Gurindam Mini Kisah
Sumber: unggah pesan akun Waway T-cibogo, Jumat, 26 November
2021
Pemodelan teks
dalam ranah digital memang menarik untuk dijajaki. Apalagi, kode bahasa yang
membangun teks tersebut memiliki makna lebih. Salah satu ragam teks yang
merayakan makna lebih adalah teks dengan label karya sastra.
Dalam
ungkapan sederhana, dapat dikatakan bahwa pemodelan teks sastra bertujuan
mengatakan sesuatu (baca A) melalui sesuatu yang lain (baca B). Untuk mengantarai keduanya, kode bahasa
menyediakan jalan penafsiran kepada pembaca dengan mengidentifikasi kekhasan
pemodelan teksnya.
Hal
ini dapat terjadi manakala teks tersebut menyertakan kode bahasa dan kode ragam
teks, yakni kode sastra. Kita akan mencoba memahamkannya dengan menghadirkan
sebuah konten, seperti terbaca dalam gambar di atas–yang diunggah sebagai pesan
di media sosial Facebook. Unggah
pesan bertagar #hikayatzaman
ini dibuat oleh akun Waway T-cibogo.
Apa model penafsiran yang dapat
digunakan ketika membaca unggah pesan dengan pemodelan teks seperti terbaca di
atas? Dapatkah kita memolakan ragam pesan tersebut ke dalam kode generatif teks
yang berciri tertentu? Lalu, jika kode generatif teks di atas sudah
teridentifikasi, dapatkah kita membedakannya dengan ragam teks lainnya yang
selama ini banyak diunggah warganet, terutama di media sosial? tiga pertanyaan ini
mendasari esai di
bagian selanjutnya.
Harapannya, unggah pesan di media sosial yang menyertakan kode bahasa dan kode teks dapat menjadi ancangan bersama kita dalam menafsirkannya dan menemukan maknanya. Lebih dari itu, andaian bahwa sebuah teks tidak lahir dari kekosongan budaya telah menempatkan teks sebuah pesan dalam konteks kode sosial-budaya.
Unsur Kebahasaan
Pesan dengan
pemodelan teks seperti di atas terus diproduksi pemilik akun ini selama 5 tahun
terakhir dengan
intensitas tinggi, hampir
setiap hari. Sebagai gambaran, saya sertakan unggahan pesan 14 hari terakhir
sejak tulisan ini dibuat.
Nomor |
Pesan |
Tanggal
Unggah |
1. |
Alkisah, "Satu tanda
tiada berbatas; pena tinta kehabisan kertas." |
26 November 2021 |
2. |
Alkisah, "Tidak ada
yang tidak pernah melewati kelamnya mendung; melayang burung
bersenandung." |
25 November 2021 |
3. |
Alkisah, "Pegang erat
tongkat ini; mengeja langkah ke arah matahari." |
24 November 2021 |
4. |
Alkisah, "Jangan ada
kemesraan lain daripadanya; di depan mata api membara." |
23 November 2021 |
5. |
Alkisah, "Perahu
berkayuh melawan arus; hempasan kelam kencang menghembus." |
22 November 2021 |
6. |
Alkisah,
"Untuk apa merenda benang kapas yang basah; naikilah tangga dan
bernyanyilah." |
21 November 2021 |
7. |
Alkisah, "Mengikuti
denyut di luar nadi; meninggalkan jejak dalam mimpi." |
20 November 2021 |
8. |
Alkisah, "Leher
bertahta permata jelita; senyuman jadi tirai tatapan mata." |
19 November 2021 |
9. |
Alkisah, "Jalan ini
membentang begitu lurus; cumbui tanah dengan bisik halus." |
18 November 2021 |
10. |
Alkisah, "Wajah
bersih berseri; siapa tinggal di taman berkali abadi." |
17 November 2021 |
11. |
Alkisah,
"Uluran tangan betapa sempurna; secuil senyum kekasih untuk
sahaya." |
16 November 2021 |
12. |
Alkisah,
"Manatah mungkin melangkah pada jalan berlainan; dua kaki berayun satu
tujuan." |
15 November 2021 |
13. |
Alkisah, "Lidah
lincah berputar-putar; kata beruntai tiada berkabar." |
14 November 2021 |
14. |
Alkisah, "Siulan itu
hinggap di hati dan telinga; kaki bergegas memburunya." |
13 November 2021 |
Sumber: unggah
pesan akun Waway T-cibogo,
13—26 November 2021
Dari pemodelan teks pesan tersebut
kita dapat menemukan unsur kebahasaan. Pertama, pesan tersebut mengambil bentuk
kalimat langsung atau ujaran. Seperti diketahui, unsur pembangun kalimat
langsung terdiri atas (1) bagian kalimat
yang ditandai kehadiran unsur dasar kalimat, yakni Subjek (S) dan Predikat (P)
dan (2) bagian ujaran yang ditandai
dengan tanda petik dua (“...”) yang
dipisah oleh tanda baca koma (,).
Keutuhan kalimat langsung dicirikan dengan pembubuhan tanda baca titik (.). Hanya saja, kalimat langsung dalam pesan tersebut mengalami pelesapan unsur predikat (P) kalimat. Kalimat langsung dalam pesan tersebut dapat berpola utuh dengan menghadirkan kembali unsur P, seperti berikut.
(11. Alkisah (S) berkata (P), "Satu tanda tiada berbatas; pena tinta kehabisan kertas." (Pel.)
Kedua,
bagian ujaran yang menempati Pelengkap (Pel.) dalam kalimat langsung di atas
diisi dengan kalimat kompleks, yakni kalimat yang menyertakan dua klausa.
Hubungan kedua klausa dipisah tanda baca titik koma (;) yang menandai hubungan
antarklausa secara tersirat. Kita dapat menghadirkan Konjungsi (Kata
Penghubung) semena-mena sehingga didapat hubungan antarklausa tersurat berikut
ini.
(22. "Satu tanda (S 1) tiada berbatas (P 1) dan pena tinta (S 2) kehabisan (P 2) kertas (Pel.)."
(33. "Satu tanda (S 1) tiada berbatas (P 1), sedangkan pena tinta (S 2) kehabisan (P 2) kertas (Pel.)."
(44. "Satu tanda (S) tiada berbatas (P), meskipun pena tinta kehabisan kertas (K)."
S P Pel.
(55. "Satu tanda (S) tiada berbatas (P), saat pena tinta kehabisan kertas (K)."
S P Pel.
Terakhir, di bawah pesan diterakan tagar #hikayatzaman. Tagar ini menandai bahwa
pesan yang diunggah memiliki hubungan dengan tematis selingkung hikayat zamat
di aplikasi media sosial Facebook. Tentu
saja, kesadaran pengunggah memodelkan pesan seperti terbicarakan di atas
sekaligus juga menandai pemodelan isi pesan atau teks yang akan digunakan
penanggap sebagai jalan menafsirkan dan memaknainya.
Model Teks
Sebagai pesan yang
diunggah di media sosial, pesan tersebut ditujukan kepada teman sesama warganet
yang memiliki akun di media sosial Facebook.
Tentu, isi pesan dapat dimaknai beragam karena pesan memiliki makna lebih. Karenanya,
dalam bagian ini kita akan mengidentifikasi pemodelan teks yang membentuk
struktur teksnya.
Kita dapat membaginya ke dalam tiga
bagian umum, yakni pembuka, isi, dan penutup. Kita dapat menyebut bagian
pembuka pesan dengan orientasi, yakni
pengenalan Alkisah (S) dan berkata (P) yang lesap. Bagian isi pesan kita sebut
dengan komplikasi, yakni penampilan
masalah dalam bagian ujaran bertanda petik dua (“...”). Terakhir, bagian
penutup pesan kita sebut dengan reorientasi,
yakni penegasan ulang atas bagian orientasi yang berisi tagar #hikayatzaman.
Dengan demikian, kita telah mencoba membuat struktur teks pesan yang menyertakan orientasi-isi-reorientasi. Kita dapat membuat struktur teks pesan dalam gambar berikut ini.
Namun, struktur
teks pesan pada bagian komplikasi yang
berisi bagian ujaran dalam tanda petik dua (“...”) menunjukan substruktur teks
dalam bentuk kalimat kompleks. Akibatnya, terdapat struktur teks berlapis.
Sebagai contoh, bagian komplikasi "Satu
tanda tiada berbatas; pena tinta kehabisan kertas." Menampilkan dua
peristiwa dan makna yang berbeda.
Hal ini ditandai dengan
kehadiran secara utuh unsur S dan P dalam dua klausa, yakni klausa Satu tanda tiada berbatas dan klausa pena tinta kehabisan kertas. Selain itu,
hubungan dua klausa dalam bagian komplikasi menandai hubungan semena-mena.
Maksudnya, kita dapat mengganti tanda baca titik koma (;) dengan konjungsi dan (penggabungan), sedangkan (pertentangan), meskipun
(pertentangan), saat (kewaktuan),
karena (kausalitas akibat-sebab),
atau sehingga (kausalitas
sebab-akibat).
Namun, keempat belas
bagian komplikasi pesan yang disertakan pada contoh di atas memiliki
kecenderungan hubungan kausalitas. Hal ini bukan sebuah kebetulan karena pola
hubungan makna kedua klausa tersebut berhubungan dengan prinsip kisahan, yakni
kronologi peristiwa dalam jalinan hubungan kausalitas.
Kita dapat mengalihkan bentuk pesan tersebut ke dalam model teks puisi dengan bangun bait dalam larik beruntai. Dengan andaian alih bentuk pesan tersebut, struktur teks orientasi-komplikasi-reorientasi menjadi lugas terbaca. Kita mendapatkan tiga peristiwa dan makna, yakni satu peristiwa dan makna pada bagian kalimat atau struktur orientasi teks dan dua peristiwa dan makna pada bagian ujaran atau struktur komplikasi teks. Kita dapat memparafrasenya sebagai berikut ini.
(16. Alkisah
“Satu tanda tiada berbatas;
pena tinta kehabisan kertas."
#hikayatzaman
(27. Alkisah berkata (hari ini). (jika) Satu tanda tiada berbatas; (maka) pena tinta kehabisan kertas. Alkisah (yang berkata bahwa jika satu tanda tiada berbatas, pena tinta kehabisan kertas atau satu tanda tiada berbatas maka pena tinta kehabisan kertas) sebagai penanda hikayat (baca: kisahan) yang mengisi zaman.
Yang menarik, pada bagian komplikasi terdapat kesesuaian hubungan antara
dua klausa dalam kalimat kompleks dengan pemodelan teks puisi lama berlabel
gurindam. Seperti diketahui, gurindam menyertakan pola bangun bait dalam dua
baris beruntai, biasanya 8 sampai dengan 12 suku kata setiap baris, dan berima
akhir sama (a-a). Kedua baris
tersebut memiliki hubungan kausalitas: sebab-akibat atau syarat-hasil. Mari
kita bandingakan keduanya berikut ini.
(18. "Jalan ini membentang begitu lurus;
cumbui tanah dengan bisik halus."
(Alkisah, 18 November 2021)
(29. Jika kamu banyak berkata
Tentu di sana ada dusta
(Gurindam)
Sampai di sini,
kita telah dapat mengidentifikasi struktur teks pesan. Beberapa catatan berikut
menjadi ciri khas ragam teks yang menyertai pesan. Pertama, pesan mengambil
bentuk struktur teks kisahan orientasi-komplikasi-reorientasi. Kedua, pada
bagian komplikasi terdapat substruktur yang berbentuk kalimat kompleks yang
sejajar dengan pemodelan teks puisi berlabel gurindam. Terakhir, pada bagian
reorientasi terdapat penegasan ulang atas gagasan Alkisah sebagai Hikayat
Zaman.
Dengan
demikian, bolehlah kita mengatakan bahwa keempat belas pesan yang tertera di
bagian sebelumnya sebagai kisahan dalam bentuk sederhana, tetapi beralur padat.
Kisahan ini berlaras gurindam. Barangkali, dengan kata lain, kita dapat
melabeli pesan-pesan ini dengan label gurindam
mini kisah.
Namun,
bagian ini baru menjawab pertanyaan kedua yang mengidentifikasi kode generatif
teks yang kita sebut gurindam mini kisah. Selain itu, perlu dipertimbangkan
pesan-pesan sejenis sebagai bentuk selingkung dan bentuk bersaing yang banyak
ditemukan di media sosial. Untuk itu, kiranya, ulasan berikut ini dapat
dimulai.
Bentuk Selingkung
Mengapa pesan dalam
pemodelan teks seperti ini yang dipilih pembuatnya? Pada bagian awal esai ini
saya telah mengatakan bahwa pesan tersebut memiliki makna lebih. Hal ini menjadi
salah satu ciri teks sastra.
Dalam bagian kedua, unsur kebahasaan yang dimanfaatkan
dalam pesan menyertakan ciri-ciri kekhasan yang sekaligus dapat dibaca sebagai
keumuman teks pesan. Hal ini kemudian menjadi seperangkat prapemahaman
penanggap untuk menafsir dan memaknai pesan. Pada bagian ketiga esai ini,
ciri-ciri pemodelan teks tersebut menjadi semacam kode generatif teks yang kita
sebut dengan gurindam mini kisah.
Lalu, bagaimana kita mendapatkan makna dibalik
(rangkaian) peristiwa? Struktur teks yang
sudah terbicarakan dapat dijadikan jalan penafsiran. Sebagai contoh, pesan
ketiga saya sertakan utuh di bawah ini.
(310. Alkisah (berkata)
"Pegang erat tongkat ini;
mengeja langkah ke arah matahari."
#hikayatzaman
(Alkisah, 24 November 2021)
Diksi
/alkisah/ dapat dianggap sebagai majas personifikasi karena sebuah kisah
sebagai hikayat zaman bercerita layaknya perilaku manusia. Kisahan ditampikan
dalam laras gurindam dengan hubungan peristiwa kausalitas: //"Pegang erat
tongkat ini; mengeja langkah ke arah matahari."//. Struktur kalimat
inversi bernada menyuruh Pegang erat (P)
tongkat ini (S) menjadi sebab atau
syarat. Sementara itu, kalimat tak utuh (S lesap) mengeja (P) langkah (O) ke arah
matahari (K) menjadi akibat atau hasil. Lalu, penegasan ulang atas gagasan
alkisah terbaca dalam tagar #hikayatzaman.
Makna
lebih dapat kita peroleh manakala tagar #hikayatzaman menjadi konteks isi
pesan. Kita dapat membingkai kisahan berlaras gurindam ini dalam konteks zaman
dahulu, sekarang, dan masa depan. Diksi /tongkat/ menjadi metafora alat untuk
menyertai dan menuntun seseorang mengeja langkah dalam menjalani hidup. Diksi
/matahari/ menjadi metafora keberhasilan, kesuksesan, dan kecerahan yang dituju
dan mampu menerangi proses menjalani hidup.
Di
sinilah kita dapat menemukan relevansi pemodelan teks pesan-pesan bertagar
#hikayatzaman dengan karakter konten media sosial yang serbacepat, luas, dan masif
dalam penerimaannya di internet. Selain itu, mini kisah yang berlaras gurindam
ini juga telah efektif memadatkan kisah
hanya dalam tiga rangkaian peristiwa dan makna tanpa harus kehilangan esensi
kisahnya yang sublim dan kontekstual.
Tentunya,
hal ini bukan merupakan sebuah kinarya
yang instan. Diperlukan pengetahuan kebahasaan, ragam teks, dan konteks
sosial-budaya agar pesan dapat sampai pada penanggap atau pembaca. Kita dapat
mengatakan bahwa pesan-pesan ini telah berhasil mentransformasikan salah satu
warisan tradisi kesastraan Indonesia, yakni gurindam.
Maksudnya,
sastra didaktik gurindam cenderung dihindari sebagai pemodelan teks puisi
karena sifatnya yang memberikan nasihat atau menggurui. Namun, dalam
pesan-pesan bertagar #hikayatzaman, kita tidak menemukan nada nasihat secara
lugas karena gurindam telah diubah menjadi bernada kisah padat peristiwa dan
makna. Akibatnya, gurindam bernada kisah ini menyertakan amanat kisah secara
tersirat –yang tak lain adalah nasihat juga.
Kita
mesti mengapresiasi usaha mentransformasi sastra lama Indonesia ini yang
bermoyang pada kesastraan Melayu. Kita dapat menyebut bentuk selingkung lain,
seperti pantun (juga variasinya dalam karmina, talibun, dan seloka), syair, dan
mantera. Selain itu, bentuk selingkung dari sastra daerah lain pun mesti
diusahakan transformasinya dalam platform sastra digital, seperti macapat
(sastra Jawa) atau pupuh (sastra Sunda).
Sebabnya,
kita begitu bangga dan bahagia merayakan bentuk-bentuk bersaing yang ramah
terhadap luasnya layar digital gawai atau tablet. Kebetulan, bentuk-bentuk
bersaing tersebut berasal dari luar, seperti haiku dan tanka dari Jepang.
Mengapa kedua bentuk bersaing tersebut marak naik digunakan warganet dan para
sastrawan? Sebabnya, sekali lagi, kedua bentuk tersebut mampu menyesuaikan ekspresivitas
keindahan bahasa dan karakter luasnya layar digital gawai dan tablet.
Bahkan, kegemaran kita menulis pesan dalam teks sastra yang ramah dengan
layar digital yang serbacepat, luas, dan masif, telah mendorong warganet
membuat grup-grup di media sosial. Kita merindukan bentuk-bentuk teks sastra
lama kita juga berterima dengan selera baca generasi sekarang. Salah satunya,
tentu, gurindam mini kisah ini. Tabik!
Nizar Machyuzaar
...