Universitas yang Terlambat Membaca Sastra

Itu sore yang tak terlalu panas ketika Siti Maulid Dina, cerpenis asal Sumut, mengatakan kepada saya bahwa buku-buku sastra (baca: novel) karya Idris Pasaribu telah banyak dijadikan bahan dasar kelulusan untuk tingkat strata satu.

            Pada waktu itu kami--saya, Siti Maulid Dina, dan Idris Pasaribu--berada di belakang gedung pameran. Niat saya saat itu ialah ingin bergabung di dalam musyawarah pembentukan Dewan Kesenian Medan (DKM). Namun, saya urungkan karena kemudian setelah dipikir-pikir, siapa pun nantinya yang terpilih menjadi pengurus DKM tentu tidak akan menyemarakkan sastra di Medan, yang paling tidak membuat sayembara atau penghargaan bagi penulis-penulis di Medan. Terlebih, apa urusan saya datang ke tempat dan acara berkelas semacam itu tanpa diundang oleh penyelenggara?

            Perkataan Siti Maulid Dina tentu membuat penulis mana pun bangga. Di tengah bercecerannya buku-buku baru yang diterbitkan banyak penerbit, tentu sulit sekali bagi pembaca yang linglung menentukan bahan yang bagus untuk dibaca. Hal tersebut belum termasuk jika kita menengok ke arah ringannya penerbit masa kini menerbitkan sebuah buku tanpa memperhatikan hal-hal fundamental dan teknis, seperti kebahasaan.

            Sebagai parameter, sepanjang tahun setidaknya tiap-tiap penerbit di Indonesia mampu menerbitkan 30 ribu eksemplar buku. Pada tahun 2013 (Bambang Trim dalam Informasi Industri Buku Indonesia) tercatat penjualan buku di Indonesia jatuh di angka 33.199.557 eksemplar. Hal itu dipersempit kembali bahwa dalam angka yang banyak itu, buku-buku sastra dan fiksi menyumbang sebesar 13 persen. Apabila kita melakukan kalkulasi secara kasar, penjualan buku-buku sastra dan fiksi tidak mencapai angka 4 juta per tahun.

            Hal tersebut tentu betapa timpang dibandingkan dengan penjualan buku-buku anak yang sebesar 23 persen. Begitu pula dengan betapa membuat terhenyak jika disamakan dengan penjualan buku-buku pendidikan dan agama yang masing-masing sebesar 13 persen. Saya tuliskan "terhenyak" dalam kalimat sebelumnya dan "timpang" dalam dua kalimat sebelumnya karena kategori fiksi dan sastra yang mendapat porsi sebesar 13 persen tidaklah secara keseluruhan jika memperhatikan dua variabel "fiksi" dan "sastra".

            Dalam klasifikasinya, fiksi dan sastra adalah dua kategori yang acap disamakan, tetapi secara tekstual sangat rapuh disamaratakan. Ada pembawaan yang cenderung lebih menonjol bagi kategori sastra secara tekstual dibandingkan dengan kategori fiksi. Dalam hal ini saya tak bermaksud ingin menyederhanakan hal tersebut sebagai sastra pop dan sastra kontemporer, tetapi memang fiksi dan sastra bukanlah suatu kesatuan. Itu sangat jelas.

            Apabila kita cukup adil setelah membedakan fiksi dan sastra sebagai dua variabel yang berbeda, dengan tak berat hati, dengan angka 13 persen, kita bisa membagi sama rata sebesar 6,5 persen tiap variabel. Dengan angka sekecil itu tentu penjualan buku-buku sastra tidak mencapai angka 3 juta.

            Namun, dengan angka yang sekecil itu pula, tidak menutup peluang bahwa ada saja buku-buku yang akhirnya dibiarkan berdebu saja, sekadar mendapatkan ISBN tanpa ada penjualan. Hal tersebut nyata sebab makin besar angka penerbitan, akan membuat peluang buku-buku sulit terjual.

            Dengan berangkat dari angka-angka di atas dan celetuk Siti Maulid Dina, bagaimana kini proses dijadikannya buku-buku sastra sebagai bahan dasar kelulusan untuk tingkat strata satu? Penulis mungkin boleh bangga dengan dirinya sendiri atas pencapaian bahwa bukunya dijadikan ruang riset di dunia akademik (baca: universitas). Seperti halnya Idris Pasaribu dengan Mangalua miliknya, pada kiwari ini mulai banyak dijadikan ruang riset.

            Namun, tentu ada satu bentuk pertanyaan yang patut kita lemparkan ke gelanggang bahwa bidang akademis (baca: universitas) memang sangat terlambat membaca iklim sastra, paling tidak di Indonesia.

            Contoh lainnya adalah Cantik Itu Luka, novel yang terbit pertama kali pada tahun 2004 dan telah dicetak ulang belasan kali, baru bisa mendapatkan akses sebagai novel yang patut dikaji di universitas pada 4 tahun belakangan. Itu artinya, butuh waktu 1 dekade lebih, persisnya 14 tahun, bagi universitas untuk menyadari keberadaan Cantik Itu Luka.

            Di sini saya tak ingin mengatakan bahwa semuanya adalah kesalahan mahasiswa belaka, tetapi memang ada daya sebab-akibat yang memacu hal tersebut. Secara empiris (berdasarkan pengalaman saya), pengajar sastra di tempat saya berkuliah tidak mengenal sama sekali siapa itu Knut Hansum, Kafka, Haruki Murakami, Kawabata, Osamu Dazai, dan banyak penulis lainnya.

            Apabila kemudian Mangalua saat ini banyak dijadikan bahan riset, betapa malu kita sebagai orang-orang yang mengaku terdidik. Kita seperti orang kota yang pindah ke kota lain dan merasa takjub. Padahal, kota sama saja. Mungkin kita yang membangun perspektif bahwa orang-orang di desa seluruhnya arif belaka. Dari sana kita memang benar-benar terlambat membaca sastra.

Raja Malo Sinaga

Penulis merupakan merupakan mahasiswa PBSI, Universitas HKBP Nommensen, Medan. Saat ini bekerja untuk Peta Rumah sebagai copywriter.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa