Sastra Keagamaan Puisi Indonesia

Goenawan Mohamad pada awal 1960-an menulis artikel berjudul “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini” (Ed. Hoerip, Cet. II, 1982: 137—146). Yang dimaksudkan sastra keagamaan ini adalah genre yang bermaksud memberikan jawaban terhadap situasinya dengan berbasiskan nilai-nilai yang bersifat tradisional keagamaan. Akan tetapi, Goenawan Mohamad juga mempertanyakan latar belakang kehadiran sastra keagamaan, “... hanya bersifat sementara ataukah ia cukup mempunyai landasan yang kukuh buat hidupnya di kemudian hari?” Goenawan Mohamad mengidentifikasi dua hal yang bisa diketengahkan sebagai motif yang melatarbelakangi hadirnya genre tersebut.

Pertama, adalah motif-motif dalam kesusastraan, yakni pencarian identitas sastrawan-sastrawannya; dan yang kedua adalah motif-motif di luar kesusastraan, yakni pengaruh penggolongan serta revalitas antar-golongan di dalam masyarakat (Editor Hoerip, Cet. II, 1982: 138).

 

Namun, Goenawan Mohamad juga mempertanyakan keberadaaan sastra keagamaan itu, “... adakah motif-motif itu mempunyai dasar-dasar yang kuat dan masuk akal?” (Editor Hoerip, Cet. II, 1982: 139). Persoalan tersebut dianalisis, lalu berujung pada, “... kita belum dapat menemukan alasan yang bertanggung jawab bagi genre sastra keagamaan itu untuk hadir dalam kesusastraan kita dewasa ini. Meskipun demikian, adakah hal itu berarti tidak mungkinnya sastra keagamaan diketengahkan sekarang ini?” Goenawan Mohamad membuat simpulan sebagai berikut.

“Saya kira prinsip ini sesuai dengan posisi sastra keagamaan itu dan fungsinya yang khusus: fungsi yang tidak bermaksud untuk mengislamkan pembaca atau mengkristenkannya, melainkan fungsi untuk membantu pembaca dalam menyelesaikan sendiri persoalan hidupnya.

Dari sinilah mutu sastra keagamaan bisa kita perbaiki, sebab prinsip tersebut sesuai dengan kodrat kesusastraan, yakni demokratik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sastra keagamaan tidak identik dengan khotbah-khotbah yang dibungkus dalam sajak, novel ataupun reportoire” (Editor Hoerip, Cet. II, 1982: 145).

 

Akan tetapi, hal itu melatarbelakangi hadirnya genre sastra keagamaan pada awal tahun 1960-an. Pada dekade itu kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia belumlah sekompleks pada dekade milenium tahun 2000-an ini. Penggunaan istilah sastra keagamaan itu sendiri mencerminkan pandangan umum berkenaan dengan sastra berdasarkan dimensi sastra dan pemikiran yang berorientasi pada sumber keagamaan. Istilah sastra keagamaan merupakan cikal bakal perkembangan sastra religi dan sastra religius, sastra profetik dan sastra sufistik atau sastra mistik, sastra Islam dan sastra Islami, dan semacamnya.

Apresiasi awal terhadap kehadiran genre sastra keagamaan sebagai bentuk seni sastra dan pemikirannya pada awal tahun 1960-an ditandai dengan munculnya buku puisi karya Fridolin Ukur; Suparwata Wiraatmadja; dan Muhammad Saribi, naskah teater karya Mohammad Diponegoro, serta novel karya Djamil Suherman.

Kehadiran genre sastra keagamaan ini terus berkembang bersamaan dengan perkembangan kehidupan dan keberagamaan manusia di Indonesia. Bahkan, pada masa ditulisnya artikel oleh Goenawan Mohamad (Jakarta, 7 Juli 1964), terdapat polemik kebudayaan antara orang-orang berpaham ateis yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan seniman Manifes Kebudayaan yang berfalsafah kebudayaan Pancasila. Di antara kaum Manifes Kebudayaan itu ada Taufiq Ismail yang menulis sajak-sajak yang kemudian diterbitkan sebagai buku puisi Benteng (1966) dan Tirani (1966). Kedua buku puisi itu menjadi bagian penting dalam perkembangan sajak keagamaan sekaligus sajak protes sosial.

Jauh sebelum tahun 1960-an, sejak Angkatan Balai Pustaka, kesusastraan Indonesia sudah menghasilkan karya-karya Hamka, yakni Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1939) yang menitikberatkan kehidupan beragama sebagai latar belakang dan sebagai pemecah persoalan kehidupan.

Begitu pula halnya pada masa Angkatan Pujangga Baru. Buku puisi Nyanyi Sunyi (November 1937) dan Buah Rindu (Juni 1941) karya Amir Hamzah serta Puspa Mega (1927) dan Madah Kelana (1931) karya Sanusi Pane dinilai sebagai fondasi perkembangan sastra keagamaan. Bahkan, H.B. Jassin setelah menulis buku Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (Gunung Agung, 1962) membuat simpulan sebagai berikut.

“Amir Hamzah adalah penyair besar dan religius yang meletakkan tradisi besar kesusastraan Indonesia modern. Kemurnian dan nada kepenyairannya tak dapat ditiru, kerinduannya kepada Tuhan, niscaya akan menempatkan kepenyairannya melampaui batas-batas angkatan serta lingkungan geografis dan sosial” (Editor Yusra, 1996: 8).

 

Karakteristik perpuisian Chairil Anwar sangatlah kompleks. Berbagai gaya kepuitisan dalam perpuisian Indonesia kemudian seakan dapat dicarikan rujukannya melalui sajak-sajak karyanya, tidak terkecuali genre sastra keagamaan.

Sajak keagamaan meneruskan alurnya dalam perpuisian Indonesia, misalnya ketika kita menyimak karya Toto Sudarto Bachtiar, sebagai representasi dari sastra keagamaan Angkatan 50 (Pradopo, 1995: 28—31), baik dalam kumpulan sajak Suara (1956) maupun Etsa (1958).

Rachmat Djoko Pradopo menyimpulkan bahwa ada lima ragam perpuisian Indonesia pada periode 19701990, yakni 1) puisi mantra, 2) puisi bergaya imajisme, 3) puisi lugu atau mbeling, 4) puisi yang menonjolkan latar sosial budaya Nusantara (daerah), dan 5) puisi lirik yang masih meneruskan gaya perpuisian Angkatan 45. Menurut Rachmat Djoko Pradopo, puisi bergaya mantra berkembang ke arah puisi mistik. Di Indonesia puisi itu dikenal dengan nama puisi sufistik yang bernapaskan mistik Islam dan mengikuti pandangan ketuhanan para tokoh sufi (1995: 4955).

Namun, pada periode 1970—1990, versi Rachmat Djoko Pradopo, genre sastra keagamaan tidaklah dimasukkan sebagai ragam yang menguat sebagai gaya ungkap puisi. Padahal, berdasarkan pembacaan penulis, justru pada periode itulah sastra keagamaan tumbuh subur. Aprinus Salam (2004) mengkaji secara mendalam tumbuh suburnya sastra sufi pada periode 1970—1990 ini sebagai “oposisi sastra sufi” terhadap represi sosial-politik yang dilakukan oleh negara pada masa rezim Orde Baru Soeharto.

Penyair yang menonjol pada awal 1970-an adalah mereka yang sudah menulis sejak awal 1960-an. Pada periode ini, sastrawan yang karya puisinya bersendikan nilai keagamaan ialah Taufiq Ismail (Benteng, 1966 dan Tirani, 1966), Kuntowijoyo (Suluk Awang-uwung, 1975; Isyarat, 1976; dan Makrifat Daun, Daun Makrifat, 1995), Sutardji Calzoum Bachri (kumpulan sajak 1966—1979; dan O Amuk Kapak, 1981), dan Abdul Hadi W.M. (Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, dan semua karyanya).

Penulis yang karya puisinya didominasi nilai keagamaan Islam periode sesudah tahun 1970, antara lain, ialah  Emha Ainun Nadjib (M Frustasi, Sajak-sajak Sepanjang Jalan, 99 untuk Tuhanku, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Lautan Jilbab, Cahaya Maha Cahaya, Syair-syair Asmaul Husna, dan semua karyanya) dan D. Zawawi Imron (Bulan Tertusuk Lalang, 1982; Nenek Moyangku Airmata, 1985, dan semua karyanya).

Berdasarkan pada Tonggak Antologi Puisi Indonesia Modern, 14 (editor Suryadi AG, 1987), penyair yang puisinya didominasi pemikiran religi atau religiositas, bahkan latar kehidupannya santri, antara lain, ialah Jamil Suherman, Taufiq Ismail, Motinggo Busye, Ajip Rosidi, Apip Mustopa, Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Mohammad Diponegoro, M. Saribi Afn, Daelan Mohammad, Kuntowijoyo, D. Zawawi Imron, Faisal Ismail, Hamid Jabbar, Ahmadun Y. Herfanda, Acep Zamzam Noor, dan Soni Farid Maulana.

Dengan mengacu pada buku Horison Sastra Indonesia 1, Kitab Puisi (editor Ismail dkk., 2002), penyair pada periode 19701990-an yang puisinya didominasi pemikiran religi atau religiositas, bahkan latar kehidupannya santri, antara lain, ialah Sutardji Caloum Bachri, Abdul Hadi W.M., dan Emha Ainun Nadjib (ketiganya menolak puisinya dimasukkan dalam antologi Tonggak), Husni Jamaluddin, A. Mustofa Bisri, Mustofa W. Hasyim, Isbedy Stiawan ZS, Zeffry J. Alkatiri, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Ahmad Nurullah, Mathori A. Elwa, Abdul Wachid B.S., Ulfatin Ch, dan Jamal D. Rahman. Penyair yang tidak tercantum dalam buku tersebut, tetapi pemikirannya senapas ialah puisi Abidah El-Khalieqy dan Hamdy Salad.

Sampai dekade ini, pertanyaan Goenawan Mohamad masih relevan jika kita ajukan, yakni adakah pertanggungjawaban terhadap persoalan dewasa ini yang diberikan oleh para pengarang keagamaan dalam jawaban mereka yang berbasiskan sistem nilai-nilai tradisional keagamaan?

Karya sastra ditulis oleh sastrawan yang hidup di tengah realitas sosialnya. Karena itu, faktor sastrawan sebagai manusia individual dan sebagai manusia sosial saling memengaruhi. Dari situ, sastrawan tidaklah steril dari kehidupan di sekelilingnya atau lingkungan masyarakatnya, baik sebagai masyarakat adat, masyarakat budaya, maupun masyarakat pemeluk suatu agama. Sastrawan adalah manusia yang hidup di tengah manusia lain dan menuliskan kehidupan manusia dalam karya sastranya. Oleh sebab itu, apa, mengapa, dan bagaimana yang dituliskan sastrawan dalam karya sastranya merupakan segala ikhwal untuk merespons manusia, termasuk manusia Indonesia. Kiranya demikian pula yang direspons oleh sastrawan keagamaan.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah seorang penyair, lulusan doktor dari Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa