Tradisi Sastra Lisan untuk Keseimbangan Alam

Pada bulan Juli 2021 lalu, Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Balai Bahasa Sumut, Badan Bahasa) mengadakan seminar nasional sekaligus peluncuran buku berjudul Botani Sastra karangan Prof. Suwardi Endraswara. Terkait dengan itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Maryanto, sebelumnya membuat sebuah artikel bertajuk “Proyeksi Status Bahasa Indonesia di Dunia Internasional melalui Revitalisasi Legenda Dunia Kemenyan dan Kapur Barus” di laman Badan Bahasa. Menurut Maryanto, upaya revitalisasi kemenyan dan kapur barus itu diharapkan dapat menghasilkan dua hal penting untuk pemajuan bahasa Indonesia, tidak hanya sebagai bahasa kebangsaan, tetapi juga bahasa kebanggaan.

Pertama, refleksi kebangsaan atas simbol jati diri keindonesiaan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, proyeksi kebahasaan atas status bahasa Indonesia yang sedang diikhtiarkan di dunia internasional melalui program pemajuan bahasa dan sastra. Sebagaimana diketahui, kapur barus memang berasal dari getah pohon kamper. Konon, pohon tersebut kemudian menjadi satu-satunya bahasa Nusantara yang dituliskan dalam Al-Qur’an. Jika bahasa Indonesia diikhtiarkan menjadi bahasa internasional, sejatinya bahasa Nusantara sudah menjadi bahasa suci, bukan?

Kekayaan alam lainnya yang juga diangkat dalam seminar itu adalah kemenyan. Ketika Yesus lahir di Betlehem, orang Majus dari timur membawa serta kemenyan sebagai persembahan. Kemenyan juga merupakan getah pohon endemik dari Sumatra Utara. Menarik sekali, meski masih ada keraguan yang minim, setidaknya dua agama besar (Islam dan Kristen) bersinggungan dengan hasil alam Nusantara, tepatnya di daerah Tapanuli (Barus yang menjadi titik nol Islam Nusantara juga merupakan bagian dari daerah Tapanuli).

Penambah Pilu

            Baik kapur barus maupun kemenyan adalah komoditas yang sangat istimewa. Pada masanya, kapur barus, misalnya, adalah hasil alam yang mewah dan mahal. Bahkan, dengan mengutip Risa Herdahita Putri dalam Air Kapur Barus Minuman Ahli Surga, kapur barus dijadikan perumpamaan campuran minuman para penghuni surga. Sama dengan kapur barus, kemenyan juga merupakan hasil hutan yang mahal. Secara alkitabiah, kemenyan justru disetarakan dengan emas sebagai persembahan untuk Sang Mesias.

Nilai tambah kemenyan, di samping mahal, adalah biaya perawatannya yang sangat minim karena hampir tak membutuhkan pestisida apa pun. Tak pelak lagi, keunggulan dua komoditas tersebut sudah tak perlu diragukan. Dalam sejarah perdagangan kuno, sebagaimana dirangkum dari artikel dalam jurnal sejarah karangan Ichwan Azhari yang berjudul “Politik Historiografi Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus-Sumatera Utara", jelas-jelas tercatat bahwa dua komoditas endemik itu setara dengan emas sehingga memiliki daya pikat yang sangat tinggi bagi dunia internasional.

Menurut catatan dari sumber yang sama, bahkan disebutkan bahwa keberadaan kapur barus dan kemenyan cukup berpengaruh terhadap eksistensi dan perkembangan bandar-bandar pelabuhan yang ada di Pulau Sumatra. Sayangnya, belakangan ini kekayaan alam endemik itu makin tak menjanjikan. Perusakan hutan merupakan salah satu sebabnya. “Karena nilai ekonominya yang besar sebagai sumber serbuk kristal dan karena proses penebangan yang berlebihan, daerah yang menghasilkan kapur barus telah berkurang,” demikian Wolters dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII menuliskan.

Faktanya, pada saat seminar dari Balai Bahasa Provindi Sumatera Utara itu berlangsung, sedang terjadi pembalakan liar di hutan-hutan Sumatra Utara. Kawasan hutan alam di Lae Pondom-Dairi, misalnya, ditebang sebanyak ratusan hektare oleh orang tak bertanggung jawab. Dari amatan penulis, hutan-hutan di Parlilitan, wilayah Humbang Hasundutan, pun tak luput dari pembalakan liar. Kisah itu menjadi penambah pilu di samping rakusnya perusahaan bubuk kertas di kawasan Danau Toba, seperti PT TPL.

Secara umum, perusahaan dimaksud (PT TPL) sudah ditolak oleh masyarakat. Pencinta alam pun sudah bergerilya agar praktik bisnis PT TPL segera dihentikan. Bahkan, pegiat literasi kondang asal Sumatra Utara, Togu Simorangkir, sedang melakukan aksi jalan kaki dari Tanah Batak ke Istana Negara dengan tujuan agar PT TPL segera ditutup. Artinya, dengan melihat itu semua, harus ada keseriusan penuh dari pemerintah daerah, terutama pusat, untuk meninjau ulang perusahaan yang terindikasi merusak alam dan menggangu kenyamanan masyarakat.

Disebut “keseriusan penuh” supaya segala kekhawatiran kita tak berakhir hanya sebagai retorika dan wacana. Pasalnya, Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, pada 2016 lalu dalam Workshop Strategi Penguatan Kapasitas Masyarakat di Kawasan Danau Toba sudah mengetahui fakta buruk tersebut, sembari mengutip data dari Kemenpupera bahwa nilai tambah yang diberikan PT TPL hanya 2 kali, tetapi kerusakan yang ditimbulkan adalah 16 kali. Hal itu masih menyangkut infrastruktur, belum kerusakan alam dengan berbagai dampak turunan: kotor dan keringnya sumber air, banjir mendadak, tandusnya tanah, dan terancamnya masyarakat sipil.

Sebagai informasi, tidak sekali atau dua kali PT TPL berhadapan dengan masyarakat adat setempat. Namun, pihak korporasi seperti tetap terlindungi oleh aparat. Bahkan, kegelisahan seorang Menko, Luhut Panjaitan, pada 2016 lalu di tempat terhormat, yaitu institusi pendidikan (IT DEL), tak jua menghasilkan dampak yang lebih baik hingga saat ini. Sebagai bukti, PT TPL tak kunjung dievaluasi secara menyeluruh. Karena itu, tak salah jika disebutkan bahwa segala kekhawatiran pemerintah masih berhenti sebatas retorika dan wacana, belum sampai pada langkah-langkah teknis.

Padahal, menjaga alam, khususnya di Kawasan Danau Toba (KDT), adalah sebuah kewajiban. Apalagi, kondisi hutan alam di KDT sudah mengalami penurunan kualitas yang signifikan dari tahun ke tahun. Sepuluh tahun silam, misalnya, Badan Lingkungan Hidup Sumut telah memperkirakan bahwa sisa vegetasi hutan tinggal 12 persen dari total sekitar 356.800 hektare areal hutan di Kawasan Danau Toba tersebut (Kompas.com). Untuk menyiasati itu, diperlukan edukasi bagi masyarakat dan konservasi alam yang menyeluruh dengan totalitas yang tinggi.

Namun, jikalau boleh jujur, pelajaran bagaimana merawat hutan tak perlu lagi diajarkan kepada masyarakat setempat. Justru, masyarakat adat setempat sudah mahir untuk menjaga alam. Bagi petani kemenyan, misalnya, menjaga hutan sudah menjadi kebutuhan alih-alih kewajiban. Hal itu terjadi karena berdasarkan pengalaman petani kemenyan, kemenyan tak akan menghasilkan getah yang banyak jika pohon di sekitar ditebang. Kemenyan itu secara alami membutuhkan pohon lain untuk tumbuh. Karena itu, di mana-mana, hutan kemenyan tak pernah homogen, seperti pohon karet, eukaliptus, dan sawit.

 Teman Sepadan

Dalam tradisi sastra lisan, bahkan petani kemenyan harus melakukan nyanyian-nyanyian sendu (odong-odong) agar getah kemenyan banyak keluar. Sayangnya, nyanyian-nyanyian sendu itu kini sudah digantikan raungan mesin pemotong kayu. Ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa tumbuhan akan berkembang baik dengan musik klasik, tetapi akan mati oleh musik rok keras. Dalam benak saya, nyanyian sendu (odong-odong) itu adalah musik klasik, sedangkan raungan mesin pemotong kayu adalah musik rok yang membunuh banyak pohon, baik yang dipotong secara langsung maupun yang terimbas polusi suaranya.

Nah, dengan mengingat jasa masyarakat adat setempat, alih-alih menjadi siswa, justru mereka menjadi mahaguru untuk menjaga keseimbangan alam. Tanpa mereka, khususnya di KDT, alam sudah pasti jauh lebih rusak daripada kondisi saat ini. Tak bisa dimungkiri bahwa masyarakat adat selalu memperbaiki hutan yang bahkan tak pernah mereka rusak. Mereka menjadi saka guru dan mahaguru. Sayangnya, kaum birokrat dan korporat tak mau belajar. Mereka terkesan hanya pembuat wacana, sembari tetap merusak alam.

Sudah seharusnya pihak korporat dan birokrat belajar mendengar dari saka guru dan mahaguru penjaga alam tersebut. Beruntung apabila setelah belajar, pelajaran itu bisa diturunkan dalam bentuk kurikulum pendidikan daerah setempat dengan satu motivasi kuat, yaitu menjaga alam dengan kearifan lokal yang sudah diwarisi secara turun-temurun. Pasalnya, kearifan lokal tersebut terbukti sudah cukup ampuh untuk melawan pembalakan hutan massal. Intinya, masyarakat tradisional pada umumnya berkemauan tinggi, tetapi mereka belum mendapat teman yang sepadan dari pihak birokrat untuk menjaga alam. Bukti kecilnya adalah tradisi sastra lisan masih saja awet meski tanpa dukungan penuh dari pemerintah. Andai filosofi tradisi sastra itu diresapi, kita akan mengerti betapa kecerdasan tradisional kita melalui sastra bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam.

Penulis adalah Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF).

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa