Kisah Hujan Sapardi: Transisi dari Metafora ke Simbol dalam Selingkung Puisi

Dalam buku Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan Damono menggambarkan proses pertemuan bentuk dan isi puisi baru dengan tradisi puisi Melayu. Pertemuan itu terjadi sekira 1920 s.d. 1940-an. Periode pematangan dalam wawasan estetika puisi Indonesia terjadi sekira 1940 s.d. 1960-an. Beberapa tokoh terentri memberikan pokok wawasan estetis dalam sejarah puisi Indonesia sesudah kemerdekaan dalam periode tersebut, yakni W.S. Rendra (memperkenalkan kisah dalam puisi), Sapardi Djoko Damono (mengeksplorasi imaji dengan ungkapan metaforis), Goenawan Mohamad (mengawinkan imaji dan ide), Taufik Ismail (mengeksplorasi nalar kritis dalam puisi), dan Abdul Hadi W.M. (mengeksplorasi nalar religius dalam puisi). Selain itu, pada periode ini ada tokoh lain yang sudah memublikasikan puisinya, seperti Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Ramadhan K.H.

            Pada dasarnya, jelajah estetis per tokoh tidak dapat dibaca sesederhana itu. Sebagai contoh, pada awal proses kreatif menulis puisi, Rendra membuat puisi liris, sedangkan Sapardi membuat puisi kisah. Rerata mereka menghasilkan puisi dalam tegangan antara konvensi dan inovasi, baik sebagai respons terhadap karya sendiri maupun respons terhadap karya yang dibacanya.

Dalam esai ini akan dibahas satu kecenderungan puisi Indonesia sesudah kemerdekaan yang mengalami pematangan setelah ekspresivitas makna kata yang lugas dimodelkan dalam  puisi, terutama tradisi ekpresivitas makna kata yang melahirkan kecenderungan lirisisme sesudah puisi Chairil Anwar. Kecenderungan puisi Indonesia sesudah kemerdekaan cukup kuat memengaruhi lirisesme puisi Indonesia, yakni puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono (SDD). Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku Hujan Bulan Juni (HBJ) dipilih sebagai bahan analisis karena mewakili rentang proses kreatif menulis puisi SDD periode awal (1960 s.d. 1090-an). Dengan analisis sederhana itu diharapkan kita mendapat gambaran periode emas dalam pematangan puisi Indonesia sesudah kemerdekaan.           

Untuk itu, setidaknya, ada tiga langkah yang akan dilakukan dalam esai ini. Pertama, sebagai sebuah teks yang disusun dari kata dan perluasannya dalam frasa dan klausa, diperlukan pemahaman atas satuan kewacaan larik dan bait dalam pendekatan sintaksis dan semantik yang menyertakan metafora dan simbol. Kedua, sebagai sebuah  teks yang menyertakan ungkapan metaforis, diperlukan analisis kisah untuk menguji gambaran umum hasil pembahasan renik atas metafora dan simbol. Ketiga,  sebagai sebuah wacana utuh yang membangun kisah, diperlukan pendekatan ideologis yang akan menggambarkan kecenderungan tematis karya SDD.

 

1. Metafora dan Simbol

Metafora dapat dianggap sebagai dasar pengoperasian bahasa dalam hubungan antarsistem tanda bahasa. Pada tingkat wacana, dapat dikatakan bahwa metafora menghubungkan dua peristiwa bahasa bagai sebuah jembatan. Bahkan, metafora dapat menghubungkan dua wacana yang sama sekali tidak berhubungan. Hubungan itu menandai peralihan dari diksi bermakna denotatif atau lugas ke diksi bermakna konotatif atau kias. Pemaksaan hubungan metaforis dua wacana itu tentu akan mensyaratkan konteks wacana yang lebih besar daripada dua wacana sebelumnya sebagai bingkai penafsiran.

            Metafora yang telah berterima menjadi konvensi dalam kesadaran kolektif penutur sebuah bahasa tidak hanya bersifat mengikat antarpengguna bahasa, tetapi juga  bersifat memaksa. Dengan demikian, metafora telah ajek menghubungkan dua wacana berbeda dan bahkan pengguna bahasa tidak menyadari lagi bahwa wacana yang diterimanya adalah hasil persamaan dua wacana berbeda yang disubstitusikan menjadi ungkapan metaforis. Hal itu telah menyadarkan kita bahwa transisi dari metafora ke simbol merupakan dasar pengoperasian bahasa, terutama puisi.

            Sekarang mari, kita timbang transisi metafora ke simbol dalam satu puisi yang terkenal dari SDD berjudul “Aku Ingin”. Puisi tersebut terdiri atas dua bait dengan model pemenggalan baris. Di dalam kedua bait tersebut terdapat kesejajaran metafora yang akan kita bahas. Namun, hal berbeda ditemukan pada puisi “Di Kebun Binatang”. Dalam puisi dengan model bait paragrafis tersebut metafora yang disertakan akan berhubungan dengan metafora yang sudah disepakati bersama dalam kesadaran kolektif antarpengguna bahasa yang tadi disebut dengan simbol. Berikut ini saya sertakan pembahasannya.

 

“Aku Ingin”  

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  

dengan kata yang tak sempat diucapkan  

kayu kepada api yang menjadikannya abu  

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan  

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada   

           

Puisi tersebut menyertakan dua wacana yang dipaksa dihubungkan secara maknawi. Kedua wacana tersebut adalah 1) wacana /Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dan 2) wacana  /kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu/ pada bait ke-1 yang sejajar dengan wacana /isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada/ pada bait ke-2. Konjungsi dengan kata dan dengan isyarat menghubungkan dua wacana dalam hubungan makna cara.

Sebagai sebuah peristiwa, Wacana 1 disubstitusi ke dalam Wacana 2 dengan persamaan-persamaan yang menyertai Wacana 2. Hasilnya, terdapat ungkapan metaforis, yakni 1) aku (pelaku) + ingin mencintaimu (peristiwa) + dengan sederhana (keterangan cara) disubstitusi dengan kata (keterangan alat) yang tak sempat diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu (perluasan gagasan keterangan alat) dan 2) aku (pelaku) + ingin mencintaimu (peristiwa) + dengan sederhana (keterangan cara) disubstitusi dengan isyarat (keterangan alat) yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya abu (perluasan gagasan keterangan alat).

Jika kita persempit, dalam dua wacana yang dipaksa dihubungkan melalui metafora puisi “Aku Ingin” terdapat beberapa persamaan berikut ini, yakni 1) aku-api dan awan; 2) ingin mencintaimu-tak sempat diucapkan dan tak sempat disampaikan; dan  3) dengan sederhana-dengan kata dan dengan isyarat.

Namun, persamaan-persamaan itu masih dalam tahap ungkapan metaforis dan belum menjadi simbol. Persamaan-persamaan tersebut dapat menjadi simbol bagi pembaca terbatas dalam pengertian selingkung apresiasi sastra, terkhusus selingkung diksi puisi SDD. Hal berbeda kita temukan saat membaca puisi “Di Kebun Binatang”. Saya sertakan puisi tersebut secara utuh.

 

“Di Kebun Binatang”

 

Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya: katanya kepada suaminya. “Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu!”

Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.

 

            Kata ular dalam puisi tersebut memiliki makna yang tidak sesederhana seperti batasannya di dalam kamus. Sebagai diksi dalam wacana, kata ular dihadirkan melampaui operasi lambang bahasa (kata) yang mengacu pada makna leksikal. Mungkin kita dapat merujuk pada wacana lain sehingga ungkapan /Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu./ dapat dimaknai. Kita dapat merujuk makna kata ular pada berbagai simbol, kisah, bahkan mitos dalam konteks sosial, budaya, agama, dan sebagainya yang berbeda-beda.

             Sebagai contoh, dalam Bibel (Kitab Perjanjian Lama) terdapat kisah seekor ular yang menggoda Adam dan Hawa untuk mempunyai pengetahuan dengan simbol memakan buah apel. Selain itu, buah pengetahuan tersebut juga telah memosisikan Adam dan Hawa sebagai makhluk yang merdeka dan bebas berbuat. Tak sampai di situ, godaan sang Ular selanjutnya dituruti, yakni persetubuhan Adam dan Hawa. Metafora ular dalam puisi itu membangun jembatan dua wacana, yakni 1) peristiwa sepasang suami-istri yang melihat ular di kebun binatang dan 2) kisah Adam dan Hawa yang terlempar ke bumi dari surga karena telah menuruti godaan ular. Substitusi Wacana 1 dengan Wacana 2 telah menempatkan metafora bergerak ke dalam pemaknaan simbolis.

            Kita dapat mengidentifikasi metafora, simbol, dan transisi metafora ke simbol dalam teks puisi. Jalan penafsiran atas keduanya akan berhubungan dengan diksi sebagai tindakan konkret wacana dan gaya bahasa sebagai timbangan dan imbangan nilai sosial-budaya atas wacana. Selain diksi ular, transisi dari metafora ke simbol terbaca dalam puisi-puisi SDD yang menyertakan diksi hujan. Pengalaman atas peristiwa hujan membangun pengetahuan  atasnya. Pengetahuan atas peristiwa hujan menyertakan makna subjektif pengalam hujan. Diksi hujan dalam hubungan dan pertentangan antarungkapan metaforis dalam buku kumpulan puisi HBJ terbaca sebagai berikut ini (Tabel 1).

Tabel 1

Diksi Hujan Puisi-Puisi HBJ dalam Ungkapan Metaforis

Judul Puisi

Ungkapan Metaforis

“Sehabis Mengantar Jenazah”

(Diksi hujan bermakna denotatif.)

masih adakah yang akan kautanyakan

tentang hal itu? hujan pun sudah selesai

sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap

“Hujan Turun Sepanjang Jalan” 

(Diksi hujan bermakna denotatif.)

hujan turun sepanjang jalan

hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan

kembali bernama sunyi

 

“Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan”

(Diksi hujan bermakna denotatif.)

Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar

hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar

dan mekarlah bunga itu perlahan-lahan

dengan gaib, dari rahim Alam.

“Dalam Doa: 1”

(Diksi hujan bermakna denotatif.)

... Malam sibuk di luar suara

kemudian daun bertahan pada tangkainya

ketika hujan tiba...

“Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita”

(Diksi hujan bermakna denotatif.)

... barangkali berkabar penghujan itu...

 

(pastilah sudah gugur hujan

di hulu sungai itu); ...

 

“Pertemuan”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

... dan serbuk-serbuk hujan

tiba dari arah mana saja ...

 

“Hujan dalam Komposisi, 1”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dan daun-daun bougencil basah yang teratur mengetuk jendela? ...

 

Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah

dan hujan, membayangkan rahasia ...

 

“Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, ... “

 

“Hujan dalam Komposisi, 2”

(Diksi hujan bermakna denotatif)

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia

di udara tinggi, ringan dan bebas;

 

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang

 panjang, ...

 

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan.

Selamat tidur.

“Hujan dalam Komposisi, 3”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan

Di Beranda Waktu Hujan

(Diksi hujan bermakna konotatif)

...yang menghapus

jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang

dalam hujan. Kau di beranda.

sendiri,

kau sebut cintamu

penghujan panjang, yang tak habis-habisnya

membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.

 

Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar

kepada hujan, sendiri,

....

yang meleleh dalam senandung hujan,

“Iring-iringan di bawah Matahari”

(Diksi hujan bermakna denotatif)

......

(“Kapan kau berangkat, Saudara?”

“Hai, ini sudah jam berapa?”

“Kalau hujan sudah jatuh nanti”

“Ya, tapi...”

......

“Cahaya Bulan Tengah Malam”

(Diksi hujan bermakna denotatif)

 

aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kaca

adakah hujan sudah reda sejak lama?

“Catatan Masa Kecil, 2”

(Diksi hujan bermakna denotatif)

.... dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. ...

 

... dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu menyaksikan butir-butir hujan mulai

jatuh ke air ...

“Sajak, 1”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

“Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!”

“Percakapan Malam Hujan”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan

 payung, berdiri di samping tiang listrik. ...

 

“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba

suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; ...”

“Sepasang Sepatu Tua”

(Diksi hujan bermakna denotatif)

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang berdebu, yang kini terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan ...

“Pada Suatu Pagi Hari”

(Diksi hujan bermakna denotatif)

... Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. ...

...

Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

“Puisi Cat Air untuk Rizki”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

...“jangan brisik, mengganggu hujan!”

 

“... hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu!”

“Kuhentikan Hujan”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

kuhentikan hujan. ...

...

dendam yang dihamilkan hujan

“Hujan Bulan Juni”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
....

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
....

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
...

“Aku Ingin”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

“Hujan, Jalak, dan Daun Jambu”

(Diksi hujan bermakna denotatif)

Hujan turun semalaman. ...

 

“Terbangnya Burung”

(Diksi hujan bermakna konotatif)

...

bahkan cericitnya

yang rajin memanggil fajar

yang suka menyapa hujan

...

Sumber: Damono (1994)

 

Dari Tabel (1) terbaca sebanyak 39 ungkapan metaforis yang menyertakan diksi hujan dalam 23 puisi. Sebanyak 12 puisi terbaca menyertakan diksi hujan yang bermakna denotatif dan 11 puisi terbaca menyertakan diksi hujan bermakna konotatif. Namun, karena diksi hujan berada dalam ungkapan metaforis, ke-39 diksi hujan pada 23 puisi menjadi bermakna konotatif. Pemanfaatan gaya bahasa, secara teknis majas, baik secara sintaksis maupun semantis, dalam hubungan antarlarik yang membangun bait dan hubungan antarbait yang menyusun keseluruhan teks puisi telah membuat diksi puisi berada dalam ungkapan metaforis.

Pada umumnya, dalam puisi yang menyertakan diksi hujan bermakna denotatif terbaca peristiwa dan makna hujan yang dikisahkan dengan menyertakan kosakata selingkung hujan. Hal itu terbaca dalam puisi “Sonet, Hei! Jangan Kaupatahkan” pada larik-larik //Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar/hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar/dan mekarlah bunga itu perlahan-lahan/dengan gaib, dari rahim Alam.//. Peristiwa dan makna hujan (bermakna denotatif) bergerak menjadi ungkapan metaforis karena penyertaan larik terakhir /dengan gaib, dari rahim Alam/ (bermakna konotatif).

Selain itu, larik /dengan gaib, dari rahim Alam/ juga telah menempatkan diksi hujan bukan sekadar sebagai ungkapan metaforis, melainkan juga ungkapan simbolik. Frasa rahim Alam dengan huruf A kapital telah menggeser ungkapan metaforis peristiwa dan makna hujan pada wacana di luar konteks yang digambarkan ungkapan metaforisnya. Ungkapan metaforis dengan gaib menyarankan pada ungkapan simbolis atas eksistensi yang takterlihat dan ungkapan metaforis rahim Alam menyarankan pada ungkapan simbolis Sang Pencipta: Tuhan. Pada puisi ini terdapat dua wacana, yakni 1) peristiwa dan makna hujan dalam pengertian material dan 2) peristiwa dan makna kasih (rahim, rahman, rahmat) dalam pengertian metaforis dan sekaligus simbolis.

Pada puisi “Dalam Doa, 1” transisi dari ungkapan metaforis ke ungkapan simbolis menjadi makin lugas terbaca, yakni pada larik-larik //Malam sibuk di luar suara/kemudian daun bertahan pada tangkainya/ketika hujan tiba/...//. Bedanya, ungkapan metaforis terjadi bukan dalam hubungan antarkata pada larik dan hubungan antarlarik pada bait, melainkan pada hubungan antarbait dalam keutuhan puisi yang diikat oleh tematis judul “Dalam Doa, 1”. Karena itu, kita dapat menyubstitusi diksi hujan dengan doa, peristiwa hujan dengan peristiwa berdoa, dan makna atas peristiwa hujan dengan makna berdoa. Apalagi, dalam ajaran sebuah agama, hujan dianggap sebagai simbol kasih Tuhan kepada makhluk-Nya, yakni keyakinan bahwa hujan adalah rahmat. Pada puisi itu terdapat tiga wacana, yakni 1) peristiwa dan makna hujan dalam pengertian material, 2) peristiwa dan makna berdoa (dalam doa) sebagai ungkapan metaforis, dan 3) peristiwa dan makna kasih (rahim, rahman, rahmat) dalam pengertian metaforis dan sekaligus simbolis.

Transisi dari metafora ke simbol atau ungkapan metaforis ke ungkapan simbolis tentu saja lugas terbaca dalam ketiga belas puisi yang menyertakan diksi hujan bermakna konotatif. Sebagai contoh, pada puisi “Pertemuan”  terbaca //... /dan serbuk-serbuk hujan/tiba dari arah mana saja (cadar/bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)/ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini//. Apalagi, dalam sembilan judul puisi yang menyertakan diksi hujan, yakni “Hujan Turun Sepanjang Jalan”; “Hujan dalam Komposisi, 1”; “Hujan dalam Komposisi, 2”; “Hujan dalam Komposisi, 3”; “Di Beranda Waktu Hujan”; “Percakapan Malam Hujan”; “Kuhentikan Hujan”; “Hujan Bulan Juni”; dan “Hujan, Jalak, dan Daun Jambu”.

 

2. Kisah Hujan

Dari pembahasan pada bagian pertama kita dapat meletakkan puisi sebagai teks yang dihasilkan dari wacana bermakna lebih. Metafora dan simbol menjadi karakter dasar yang menyertakan polisemi dalam menafsir larik dan bait puisi. Dengan demikian, genre puisi menandai teks yang berfokus pada menyusun ulang sistem tanda bahasa. Sistem tanda bahasa puisi berpusat pada perekaulangan hubungan makna antarkata dan hubungan antarlarik.

Namun, puisi juga tidak hanya mereka ulang hubungan penanda-petanda dalam sistem tanda bahasa. Lebih dari itu, puisi juga menghubungkan dua atau lebih hubungan tanda, simbol, wacana, kisah, atau mitos. Hal itu dimungkinkan saat hubungan antartanda, antarsimbol, antarwacana, antarkisah, dan antarmitos 1) direduksi (distorcing of meaning), 2) disalahtempatkan (displacing of meaning) dan 3) dibuat baru (creating of meaning)Dengan kata lain, melalui ketiga hubungan yang tidak biasa itu, dapat dikatakan bahwa puisi menyampaikan sesuatu melalui sesuatu yang lain, yakni melalui ungkapan metaforis.

            Dari bahasan di bagian pertama dapat disimpulkan bahwa tidak semua ungkapan metaforis dapat menyaran pada ungkapan simbolis karena ungkapan simbolis berhubungan dengan ungkapan metaforis yang sudah menjadi kode ungkapan bersama dalam sebuah masyarakat pengguna bahasa. Sebagai timbangan, ungkapan metaforis yang menyertakan diksi ular pada puisi “Di Kebun Binatang” dan diksi hujan pada dua puluh tiga puisi telah menyaran pada ungkapan simbolis.

Transisi metafora ke simbol menegaskan bahwa puisi merupakan satu jenis teks yang dapat menyampaikan pengalaman, pengetahuan, bahkan kebenaran dengan cara yang lain, yakni dengan metafora. Saat metafora telah sahih menjadi simbol, metafora telah ajek menjadi sebentuk pengalaman, pengetahuan, bahkan kebenaran yang berterima dengan kesadaran kolektif antarpengguna bahasa. Dengan demikian, puisi dan karya sastra secara umum adalah inskripsi ‘pematrian wacana ke dalam tulisan’ yang menyertakan referensi diri wacana dan makna otonom wacana, yang tidak identik lagi dengan peristiwa bahasa dan makna subjektif partisipan saat wacana tejadi. 

            Pemerian atas dua wacana yang dipaksa dihubungkan, sekalipun tidak memiliki hubungan secara maknawi, dapat dan hanya dapat dimaknai dengan menghubungkan berbagai unsur atau elemen yang membangun sebuah teks, termasuk sebuah puisi. Hubungan antarunsur pembangun teks puisi mengandaikan hubungan makna kausalitas dalam kronologi. Karena itu, dalam memahaminya terdapat langkah memarafrasa hubungan antarlarik dan antarbait agar pemenggalan baris yang menyiratkan berbagai referensi dan makna mendapat kesatuan tematik gagasannya dan kepaduan makna antarlarik dan antarbait.

            Oleh karena itu, hubungan antarunsur pembangun teks puisi, yakni hubungan antarlarik yang membangun bait dan hubungan antarbait yang membangun keutuhan sebuah teks puisi, dapat mengonkretkan maknanya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memarafrasa hubungan makna antarlarik sehingga membentuk kisah. Karena itu, dalam bagian ini metafora dan simbol yang menjadi karakter dasar puisi dipahami dengan dikisahkan sebagai hasil parafrasa.

Perbedaannya adalah pada puisi “Aku Ingin” terdapat model bait yang dibangun dari baris yang dipenggal menjadi larik sehingga tahap memarafrasa menjadi penting untuk membangun kisahan dengan menyertakan kata penghubung atau kata depan dalam pendekatan sintaksis dan semantik. Setelah tahap parafrasa, kita dapat melakukan pendekatan wacana untuk menafsirkan makna metafora dan simbol. Sementara itu, pada puisi “Di Kebun Binatang” terdapat bait dengan model paragraf sehingga kita tidak memerlukan tahap parafrasa dan kita dapat langsung membahas makna metafora dan simbol dalam pendekatan wacana.

Untuk itu, sekarang kita akan mencoba menimbang puisi sebagai sebuah wacana yang bermakna lebih, yakni wacana yang dibangun dari hubungan dua atau lebih wacana dalam ungkapan metaforis dan simbolis. Harapannya adalah setelah menganalisisnya, kita dapat menimbang metafora dan simbol sebagai karakter dasar bahasa puisi dan sekaligus mengenali karakteristik bahasa puisi HBJ. Dengan kata lain, pembahasan renik atas diksi puisi pada bagian pertama dapat dianggap sebagai langkah induktif untuk membangun gambaran umum karakteristik teks puisi HBJ. Sementara itu,  pembahasan pada bagian kedua ini dapat dianggap sebagai langkah deduktif untuk menguji persepsi partisipan wacana (aku larik puisi) dalam mengisahkan diksi hujan.

Pada umumnya, kisah dibangun dari tiga aspek, yakni pelaku, peristiwa, dan latar. Dari aspek pelaku kita dapat mengidentifikasi partisipan peristiwa dan bagaimana penokohannya. Dari aspek peristiwa kita dapat menurunkannya ke dalam rangkaian peristiwa atau alur, masalah pokok yang mendasari rangkaian peristiwa atau tema, pesan yang tesertakan dari rangkaian peristiwa atau amanat, teknik bercerita atau sudut pandang penceritaan, dan gaya bahasa bercerita. Sementara itu, dari latar kita dapat membaginya ke dalam tempat peristiwa, waktu peristiwa, dan suasana yang tesertakan dalam dua bagian sebelumnya.

            Rangkaian peristiwa yang menandai hubungan kausalitas sebab-akibat atau kronologi, yang sebelumnya disebut dengan alur, pada umumnya menyertakan pembuka (berisi abstrak), komplikasi (dapat berisi orientasi, intrik, konflik, klimaks, dan resolusi), dan penutup (berisi koda). Namun, terdapat pula cara kita menyampaikan cerita yang kemudian dikenal dengan alur maju, mundur, dan campuran. Bahkan, dimungkinkan juga alur cerita yang tidak menyertakan abstrak dan koda sehingga orientasi dapat dianggap sebagai pembuka kisahan dan resolusi dapat dianggap penutup kisahan. Hal tersebut dapat diidentifikasi dengan penyertaan diksi hujan dalam sembilan judul puisi (Tabel 2).

 

Tabel 2

Persepsi Partisipan Wacana atas Diksi Hujan dalam Struktur Kisah

Judul Puisi

Persepsi Partisipan Wacana terhadap Diksi Hujan

“Hujan Turun Sepanjang Jalan” 

(1967)

Dalam puisi “Hujan Turun Sepanjang Jalan” yang ditulis tahun 1967 ini partisipan wacana yang terlibat terbaca implisit dengan penyertaan kata ganti orang pertama sekaligus kata ganti orang kedua, kita.  Persepsi partisipan wacana terhadap peristiwa hujan adalah sunyi dan rahasia, seperti terbaca dalam larik //hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan/kembali bernama sunyi// dan //tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba/atas pesan yang rahasia//.

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian orientasi (pengenalan tokoh dan latar) dalam struktur kisah, yakni pengenalan tokoh (partisipan orang pertama aku implisit) dan pengenalan latar waktu, tempat, dan suasana.

“Hujan dalam Komposisi, 1”

(1969)

Dalam puisi “Hujan dalam Komposisi, 1” yang ditulis tahun 1969 ini partisipan wacana yang terlibat terbaca implisit sebagai orang pertama yang mengisahkan seorang tokoh dengan kata ganti orang ketiga, ia (bait 1,2, dan 4). Hal ini menjadi terbaca lugas pada ujaran tokoh aku larik puisi (bait 3) yang berbicara kepada partisipan orang kedua dengan partikel mu.  Persepsi partisipan wacana terhadap peristiwa hujan masih sama dengan puisi pertama, tetapi dengan ungkapan yang berbeda seperti terbaca dalam larik //Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.//.

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian komplikasi (intrik, pemunculan masalah) dalam struktur kisah. Partisipan orang pertama aku implisit menghayati dan memaknai kisah hujan tidak hanya sebagai sunyi dan rahasia, tetapi memiliki hubungan gaib yang menandai kehadiran sesuatu di luar orang pertama dan hujan.

“Hujan dalam Komposisi, 2”

(1969)

Dalam puisi “Hujan dalam Komposisi, 2” yang ditulis tahun 1969 partisipan wacana yang terlibat terbaca implisit dengan penyertaan kata ganti orang pertama sekaligus kata ganti orang kedua, kita. Kata ganti orang ketiga, ia, terbaca sebagai personifikasi dari hujan dalam berbagai peristiwa.  Persepsi partisipan wacana terhadap peristiwa hujan masih senada dengan dua puisi sebelumnya, yakni sunyi, rahasia, hubungan gaib, tetapi dengan ungkapan bernada ironi seperti terbaca dalam larik /Selamat tidur./.

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian komplikasi (konflik, perumitan masalah) dalam struktur kisah, yakni kisah hujan tidak hanya sebagai sunyi dan rahasia, tetapi memiliki hubungan gaib yang menandai kehadiran sesuatu di luar partisipan wacana sehingga reaksi yang muncul dalam ungkapan metaforis selamat tidur. Ungkapan metaforis ini menandai konflik tokoh dalam kisah hujan untuk dapat menghayati dan memaknai hujan.

“Hujan dalam Komposisi, 3”

(1969)

Dalam puisi “Hujan dalam Komposisi, 3” yang ditulis tahun 1969 ini partisipan wacana yang terlibat terbaca implisit dengan penyertaan kata ganti orang pertama sekaligus kata ganti orang kedua kita. Persepsi partisipan wacana terhadap peristiwa hujan yang sunyi, rahasia, memiliki hubungan gaib, bahkan terabai (Selamat tidur) menjadi bagian takterpisahkan dari perjalanan hidup. Ungkapan metaforis dan tik-tok jam itu kita indera kembali menyatakan partisipan wacana (sebagai subjek yang mengetahui) kembali berada dalam kesadaran atas perjalanan hidup yang digambarkan dalam puisi “Hujan Turun Sepanjang Jalan”, tetapi mulai menemukan dan mengenali hujan (sebagai objek yang diketahui)  dalam tegangan peristiwa nyata dan pengalaman ideal dalam ungkapan akhirnya terpisah dari hujan.

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian komplikasi (Konflik, perumitan masalah) dalam struktur kisah. Kisah hujan yang menyertakan partisipan wacana sebagai orang pertama yang bereaksi dalam nada ironi dalam ungkapan metaforis selamat tidur mulai menemukan ketegangan dalam kisah. Ungkapan metaforis akhirnya terpisah dari hujan ini menandai konflik tokoh dalam tegangan hujan sebagai peristiwa alam yang penuh misteri dan hujan sebagai peristiwa yang menyarankan pada sesuatu yang ideal.

Di Beranda Waktu Hujan

(1970)

Dalam puisi “Di Beranda ini Waktu Hujan” yang ditulis tahun 1970 ini partisipan wacana yang terlibat terbaca implisit sebagai orang pertama dengan partikel ku yang berkisah kepada partisipan orang kedua wacana dengan partikel kau. Diksi beranda merupakan ungkapan metaforis bahwa partisipan orang pertama ku berada dalam ruang perhentian dan berbicara kepada kau. Persepsi partisipan wacana terhadap peristiwa hujan terbaca dalam larik //Kau sebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan/warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus/jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang/dalam hujan.//.

Dalam puisi ini terdapat negasi antara diksi matahari yang berasosiasi dengan kehidupan sebagai pengalaman nyata dan diksi hujan yang berasosiasi dengan kehidupan sebagai pengalaman yang (dibayangkan) ideal. Hal ini terbaca lugas dalam bait terakhir, bahkan pengalaman ideal itu berhubungan dengan kesadaran orang pertama ku  yang berhubungan dengan kekuatan di luar manusia (imanensi), yakni dalam bait //“Di manakah sorgaku itu: nyanyian/yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu,/kata demi kata yang pernah kau hapal/bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut/hidupmu sore hari (dan bukan siang/yang bernafas dengan sengit/yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah,/yang meleleh dalam senandung hujan,/yang larut./Amin.//.

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian komplikasi (klimaks, puncak masalah) dalam struktur kisah. Partisipan wacana dalam kisah hujan yang menyertakan tegangan antara hujan sebagai peristiwa yang alam penuh rahasia dan hujan sebagai sesuatu yang ideal (Di manakah sorgaku itu). Pada puisi ini hubungan gaib yang menandai kehadiran sesuatu di luar partisipan wacana terbaca sebagai Tuhan (Amin.)

“Percakapan Malam Hujan”

(1970)

Puisi “Percakapan Malam Hujan” yang ditulis tahun 1970 ini memakai struktur kisah metaforis dengan majas personifikasi. Partisipan wacana yang terlibat sebagai orang pertama adalah aku dan partikel ku (personifikasi dari hujan) dan partisipan orang kedua kau (personifikasi dari tiang listrik). Persepsi partisipan wacana terhadap peristiwa hujan yang sunyi, rahasia, memiliki hubungan gaib, bahkan terabai (Selamat tidur), yang sudah dibahas dalam tiga puisi pertama, hadir kembali. Hal ini ditegaskan dengan ungkapan metaforis //“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara/desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah,/jangan menggodaku tidur...”//.

Namun, yang membedakan dalam puisi ini terjadi pergeseran persepsi partisipan orang pertama aku terhadap diksi hujan, yakni aku sebagai subjek sudah mulai mengenali hujan sebagai objek yang dihayati dan dimaknai dalam kisah hujan. Pergeseran persepsi tersebut terdapat pada larik terakhir, yakni      Namun, //”.../Aku sahabat manusia. Ia suka/terang.” // Hujan dikisahkan sebagai sesuatu yang bersahabat dengan manusia (partisipan wacana).

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian komplikasi (antiklimaks, peleraian masalah)  dalam struktur kisah Partisipan wacana dalam kisah hujan yang menyertakan tegangan antara hujan sebagai peristiwa alam yang penuh dengan rahasia dan hujan sebagai sesuatu yang ideal mengalami peleraian dalam larik, Aku sahabat manusia. Ia suka terang.

“Kuhentikan Hujan”

(1980)

Dalam puisi “Kuhentikan Hujan” yang ditulis tahun 1980 ini partisipan orang pertama wacana dengan partikel ku- eksplisit terbaca. Bagaimana persepsi partisipan wacana terhadap diksi hujan terbaca lugas pada bait 1 //kuhentikan hujan. Kini matahari/merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan –/ada yang berdenyut/dalam diriku:/menembus tanah basah,/dendam yang dihamilkan hujan/dan cahaya matahari.//. Negasi antara diksi matahari yang berasosiasi dengan kehidupan sebagai pengalaman nyata dan diksi hujan yang berasosiasi dengan kehidupan sebagai pengalaman yang (dibayangkan) ideal terbaca kembali.

Selain itu. persepsi aku atas hujan yang sudah dikenali dalam puisi sebelumnya dan bersahabat dengan manusia mulai dirasakan sebagai pengetahuan yang inhern (takterpisahkan) bahkan ada yang berdenyut dalam diriku. Bahkan, takhanya hujan, matahari pun diterima sebagai bagian inhern dalam pengalaman nyata (Tak bisa kutolak matahari) yang menumbuhkan kehidupan (memaksaku menciptakan bunga-bunga).

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian komplikasi (resolusi, penyelesaian masalah) dalam struktur kisah. Penyelesaian masalah terbaca dalam larik Tak bisa kutolak matahari (ungkapan metaforis tersingkapnya rahasia peristiwa alam hujan) yang menumbuhkan kehidupan dan memaksaku menciptakan bunga-bunga (kehidupan berjalan dalam dua andaia, sunyi-bising, rahasia-diketahui, kebermaknaan-kesiasiaan, dan kehidupan-kematian).

“Hujan Bulan Juni”

(1989)

Dalam puisi “Hujan Bulan Juni” yang ditulis tahun 1989 ini partisipan wacana terbaca sebagai orang pertama implisit. Hal tersebut terbaca dalam puisi dengan tiga bait beruntai empat larik yang menandai keajegan bentuk ungkapan dan keberterimaan isi ungkapan atas atas penghayatan dan pemaknaan partisipan orang pertama, aku, terhadap diksi hujan.

Selain itu, dalam ketiga bait juga terbaca matra bait dalam dua larik pertama  yang berfungsi sebagai judgemen atau simpulan dan dua larik terakhir berfungsi sebagai analogi dalam perumpamaan utuh atau alegoris. Judgemen yang dimaksud adalah paralelisme penghayatan dan pemaknaan terhadap diksi hujan yang tabah, bijak, dan arif. Sebagai contoh, dalam bait 1 terbaca judgement /tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan Juni/ dan analogi alegoris /dirahasiakannya rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu/. Hal ini tentu berbeda dengan tujuh puisi sebelumnya yang memakai matra bait beruntai larik dalam jumlah bebas.

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian koda (simpulan) dalam struktur kisah. Penyelesaian masalah terbaca dalam larik judgemen, yakni hujan dihayati dan dimaknai sebagai sumber kehidupan, perwujudan dari kasih Tuhan.

“Hujan, Jalak, dan Daun Jambu”

(1992)

Dalam puisi “Hujan, Jalak, dan Daun Jambu” yang ditulis tahun 1992 ini partisipan wacana yang terlibat terbaca implisit dengan penyertaan kata ganti orang pertama sekaligus kata ganti orang kedua, kita

Diksi hujan, jalak, dan daun jambu disertakan dalam ungkapan metaforis sebagai bentuk atas penghayatan dan penerimaan partisipan wacana atas kisah hujan. Hal ini terbaca dalam larik //Hujan turun semalaman. Paginya/jalak berkicau dan daun jambu bersemi;/mereka tidak mengenal gurindam/dan peribahasa, tapi menghayati/adat kita yang purba/tahu kapan harus berbuat sesuatu/agar kita, manusia, merasa bahagia/...//.

Penghakiman paralel atas penghayatan dan pemaknaan terhadap diksi hujan yang tabah, bijak, dan arif di puisi “Hujan Bulan Juni” terbaca dalam konklusi lugas pada larik-larik bagian akhir puisi ini, yakni //... Mereka/tidak pernah bisa menguraikan/hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu/kapan harus berbuat sesuatu, agar kita/merasa tidak sepenuhnya sia-sia.//.

Dapat dikatakan bahwa puisi ini berfungsi memenuhi bagian koda (simpulan) lanjutan dalam struktur kisah. Koda ini berhubungan erat dengan judgemen pada puisi “Hujan Bulan Juni” dalam hubungan kausalitas, yakni judgemen sebagai sebab dan larik agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia sebagai akibat.

Sumber: Damono (1994)

 

3. Selingkung Puisi SDD dan Selebihnya

Pada bagian akhir ini kita akan mencoba melihat kecenderungan karya-karya kreatif yang ditulis SDD dalam pemodelan teks yang berpengaruh pada diksi dan gaya bahasa. Hal itu menjadi penting karena setiap penulis (sastrawan) memiliki cita rasa bahasa yang terbaca melalui diksi dan reka bahasa yang terbaca melalui gaya bahasa. Bahasan atas kedua hal tersebut memiliki persamaan-persamaan diksi dan gaya bahasa yang sekaligus tesertakan perbedaan-perbedaan dalam selingkung karya-karyanya. Apalagi, jika dilakukan perbandingan dengan karya penulis lain yang semasa atau lintas masa.

            Sebagai contoh, selingkung puisi SDD dalam HBJ dapat mewakili proses kreatif menulis puisi pada periode awal. Pemodelan larik dan bait yang dibahas sekilas pada bagian sebelumnya dapat memengaruhi proses kreatif menulis puisi SDD pada periode berikutnya. Bahkan, bagaimana cita rasa dan reka bahasa SDD dalam menulis puisi dapat memengaruhi buku berjudul Trilogi Soekram yang dinamai SDD dengan prosa berjenis novel.  Kemudian, apa yang membedakan buku Namaku Sita yang kebetulan dinamai SDD dengan puisi jika kita bandingkan dengan drama, dapat diidentifikasi dari selingkung puisi SDD pada proses kreatif periode awal menulis puisi. Tentu hal itu memerlukan kajian dalam esai yang lain.

            Sebagai ikhtisar, pada bagian penutup ini kita perlu menampilkan sisi ideologis kisah hujan. Teks puisi menampilkan realitas simbolik dengan media bahasa. Untuk itu, akan dipinjam istilah eksternalisasi (adaptasi diri dengan lingkungan sosial-budaya), objektivasi (interaksi diri dengan lingkungan sosial-budaya), dan internalisasi (identifikasi diri dengan lingkungan sosial-budaya) dalam konstruksi sosial sesuai dengan prasaran Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Di bagian kedua esai ini saya sudah menyinggung bahwa puisi dan karya sastra dapat menyampaikan pengalaman dan pengetahuan hidup, bahkan dapat menyampaikan kebenaran atau realitas. Hanya saja, wacana yang tesertakan dalam teks sastra juga menyertakan makna lebih dengan pemanfaatan diksi dan gaya bahasa sehingga pemaknaannya bertahap. Berikut disertakan hasil analisisnya (Tabel 3).

 

Tabel 3

Tahapan Pembentukan Pengetahuan atas Diksi Hujan

Tahapan

Judul Puisi

Persepsi Partisipan terhadap Diksi Hujan

Eksternalisasi

(Periode 1967 s.d. 1969)

“Hujan Turun Sepanjang Jalan”, “Hujan dalam Komposisi, 1”, “Hujan dalam Komposisi, 2”, dan “Hujan dalam Komposisi, 3”,

Tahapan ini menandai partisipan wacana sebagai subjek yang mulai mengenal dan menyesuaikan diri dengan  lingkungan sosial-budaya melalui kisah bertema hujan, baik sebagai peristiwa alam maupun sebagai representasi atas kekuatan Tuhan. Kata kuncinya terbaca dalam diksi sunyi, rahasia, hubungan gaib, dan selamat tidur.

Objektivasi

(Periode 1970-an)

 “Di Beranda Waktu Hujan”, dan “Percakapan Malam Hujan”.

Tahapan ini menandai partisipan wacana sebagai subjek yang sudah mengenali lingkungan siosal-budaya dan bergaul dengannya melalui kisah bertema hujan. Partisipan wacana dalam kisah hujan yang menyertakan tegangan antara hujan sebagai peristiwa yang alamiah dan penuh rahasia (dalam tahap eksternalisasi) dan hujan sebagai sesuatu yang (diandaikan) ideal (dalam tahap objetivasi), yakni hubungan gaib yang menandai kehadiran Tuhan.

Internalisasi

(Periode 1980 s.d. 1992)

 

“Kuhentikan Hujan”, “Hujan Bulan Juni”, dan “Hujan, Jalak, dan Daun Jambu”.

Tahapan ini menandai partisipan wacana sebagai subjek yang mengidentifikasi diri dengan lingkungan sosial-budaya dan menemukan pengetahuan dan pemahaman atas kisah bertema hujan. Hasil dari eksternalisasi dan objektivasi membentuk pengetahuan dan pemahaman subjektif bahwa hujan dianggap sumber kehidupan dan perwujudan dari kasih Tuhan agar menemukan makna hidup.

Sumber: Damono (1994)

 

Dari 96 puisi yang tesertakan dalam HBJ, terbaca bahwa SDD telah memodelkan teks dalam puisi dengan memanfaatkan ungkapan metaforis dan simbolis. Substitusi wacana atau peristiwa dan makna atas dunia yang direpresentasikan puisi dengan ungkapan metaforis dan simbolis telah menghasilkan pencitraan yang berhubungan erat dengan suasana. Hasilnya adalah citraan dan suasana membangun teks puisi imaji. Karena itu, muncul sebuah konsekuensi logis bahwa imaji-imaji yang dibangun ungkapan metaforis dan simbolis dapat melampaui ekspresivitas makna kata sehingga persepsi penginderaan menyentuh sensasi syaraf dan motorik tubuh dan sekaligus menghasilkan suasana imaji.

 

Mangkubumi, 20 Februari 2022


Sumber Referensi:

Berger, Peter L. dan Luckman, Thomas. 1990. Tafsiran Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Damono, Sapardi Djoko. 2003. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo.

----------, 2004. Puisi Indonesia sebelum Kemerdekaan (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional). Cetakan Ketiga, Juli 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya.

----------, 2015. Trilogi Soekram. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

----------, 2017. Namaku Sita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi.Yogyakarta: UGM Press.

Riceour, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning. New York & London: The Texas Christian University Press.

---------, 1977. The Rule of Metaphor, The Creation of Meaning in Lenguage. New York & London: University of  Toronto Press.

 

Data Unduh

Wachid, Abdul B.S. 2021. “Puisi Imajis”, https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3422 /puisi-imajis, diakses pada 15 Maret 2022 pukul 22.05.

Machyuzaar, Nizar. 2021. “(e)M-(e)L Acep”, https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3491/emel-acep-dari-membaca-lambang-making-love-sampai-mobile-legend, diakses pada 14 Maret 2022 puluk 13.20.

Nizar Machyuzaar

Penulis adalah mahasiswa program studi Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa