Miskonsepsi Gerakan Literasi di Sekolah

Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, yaitu literatus yang artinya ‘melek huruf’. Pada taraf ini, tahu mengeja berarti sudah literat. Namun, literasi tidak sebatas memahami huruf. Dalam semiotika, huruf adalah simbol. Sebagai simbol, bahan bacaan tidak terbatas pada huruf saja. Pada masa purbakala, leluhur kita membuat banyak simbol di dinding-dinding gua. Mereka memahami simbol-simbol itu dengan baik.

            Saat ini simbol-simbol visual tidak lagi hanya ada di gua-gua. Simbol-simbol itu hadir dalam grafis, peta, ilustrasi, poster, dan sebagainya. Jika tak paham simbol-simbol itu, sesungguhnya kita juga tidak literat. Selain itu, leluhur kita mampu membaca tanda-tanda alam sehingga bisa membuat keputusan dengan baik tentang waktu berburu, menanam, dan melaut. Mereka mempelajari rasi bintang sebagai navigasi, lalu membuat keputusan.

            Saat ini tanda-tanda alam sudah berserak. Dari tanda-tanda itu kita belajar membuat keputusan. Namun, jika tanda-tanda itu sebagai gejala tidak membuat kita terampil dalam membuat keputusan, kita juga sebenarnya tidak literat. Artinya, literat tidak sebatas mengeja huruf. Literat berarti harus mampu membuat keputusan logis dari berbagai premis sebagai simbol yang dikomunikasikan. Dalam hal ini, berliterasi berarti bernalar kritis.

 

Kesadaran Berpikir

            Jika gerakan literasi di sekolah tak mampu membuat siswa untuk berpikir kritis sehingga berhenti hanya sebatas membaca, apalagi mengeja, sesungguhnya gerakan literasi tersebut sudah salah kaprah. Itu karena berliterasi tak terbatas pada kegiatan membaca, apalagi 15 menit sebelum belajar. Literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis (Kennedy, 2012: 41). Walau begitu, semua keterampilan itu harus mengandung kesadaran berpikir dari siswa. Itu karena inti dari gerakan literasi adalah kemauan untuk berpikir kritis. 

Karena ketiadaan berpikir itulah kiranya mengapa pada periode kontemporer, peringkat literasi generasi muda kita sangat mengkhawatirkan. Ada anggapan bahwa rendahnya peringkat literasi itu karena budaya kita cenderung lisan. Namun, anggapan itu tak sepenuhnya benar, bahkan justru salah. Buktinya adalah dengan tradisi lisan pada masa kuno, kita pernah berhasil membuat Candi Borobudur dan memiliki budaya maritim yang tangguh. Artinya, tradisi lisan tak menjadi penghalang bagi berkembangnya budaya literasi. Berbicara dan membaca sesungguhnya saling berhubungan, begitu juga dengan keterampilan mendengar dan menulis. Satu dengan lainnya saling terkait dan tak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002: 278).

            Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa berbahasa lisan ternyata turut melengkapi pengalaman literasi. Tidak hanya Indonesia, bangsa Yunani dan Romawi juga cenderung bertradisi oral atau lisan (Al Alusi: 38—48). Artinya, tak sepenuhnya lagi kita pasrah pada anggapan bahwa muasal dari rendahnya peringkat literasi kita adalah sebagai dampak dari tradisi lisan. Kalau selalu begitu, kita hanya mencari alasan, bukan menggali jawaban bagaimana meningkatkan prestasi.

            Relasi antara tradisi lisan dan literasi sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif (Harris, 1991; Thomas, 1992; Ong, 2002). Lagi pula, secara alami manusia berkembang dari budaya lisan. Sejarah selalu diawali dari kisah prasejarah. Itu artinya bahwa pengetahuan mendalam awal murid berasal dari proses belajar dari bahasa lisan (Ray dan Medwell, 1991: 70—71). Jadi, sekali lagi, adalah keliru memasrahkan diri bahwa rendahnya literasi kita adalah produk dari kebiasaan lisan leluhur.

            Kelisanan dan literasi bukanlah sebuah kontinum yang linear seolah bahwa jika masih bertradisi lisan, berarti tak akan literat. Atau dengan mengutip Dewayani, seolah jika sebuah bangsa sudah literat, mereka akan meninggalkan budaya lisan (2017: 16). Justru, budaya lisan melalui kebiasaan bercerita dan mendongeng harus dikukuhkan kembali. Saya malah berpikir bahwa rendahnya peringkat literasi kita adalah dampak dari minimnya budaya mendongeng oleh orang tua di rumah.

            Kita tidak lagi kuat di dasar sehingga rapuh di ujung. Supaya cepat matang, kita mengarbit anak. Masa mudanya untuk bermain dipangkas dan dibuang karena merasa bahwa bermain adalah ancaman bagi tumbuh kembang anak kecil. Padahal, ketika anak bermain, sesungguhnya mereka sedang belajar. Ironisnya, cara belajar dengan bermain itu dihilangkan. Saat ini, bahkan ketika PAUD, anak sudah dipaksa untuk bisa baca, tulis, dan hitung (calistung). Anak menjadi depresi.

            Mereka yang sewajarnya menerima dongeng dari orang tuanya malah harus menerima angka dan huruf. Bahwa pada usia dini anak sudah bisa calistung bukan menjadi pembenaran. Bahkan, monyet juga bisa dilatih untuk bisa bersirkus di atas sepeda-sepedaan serta anggun memakai payung. Namun, itu semua semu belaka. Manakala hujan turun, sang monyet pasti akan berlari dan membuang payung itu.

            Artinya, monyet terlihat pintar, tetapi sejujurnya ia kosong. Begitu juga dengan anak kita. Mungkin ia terlihat pintar karena sudah bisa calistung, tetapi sejujurnya ia rapuh karena fondasinya dipangkas. Percaya atau tidak, manusia belajar secara alami. Ketika bayi melihat tangan kita menjentik lebih dari biasanya, ia terperangah. Sesungguhnya ia sedang belajar matematika dasar sehingga keheranan, mengapa jentikan kali ini lebih banyak?

 

Nol Besar

            Ketika pertama kali tumbuh dalam bentuk janin hingga berusia dua tahun, anak sejatinya sudah belajar literasi dasar (Hoe dan Golant, 1985). Ketika anak membagi kue dengan rata, ia sudah belajar bilangan pecahan (numerasi). Gerakan literasi yang kini diajarkan di sekolah sebetulnya hanya pengayaan. Namun, pengayaan itu terkesan jadi pemiskinan daya berpikir. Gerakan literasi, misalnya, justru dipisahkan dengan numerasi.

            Padahal, definisi teranyar tentang literasi sudah meluas hingga ke ranah digital. Sesuatu yang bijak memang jika membudayakan literasi di sekolah. Namun, gerakan itu kini seperti seekor monyet dengan payungnya. Maaf, ini hanya ilustrasi. Kini, baik pawang monyet (guru) maupun monyet (siswa) itu sama-sama tak mengetahui makna di balik gerakan literasi. Gerakan literasi cenderung dipandang sebagai kosmetika belaka.

            Maka, dibuatlah mading mewah, pohon, hingga gerobak literasi. Gerakan literasi akhirnya tidak saja sudah lari dari konsep, tetapi juga dari pengertian mendasarnya. Semula siswa sangat antusias dengan gerakan literasi. Mungkin mereka menduga bahwa ini akan menjadi asupan baru setelah budaya bercerita dari rumah hilang tenggelam. Namun, gerakan literasi itu kering. Siswa hanya diberi kesempatan untuk membaca buku apa saja tanpa komando.

            Betapa tidak? Sekolah tidak memfasilitasi gerakan berpikir dan berdialektika yang berdenyut di ruang-ruang kelas. Sebagai dampaknya, lama-lama kini gerakan membaca itu sudah hilang dari sekolah. Gerakan literasi hanya menjadi bisnis baru berupa webinar para cendekiawan di ruang-ruang digital. Gerakan literasi ini, maaf untuk berkata jujur, adalah nol besar belaka. Kita pun kembali berkata, “Ini semua karena budaya lisan leluhur.” Oh!

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa