Pesantren Pena dan Sastra
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tradisional yang hingga kini masih terus eksis di
tengah-tengah berkembangnya zaman. Dalam dunia pesantren yang unik dan tidak
ditemukan di dalam lembaga pendidikan lain terdapat pengajaran
yang berbasis pada literatur bahasa Arab. Karena itu, tidak heran jika kita berbicara mengenai
pesantren,
itu erat
sekali hubungannya dengan sastra,
khususnya sastra Arab, baik fiksi maupun
nonfiksi,
baik yang berbentuk puisi maupun berupa prosa. Di antara karya sastra Arab yang
akrab dengan dunia pesantren adalah kasidah barzanji, kasidah diba’i,
dan kasidah
burdah
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa daerah di Indonesia. Syair-syair
klasik dalam bentuk lagu puji-pujian merupakan bagian dari imajinasi dalam bersastra.
Setidaknya,
posisi sastra dalam diri pesantren begitu tinggi. Membangkitkan kembali sastra di pesantren menjadi penting
sekali untuk menggugah
semangat
bersastra para santri di
pesantren, yaitu semangat menghasilkan
sebuah karya dan semangat
dalam melakukan kreativitas bersastra. Di Nusantara
terdapat banyak sekali pesantren,
baik pesantren Nahdlatul Ulama, pesantren Muhammadiyah, maupun pesantren yang lain. Pesantren-pesantren itu dijadikan
sebagai lahan subur untuk menghasilkan karya sastra dan sastrawan atau
seniman sastra. Kita dapat melihat banyak sastrawan yang lahir dari rahim
pesantren, misalnya
K.H.
Hasyim Asy’ari hingga pada abad 18-an, Cak
Nun, D. Zawawi Imran,
dan Gus Mus.
Akan
tetapi,
jika kita melihat realita sekarang, karya sastra dan kreativitas bersastra
dalam pesantren begitu minim. Hal
itu memunculkan pertanyaan tentang masih adakah keinginan
yang tinggi untuk bersastra di
pesantren?
Kemudian,
yang
menjadi persoalan saat ini adalah
apakah
tidak ada yang mencoba membangkitkan kembali sastra pesantren sehingga sastra
pesantren dapat hidup kembali, tidak terlelap dalam tidur berkepanjangan atau
bahkan mati? Hal itu kemudian
memunculkan
keharusan bagi kita untuk menjawabnya bersama, yakni tentang kepedulian
terhadap sastra pesantren.
Santri harus diberi suplemen gerak bersastra sehingga dari rahim pesantren akan lahir sastrawan yang produktif dan kreatif. Namun, siapakah yang memiliki tanggung jawab untuk menggugah sastra pesantren? Apakah santri itu sendiri atau pihak pesantren? Tentu semuanya terlibat. Mulai dari santri sendiri, mereka dapat mencontoh para founding father yang telah menyatukan diri mereka dengan sastra sehingga dapat dijadikan inspirasi dalam berkarya sastra. Hal itu dapat dilakukan dengan berdiskusi kecil dengan santri terkait dengan sastra atau dengan mengikuti seminar dan workshop yang berkaitan dengan sastra. Pihak pesantren yang memiliki peran banyak tentunya juga dapat memberikan ruang untuk mewadahi santri-santri yang memiliki potensi untuk berkarya sastra. Salah satunya adalah dengan menjadikan pesantren tidak hanya sebagai tempat belajar ilmu agama, tetapi juga sebagai tempat pengembangan bakat dan minat santri, yang dalam hal ini adalah minat bersastra. Pesantren dapat menggugah kemampuan bersastra para santri dengan membuat atau menjadikan pesantren sebagai Pesantren Kepenulisan atau yang dimaksud penulis di sini adalah Pesantren Pena. Wadah tersebut nantinya diharapkan mampu menciptakan santri-santri yang menjunjung tinggi produktivitas dan kreativitas dalam bersastra di pesantren
Pesantren Pena dan Sastra
Kebanyakan pesantren yang
kita jumpai mengajarkan ilmu-ilmu
agama secara
lebih
dominan dan menginternalisasi
nilai-nilai Islam sehingga santri dibentuk untuk memiliki akhlak atau karakter
yang baik. Sedikit sekali pesantren yang di samping fokus pada mengaji, juga fokus untuk
mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki oleh individu seorang santri.
Pesantren Pena atau Pesantren Kepenulisan merupakan tempat belajar bagi seorang
santri untuk
menerima ilmu-ilmu agama sekaligus
mengembangkan diri dalam bakat-minatnya, yakni kepenulisan. Dengan menggeluti
dunia kepenulisan di
pesantren
itulah
nantinya seorang santri akan menghasilkan sebuah karya. Artinya, Pesantren Pena
merupakan suatu lembaga produktif yang menghasilkan karya sastra.
Agar
produktivitas dan kreativitas
terus berlaju dan berkembang,
Pesantren
Pena menjadikan menulis sebagai sebuah tradisi dan pembenahan ruang-ruang
kesusastraan, salah satunya dengan memfasilitasi
kegiatan-kegiatan yang berbau sastra. Di samping itu, dalam Pesantren Pena ini tentunya ada
sebuah jaringan yang dijadikan sebagai informasi yang bergelut di dunia
luar sehingga santri tetap
bisa mengikuti perkembangan serta tidak tertinggal oleh isu-isu yang berkembang
dalam hal kesusastraan.
Kemudian,
dalam
Pesantren
Pena
ini proporsi pengajaran
bahasa Arab dan
pengajaran
sastra seimbang
sehingga santri memiliki kemampuan teknis untuk berkarya satra secara
kreatif. Pesantren
Pena berpotensi melahirkan tidak
hanya santri yang produktif bersastra, tetapi juga sastrawan-sastrawan
hebat yang kreatif.
Pesantren Pena dan sastra ini memiliki hubungan yang sangat erat sehingga tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Dengan adanya Pesantren Pena, sastra akan menjadi terus berkembang. Kreativitas penulisan cerpen, puisi, novel, esai, dan drama dalam pesantren pun akan meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain itu, pengajaran sastra dalam Pesantren Pena ini juga dapat menghindarkan santri dari sastra yang hanya mengandalkan estetikanya sehingga menjauh dari etika. Padahal, perlu kita ingat bahwa identitas diri kita adalah sebagai makhluk yang beragama.
Aktualisasi Pesantren
Pena dalam Penumbuhan Minat
Bersastra Santri
Pesantren
Pena atau Pesantren Kepenulisan sebenarnya sudah ada di daerah Purwokerto,
yakni Pesantren Mahasiswa An-Najah di bawah asuhan Kiai Muhammad Roqib. Tentunya
pesantren tersebut dapat dijadikan sebagai teladan bagi pesantren yang lainnya.
Dalam Pesantren Pena diprogramkan
pembinaan dan penerbitan karya
sastra
di pesantren.
Terkait dengan hal
itu,
pihak pesantren membuat kegiatan atau mengikutkan santri ke dalam
kegiatan yang berkaitan dengan kesusastraan. Selain itu, pesantren juga
memberikan bimbingan dan dorongan kepada santrinya untuk menulis dan
menerbitkan karyanya.
Naskah-naskah sastra,
baik berupa cerpen maupun puisi yang ditulis atau dihasilkan oleh para santri didokumentasikan
dan diterbitkan dalam bentuk antologi.
Pada umumnya, dalam sebuah pesantren aktivitas mengaji
biasanya dilakukan setelah subuh, asar, magrib, dan isya. Materi pengajaran yang disampaikan berkaitan
dengan akhlakulkarimah, adab, andapasor, dan tawadu yang membentuk
karakter santri.
Pengajaran
itu
disampaikan
dengan
model sorogan (mengaji
kitab kuning) yang berupa
kitab-kitab Islam klasik
berisi materi, seperti nahu saraf, fikih, akidah, tauhid atau ushuluddin,
tasawuf atau etika, tafsir, hadis,
dan bahasa Arab.
Dalam Pesantren Pena ini pengajaran tentang sastra setimbang dengan pengajaran ilmu-ilmu agama. Mekanismenya adalah Pesantren Pena tidak menghilangkan unsur-unsur pengajaran tentang ilmu agama, tetapi juga menambahkan pengajaran tentang kesusastraan yang terprogram melalui kelas sastra. Kelas itu terbagi menjadi beberapa kelas, yakni kelas puisi, kelas cerpen, kelas novel, kelas esai, dan kelas drama. Kelas tersebutlah yang nantinya akan menampung bakat dan minat santri dalam hal kepenulisan yang lebih mengerucut. Para santri juga diberikan kebebasan untuk memilih kelas yang mana untuk mengembangkan jati dirinya. Tiap-tiap kelas akan dibimbing oleh ustaz atau seseorang yang mahir di bidangnya untuk memberikan bekal atau materi dasar secara berjenjang yang berkaitan dengan sastra. Dalam pembinaan kreatif, santri tidak hanya diberikan materi, tetapi juga pengetahuan untuk mengeksplor karyanya melalui media massa, seperti koran. Artinya, buah karya sastra dari santri dikirimkan ke koran-koran sehingga selain mendapatkan kepuasan batin, mereka juga memperoleh kepuasaan materiel. Kemudian, pembinaan juga dilakukan dengan mengikutsertakan para santri ke dalam berbagai kegiatan, seperti seminar ataupun pelatihan serta ajang perlombaan. Dalam waktu 1 minggu, setiap santri wajib membuat minimal satu karya berdasarkan kelas yang diikuti sehingga santri selalu aktif dan produktif bersastra setiap hari.
Kerja Sama Pesantren Pena dengan Penerbit Buku
Kerja sama antara Pesantren Pena dan penerbit buku merupakan bentuk usaha yang mendasar untuk menyebarkan dan melestarikan sastra di pesantren. Jika tidak ada kerja sama dengan penerbit, kreativitas santri dalam bersastra akan terhambat karena tidak ada lagi ruang yang memuat karya-karya yang dihasilkan. Dengan adanya kerja sama tersebut, setiap bentuk karya sastra yang dihasilkan oleh santri akan didokumentasikan dan dibukukan dalam bentuk antologi puisi, cerpen, novel, ataupun drama. Hal itu tentunya akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi santri karena karyanya tidak hanya dimuat di media massa, tetapi juga dibaca oleh berbagai lapisan masyarakat. Kerja sama itu diharapkan makin meningkatkan kuantitas karya sastra santri sehingga kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas karya sastra mereka.
Apresiasi
Sastra Santri
Apresiasi
merupakan hal kecil yang perlu diperhatikan. Terkadang, sesuatu akan tergerak
dengan adanya apresiasi. Apresiasi
dapat diberikan dalam
bentuk penghargaan terhadap pengarang (santri) dengan karya sastra terbaik atau terhadap kelas sastra dengan jumlah karya
terbanyak. Itu
merupakan
suatu bentuk kepeduliaan terhadap laju perkembangan sastra. Hal itu diharapkan
dapat membangkitkan
produktivitas dan kreatvitas para santri agar terus menulis karya sastra sehingga kemudian mereka dengan percaya diri dan
berani menerbitkan karya-karyanya.
Akhirnya, dengan hadirnya Pesantren Pena yang
dikemas dalam sistem yang baik,
mulai dari program kelas sastra, pembinaan kreatif dan pemberiaan apresiasi, serta kerja sama dengan penerbit buku, nantinya
sastra di pesantren
tidak hanya bangkit, tetapi
juga angka produktivitas dan kreativitas bersastra para santri akan terus
meningkat,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Daftar
Bacaan
Machsum, Toha. 2013. “Kepengayoman terhadap
Sastra di Pesantren Jawa Timur”. Jurnal METASASTRA,
Vol. 6 No. 1, Juni 2013.
Mansur, Fadlil
Munawwar. 2011. Perkembangan
Sastra Arab dan Teori Sastra Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mukhamad Hamid Samiaji
Penulis adalah periset dan pegiat literasi di rumah kreatif Wadas Kelir, Purwokerto.