Mendongkrak Nasionalisme Bahasa Kita
Kado terindah dari sebuah penjajahan adalah bangkitnya rasa nasionalisme. Karena itu, setelah dijajah beratus-ratus tahun, para pemuda kita mengikrarkan sumpah pemuda. Sumpah itu berisi tanah yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa yang satu. Tanah Indonesia harus menjadi milik Indonesia. Karena itu, tak sejengkal pun bisa diambil. Bung Karno harus berjuang mati-matian merebut Irian Barat. Soeharto harus mengamankan Irian Jaya melalui Pepera. Habibie harus diturunkan dari jabatannya karena tak kuasa menahan Timor Leste. Indonesia bahkan meradang ketika Mahkamah Internasional menguatkan kepemilikan Malaysia atas Ligitan dan Sipadan.
Bangsa Indonesia juga harga mati. Kita bisa melihatnya dari kata “pribumi” yang pernah menjadi sejarah. Kata ini bahkan pernah menjadi kunci ajaib agar bisa menjadi pemimpin. Penabalan kata ini, meski kemudian disadari keliru, adalah salah satu bukti bahwa rasa kebangsaan Indonesia sangat kuat dan kental. Kini, meski dengan caranya yang amat politis, hal serupa juga sedang coba ditumbuhkan. Sikap antiasing dan antiaseng dicuat-cuatkan. Pesannya hanya satu: bangsa Indonesia adalah harga mati. Disadari atau tidak, rasa nasionalisme kita atas janji pertama dan kedua patut diacungi jempol.
Lalu, bagaimana rasa nasionalisme kita terhadap janji ketiga: bahasa? Rasanya, kita tidak pernah menunjukkan sikap heroik untuk membela bahasa. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah kesakralan sumpah pemuda dilihat dari urutannya saja sehingga urutan terakhir hanya embel-embel yang tak perlu dibela mati-matian? Manakala sebidang tanah dicaplok, kita langsung larut dalam demonstrasi. Hanya karena isu pekerja asing datang, kita langsung meradang ke jalanan. Sementara itu, ketika bahasa Indonesia takluk oleh bahasa asing, bahkan ketika bahasa asing menjadi keseharian, kita hanya diam-diam saja.
Malah, generasi kita, dari yang muda hingga tua, semuanya terlihat lebih bangga dan percaya diri dengan bahasa asing. Tiada hari tanpa bahasa asing. Bacalah setiap artikel! Dengarlah setiap berita! Renungkan kembali setiap percakapan! Simaklah bagaimana para politisi kita berbicara! Teliti cara setiap selebritas kita berujar! Dari tulisan hingga lisan, bahasa asing selalu ada. Bahasa asing selalu menjadi penguat pesan. Bahasa asing bahkan berubah menjadi simbol kasta sehingga kita lebih bangga menyebut nature daripada alam. Kita lebih percaya diri melafalkan download daripada unduh.
Masuk ke ranah ekonomi, bahasa kita juga diobral, bahkan disingkirkan. Coffee mendadak dipajang di hotel dengan harga yang lebih mahal daripada kopi yang hanya mampir di lepau-lepau. Fried rice disajikan mewah di restoran-restoran ternama dengan bayaran lebih tinggi daripada nasi goreng yang hanya puas di kedai-kedai pinggir jalan. Bahasa asing seakan mengubah nasi goreng jauh lebih bermartabat hanya dengan menukar namanya menjadi fried rice. Tidak hanya makanan, nama-nama tempat terhormat di bumi Indonesia ini juga selalu dengan label bahasa asing, seolah jika dengan bahasa Indonesia, tempat-tempat itu akan remuk.
Sebenarnya, secara yuridis, kedudukan bahasa Indonesia sangat dimuliakan, termasuk dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Pasal 44 (2) pada UU ini bahkan semakin memuliakan bahasa Indonesia. Kita diamanatkan untuk membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Namun, kini, justru hal sebaliknya yang terjadi: bahasa internasional malah mengakuisisi bahasa Indonesia. Besar kemungkinan, bahasa asing juga akan menggantikan posisi bahasa Indonesia.
Tolehlah apa yang pernah disitir The New York Times (25 Juli 2010) dengan judulnya yang provokatif: “As English Spreads, Indonesia Fear for Their Languages”. Di sana dikisahkan, beberapa anak yang bermain di Jakarta sudah mahir menggunakan bahasa Inggris, tetapi tak tahu berbahasa Indonesia sama sekali. “Mereka tahu bahwa mereka adalah anak Indonesia. Mereka cinta Indonesia. Hanya saja mereka tak dapat berbahasa Indonesia” demikian kata sang ibu pada The New York Times.
Pertanyaan ini pun langsung mencuat: mengapa kita tak jua jorjoran memperjuangkan bahasa Indonesia? Untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, kita bisa kembali pada kalimat pembuka tulisan ini: kado terindah dari sebuah penjajahan adalah bangkitnya rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme membuat kita ingin merdeka. Rasa nasionalisme itu tak akan berhenti sehingga kita akan selalu berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan itu pula. Ketika VOC datang, mereka menjarah hasil bumi. Mereka membuat kita bertengkar satu sama lain hingga pada suatu ketika, kita merasa terjajah. Pergerakan perjuangan pun dilangsungkan, dari sporadis hingga massal.
Tak Merasa Terjajah
Sayangnya, VOC tidak menjajah kita dari segi bahasa. Petugas dari VOC malah banyak yang berbahasa Melajoe. Bahkan, dalam Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal, redaksi M.J. Koenem dan J.B. Drewes (cetakan ke-27, Wolters-Noordhoff, 1983), disebutkan bahwa sedikitnya 110 kata Indonesia justru diangkat menjadi bahasa Belanda, seperti bamboo, melatie, padie. Setelah VOC bangkrut, Belanda juga tak menjajah bahasa Indonesia. Karena itu, menurut Bennedict Anderson, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang diperintah bukan dalam bahasa Eropa. Kita tidak seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Timor Leste. Contoh yang sangat baik adalah Timor Leste. Mereka pernah menjadi bagian dari Indonesia. Namun, setelah keluar, mereka malah kembali berbahasa penjajahnya, bahasa Portugis.
Ringkasnya, tak ada perjuangan hebat kita untuk bahasa. Untuk menentukan bahasa pemersatu, kita bahkan tak mengalami perdebatan alot, kecuali perdebatan sederhana antara Muhammad Yamin dan Sanusi Pane. Kita tak mengalami baku hantam seperti yang terjadi di Bangladesh ketika berjuang mempertahankan bahasa Bengali.
Karena tak mengalami penjajahan secara bahasa, para pejuang dan pelopor kemerdekaan kita dengan bangga justru mengadakan kursus bahasa asing untuk pribumi. Kita bisa membaca iklan kursus bahasa Inggris di koran Daulat Ra’jat edisi perdana (201 September 1931) yang dipimpin Moh. Hatta dan S. Sajharir, serta Soeparman dari Belanda: “Sekolah Oesaha Kita” H.I.S. Partikoelir dengan keradjinan tangan [yang beralamat di] Kepoeh Bendoengan 148, Dajakarta. Sekolah ini membuka “Cursus orang toea”, salah satunya, untuk bahasa Inggris. Uniknya, di iklan itu, “pengoeroes” memberikan “Salam Kebangsaan”.
Kini, kita telah merdeka secara tanah dan bangsa. Memang, masih ada persoalan, tetapi tak serumit ketika masih zaman penjajahan. Sayangnya, di tengah kemerdekaan itu, di tengah tiadanya lagi kolonialisme, kita justru terjajah secara bahasa. Namun, tak satu pun dari kita yang merasa terjajah. Kita justru bangga sehingga seperti yang dikatakan Alif Danya Munsyi (2003) dalam judul bukunya, Sembilan dari Sepuluh Kata Bahasa Indonesia adalah Asing. Malah tanpa iklan, bahasa asing justru dipelajari dengan marak semarak-maraknya. Di sana, tak ada salam kebangsaan, seperti dituliskan “pengoeroes”.
Saya tak tahu apakah kita akan memerdekakan bahasa Indonesia ini kelak atau tidak. Yang pasti, bagaimana mungkin kita bisa merdeka jika tak kunjung merasa tak terjajah? Baiklah, semoga kita bisa dengan apik memaknai bulan bahasa kali ini sembari merenungi tema-tema bulan bahasa tahun-tahun lalu. Pada intinya, menurut saya, cara mendongkrak nasionalisme bahasa adalah dengan menunjukkan kepada generasi muda bahwa saat ini kita sedang terjajah. Sayang, kita dijajah bukan secara fisik dan tanah sehingga kita tak merasa perlu untuk berjuang.
Penulis adalah Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF).
Riduan Situmorang
...