Cintalah yang Menjadi Mata Kita
Kekasih,
aku tak pernah menyangka, tak pernah merencanakan bahwa aku mencintaimu. Aku
tak perlu bertanya, apakah engkau memiliki cinta yang sekadar dengan cintaku.
Aku juga tak mau bertanya, dari keluarga yang bagaimana dirimu, kayakah,
miskinkah? Seperti seloroh orangtua, “Seperti cinta monyet saja!”, maka sesuatu
yang akhirnya kukenali sebagai cinta, muncul secara tiba-tiba di dalam diriku,
menyergapku, memelukku, merasukiku. Semua ini tanpa pernah kuasa
aku tolak. Aku pasrah, tetapi bukan tidak berdaya. Aku menerima, tetapi bukan
tanpa senang dan bahagia.
Cinta itu, entah darimana,
memasuki
bagian dari diriku, tanpa permisi, tahu-tahu sudah berada di dalam rumah
diriku. Cinta itu kemudian menjadi jiwa. Dengan cinta yang menjadi jiwa, aku
hidup dan dihidupi oleh cinta. Memang, dengan cinta, Tuhan menciptakan alam
semesta dan manusia, memeliharanya, dan kepada-Nya semua dan segala ini akan
kembali pulang. Melalui cinta bapak dan ibu, maka lahirlah diriku, dirimu, diri
manusia, yang dihidupi oleh restu cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya. Dengan cinta
pula, seluruh tumbuhan, bunga-bunga, batu-batu, matahari dan planet-planetnya,
alam raya, menzikirkan cinta kepada Tuhan sehingga tidak saling bertumbukan
satu dengan lainnya, dan karenanya kiamat menjadi tak terduga, kecuali Allah
Yang Mahatahu atas segala awal dan akhir itu.
Kekasih, tidak
ada cinta yang datangnya bukan dari Tuhan. Semua cinta pada mulanya dan
akhirnya berujung ke haribaan Tuhan. Hal itu sebab cinta bersemayam di dalam
jiwa, dan hanya yang menguasai jiwa sajalah yang mampu menumbuhkan,
menggerakkan, dan meminta kembali cinta itu. Sebab itu, aku dan dirimu tak
kuasa menolak cinta dari-Nya.
Cinta antara
lelaki dan perempuan, pada pemahamanku, adalah bagian dari rencana Tuhan agar
diri-Nya dikenali oleh ciptaan-Nya, oleh manusia. Sebab dengan begitu,
kehidupan manusia dimulai. Dengan cinta lelaki dan perempuan itu, dari jam ke
jam kehidupan manusia akan diisi dengan nilai-nilai cinta yang datangnya dari
Tuhan; ataukah diisi yang datangnya dari jiwa yang tidak tenang yang bernama
setan? Dengan cinta lelaki dan perempuan itu, manusia akan mengenali siapa diri
ini, darimana kita datang, apa yang akan kita perbuat dalam kurun hidup yang singkat, yang tidak lebih dari
seratus tahun ini, dan kemanakah kita akan pergi, kemanakah kita akan hidup
setelah hidup di dunia yang dibatasi oleh ruang dan waktu ini?
Dengan cinta,
kita bangun tidur. Dengan cinta, kita memikirkan apa yang harus dilakukan di
dalam sehari semalam ini. Dengan cinta, kita tidur untuk bangun, ataukah
berlanjut ke kematian. Karenanya, kekasih, aku
bersyukur oleh sebab cinta yang hidup di dalam diriku, di dalam aliran darahku,
di dalam udara yang masuk atau keluar dari nafas hidungku.
Aku
mencintaimu, sebentuk makhluk perempuan yang berbeda dari diriku. Dari hidup
dengan dirimu, lalu aku mengenal hidup, berpikir, berasa, berintuisi. Dari
hidup dengan dirimu, lalu aku mengenal kenikmatan, keindahan, kelemahlembutan,
dan semacamnya. Dari mengenal dirimu juga, aku mengenal kekalutan, kecemburuan,
kecemasan, tantangan, dan semacamnya. Dari mengenal dirimu pula, ternyata ada
kejahatan, kesakitan, kesedihan, kemuakan, kesombongan, dan semacamnya.
Dari adamu,
kekasih, aku mengenal bahwa aku lelaki, dan kau perempuan. Dari mengenal diriku
ini, bersamaan itu aku mengenal dirimu, aku mengenal Tuhan, lalu hidup di dalam
keyakinan-keyakinan. Bagaimana aku akan hidup tanpa keyakinan-keyakinan?
Bukankah aku akan terperosok di dalam keputusasaan yang sangat apabila tanpa
keyakinan-keyakinan itu? Karenanya, kekasih, sekalipun silih-berganti antara
kepahitan dan kemanisan, kesedihan dan kebahagiaan, kemarin dan hari ini dan
menjelang esok, maka kau-aku tetap hidup dengan keyakinan yang kokoh sekaligus
indah. Itu semua disebabkan oleh cintamu yang dikucuri oleh cahaya cinta yang
paling hakiki, yakni cinta
Tuhan.
Tidak ada cinta
apabila tidak dari Tuhan sebab semua cinta pastilah dari-Nya, sebagaimana hidup ini
dari-Nya. Cinta tiada lain adalah hidup itu sendiri; dan hidup, yang menghidupi
tiada lain dan tiada bukan adalah Tuhan.
Tetapi,
kekasih, aku teringat pada bagian sajak “Padamu jua” Amir Hamzah, “Satu,
kekasihku/ Aku manusia/ Rindu rasa/ Rindu rupa”; manusia diberi segala sesuatu
yang lengkap oleh Tuhan, melebihi makhluk-makhluk yang lain, diberi perasaan,
pikiran, dan intuisi, diberi hak-hak pribadi, yang oleh sebab itu manusia
diberi kemerdekaan. Manusia kemudian memiliki kemerdekaan untuk menentukan
dirinya sendiri,
sekalipun kalau saja Tuhan meminta kembali hak-haknya, maka manusia tetaplah
tidak berdaya. Justru karena Tuhan memberi kemerdekaan kepada manusia itulah, Tuhan
Mahaadil, Mahakasih, Mahapenyayang, dengan 99 nama yang mencerminkan
sifat-Nya. Sayangnya, justru dengan potensi kemerdekaannya itu,
kita seringkali lupa bahwa cinta sebermula adalah dari jiwa yang tenang (nafs
al-muthmainnah). Manusia lupa memaknai dan menempatkan cinta secara tepat
sehingga jiwa yang gelisah (nafs al-lawwamah), jiwa yang marah (nafs
al-amarah) dan jiwa yang biologis (nafs al-sufiyah), yang lebih
mengisi cintanya, dan karenanya, cinta di situ telah kehilangan hakikatnya
sebagai cinta yang ilahiyah sebagaimana fitrahnya. Di situ cinta menjadi
bergeser dari peran-peran fitrahnya, yang mestinya menenangkan kalbu menjadi
menggelisahkan, yang seharusnya membahagiakan menjadi amarah, yang pada hakikatnya suci memainkan
peran-peran kemanusiaan sebagai makhluk bercinta dengan derajat cinta yang
mulia menjadi sekadar gerakan tubuh di dalam seks yang memuaskan dalam
kesementaraan belaka.
Oleh sebab itu,
cinta tidaklah sama dengan seks
sekalipun seks
itu sendiri bawaan kebutuhan dasar manusia untuk mengekspresikan diri di dalam
kenikmatan, di samping sebagai sarana melanjutkan keturunan. Tentu saja dengan begitu seks hanyalah bagian saja dari
cinta. Tidak ada seks
yang indah dan memabukkan sekaligus bermakna tanpa adanya perasaan, pikiran,
dan intuisi, yang bermuara kepada cinta. Kekasih, aku menjadi teringat kepada
perkataan Erich Fromm di dalam The Art of Loving. Sekalipun
filosof ini hidup di Barat, disebabkan ia berangkat dan kembali kepada hati nuraninya, maka ia pun
sampai kepada kesimpulan bahwa “kualitas seks akan ditentukan oleh
kualitas cintanya.” Karenanya, ia menyatakan bahwa “cinta membutuhkan
pengetahuan, dan perjuangan”.
Tentu saja,
cinta membutuhkan pengetahuan sebab bagaimana mungkin aku mencintaimu jika aku
tidak mengetahuimu? Dan, tentu saja cinta juga memerlukan perjuangan sebab
untuk mengetahuimu, aku juga membutuhkan perjuangan-perjuangan, setidaknya
siapakah namamu, di mana rumahmu, apa saja yang akan membuatmu sedih dan
bahagia. Jadi, aku wajib mengetahuimu, mengenalmu, dengan begitu, cinta kau-aku
akan terus “menjadi”, setiap waktu, sesuai dengan perkembangan pengetahuanku
tentang dirimu, tentang Tuhan yang menumbuhkan cinta kau-aku, terlebih mengenal
tentang diriku sendiri.
Namun, kekasih,
disebabkan oleh cinta pula, maka pengetahuan tentang segala sesuatu itu bisa
bertambah, sebagaimana kata wanita sufi penyair terbesar, Rabi’ah al-Adawiyah.
Kita tidak
sedang memperdebatkan, lebih dulu mana antara cinta dan pengetahuan. Bagi Erich
Fromm,
yang sesungguhnya jauh hari sebelumnya sudah diungkap oleh Imam al-Ghazali di
dalam Ihya’ ‘ulumuddin, memang cinta selalu didahului oleh
pengetahuan sebab bagi mereka, “tak kenal, maka tak sayang”. Tetapi,
bagi Rabi’ah al-Adawiyah,
kemudian Jalaluddi Rumi, cinta itu sendiri bisa menggiring manusia untuk
cerdas, untuk mengetahui, dan semua itu berlangsung tanpa beban sebab
sebagaimana kau, kekasih, telah mencurahkan cintamu kepadaku dan karenanya
membukakan kesadaran kemanusiaanku untuk ini atau untuk itu demi menyenangkan
hatimu, dan tanpa terasa aku telah didekap oleh pengetahuan-pengetahuan yang
melingkungi kehidupan kita. “Aku cinta, maka aku ada”. “Aku cinta, maka aku
berpengetahuan.”
Memang,
adakalanya aku membutuhkan pengetahuan untuk mencintaimu, demikian sebaliknya.
Karenanya, kekasih, untuk pengetahuan itu, bacalah buku hatimu, bacalah buku
lingkunganmu, bacalah buku alam semestamu, dengan demikian kau akan menemukan
dan dapat memaknai cinta. Sebagaimana aku berbahagia menulis tulisan ini
untukmu, pencarian pengetahuan dan pengalaman cinta yang sudah diselami, maka
bacalah agar kau-aku mengetahui bahwa “cinta itu berkah, bukan musibah”
(terimakasih Sholeh UG atas ungkapan hikmah ini).
Sungguh, aku
mencemaskan pemikiran-pemikiran tentang cinta yang selama ini dihembuskan oleh
beberapa kawan, dengan memanfaatkan kesadaran arus-balik di tengah kejenuhan terhadap modernisme. Ada
baiknya muncul kesadaran
arus-balik kaum terpelajar terhadap perlaku budaya hari ini yang amat diwarnai
oleh pencitraan kemakmuran tubuh, tetapi tidak sekaligus rohani. Tentu saja, hal ini
bisa saja kita tuding
sebagai akibat kebijakan Orde Baru Soeharto, bahwa kemakmuran adalah
pembangunan, dan pembangunan adalah fisik, sekalipun di dalam
penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) selalu
dikatakan “pembangunan
seutuhnya”, yang maksudnya
adalah jasmani
dan rohani.
Tetapi, praktiknya
pembangunan ini melulu jasmani.
Salah
satu saja bukti dari itu adalah masjid-masjid boleh dimegahkan dan dibanyakkan,
namun pengisian dari makna masjid itu sendiri dilarang keras untuk
dipengajiankan kepada umat.
Kesadaran arus-balik
itu bergerak dari lingkungan kaum terpelajar, yang boleh jadi amatlah beragam
latar belakang
pendidikan keagamaan dari keluarganya, bahkan banyak yang semula kurang atau
tidak ada pendidikan ilmu agama di dalam keluarganya. Perkembangan ini sebenarnya
patut disyukuri. Dengan pengetahuan yang menggiring manusia untuk menemukan
kembali “dimensi yang hilang” di dalam kehidupan keberagamaan, di antaranya ialah dimensi
rasa keberagamaan (religiositas). Namun, disebabkan pengetahuan yang terlampau
sedikit dan tanpa perbandingan itu, bisa mengakibatkan pemahaman akan
pengetahuan yang
sempit, bahkan
memunculkan radikalisme dalam
konteks pemaknaan terhadap cinta sehingga cenderung apriori, bahkan menilainya
sebagai berkubang di dalam dosa. Hal ini disebabkan penempatan dan pemaknaan cinta
secara sebagian saja, yang selalu berorientasi kepada seks. Karenanya, tidak terlalu
mengherankan kemudian muncul istilah parodi, “pemerkosaan atas nama
cinta”.
Di sinilah,
kekasih, aku sepakat kepada Imam al-Ghazali, “cinta didahului oleh
pengetahuan, dan amat memerlukan pengetahuan.” Sekali lagi, bacalah risalah
cinta ini agar kau-aku menjadikan pengetahuan demi pengetahuan untuk menemukan
cinta. Tidak sekadar sedikit dari pengetahuan, melainkan sebanyak mungkin
pengetahuan untuk menerima dan atau memaknai cinta dengan jiwa yang tenang (nafs
al-muthmainnah), yang tiada lain yakni dengan cinta (mahabbah) itu
sendiri. Kemudian, dengan menemukan inayah dari cinta, kau-aku akan
mendapatkan anugerah (hidayah), yakni suatu keadaan (ahwal)
di mana pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) itu menjadikan kita sebagai
pencinta sejati, dan pengetahuan itu akan terus bertambah dengan izin Allah, sebagaimana yang diyakini
oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Hidup di dalam pengetahuan dan
cinta menjadikan diri kau-aku hadir, atau bahkan melebur di dalam sifat-sifat
Allah. Insya Allah, amiin.
Kekasih, kalau
sudah begitu, cintalah yang menjadi mata kita untuk merenungi, lalu melakoni
hidup di dunia ini. *****
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair dan dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.