Posisi Bahasa Ibu pada Kurikulum Merdeka

Banyak sekali penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa ibu adalah media yang sangat baik untuk membelajarkan siswa. Tidak hanya materi pelajaran yang akan tersampaikan, tetapi juga kemelekatan dan keintiman sehingga perasaan siswa lebih halus. Sayang sekali, makin modern, kurikulum juga sepertinya makin alergi terhadap bahasa ibu meski berbagai rekomendasi menyebutkan bahwa bahasa ibu sangat efektif dalam ruang belajar siswa.

 

Kurikulum 2013, misalnya, membuat kategori pembelajaran, yaitu A dan B. Kategori A berisi mata pelajaran yang digariskan pusat, sedangkan B berisi mata pelajaran yang ditentukan. Pada Kurikulum 2013, sejatinya masih ada celah untuk memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal. Namun, dari pelacakan saya secara sederhana terhadap rekan-rekan guru, di daerah mereka juga ternyata sudah tidak ada lagi pelajaran bahasa daerah. Itulah kisah pada Kurikulum 2013. Nah, pada kurikulum terbaru, yaitu Kurikulum Merdeka (KM), nyatanya makin besar pula kemungkinan bahwa bahasa daerah juga akan makin dipinggirkan.

 

            Pasalnya, muatan KM diarahkan pada hal-hal esensial dan kritikal. Tentu, kenyataan itu akan makin membuat posisi bahasa daerah terancam sehingga peringatannya pada setiap 21 Februari menjadi kering dan tak bermakna. Nah, supaya terang, arti bahasa ibu pada tulisan ini cenderung difokuskan pada bahasa daerah. Itu karena, sebagaimana diketahui, bahasa ibu memang berbeda dengan bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa pemerolehan pertama kita. Akan tetapi, di Indonesia bahasa pertama yang dikuasai anak adalah bahasa daerahnya sehingga sering kali bahasa ibu diidentikkan dengan bahasa daerah.

 

Sudah Makin Nyata

            Sayangnya, pada masa kontemporer ini, menyebut bahasa ibu sebagai bahasa daerah sudah tak relevan, bahkan menjadi kesalahan fatal. Itu karena bahasa pemerolehan pertama anak cenderung sudah bukan bahasa daerah. Di daerah kami yang konon masih termasuk daerah 3T saja, misalnya, masyarakat sudah condong berbahasa Indonesia.  Karena itu, tak mengherankan jika di perkotaan besar, bahasa ibu mereka adalah bukan lagi bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah.

Kisah itulah yang pernah diulas The New York Times dengan artikelnya bertajuk “As English Spreads, Indonesia Fear for Their Languages”. Pada artikel itu dikisahkan bahwa beberapa anak yang bermain di Jakarta mahir menggunakan bahasa Inggris, tetapi tak tahu lagi berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa daerah. Pada posisi seperti itulah kita makin sah untuk mengkhawatirkan nasib bahasa daerah. Rasanya ancaman kepunahan bahasa daerah sudah makin nyata. Kita tinggal menunggu waktu kepunahannya. 

 

Dilansir dalam sebuah artikelnya, Kepala Badan Bahasa, E. Aminuddin Aziz menyebutkan bahwa hingga 2021, survei Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berhasil memetakan 718 bahasa daerah di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, kajian vitalitas bahasa menunjukkan bahwa 8 bahasa dikategorikan punah, 5 kritis, 24 terancam punah, 12 mengalami kemunduran, 24 dalam kondisi rentan (stabil tetapi terancam punah), dan 21 bahasa berstatus aman. Angka itu pasti lebih cepat membengkak. Dikatakan cepat membengkak karena teknologi nyata-nyata sudah menggusur bahasa daerah. Teknologi melalui percakapan dunia maya malah sering kali menuduh bahwa berbahasa daerah adalah simbol dari ketertinggalan. Pada posisi seperti itulah kita harusnya membaca dan berefleksi mengapa pengguna bahasa daerah makin menipis.

 

            Dede Oetomo dalam salah satu penelitian sosiologinya (1980) menyebutkan bahwa orang tua di kota-kota di Jawa yang pada saat itu berusia 20—30 tahun sudah berbahasa Indonesia. Kiranya gejala serupa juga terjadi di daerah lain. Malah kini orang tua di perdesaan sudah cenderung berbahasa Indonesia kepada anaknya. Secara otomatis hal itu akan mempercepat kepunahan bahasa daerah. Pasalnya, anak-anak kini sudah sering menghabiskan waktunya dengan teknologi digital yang hampir sepenuhnya kalau bukan berbahasa Indonesia, kadang berbahasa Inggris, bahkan berbahasa Korea.

 

            Jadi, jangan terkejut jika anak PAUD di tempat kami sudah lebih akrab mengatakan "Saranghaeyo." (bahasa Korea) atau "I love you.” (bahasa Inggris) daripada “Aku mencintaimu.", apalagi Holong rohanghu tu ho." (bahasa Batak). Mereka rupanya dengan cepat terpapar bahasa asing. Sesungguhnya, paparan itu tak selalu buruk. Malah, jika kita menyadari, anak-anak kini makin lancar berbahasa Inggris. Namun, di lain pihak, mereka ternyata mulai gagap berbahasa daerah. Itu semua terjadi karena tontonan di dunia digital.

 

Hal itu pun diakui oleh seorang mantan siswa saya yang sudah sangat mahir berbahasa Inggris. Saya pernah mengetesnya dengan memperdengarkan film, lalu saya menyuruhnya menerjemahkannya. Hasilnya sama persis dengan terjemahan di film. Artinya, di satu sisi, anak-anak makin cepat beradaptasi dengan bahasa-bahasa populer dan internasional dan itu baik. Namun, taruhannya, mereka makin lupa dan abai terhadap bahasa daerah. Kemudian, timbul kesombongan berbahasa dengan hobi untuk menggunakan bahasa asing tidak saja pada teman, bahkan kepada orang tuanya. Dalam psikologi, gejala itu disebut xenofili atau xenomania.

 

Petunjuk Tegas

            Nah, pertanyaannya adalah apakah kita larut dengan semua itu, lalu memakluminya karena sudah saatnya memang kita berbahasa internasional sehingga menanggalkan bahasa-bahasa daerah kita? Sebagai sebuah kekayaan budaya, tentu adalah kesalahan fatal untuk meninggalkan bahasa daerah, apalagi kini beberapa sudah terancam punah. Rasanya, bukan tanpa alasan UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai peringatan hari bahasa daerah. Sebaliknya, UNESCO justru mengampanyekan bahasa ibu untuk pembelajaran, terutama di kelas-kelas awal demi kelancaran dan kemelekatan.

 

            Maksud saya adalah kurikulum terbaru sudah seharusnya memberikan petunjuk yang tegas agar guru sering berbahasa daerah ketika menyampaikan pembelajaran, bahkan membuatnya sebagai mata pelajaran pengayaan. Memang akan terkesan ketinggalan. Namun, misi kita harus diingat: tetap merawat bahasa daerah. Pasalnya, siswa-siswa adalah penutur bahasa pada masa depan. Boleh saja yang tua masih mahir berbahasa daerah. Namun, jika mereka jarang menggunakannya kepada siswa, guru tersebut akan menjadi penutur terakhir dari bahasa daerah itu sendiri. Jadi, sekali lagi, kurikulum harus tegas berperan aktif merawat budaya. 

 

            Satu hal yang harus diingat, siswa adalah masa depan. Itu artinya memberikan mereka materi budaya senapas dengan kita merawat budaya. Saya tak sedang mengatakan bahwa setiap sekolah harus mengajarkan bahasa daerah. Itu hal yang rumit, apalagi di perkotaan yang cenderung heterogen. Namun, rumit bukan berarti mustahil. Ini hanya soal teknis, yaitu gabungkan siswa dengan ras yang sama agar mereka masih punya waktu untuk mengingat bahasa mereka. Jika di daerah heterogen saja bisa dilakukan, apalagi di daerah homogen. Intinya adalah kurikulum harus hadir dengan tegas menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa