“Puisi Khilaf” adalah (juga) Berproses (Kanthi Laku)

Puisi

 

Mari, kita tulis puisi malam ini

Ditemani rintik hujan dan

Kilat petir di ujung timur

Lambaian gorden jendela merayu

Dan dekapmu hangat kembali merebah

Aku lihat anak-anak sudah pulas

Menertawai mimpinya,

sedang kau aku masih memintal kata-kata

Menenun bait-bait lalu melahirkan puisi

Kau berkata “aku ingin berpuisi lagi, Sayang”

Lalu, jari jemari kau aku kembali menari

Di atas kertas putih tergambar mawar merah

Menulis kalimat cinta dengan gairah

dalam setiap lembar halaman

hingga larut, kau aku tenggelam

Bersama purnama

antologi

 

Metro, 7 Januari 2022

 

Demikianlah “puisi” (dalam tanda kutip) dalam persepsi seorang Riana Anjarsari. Judul “Puisi” tersebut ada di dalam buku Sepasang Sepatu karya Riana Anjarsari yang diterbitkan oleh Penerbit Jejak Pustaka, Yogyakarta (2022), berisi 40 judul, dan ditulis pada akhir tahun 2021 hingga awal 2022.

Riana Anjarsari merampungkan kuliah S-1-nya di program studi (prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta. Saya beruntung sebab berkesempatan memberikan kuliah di kelas Riana Anjarsari yang penuh semangat dan dengan rajin setiap hari membaca dan menulis. Kemudian, dia merampungkan kuliah S-2-nya di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pula, tetapi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Bagi Riana Anjarsari, menulis “Puisi” itu sebuah aktivitas “... memintal kata-kata/menenun bait-bait/lalu melahirkan puisi ....” Sebagai sebuah aktivitas, dalam hal ini, yang bergerak adalah fisik, bukanlah psikis. Nyaris semua sajak ditulis oleh Riana Anjarsari dalam persepsi dan posisi demikian.

Hubungan antara “puisi” di dalam tanda kutip, dan pemersepsian dan pemosisiannya oleh seorang penulis itu menjadi sangat penting sebab hal tersebut merupakan sudut pandang kesastrawanan seseorang terhadap realitas-realitas, yang berpengaruh menjadi karakteristik kesastraan karya seseorang. Dari situlah pembacaan dan penilaian oleh pembaca dimulai.

Karena merupakan aktivitas fisik, setiap saat apabila sempat, Riana Anjarsari menuliskan apa yang dia rasakan, apa yang dia lihat dan raba, apa pun yang dia indra. Sebagaimana dia akui dalam sajak berikutnya berjudul “Tahun Baru” bahwa bagaimana hal demikian dia tuliskan, belumlah menjadi yang dia idealkan.

 

Tahun Baru

 

Kata orang hari ini tahun baru

Kembang api mekar di ujung pagi

Terompet saling sahut memekak telinga

Sebagian melengking seperti animasi serigala

Hari ini tahun baru, katanya

Tapi tulisanku hanya jerami kusut

Lembar-lembar tak juga bijak

sedang, Tuhanpun tabah membaca puisi khilaf

Tahun baru menyapa salam

tubuhku rebah di tumpukan buku catatan

melayang jatuh dalam timbunan abjad

lagi-lagi kata-kata tak juga arif

malaikat sibuk menulis amarah

memaki aku yang pongah

 

Metro, 10 Januari 2022

 

Serangkaian “sajak” yang ditulis Riana Anjarsari dia sadari sebagai sebuah “puisi khilaf” sebab ia mengungkapkan,Tulisanku hanya jerami kusut/lembar-lembar tak juga bijak.” Di satu sisi, Riana Anjarsari menyadari bahwa puisi itu harus “bijak”, harus “arif”. Namun, di sisi lain, Riana Anjarsari dalam upaya penempuhannya terlampau fisik. Sebagaimana hal tersebut bisa kita lihat dari titimangsa di setiap akhir “sajak”. Nyaris setiap hari dia “menulis sajak”, bahkan ada yang dalam sehari dia bisa menulis tiga sampai empat judul “sajak”.

Boleh jadi, dalam proses kreatif “puisinya”, Riana Anjarsari mempersepsi dan memosisikannya sebagaimana ketekunannya yang berhasil dalam studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, “puisi” dia persepsi dan posisikan penempuhannya sebagaimana penempuhan ilmu. Sementara itu, berkat pengetahuannya pula sebagai magister pendidikan (M.Pd.), dia tahu bahwa puisi itu memerlukan “arif” dan “bijak” sebagaimana yang dia nyatakan dalam “sajak” di atas.

Ada jalan yang saling berlawanan di sini antara “pengetahuan tentang puisi” dan “pengalaman rohani” yang hadir disebabkan oleh “cinta ilahiah” di dalam “sebuah puisi”. Sebagai orang yang menulis sesuatu yang dia sebut sebagai “puisi”, Riana Anjarsari boleh jadi menyadari saling silang tersebut dan dia membiarkannya. Dia tetap menempuhnya sebab “... Tuhan pun tabah membaca puisi khilaf ....”

Riana Anjarsari tetap akan terus menempuhnya sebab “... Tahun baru (akan berganti) menyapa salam/(dia tetap akan istiqamah sekalipun) tubuhku rebah di tumpukan buku catatan/melayang jatuh dalam timbunan abjad/ lagi-lagi kata-kata tak juga arif/ ....

Bahkan, sekalipun “... malaikat sibuk menulis amarah ...”, setidaknya dengan terus menulis secara fisik puisi itu, Riana Anjarsari sudah memiliki ilmu agar ... memaki aku yang pongah.”

Dengan demikian, ilmu fisik puisi itu akan menempatkan posisi seorang “penyair” dalam situasi dilema di antara menyatakan realitas melalui puisi, ataukah menampilkan atau menggambarkan realitas dengan pilihan kata yang paling mewakili psikis puisi. Untuk sampai kepada “tingkatan puisi” tersebut, Ngelmu iku kelakone kanthi laku” (Ilmu itu bermanfaatnya jika diterapkan). 

Penyair menuliskan puisinya dalam upaya memberi makna terhadap kehidupan (ialah mencari hikmah). Pada saat membaca puisi yang ditulis oleh penyair, pembaca juga memberi makna terhadap kehidupan (adalah juga mencari hikmah). Dengan demikian, menuliskan “puisi khilaf” adalah (juga) berproses (kanthi laku) dalam mempersepsi dan memosisikan realitas, baik di luar puisi maupun di dalam puisi, sebagai lambang yang dicari maknanya, hikmahnya.***

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair dan dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa