Komunitas Baca-Buku di Sekolah

Saya terharu membaca artikel Ariel Heryanto berjudul "Buku". Di Tanah Air banyak lomba membuat lagu, film, tulisan fiksi dan nonfiksi. Akan tetapi, berapa banyak pelatihan jangka panjang dari Sabang hingga Merauke yang menyiapkan lulusan dengan kualitas di berbagai lomba itu? Begitulah Ariel Heryanto mengkritik bangsa ini. Ada dua hal yang menurut saya menjadi sasaran kritiknya. Pertama, mengapa para pemenang itu tak direkrut untuk dilatih sebagai api pembakar literasi di tanah air? Kedua, mengapa negara hanya menjaring para pemenang, tetapi tak mampu membentuk generasi lain untuk, setidaknya, mempunyai kualifikasi yang sama dengan para pemenang? Terkait sasaran kritik kedua, yaitu proses, kita memang masih cenderung lemah.

Buku belum menjadi kebutuhan. Di sekolah, pengertian buku malah didangkalkan sebatas buku pelajaran dan latihan soal ujian. Setiap hari, anak didik akhirnya bergelut dengan buku yang miskin bacaan dan dialektika. Hal inilah yang saya sampaikan melalui makalah saya pada acara Semiloka dari Badan Bahasa di Jakarta, 2--4 November lalu. Pasalnya, sebagai guru pengampu bahasa Indonesia, saya merasa ada kekeliruan dari kurikulum kita. Kekeliruan itu, misalnya, karena anak justru dijauhkan dari bacaan demi bacaan. Kekeliruan ini tentu harus digugat dan diperbaiki. Bagaimanapun, muatan bahasa Indonesia sangat berpengaruh dalam membudayakan literasi. Semakin berpengaruh karena kurikulum kita tak ramah dengan literasi, apalagi perbukuan. Ada perpustakaan di sekolah, tetapi tak ada jam kunjung khusus. Pun, isi buku di perpustakaan hanya buku pelajaran dari dana BOS.

Akan Miskin Imajinasi

Sejarah dunia sudah membuktikan bahwa peradaban muncul bukan karena buku-buku pelajaran. Buku terbaik adalah buku yang bisa menghidupkan imajinasi. Jika hanya berisi soal-soal, buku seperti itu cenderung kaku dan beku. Saya tak sedang mengatakan bahwa buku pelajaran tidak penting, tetapi, saya sangat berkeyakinan bahwa jika siswa hanya dihadapkan pada buku pelajaran, siswa akan miskin imajinasi. Akan terjadi kejenuhan membaca dan akan muncul generasi yang dalam istilah Anindita S.Thayf: membaca tanpa membaca (Kompas, 3/11/'21).

            Hal itu terjadi karena membaca dibuat menjadi mekanis dengan satu tujuan dangkal: memenuhi tugas sekolah. Pada posisi demikian jelaslah buku tak bisa mengantar sang anak bermain dengan imajinasinya selain ke halaman paling akhir, padahal, membaca itu meletupkan imajinasi. Tujuan terbaik dari membaca pun tidak sebatas mendapat informasi agar menjadi pintar. Jika hanya supaya pintar, belum tentu penulis lebih pintar daripada pembaca. Dalam hal ini, membaca berarti harus bisa merangsang pikiran-pikiran lain untuk bekerja atau dalam bahasa Nietszche disebut "pikiran asing diam-diam memanjat dinding".

            Ringkasnya, harus ada kasmaran berliterasi yang dimulai dari sekolah. Kita sudah harus malu karena bangsa kita selalu berada di peringkat papan bawah dalam bidang literasi, padahal kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh bacaan. Tiada bangsa yang maju tanpa bacaan. David Mc.Clelland sudah membuktikannya melalui penelitian dengan mengumpulkan 1.300 cerita anak dari banyak negara dari era 1925 dan 1950. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerita anak yang mengandung nilai achievement yang tinggi akan selalu diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi pula dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.

            Buku pelajaran cenderung kurang memuat nilai achievement yang tinggi. Karena itu, perlu pasokan buku baru ke ruang-ruang pendidikan. Buku itu kelak menjadi bacaan wajib agar tak menjadi benda mati di perpustakaan. Dalam hal ini, harus ada guru khusus untuk membimbing siswa ke perpustakaan dengan serius. Selama ini, perpustakaan di sekolah belumlah bernyawa.

Dalam studi Connecticut State University (CCSU), meski berada pada peringkat 60 dari 61 negara, pada variabel fasilitas perpustakaan, kita justru berada pada peringkat 36. Kita mengalahkan Singapura (59), Selandia Baru (39), Korea Selatan (42), Belgia (46), bahkan Jerman (47). Sayangnya, pada variabel lain, yaitu di sistem pendidikan, kita anjlok di papan terbawah. Hal ini semakin membuktikan bahwa sistem pendidikan berperan besar dalam jebloknya peringkat literasi kita. Artinya, memperbaiki budaya literasi harus dimulai dari dunia pendidikan dengan salah satunya mendekatkan buku pada siswa serta memodifikasi muatan materi pelajaran pada bidang studi bahasa Indonesia sebagai garda terdepan literasi.

            Fakta kontemporer ini, dikutip dari Agus Fitrianto, menunjukkan budaya membaca siswa kita (SMA) sangat rendah: nol judul buku setiap tahunnya (Kompas, 10 Agustus 2021). Bandingkan dengan budaya membaca siswa sederajat di negara maju: Jerman (32), Belanda (30), Rusia (12), Jepang (15), serta Singapura dan Malaysia (6). Buku belum dimaknai sebagai pelecut kemajuan, padahal boleh dikatakan sebuah negara maju selalu diawali dengan budaya literasi yang tekun. Karena itu, mendesak kiranya pemahaman ulang atas buku dan kegiatan literasi di sekolah.

            Ada nasihat untuk menjadi orang sukses: tirulah cara hidup orang sukses. Turunannya adalah jika ingin maju, tirulah cara hidup negara maju. Cara hidup negara maju adalah membaca dengan tekun karena mereka paham bahwa membaca bukan untuk menambah kepintaran saja, melainkan untuk merangsang pikiran. Lagipula, penulis tak selalu lebih pintar daripada pembaca bukan? Karena itulah, mengutip kembali Ariel Heryanto, cukup sering bahwa ternyata ulasan buku justru jauh lebih baik daripada buku itu sendiri.

Menjadi Kegiatan Rutin

            Dalam lajur berpikir demikian, kiranya kegiatan mengulas buku perlu digerakkan dan menjadi kegiatan rutin di sekolah. Hal ini untuk mengasah nalar, kreativitas, terutama semangat dan motivasi siswa. Saya punya pengalaman unik terkait itu. Ketika masih menjadi tutor di bimbel, seorang siswa mengeluhkan kepada saya bahwa di Italia dan Jerman, pelajaran bahasa dibuat sangat menarik minat mereka. Kebetulan, siswa itu tergabung dalam kelompok pertukaran pelajar pada saat itu. Sangat berbeda di negara kita dengan pelajaran bahasa yang terkesan kaku dan beku.

              Masalahnya, buku pelajaran bahasa kita sangat miskin dengan teks, apalagi yang bernuansa sastra. Dampak terjauhnya tentu saja adalah tidak adanya kasmaran belajar bahasa Indonesia di ruang-ruang kelas. Di samping itu, kualitas guru pengampu bahasa Indonesia pun masih kurang memadai dan kurang minat untuk membaca. Sebagai bukti yang cukup sering dikutip, dalam esainya yang terangkum di Guru Gokil Murid Unyu, J. Sumardinata, misalnya, terdapat fakta yang sangat gawat: dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5 persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Senada dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas 5/03/2019), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis 3 paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu “paragraf”. Sampai di titik ini, rasanya kita sudah sadar bahwa banyak hal yang harus dipersepsi ulang dalam menggalakkan budaya baca, terutama dari bidang studi bahasa Indonesia. Yang pasti kita harus sadar bahwa membaca dan mengulas buku itu teramat penting.


Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa