Sabak Digital (Tanggapan atas Peta Jalan Literasi Nasional)
Lima tahun sudah Gerakan Literasi Nasional (GLN, 2016) dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Namun, program ini masih belum optimal sampai ke tujuan.
Setidaknya, hal ini yang memantik E. Aminudin Aziz, selaku Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud kala itu, menulis artikel “Peta Jalan Literasi Baru” di Kolom Opini Harian Media Indonesia (04/05/2021). Hampir mendekati lima bulan artikel ini pun senasib dengan GLN –sepi tanggapan khalayak pembaca.
Saya pun teringat sebuah artikel yang ditulis Asit K. Biswas dan Julian Kirchherr di Straits Time (2015) berjudul “Prof, No One is Reading You”. Artikel ini berisi refleksi kritis atas artikel-artikel termuat di jurnal ilmiah yang rerata dibaca hanya oleh 10 orang.
Betapa artikel jurnal ilmiah sepi resepsi pembaca sekalipun di negara maju seperti Amerika. Bahkan, gagasan sebuah artikel jurnal ilmiah semakin jauh memengaruhi kebijakan negara. Apalagi, diapresiasi pemangku kebijakan seperti menteri menjadi sebuah kebijakan.
Lalu, Biswas dan Kirchherr menyarankan kepada para profesor untuk memodelkan artikel jurnal ilmiah ke dalam artikel populer seperti pada media massa. Sebabnya, media massa memiliki ekosistem produksi dan konsumsi teks yang lebih luwes dalam ragam resepsi dan segmen pembaca umum.
Dalam konteks seperti inilah saya menganggap bahwa usaha Kepala Badan Bahasa, Kemdikbudristek mengalihragamkan bahasa dan gagasannya dari ilmiah ke populer . Harapannya, semangat GLN dapat diapresiasi oleh khalayak pembaca beragam. Namun, artikel “Peta Jalan Literasi Baru” yang menawarkan gagasan baru ini pun nasibnya sama dengan artikel jurnal ilmiah alias sepi tanggapan.
Dalam artikel tersebut, Amin mengevaluasi tiga kelemahan GLN, yakni kolaborasi antarlembaga kementerian berkepentingan yang berjalan masing-masing, pelaksanaan cenderung menyentuh bagian tengah dan hilir (sebatas merealisasikan rencana program kerja) dan tidak menyentuh bagian hulu (diskursus peningkatan minat baca di sekolah dan masyarakat), dan lemahnya monitoring pelaksanaan program dan evaluasi program untuk perbaikan selanjutnya.
Sementara itu, peta jalan baru yang digagas Amin menyasar bagian hulu masalah GLS. Ada dua solusi yang ditawarkan, yakni penyediaan buku-buku sumber dan pengayaan versi cetak dan digital di sekolah dan pelibatan semua pihak dalam ekosistem sekolah, mulai dari pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan siswa.
Amin menyatakan, “Perbaikan kualitas literasi, baik di sekolah maupun di masyarakat, sangat bergantung pada ada-tidaknya kegemaran, atau minat membaca. Minat baca sangat ditentukan ketersediaan bahan bacaan yang menarik hati para calon pembaca.” Permasalahan yang ada di hulu ini menarik untuk diekplorasi, terutama berhubungan dengan budaya baca kita.
Sabak
Minat baca erat berhubungan dengan kebiasaan masyarakat, terukhusus dalam proses pewarisan pengetahuan antargenerasi lintas zaman. Hemat saya, tradisi tutur (oral) masyarakat masih kuat di sebagian besar daerah di Indonesia. Hal ini dapat memengaruhi minat baca karena menandai peralihan pelibatan penginderaan tubuh ke sekadar pelibatan indera lihat.
Jika kita mencoba beromantisme, kakek-nenek generasi milenial membentuk pengetahuannya dengan keterbatasan media pembelajaran. Pada masa prakemerdekaan, buku masih terbatas jumlah sebarannya karena malah harganya. Media pembelajaran memakai papan tulis sebesar buku yang dikenal dengan istilah sabak.
Dengan alat tulis kapur, kakek-nenek generasi milenial membentuk pengetahuannya melalui pelibatan seluruh penginderaan tubuh karena tulisan di sabak langsung dihapus. Hal ini persis sama dengan seorang anak saat mendengarkan dongeng pengantar tidur dari orang tuannya.
Hasilnya, transfer pengetahuan model ini menciptakan daya ingat berjangka panjang. Sebabnya, proses memirsa langsung pembelajaran melibatkan seluruh penginderaan tubuh yang kemudian tersimpan di memori otak.
Lebih khusus, pelibatan pancaindera atas mimik, gesture, dan intonasi saat memirsa guru mengajar atau orang tua mendongeng dapat menimbulkan imaji dan emosi siswa atau anak. Kedua data pengetahuan ini tersimpan di belahan kanan otak yang memang mampu menyimpan pengetahuan dalam jangka panjang.
Hemat saya, hal ini merupakan kelebihan tradisi tutur. Dalam tradisi tutur terdapat pengalaman menginderai materi pengetahuan dengan pelibatan seluruh potensi indera tubuh. Sebaliknya, dalam kegiatan membaca pelibatan indera pelihatan menjadi kunci transfer pengetahuan.
Gawai
Imaji dan emosi dibangun lambang kata dan angka dalam kegiatan membaca. Belahan kiri otak memproduksi arti karena kata dan angka memang tersimpan di sana. Namun, memori belahan kiri otak terbatas –hanya mampu menyimpan pengetahuan dalam jangka pendek.
Dengan demikian, dalam kegiatan membaca, peran belahan kiri otak menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan belahan kiri otak dalam menganalisis rangkaian kata dan angka ke dalam satuan kebahasaan kalimat dan paragraf yang membangun sebuah teks atau pengetahuan menjadi modalitas.
Barangkali, hal inilah yang menjadi pangkal sebab minat baca kita “dikatakan” lemah. Tradisi tutur membuat kita senang mengaktifkan kedua belahan otak kita secara bersama dalam membangun pengetahuan. Pelibatan seluruh penginderaan tubuh dan pelibatan belahan kanan otak dari awal bersama dengan belahan kiri otak dalam proses pembentukan pengetahuan membuat pengetahuan tersimpan di memori otak dalam jangka panjang.
Sementara itu, tradisi tulis-cetak disusun dari rangkaian kata dan angka. Pelibatan belahan kiri otak mendahului belahan kanan otak. Tentu saja, model transfer pengetahuan seperti ini perlu latihan pembiasaan. Apalagi, cara kerja belahan kiri otak (sistematis, logis, berurutan, dan detail) bertolak belakang dengan cara kerja belahan kanan otak (spontan, emotif dan imajinatif, acak, dan menyeluruh).
Sampai di sini, saya teringat sabak generasi milenial. Yang dimaksud adalah sabak digital bernama gawai. Manakala kita belum memiliki minat baca yang kuat dalam tradisi tulis-cetak, kita sudah terarus tradisi baru, yakni minat memirsa (viewing) yang deras dalam tradisi konten-transmisi digital.
Minat memirsa ini menjadi ekuivalen dengan tradisi tutur yang memang menjadi warisan sejarah kolektif masyarakat kita. Bak gayung bersambut, media internet, terutama platform media sosial, mereplikasi kontak langsung ke dalam transmisi elektronik layar digital–gawai.
Pada tahun 1980-an ditemukan kecenderungan kuatnya kelisanan atau tradisi tutur dalam keberaksaraan atau tradisi tulis-cetak (A. Teeuw, 1984). Memasuki tahun 2000-an, dengan didukung teknologi informasi, tradisi tutur mendapatkan ruang baru yang luas, masif, dan supercepat.
Saya beranggapan bahwa ilustrasi di atas terjadi juga dalam transfer pengetahuan. Obat ampuh untuk meningkatkan literasi tidak hanya bersifat teknis, seperti penguasaan komunikasi dan kolaborasi. Namun, ada kendala psikis yang laten diwariskan lintas generasi, yakni bagaimana memaksimalkan potensi berpikir kritis, kreatif, solutif, dan inovatif generasi milenial yang sebetulnya juga melekat sebagai ciri pada tradisi tutur, pada pelibatan belahan kanan otak.
Subjek Kreator
Hemat saya, di sinilah kita sebagai masyarakat dapat berperan untuk menyukseskan GLN dalam peta baru. Bagaimana pemeliharaan pola berpikir yang mapan pada tradisi tutur masyarakat dapat diintegrasikan dalam kegiatan membaca. Hal ini teristimewa untuk meningkatkan minat baca.
Sebagai individu dalam satuan keluarga, tradisi mendongeng dapat dilakukan sebelum anak dapat membaca. Literasi di lingkungan keluarga tumbuh dengan ikatan imaji dan emosi yang kuat karena tradisi tutur. Mungkin, perpustakan keluarga dalam bentuk buku cetak dan buku elektronik dapat dibuat orang tua sebagai motivator, mediator, dan fasilitator saat anak sudah dapat membaca.
Saat anak-anak kita berstatus peserta didik, baik dalam lembaga formal maupun nonformal, lembaga sekolah atau madrasah, tempat peribadatan, dan lembaga di masyarakat lainnya juga dapat memfasilitasi sumber bacaan yang baik dan proforsional sesuai umur.
Yang menarik, di sekolah dan madrasah, guru adalah pengganti orang tua yang juga dituntut memiliki minat baca-tulis dan kompetensi literasi. Sebagus apa pun peta jalan yang dibuat dalan GLN, dua subjek kreator minat baca ini, yakni orang tua di rumah dan guru di sekolah teristimewa ditargetkan sedemikian.
Referensi
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3594/ukbi-dan-bonus-demografi-2040
https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/09/21/kodok-dan-kupu-kupu/
https://majalah.tempo.co/read/bahasa/163266/kolom-bahasa
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3491/emel-acep-dari-membaca-lambang-making-love-sampai-mobile-legend
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3468/berpikir-kritis-ala-warganet
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3536/posskriptum-sintagmatik-dan-paradigmatik-teks
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3447/pandemi-kleptoteks-kluster-baru-dunia-maya
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3443/akar-dan-pohon-sastra
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3429/narasi-subversif-mitos-baru-di-era-digital
https://borobudurwriters.id/sajak-sajak/puisi-puisi-nizar-machyuzaar/
https://tandamatabdg.wordpress.com/2021/07/09/
https://haripuisi.id/puisi-nizar-machyuzaar/
Nizar Machyuzaar
...