metafora yang demikian mudah meresap ke dalam hati pembaca dan meninggalkan kesan yang dalam dibandingkan dengan menggunakan istilah-istilah falsafah sebab sifat-sifat dan keagungan Tuhan dapat tergambar secara langsung; ketiga, dengan menggunakan citra-citra simbolik erotik, para sufi dapat melindungi rahasia perjalanan ruhani mereka dari pengetahuan orang biasa, dan dengan demikian hanya golongan muntahi dan arif saja dapat mengetahui maknanya.[8]
Alasan pemikiran senada juga diungkapkan oleh Annimarie Schimel dalam “Unsur-unsur Kewanitaan dalam Tasawuf”, yang merupakan lampiran dari bukunya yang paling banyak dirujuk pengkaji tasawuf, yakni Dimensi Mistik dalam Islam.[9]
Filosofi Penggambaran Cinta Erotis
Namun, di segi lain landasan filosofis apa yang menjadikan pemikiran dan pengalaman mistik para sufi itu justru dicarikan medianya melalui pencitraan cinta erotis di dalam puisinya?
Pertama, sebagaimana sudah diungkapkan di depan bahwa pencitraan cinta erotis itu merupakan media yang paling mewakili ekspresi kerinduan (syawq) seorang sufi terhadap Tuhan, yang di dalam puisinya selalu disebut sebagai “Kekasih” atau nama-nama wanita. Ungkapan kerinduan itu bukan hanya dari sudut pandang seorang manusia terhadap Tuhannya, melainkan kerinduan timbal balik bahwa Tuhan juga sangat merindukan hamba-Nya: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. Al-Maidah, 5: 54). Karena itu, hal itu ditamsilkan dalam sebuah hadis qudsi bahwa jika ada seorang hamba yang mendatangi-Nya dengan berjalan, Allah akan menyambutnya dengan berlari. Selengkapnya adalah sebagai berikut.
“Aku memenuhi harapan-Ku tentang diri-Ku, dan Aku bersamanya ketika dia ingat (atau memohon) kepada-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam hatinya, Aku mengingatnya di dalam hati-Ku; dan jika dia mengingat-Ku secara terbuka, Aku mengingatnya secara terbuka yang jauh lebih baik daripada itu. Dan jika dia mendekati Aku sehasta tangan, Aku akan mendekatinya sedepa; dan jika dia mendekati-Ku sedepa, Aku akan lebih dekat lagi; dan jika dia mendekatiku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari”. [10]
Dengan begitu, hubungan cinta menjadi saling berbalas sehingga mengandung kedekatan (uns), yang melalui Al-Qur’an diungkapkan, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri” (QS. Qaf, 50: 16). Pada tingkat pengalaman mistik tersebut seorang pencinta menjadi tidak berjarak lagi dengan yang dicintainya, sifat-sifat hamba akan meneladani sifat-sifat Allah. Bahkan, Allah akan menjadi seluruh indranya, sebagaimana diungkap dalam hadis qudsi berikut ini.
“Hamba-Ku mendekati-Ku dengan amalan-amalan ibadah yang lebih Kucintai sehingga Kutetapkan sebagai kewajiban atas dirinya. Dan hamba-Ku terus mendekati-Ku melalui amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya; dan jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi telinganya yang dengannya dia mendengar, matanya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya dia memegang, dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Dan jika dia meminta (sesuatu) kepada-Ku, Aku memberikannya kepadanya. Jika dia benar-benar mencari pertolongan-Ku, Aku akan menolongnya.” [11]
Kedua, dalam tingkat pengalaman mistis demikian pula, sifat-sifat Allah mencurah kepada penempuh jalan mistik (salik) yang berupaya keras mendekati-Nya agar menjadi kekasih-Nya. Di antara sifat Allah itu yang dikenal adalah 99 Nama Indah Allah (al-asma’ al-husna). Dengan demikian, dapat diidentifikasi bahwa Allah lebih mengenalkan Diri sebagai Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim) daripada Yang Mahamurka. Sifat pengasih dan penyayang yang feminin itu oleh Sachiko Murata (The Tao of Islam, terj. Astuti dan M.S. Nasrullah, 1996) disejajarkan dengan konsep “yin” dalam mistikisme China, sedangkan konsep maskulin disejajarkan dengan konsep “yang”.
Dengan pemahaman itu tidak berarti Tuhan selalu mencitrakan diri melalui sifat pengasih dan penyayang-Nya (feminin) saja, tetapi bersifat timbal balik. Tatkala pelaku sufi sebagai makhluk-Nya yang berupaya menjalankan seluruh aturan-Nya (syariat) yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, mereka harus melalui jalan sufi (tarekat) sehingga memiliki tujuan utama dari pencariannya (hakikat), yakni demi mengenal Allah dengan cara yang sebenar-benarnya (makrifat). Dalam keadaan tersebut pelaku sufi bertindak secara maskulin untuk mencari cinta Allah, sedangkan Allah “diposisikan” secara feminin. Begitu halnya pada saat Allah mencurahkan kasih sayang-Nya, Allah bertindak secara feminin. Sebaliknya, tatkala hubungan itu dalam konteks pembalasan Allah disebabkan kemungkaran manusia, Allah bertindak secara maskulin. Namun, menurut hadis terkenal mengenai singgasana Allah (al-‘arsy) tertulis, “Sesungguhnya, kasih sayang-Ku melampaui kemurkaan-Ku” (inna rahmati sabaqat ghadhabi). Di dalam Al-Qur’an pun lebih sering diulang-ulang nama yang menunjukkan sifat kasih sayang Allah, seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dibandingkan dengan penyebutan nama-nama yang lain. Bahkan, setiap surah dalam Al-Qur’an (kecuali satu surah saja) selalu diawali dengan nama Allah Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim), bukan nama Allah yang menunjukkan kemahakuasaan. Al-Qur’an sendiri juga menyatakan bahwa al-Rahman merupakan hakikat Allah, “Serulah Allah atau serulah al-Rahman” (QS. Al-Isra’, 17 : 110).
Sementara itu, hubungan sufi (sebagai “pencari cinta” dalam hal ini berperspektif maskulin) dengan Yang Maha Dicinta, yakni Allah (yang memperlihatkan aspek feminin), merupakan pencitraan kerinduan untuk bertemu Allah, yang pencarian alamat-Nya dilakukan dengan merenungi ayat-ayat kauniyah-Nya pada manusia dan alam semesta (QS. Al-Isra’, 17: 44) sebab “Kemana pun engkau menghadap, di situlah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah, 2: 115). Oleh para sufi, pengenalan terhadap Allah melalui pemaknaan nama dan sifat-Nya itu diacukan pada sebuah hadis tentang “dicintakannya” Nabi Muhammad terhadap “Tiga hal yang dicintakan kepadaku di dunia ini dari duniamu; wanita-wanita, wewangian, dan penyenang mataku ada pada salat”.[12] Menurut para sufi dengan merujuk pada hadis qudsi pula, Allah melalui cinta-Nya ingin dikenal sehingga Allah menciptakan makhluk: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku ingin dikenal, karena itu Aku ciptakan manusia dan alam semesta”.[13] Padahal, sebaik-baik ciptaan Allah adalah manusia (QS. At-Tiin, 95: 4), sedangkan manusia yang paling mencerminkan eksistensi Allah adalah wanita. Hal itulah yang menjadi jawaban terhadap misteri dari hadis tentang hubungan antara kecintaannya terhadap wanita, wewangian, dan salat. Mengapa demikian? Ibn Arabi melalui bukunya Fusus al-Hikam menjelaskan bahwa
Ketika pria menatap (syahadah) Realitas pada wanita, dia melihat-Nya pada suatu aspek pasif (munfa’al), sedangkan ketika dia menatap-Nya pada dirinya sendiri, sebagai makhluk di mana wanita terwujudkan darinya, dia melihat-Nya sebagai suatu aspek aktif (fa’il). Namun, ketika dia melihat-Nya pada dirinya sendiri, tanpa beberapa hal atas apa yang berasal darinya, dia melihat-Nya sebagai pasif pada Diri-Nya secara langsung. Bagaimanapun, penatapannya akan Realitas pada wanita lebih lengkap dan sempurna karena dalam cara ini dia menatap Allah dalam cara yang aktif dan pasif, sedangkan menatap Realitas hanya pada dirinya sendiri, dia melihat-Nya pada suatu cara yang terutama sekali pasif. Maka penyaksiannya atas yang Nyata dalam diri wanita adalah yang paling lengkap dan paling sempurna sebab dia menyaksikan yang Nyata dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa Dia sekaligus seorang wakil dan lokus penerima aktivitas. Tuhan mengungkapkan diri-Nya dengan cara yang paling lengkap.[14]
Pencitraan erotis dalam puisi karya sufi sebagai ungkapan paling mewakili pengalaman mistis ini jelas dipengaruhi oleh gagasan Ibn Arabi tentang penyaksian Tuhan yang paling sempurna melalui “diri” wanita tersebut. Gagasan itu dijelaskan oleh Kasyani bahwa melalui pernikahan, “penyaksian yang nyata dalam hubungan seksual adalah yang paling sempurna.”[15] Qaysari juga menjelaskan pandangan Ibn Arabi itu sebagai berikut.
Ketika dia menyaksikan-Nya dalam jiwanya sendiri tanpa mengingat bentuk wanita itu, dia menyaksikan-Nya sebagai suatu lokus yang menerima aktivitas, sebab dia adalah salah satu benda yang merupakan objek aktivitas Tuhan dan ciptaan-Nya.
Inilah sebabnya mengapa Nabi mencintai kaum wanita dikarenakan kesempurnaan penyaksian yang Nyata di dalam diri mereka. Sebab, yang nyata tidak pernah dapat disaksikan terlepas dari materi sebab Tuhan dalam esensi-Nya tidak tergantung pada semua dunia. Karena situasinya mustahil dalam kaitan ini, dan penyaksian berlangsung hanya dalam beberapa materi, maka penyaksian atas yang Nyata dalam diri kaum wanita merupakan penyaksian yang terbesar dan paling sempurna.[16]
Namun, untuk memaknai gagasan Ibn Arabi tersebut, kita diingatkan oleh Sachiko Murata bahwa jangan dibayangkan Ibn Arabi tengah menetapkan aktivitas seksual sebagai suatu cara untuk mencapai realitas rohani. Ibn Arabi hanya menyarankan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad tatkala beliau berkata bahwa “Pernikahan adalah separuh dari agama”.[17] Sebaliknya, Ibn Arabi sedang menggambarkan bahwa kesempurnaan manusia hanya bisa dicapai oleh para kekasih Tuhan (awliya) dan para nabi. Oleh sebab itu, bentuk penyaksian Tuhan semacam itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh kebanyakan orang sebab sudah dikemukakan oleh Ibn Arabi dalam bukunya Futuhat al-Makkiyyah bahwa “Kebanyakan orang adalah ‘manusia-hewan’ (al-insan al-hayawan)”. Lebih lanjut, uraian Ibn Arabi adalah sebagai berikut.
Ketika seorang mencintai kaum wanita di dalam batas-batas ini, itulah cinta ilahi. Namun, ketika seseorang mencintai mereka hanya dikarenakan nafsu alamiah, maka dia tidak memiliki pengetahuan tentang nafsu ini. Baginya suatu perkawinan menjadi bentuk tanpa ruh. Meskipun dalam kenyataan bentuk itu memiliki suatu ruh, hal itu tidak disaksikan oleh seseorang yang mendatangi istrinya semata-mata untuk menikmati kesenangan, namun tidak mengetahui dalam diri siapa. Dia tidak mengenal jiwanya sendiri..... Orang semacam itu suka menikmati kesenangan, maka dia mencintai lokus yang terdapat di dalamnya, yaitu wanita. Bagaimanapun juga ruh tersebut tetap tersembunyi darinya. Seandainya dia ingin mengetahuinya, dia akan mengetahui dalam diri siapa dia mendapatkan kesenangan dan siapa yang mendapatkan kesenangan, maka dia akan menjadi sempurna.[18]
Di dalam Fusus al-Hikam,[19] Ibn Arabi menjelaskan hubungan lelaki, wanita, dan Tuhan, bahwa lelaki diciptakan oleh Allah melalui aspek femininitas Tuhan, sedangkan wanita diciptakan oleh Allah dari bagian lelaki. Dari itu, kecintaan lelaki terhadap wanita dan sebaliknya merupakan penyatuan dari yang semula satu menjadi dua, lalu kembali menyatu dalam hakikat cinta Ilahi sebagaimana hal itu terjadi di dalam perkawinan suci manusia. Penyatuan lelaki dan wanita dalam perkawinan suci menurut Ibn Arabi bukan semata-mata demi reproduksi untuk menghasilkan anak-anak manusia, melainkan demi perkawinan itu sendiri yang mendatangkan kenikmatan-kenikmatan pengalaman bagi lelaki dan wanita yang amat mistikal, yang hakikatnya ilahiah. Pada saat penyatuan dalam perkawinan itu, lelaki dan wanita menemukan pengalaman mistik yang menyaingi nikmatnya penyatuan dengan Tuhan sehingga Tuhan menuntut mereka untuk menggantinya dengan melakukan bersuci (taharah), yakni mandi jinabat. Melalui pemahaman tersebut, pengalaman mistik yang merupakan kerinduan dan penyatuan hamba dengan Tuhannya paling sempurna terefleksikan melalui aspek femininitas Tuhan, dan hal itu paling sempurna direnungi melalui penciptaan manusia, terutama pada wanita.
Wanita Adalah Seberkas Sinar Tuhan
Perspektif demikian juga diungkap dalam perpuisian Jalaluddin Rumi, sufi penyair terbesar yang dilahirkan di Afghanistan pada 1207 dan meninggal di Konya, Turki pada 1270 M. Semasa kecil ia sudah diramal oleh sufi penyair, Fariduddin Attar, bahwa ia akan menyalakan antusiasme ketuhanan ke seluruh penjuru dunia. Hal itu pun terjadi. Rumi kemudian dikenal secara luas sebagai pendiri tarekat Maulawiyah, yang salah satu ritualnya adalah tarian berputar-putar seperti gasing. Refleksi pengalaman mistiknya itu oleh Rumi ditulis dalam karya besarnya, yakni Diwan Shamsi Tabriz, Fihi Ma Fihi, dan Mathnawi.
Di dalam puisinya Rumi menyatakan kerinduan kepada Allah melalui pencitraan-pencitraan feminin. Bahkan, makna sebagian puisinya ditentukan oleh persepsi dimensi kewanitaan dalam tasawuf karena menurut Rumi, “Wanita adalah seberkas sinar Tuhan.” Hal itu disebabkan oleh fakta bahwa Allah lebih mencitrakan diri melalui sifat feminin, yakni Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim). Di samping itu, mengenali-Nya akan dapat dipahami melalui ciptaan-Nya dan yang tampak paling sempurna adalah melalui diri wanita sebab “dia berdaya cipta,” ungkap Rumi dalam sajaknya. Selengkapnya adalah sebagai berikut. [20]
Cinta Wanita
Jika secara lahir istrimu yang kauatur, secara batin kaulah yang diatur oleh ia yang kauinginkan.
Inilah ciri manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan ia menunjukkan derajat mereka.
Nabi berkata bahwa wanita mengungguli orang bijak, sementara lelaki-lelaki sesat mengunggulinya.
Sebab dalam diri lelaki melekat kekejian binatang.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, nafsu dan angkara adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: ia bukan kekasih lelaki yang duniawi.
Ia suka mencipta: mungkin kau yang berpendapat bahwa ia bukan ciptaan.
Dalam sajak tersebut diri wanita ditampilkan bukan melalui kemolekan tubuh sehingga membuatnya selalu dikelasduakan oleh kaum lelaki di tengah perilaku budaya patriarkat, melainkan sebagai makhluk yang indah secara fisik sekaligus sebagai “seberkas sinar Tuhan”. Karena itu, sudut pandang tersebut jelas menuntut ditingkatkannya pemahaman tentang cinta, yakni dengan jalan mengembalikannya pada hakikat cinta yang ilahiah. Mencintai dengan pemahaman demikian bukan hanya disebabkan nafsu alamiah, melainkan juga pengetahuan tentang nafsu (nafs, jiwa). Oleh sebab itu, kata Rumi, “Ia (wanita) bukan kekasih lelaki yang duniawi,” atau dalam ungkapan Ibn Arabi, “Yang hanya mendatangi istrinya semata-mata untuk menikmati kesenangan, tetapi tidak mengetahui dalam diri siapa.” Jika demikian, perkawinan hanya menjadi bentuk tanpa roh. Meskipun dalam kenyataan bentuk itu memiliki roh,” lelaki seperti itu “tidak mengenal jiwanya sendiri.” Padahal, “Ia (wanita) suka mencipta,” seperti halnya sifat Allah karena wanita merupakan metafora yang paling sempurna bagi kehadiran-Nya di dunia. Oleh karena itu, pada tingkat pemaknaan spiritual yang paling tinggi, wanita dipandang “bukan sebagai ciptaan” oleh kaum sufi. Hal itu menurut Ibn Arabi[21] terjadi karena “dia menyaksikan yang Nyata dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa Dia sekaligus seorang wakil dan lokus penerima aktivitas”; “penyaksian atas yang Nyata dalam diri kaum wanita merupakan penyaksian yang terbesar dan paling sempurna.”
Pemikiran tersebut menjadi landasan filosofis pencitraan cinta erotis dalam perpuisian kaum sufi penyair, tak terkecuali karya sufi penyair legendaris di sepanjang sejarah sastra sufisme, seperti Jalaluddin Rumi, Mansur al-Hallaj, dan Rabi’ah al-Adawiyah. Melalui pencitraan cinta lawan jenis yang begitu menakjubkan, ekstase percintaan bersama Yang Mahakasih yang indah dapat diungkapkan melalui bahasa puisi.
Daftar Pustaka
Arabi, Ibn. 2004. Fusus al-Hikam, terj. Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Damono, Sapardi Djoko. 1985. Jalaluddin Rumi Sufi Penyair Terbesar. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Fromm, Erich. 2002. The Art of Loving. Jakarta : Fresh Book.
Hadi W.M., Abdul. 1985. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
_________________. 2001. Tasawuf yang Tertindas. Jakarta: Paramadina.
Hamzah, Amir. 1985. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat, Cet.X.
Murata, Sachiko. 1996. The Tao of Islam. Bandung: Mizan.
Nasr, Seyyed Hossein.1981. Knowledge and the Sacred. New York: The Crossroad Publishing Company.
_________________. (ed.). 2002. Ensiklopedi Tematis: Spiritualitas Islam (Fondasi) (Bandung: Mizan).
Sangidu. 2003. Wachdatul Wujud : Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani dengan Nurruddin ar-Raniri. Yogyakarta: Gama Media.
Schimmel, Annemarie. 2003. Dimensi Mistik dalam Islam, cet. II. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Seyyed Hossein Nasr (Ed.). 2002. Ensiklopedi Tematis : Spiritualitas Islam (Fondasi). Bandung : Mizan.
Wachid B.S., Abdul. 2002. Religiositas Alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media.
End Notes
[1] Baldick via Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 38.
[2] Abdul Wachid B.S., Religiositas Alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 172.
[3] Via Abdul Hadi W.M., op.cit., hal. 38.
[4] Ibid., hal. 67.
[5] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: The Crossroad Publishing Company, 1981), hal. 271.
[6] Abdul Hadi W.M., op.cit., hal. 69.
[7] Erich Fromm, The Art of Loving (Jakarta : Fresh Book, 2002), hal. 89.
[8] Abdul Hadi W.M., op.cit., hal. 93-94.
[9] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, cet. II. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 542-557.
[10] Seyyed Hossein Nasr (Ed.), Ensiklopedi Tematis : Spiritualitas Islam (Fondasi) (Bandung : Mizan, 2002:145.
[11] Via Seyyed Hossein Nasr, ibid., hal. 147.
[12] Via Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, terj. Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004), hal. 397.
[13] Ibid., hal. 490.
[14] Ibn Arabi, op.cit., hal. 401.
[15] Via Sachiko Murata, The Tao of Islam (Bandung: Mizan, 1996), hal. 256-257.
[16] Ibid., hal. 257.
[17] Ibid., hal. 259.
[18] Ibid., hal. 259-260.
[19] Ibn Arabi, op.cit., hal. 400.
[20] Terj. Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hal. 13.
[21] Ibn Arabi, op.cit., hal. 401.
Abdul Wachid B.S
...