Bahasa Indonesia Versus Bahasa Melayu dalam Peluang Persaingan sebagai Bahasa Kedua Asean

Sepekan terakhir ini marak menjadi perbincangan adanya usulan bahasa resmi kedua di kalangan bangsa-bangsa yang terhimpun dalam ASEAN. Kita ketahui bersama selama ini bahasa Inggrislah yang menjadi bahasa resmi ASEAN. Ide awal dikemukakan oleh Perdana Menteri Malaysia, dalam akun media sosialnya, mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua di ASEAN dengan alasan bahasa Melayu dituturkan dari Indonesia hingga Kamboja. Selain itu, keinginan ini juga dalam kaitannya sebagai usaha memartabatkan bahasa ibunda warga ASEAN ke peringkat antarbangsa. Selanjutnya pihak Malaysia akan berdiskusi dengan para pemimpin negara-negara ASEAN. Lalu akan bagaimanakah tanggapan pemimpin kita? Bagaimana sikap masyarakat Indonesia?

Jika Malaysia dapat mengusulkan bahasa Melayu, Indonesia pun memiliki hak yang sama untuk mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua ASEAN. Tidak ada larangan dalam hal ini bukan? Tentu saja dengan alasan-alasan ilmiah dari sudut pandang berbagai ranah. Bukan karena latah ikut-ikutan dengan Malaysia. Pengusulan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua ASEAN merupakan gerbang internasionalisasi bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia harus pandai menangkap peluang ini dan memberikan suara kepada para pemimpin Indonesia yang berada di garis depan.

Mendikbudristek, Nadiem Makarim, dalam siaran pers kemendikbud, nomor 178/sipers/A6/IV/2022 mengatakan bahasa Indonesia menurutnya lebih layak untuk dikedepankan dengan mempertimbangkan keunggulan historis, hukum, dan linguistik. Dalam siaran pers tersebut dengan tegas, mendikbudristek menolak usulan pihak Malaysia tersebut.

Alasan utama Malaysia mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua ASEAN adalah dari segi jumlah penutur dan jumlah yang paham akan bahasa Melayu. Namun, jika hal ini yang menjadi dasar justru bahasa Indonesialah yang memiliki jumlah penutur terbanyak. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa terbesar di Asia Tenggara dan persebarannya telah mencakup 47 negara.

Selain dari sisi jumlah penutur, jumlah peminat bahasa Indonesia di kalangan ASEAN dan wilayah luar negeri lainnya cukup besar . Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin bertambahnya para pemelajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) di luar negeri. Maraknya pembukaan kelas-kelas BIPA di luar negeri menunjukkan semakin banyak jumlah peminat bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah diajarkan sebagai mata kuliah di sejumlah kampus kelas dunia di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, serta beberapa perguruan tinggi terkemuka di Asia. Semakin banyak jumlah peminat berarti akan semakin banyak yang paham akan bahasa Indonesia.

Dari sudut pandang politik bahasa, bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia belum memiliki dasar hukum untuk mewakili kebakuan bahasa. Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia, yang memiliki tata bahasa baku, pedoman ejaan, serta Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Siapa pun yang belajar bahasa Indonesia, siapa pun pengajarnya, dan dimana pun nanti bahasa Indonesia digunakan pastinya akan berpedoman pada tiga acuan tersebut. Berbeda halnya dengan bahasa Melayu di Malaysia yang memiliki varian-varian, seperti di Johor, Serawak, Kucing, Selangor, Kelantan, dan wilayah-wilayah tutur lainnya yang tidak memiliki pedoman yang dapat mewakili. Oleh sebab itu, tingkat keterpahaman bahasa Melayu lebih rendah daripada bahasa Indonesia.

Selain itu, seperti halnya bahasa Inggris, yang saat ini merupakan satu-satunya bahasa resmi di kalangan ASEAN, memiliki alat uji untuk mengukur tingkat keterpahaman bahasa Inggris (TOEFL) bahasa Indonesia pun memiliki UKBI Adaptif Merdeka sebagai alat uji. Sepengetahuan saya (maaf jika keliru) alat uji serupa ini belum dimiliki oleh bahasa Melayu. Dengan demikian perangkat-perangkat ilmiah yang dimiliki bahasa Indonesia sangatlah lengkap, mulai dari dasar hukum pedoman kebahasaan sampai alat uji tingkat keterpahaman. Jadi bukan hanya dari jumlah penutur semata.

Di Indonesia sendiri, bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa daerah yang memiliki beberapa varian dialek berdasarkan wilayah sebarannya. Hal serupa ini juga sama yang terdapat di Malaysia. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa dari sisi sejarah bahasa, bahasa Indonesia memang dilahirkan dari bahasa Melayu. Namun, seiring dengan perkembangannya kedua bahasa tersebut berkembang masing-masing secara terpisah. Mulai dari sudut pengayaan kosakata dengan penyerapan dari berbagai bahasa, sampai kepada makna kosakata tersebut.

Oleh sebab itu, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang berbeda. Sebagai contoh bahwa keduanya berbeda, dalam film animasi anak Upin dan Ipin yang menggunakan bahasa Melayu tetap disertai teks berbahasa Indonesia. Ini karena sejumlah kosakata bahasa Melayu memiliki makna/arti yang berbeda dengan kosakata yang sama dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, akan keliru jika ada yang mengidentikkan kedua bahasa tersebut dengan menuliskan bahasa Melayu/Indonesia.

Ulasan-ulasan tersebut merupakan sekian alasan untuk membawa bahasa Indonesia ke gerbang internasionalisasi bahasa Indonesia ketimbang menyetujui usulan Malaysia untuk mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua di ASEAN. Tulisan ini merupakan pemantik, mengajak masyarakat Indonesia berjuang bela bahasa Indonesia menuju ranah internasional dalam wujud dukungan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di ASEAN. Mari sampaikan ide dan pemikiran kita melalui tulisan, video testimoni, twibbone, dan berbagai media lainnya. Mari semarakkan media sosial kita dengan topik hangat ini. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan mengangkat fungsi bahasa Indonesia. Mari bersatu dalam gerakan “bela bahasa Indonesia”.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa