Revolusi Sastra dalam Bahasa

Spektrum Sastra


Kita mengawali ini dengan meminjam ungkapan keresahan seorang sastrawan yang juga seorang akademisi, Budi Darma, bahwa di Indonesia sekarang ini banyak sastrawan menulis hanya karena ingin menulis. Padahal, tidak ada yang ingin disampaikan melalui tulisan itu. Mereka hanya menulis karena ingin disebut sastrawan (Ayat-Ayat Sastra, Budi Darma).

Kemudian, jika kita menyimak apa yang disampaikan oleh seorang sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dalam menggagas pemikiran bagi penulis, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dengan menulis, seseorang bisa menyemaikan gagasan agar disimak khalayak luas, melampaui ruang dan waktu. Salah satu alat untuk menyampaikan gagasan adalah melalui karya sastra. Sastra memberikan pengalaman imajinatif serta mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat hidup.

Artinya, jika gagasan itu digabungkan, akan menjadi sebuah makna filosofis bagi penulis, khususnya sastrawan, karena dapat memperluas cakrawala pengetahuan. Bekerja untuk penulisan sastra itu tidak hanya untuk memuaskan kejiwaan seorang penulis. Hal itu harus dilandasi dengan sebuah hakikat kehidupan yang dapat memberi wawasan positif bagi pembacanya.

Benarkah sastra itu juga berkembang secara dinamis seiring dengan makin majunya teknologi digital? Atau apakah dunia sastra itu lagi berbenah diri, mencari identitas baru sehingga dengan mudah orang-orang menyebut dirinya sebagai seorang sastrawan? Apakah ada variabel dalam dunia sastra untuk memberikan gelar sastrawan kepada seseorang?

Perspektif itu seakan samar di tengah kehidupan sastra yang sampai kini masih dipandang sebelah mata dalam dunia industri. Itu karena logikanya, suatu keahlian yang dialihfungsikan untuk menghasilkan sebuah karya dan menumbuhkan sektor ekonomi dianggap sebagai sebuah industri. Sastra sebagai sebuah karya di bidang jasa, apalagi sangat bersinggungan dengan nilai-nilai seni, memang sulit diukur dengan sebuah variabel komposisi yang bersifat permanen.

Karena sastra adalah sebuah dimensi yang memanfaatkan ruang kreatif pemikiran, sangat sulit untuk meletakkan batas-batas objektivitas dan subjektivitas. Kalau saja karya sastra itu–dikatakan—bagus, itu semata-mata bergantung pada sudut pandang yang menilai. Karena itu, seyogianya penilai adalah orang yang memiliki kompetensi dan memahami seluk-beluk sastra. Apa yang dikatakan sebagai bentuk apresiasi dan rasa empati tentu tidak sesederhana dapat menyublimasi nilai-nilai kreatif sastra yang terkandung di dalamnya.

Dengan makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat dikatakan ada ruang-ruang yang terbuka untuk dimanfaatkan dalam peningkatan dan pertumbuhan sebuah industri. Namun, apakah sastra juga mampu bersaing dengan dinamika zaman sehingga menjadi tempat untuk pertumbuhan sektor industri? Begitu skeptis jika hal itu dianggap sebagai–sebuah pembenaran—meski hal itu bisa saja terjadi.

Sastra dan Bahasa

Sastra dan bahasa dapat dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang saling terkait satu sama lainnya. Bahasa yang merupakan identitas bangsa menjadi pilarnya dalam membangun atau menghasilkan karya-karya sastra. Karena itu, tanpa bahasa, sastra menjadi identitas tanpa arti. Sastra hanya melahirkan berbagai bentuk aliran atau juga genre. Lantas, apa yang mendorong orang untuk berkarya dalam bidang sastra? Memang sebuah pilihan sulit jika karya sastra menjadi ladang dalam peningkatan ekonomi. Bukan berarti para pegiat sastra salah dalam menentukan pilihan pekerjaan. Kreativitas seni tidak selamanya harus diukur dengan materi.

Jika kita menelisik lebih mendalam, ada beberapa sebab yang membuat orang bertahan sebagai pegiat sastra. Salah satu yang mendasari pegiat sastra untuk tetap bertahan dalam menghasilkan karya-karya sastra adalah lebih banyak berorientasi pada faktor kepuasan karena kepuasan itu lebih pada urusan batiniah. Yang juga tak kalah penting, seseorang yang mampu melahirkan karya sastra yang bagus telah menyempurnakan bakatnya. Jadi, ada salah satu alasan mengapa seseorang tetap bertahan menjadi pegiat sastra.

Kemudian, dengan merujuk pada judul di atas, sastra dan bahasa menjadi muara bagi penguasaan ilmu literasi sebab menjaga sumber-sumber literasi juga telah mencakup penjagaan nilai-nilai budaya, baik lokal (daerah) maupun nasional. Sebagaimana kita ketahui, bentuk-bentuk ekspresi dalam karya sastra (nilai) tidak terlepas dari keberadaan budaya suatu daerah atau bangsa. Itu karena hak untuk berkarya dalam rangka menjaga nilai-nilai budaya dijamin dalam UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam Pasal 32 ayat (1).

Jadi, bingkai sastra dan bahasa sejatinya tidak akan meninggalkan budaya. Hanya saja, implementasi perkembangannya sering menjadi ambigu. Namun, di sini tentunya kita ingin meletakkan subbagian ini menjadi satu kelompok yang saling berkaitan. Mungkin tidak sulit untuk ilmu bahasa karena kita dapat dengan mudah mengambil rujukan dari Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bagaimana dengan sastra? Sampai kini belum ada kamus sastra. Sastra mengalir dengan gaya, genre, atau aliran sesuai dengan kemauan penulisnya.

Mungkin hal itu tidak dapat dielakkan dari drastisnya perkembangan teknologi digital. Begitu mudah bagi siapa saja untuk memanfaatkan teknologi tersebut sehingga jika dikatakan bahwa kemajuan teknologi itu dapat berbanding lurus dengan hasil karya-karya sastra, bisa jadi itu menjadi spektrum baru dalam revolusi bahasa dan sastra. Namun, perlu diingat bahwa ada kajian-kajian teoretis untuk membuat sebuah variabel dalam sastra dan bahasa.

Bisa jadi dengan makin banyaknya kebutuhan informasi yang instan dan cepat, media digital menjadi pilihan bagi orang-orang yang terobsesi menjadi sastrawan. Apakah menjadi pertanyaan besar jika ada kenaifan dan kegamangan tentang mana sastrawan dan mana bukan sastrawan? Apakah hal itu sudah beralih menjadi sebuah revolusi sastra? Sementara itu, ada banyak yang berkarya tanpa perlu pengakuan sehingga mungkin kesulitan menjangkau derasnya arus teknologi. Golongan tersebut lebih berfokus pada esensi karya sejati.

Jika kita menelisik beberapa tokoh sastrawan negeri ini, dari rekam jejaknya kita masih dapat menjangkau hasil karyanya. Sastrawan yang sampai kini dianggap sangat memikat meski sudah meninggal, di antaranya, ialah Umbu Landu Paranggi, Sapardi Djoko Damono, dan Budi Darma. Proses mereka dalam menghasilkan karya cukup panjang serta belum didukung kecepatan teknologi. Namun, karya-karya mereka seakan abadi.

Ini tidak bertujuan untuk memunculkan polemik dan pertentangan, tetapi memberikan gambaran tentang betapa pentingnya fase yang harus dilalui penulis, termasuk di dalamnya penguasaan bahasa. Kalaupun kini dimensi ruang kreatif bisa dikatakan tidak terbatas, bukan berarti sebuah karya sastra berjalan linier. Di dalamnya ada proses penguasaan literasi yang bersentuhan langsung dengan tujuan dan fungsi bahasa. Artinya, argumen ini menjadi bagian yang tidak serta-merta mengecilkan peran serta media digital.

Dengan demikian, ada beberapa simpulan yang mendasari terjadinya revolusi sastra dalam bahasa. Dalam hal ini bukan hanya peran subjek dan objek, melainkan juga tujuan dari pencapaian nilai yang harus memiliki indikator jelas untuk memaknai sebuah revolusi sastra.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa