Kontemplasi Zaman Nalar dan Sastra Digital

     Sebuah perubahan, entah itu karena sebuah revolusi atau karena manusia menginginkan pemikiran-pemikiran baru, terjadi agar setiap zaman ini mempunyai catatan atau sejarah. Namun, faktanya perubahan itu juga terjadi karena makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika pada beberapa abad ini gagasan-gagasan banyak terlahir dari kaum berpendidikan atau yang sering disebut sebagai “kaum akademisi”, pada umumnya gagasan yang disampaikan adalah teori-teori baku yang membenarkan pendapat ahli. Hal itu kemudian disebut sebagai sains.

     Prolog tersebut menjadi gagasan diskusi penulis bersama beberapa anak didik yang mulai kembali mengikuti pembelajaran tatap muka. Ada rasa kekhawatiran bahwa pemahaman anak tentang hal itu mungkin terlalu abstrak. Namun, rasa kegamangan itu justru memacu objektivitas penulis hingga bisa membuat sebuah simpulan bahwa dimensi ilmu dan pengetahuan tidak melihat ruang kematangan pemikiran hanya terbatas pada usia.

     Tantangan penguasaan teknologi menjadi tuntutan masa kini sehingga imbas pendidikan yang dilalui secara otomatis menumbuhkan kemampuan berpikir pada anak yang lebih maksimal. Apakah teori ilmiah yang kadang mengagungkan pemikiran pencetusnya bisa dianggap sebagai relativitas ide yang tidak terbantahkan? Lalu, apakah teori imajinasi yang banyak digunakan oleh kaum moderat bukan sebuah bentuk ilmiah, yang kadang menggarisbawahi catatan perjalanan masa atau zaman?

     Justru banyak pendidik yang menggunakan ide-ide cemerlang atau pemikiran yang menentang teori baku hingga dalam beberapa abad setiap resistensi abad memunculkan “kaum autodidak”  yang juga diakui keilmuannya. Tanpa mendalilkan sebuah teori, dalam pandangan (framing) penulis, logika nalar sangat penting untuk menandai batasan zaman. Makin keras tantangan perubahan, makin kuat perkembangan dimensi iptek. Hal itu juga memacu bidang sastra yang makin semarak dengan sastra digital.

     Zaman batu, atau yang dikenal sebagai zaman prasejarah, sampai dengan zaman modern adalah sebuah “penandaan masa” tanpa jeda yang disepakati oleh para ilmuwan sehingga dinamakan sebuah batas zaman. Bisa jadi pandemi Covid-19 adalah bagian penandaan batas zaman meski belum ada teori ilmiah yang membenarkannya.

     Apa yang telah dialami bisa dijadikan sebagai generalisasi penghubung di antara sumber-sumber penglihatan sebagai satu simpulan. Bahwa ada ruang dimensi pada sebuah masa yang di dalamnya pemikiran juga mengalami perubahan, mengikuti garis pengembangan dan kemajuan iptek. Jika pada abad ke-17 penyelidikan filosofis dianggap memiliki banyak penyesatan, manusia melihat zaman untuk kembali pada pencerahan dalam bentuk dialog.

     Konteks penggunaan ilmu pada masa lampau masih banyak berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya mistis sehingga ada pembatasan ruang yang mengekang kebebasan pemikiran akibat pengaruh kekuasaan. Pengaruh ajaran agama yang begitu kuat mendorong para pemikir untuk mencari ruang agar pemikiran tidak ditempatkan pada dogma (doktrin) kekuasaan. Pertentangan pemikiran melahirkan pemikiran-pemikiran bebas yang lebih dinamis sehingga ketika memasuki abad ke-20 lahir apa yang dinamakan zaman pemikir bebas, yang hidup dalam ruang kontemplatif.

     Ruang kontemplatif memacu sumber-sumber imajinasi yang di dalamnya pikiran manusia itu memang hidup. Hidup dalam artian dinamis karena pada abad yang dikatakan sebagai zaman modern, penyajian pemikiran menjadi sejarah kritis modernitas. Kontemplasi menumbuhkan daya cipta pemikiran yang lebih luas dan bermanfaat.

     Namun, kita juga harus mewaspadai perubahan era yang berjalan secara ekstrem karena perubahan sosial juga secara beriringan akan mengikuti perubahan tersebut. Perubahan itu juga akan memengaruhi tekstur ilmu teknologi yang penggunaannya sangat instan dan cepat karena berbasis jaringan internet. Diskusi itu menjadi pemikiran baru yang seharusnya menjadi sebuah apresiasi terhadap pola pemikiran generasi masa kini.

 

Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence)

     Tak bisa dielakkan bahwa kini kita sudah masuk pada abad super modern, yang dikatakan sebagai abad teknologi digital. Artinya, tantangan global begitu serius dan cepat. Ini akan mengakibatkan pergeseran dan perubahan sosial secara besar-besaran. Karena itu, untuk menjawab tantangan tersebut, yang juga sering diidentikkan dengan revolusi masa modern, penguasaan alih teknologi menjadi sangat penting.

     Dalam perkembangan dan kemajuan teknologi, kecerdasan artifisial (artificial intelligence) memegang peran sangat penting. Pola pembelajaran peserta didik saat ini sangat bergantung pada kecepatan dan keakuratan data melalui media daring (online). Untuk itu, kita harus bijak dalam menerapkan metode pembelajaran melalui penguasaan teknologi. Apabila dilihat hubungannya secara simetris, akan ada dampak terhadap kesiapan mental peserta didik.

     Persoalannya adalah bagaimana kita, terutama pegiat sastra, memformulasikan metode pembelajaran dan penguasaan digital karena lembaga pendidikan dan sekolah yang dianggap sebagai tempat penyerapan sumber ilmu tidak mampu menjawab ide dan gagasan para penulis sastra. Agar ruang kontemplasi yang lebih dinamis dapat dibuka, harus ada metodologi atau cara yang tepat dalam mengembangkan wawasan ilmu kesusastraan, yang di dalamnya termuat penguasaan literasi.

     Apabila ditelisik dari perubahan era yang begitu drastis, secara simultan para pegiat dan penulis sastra membaca dimensi ruang digital sebagai cara instan yang menjanjikan. Hal itu terjadi karena dengan pemanfaatan dimensi digital pekerjaan menjadi lebih cepat dan mudah serta tidak terbentur oleh aturan atau ketentuan yang mengikat sehingga mempersempit celah improvisasi dan inovasi sebuah karya. Di sisi ini, pemanfaatan ruang dimensi digital menjadi ladang penulis baru, tanpa ada fase seleksi alam yang ketat.

     Jadi, kita menempatkan sisi dimensi kontemplasi nalar pada perubahan zaman seperti sekarang agar tujuan utama penguasaan teknologi digital dapat meningkatkan potensi setiap individu untuk berubah secara cepat sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan sosial yang lebih kompleks (orientasi zaman). Jika kita membaca garis sejarah yang menghubungkan batasan masa, pada era ini atau disebut abad ke-21 terjadi turbulensi atau perubahan yang begitu cepat.

     Jika meminjam istilah seorang ahli pendidikan, Ron Berger, pembelajaran masa kini perlu memperhatikan banyak hal agar efisien. Artinya, pemikiran yang dihasilkan menjadi simultan dalam mencari solusi tantangan. Salah satu caranya adalah konsep pola sistematik melalui pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Perpaduan kontemplasi nalar dan teknologi menjadi kebutuhan pada masa mendatang yang harus dimulai dari sekarang.

 

Merdeka Belajar

     Awalnya konsep yang dilontarkan oleh Mendikbudristek menjadi polemik retoris dan dianggap tidak mempunyai tujuan jelas jika dikaitkan dengan kurikulum pendidikan. Konsep tersebut membangun semangat belajar untuk peserta didik, termasuk mahasiswa. Namun, setelah ditelaah lebih luas, konsep ini menjadi ruang celah pemikiran baru bagi orang-orang di luar pendidikan formal. Salah satunya adalah para pegiat dan penulis sastra. Istilah tersebut menjadi sumber ide dan gagasan untuk melahirkan inspirasi baru.

     Dalam pemikiran bijak, kemajuan teknologi yang juga diasumsikan berbanding lurus dengan kemajuan sains (ilmu pengetahuan), akan memunculkan persaingan dan tantangan. Oleh karena itu, harus dipikirkan aspek pelindungan masyarakat (termasuk anak didik) yang secara langsung menjadi konsumen atas kemajuan era digital atau globalisasi teknologi. Apakah konsep “Merdeka Belajar” dapat diartikan sebagai upaya kemandirian pendidikan?

     Sayangnya, konsep regulasi yang ada di bidang pendidikan masih kurang menyentuh persoalan-persoalan dinamika budaya di luar pendidikan formal. Pendidikan dan kebudayaan menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipagari oleh batasan kurikulum pendidikan formal. Sastra juga adalah subsuku dari budaya yang tidak sekadar mengajarkan hidup mandiri, tetapi juga perjuangan melalui kontemplasi pemikiran secara frontal.

     Berkembangnya sastra digital tidak bisa dikatakan sebagai sebuah indikator kemajuan sastra. Minimal ada acuan yang lebih spesifik yang tidak sekadar diatur oleh perangkat regulasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Itu karena pada satu sisi karya-karya sastra yang dilahirkan oleh penulis dan pegiat sastra merupakan subjektivitas pemikiran yang dimensinya sering berbenturan dengan undang-undang. Dengan demikian, harus dilihat dari sebuah nilai seni yang menerjemahkan fungsi alat bantu media digital. ***

Vito Prasetyo

Penulis adalah sastrawan dan peminat budaya.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa