Pluralisme Sastra

Keberagaman dalam berekspresi adalah jembatan untuk menyatukan wujud nilai perbedaan. Namun, tidak jarang pula hal itu menjadi potensi timbulnya konflik karena tidak dibangun dan didasari prinsip humanisme (kemanusiaan). Latar belakang ego yang sempit serta perkembangan dimensi sosial yang penuh dinamika melahirkan pelbagai perbedaan.

Sastra sebagai bagian dari kelenturan budaya seyogianya menjadi jalan atau media dalam mencapai tujuan prinsip-prinsip humanisme. Akar budaya yang tertanam puluhan abad silam merupakan dimensi egaliter (kecenderungan berpikir bahwa seseorang harus diberlakukan sama) demi tujuan mematangkan semarak kehidupan sastra.

Dalam referensi harfiah, tentu kita cukup memahami makna pluralisme dalam sastra. Dalam perjalanannya, sastra memunculkan berbagai aliran, seperti idealisme, materialisme, dan eksistensialisme. Dalam kamus umum, ragam sastra sering disebut sebagai genre sastra. Objek sastra memiliki dimensi ruang yang tidak terbatas, hingga menjadi subjek pembahasan yang tidak mengenal waktu. Mungkin dengan cara dan gaya yang berbeda, penulis meyakini begitu banyak penulis lain yang menulis tentang hal tersebut.

Pada sisi ini, penulis ingin mengejawantahkan makna sastra yang tidak terikat pada aturan teori. Selama ini kita sering terjebak dan terkungkung dalam subjektivitas pemikiran. Tanpa sadar kita telah membelenggu, bahkan memenjarakan objektivitas pemikiran dinamis. Lalu, apakah ada penyair atau sastrawan yang terlahir dalam kebesaran sastra, tetapi harus terikat oleh sebuah aturan yang normatif? Esensi nilai sastra tidak harus dibatasi pada sebuah sublimasi atau metafora aksara sehingga mematikan dalil kreativitas pemikiran positif.

Kita tentu tidak menampik kritik yang sifatnya perbaikan. Namun, sejauh mana kritikan itu bisa memberi nilai ukur (kualitas) pada karya-karya sastra yang dihasilkan? Bagaimanapun, karya-karya sastra yang bagus dan berkualitas harus melalui proses seleksi alam. Harus kita akui bahwa banyak pegiat sastra yang mengelak dan menghindari proses itu karena kehidupan sastra kini berada di dimensi ruang yang sangat dekat dengan pembaca.

Ketika beberapa abad silam seorang penyair besar Eropa, Johann Wolfgang von Goethe, terlahir dengan latar belakang berbagai disiplin ilmu, dunia sastra Barat seolah-olah seperti tidak tertandingi. Mahakarya besar lahir sehingga sastra Barat dianggap sebagai simbol dari segala peradaban sastra. Goethe tidak hanya merupakan sastrawan, tetapi juga merupakan tokoh filsafat pada masa itu.

Revolusi sastra Barat dianggap sebagai karya absolut sehingga tak pernah terpikirkan bahwa sastra Timur juga mempunyai daya religius yang sangat tinggi dan menawan. Namun, sastra Timur tak mampu dibandingkan dengan sastra Barat dalam pergulatan eksotisme dan subjektivitas Barat. Kemudian, muncul sastrawan-sastrawan sufi yang berpegang pada esensi religiositas karya, terutama di Jazirah Arab.

Jika dilihat perbedaan sastra antara Barat dan Timur, memang bukanlah sebuah kultus yang harus diperbandingkan. Namun, karena dimensi seni berkembang juga seperti halnya ilmu pengetahuan, hal itu membuka ruang wawasan baru hingga akhirnya pada satu masa, sastra Barat menjadi membosankan dan penuh daya tipu muslihat. Goethe pun membaca situasi itu, kemudian menjadi tertarik untuk mendalami sastra Timur yang telah melahirkan sastrawan terkenal, seperti Attar, Iqbal, dan Rumi.

Dalam beberapa perbandingan, sastra adalah ilmu tanpa wujud yang mendeklarasikan topik pemikiran sastrawan hingga melahirkan sebuah nilai dan ilmu. Catatan karya sastrawan Barat dan Timur di atas bisa kita ambil secara sederhana dalam perbandingan keberagaman genre sastra.

Dengan demikian, konsep pluralisme juga terjadi dalam catatan perjalanan sastra. Namun, sayangnya pada masa kini kebanyakan pegiat sastra mematangkan pengakuan dirinya sebagai seorang sastrawan ataupun penyair dari sebuah proses instan, tanpa melewati sebuah proses seleksi alam yang terukur (terdapat parameter). Itu sangat sulit karena nyatanya sampai saat ini kita belum mampu menjadikan sastra sebagai sebuah industri sehingga tidak ada nilai ukur (parameter) yang jelas.

Tanpa disadari, seiring perubahan zaman yang berorientasi pada pemikiran-pemikiran bebas, tempat dimensi kontemplasi telah memberikan kebebasan kepada orang per orang, orientalis sastra sangat banyak dipengaruhi oleh berbagai aliran yang individualis. Konteks sintaksis dan morfologis diperlunak dengan pemahaman individu. Karena itu, tidak heran jika saat ini bermunculan karya-karya sastra yang dikatakan sebagai karya absurd (tidak masuk akal). Karya-karya sastra pun menjadi uji coba para sastrawan untuk mencari jati diri yang baru meski harus menabrak prinsip-prinsip dasar teori sastra.

Jika sebelumnya diambil contoh karya Johann Wolfgang von Goethe, hal itu hanya untuk menggarisbawahi titik masa yang kini tentunya sudah tidak relevan. Hanya saja, ikatan emosional yang menjiwai karya-karyanya telah menanamkan makna-makna filosofi yang terus dipakai sampai saat ini. Tentu akan berbeda perbandingannya jika kita menyamakannya dengan Chairil Anwar, misalnya. Sastra itu merupakan sebuah karya yang dinamis. Artinya, terdapat polarisasi pemikiran dan masa yang dilewati oleh para sastrawan.

Ada yang harus kita cermati dalam perubahan sosial sebagai akibat perubahan masa yang terus bergerak sesuai dengan dinamika zaman. Ini adalah masa saat teknologi berkembang begitu pesat dan sangat masif sehingga terjadi pergeseran tekstur sosial. Hal itu mengakibatkan rendahnya literasi dan kerancuan penggunaan bahasa baku. Bahasa yang diserap oleh penulis dan pegiat sastra banyak termanipulasi oleh informasi bahasa yang salah. Sebagian lapisan pembaca terlalu bergantung pada penulisan frasa yang didapatkan dari media berbasis daring.

Munculnya paradigma baru dalam eksodus sastra (meninggalkan tempat asal secara besar-besaran) mengarahkan pada bentuk dan aliran sastra baru. Itu karena perkembangan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat secara tidak sadar menyemarakkan kehidupan sastra serta turut berperan di dalamnya meski dengan alasan agar hal itu tetap bisa menghasilkan dan mempertahankan karya-karya sastra.

Bagi sebagian penulis sastra pun, terutama bagi para pemula, tidak begitu sulit untuk bersaing dalam proses seleksi alam untuk menghasilkan karya objektif. Di satu sisi, peran kritik sastra tidak mampu mengimbangi kesalahan-kesalahan dasar penulis karena begitu banyaknya media berbasis daring.

Seyogianya, meski sastra berkembang tanpa batas karena dinamika teknologi dan pikiran, bukan berarti hal itu meninggalkan konsep dasar tentang literasi dan kebahasaan. Pluralisme sastra yang berkembang begitu pesat seharusnya tidak meninggalkan beberapa aspek yang menjadi nilai kesatuan dalam kerangka kebangsaan, yakni budaya dan estetika bahasa. Untuk itu, mungkin perlu ada sebuah regulasi (aturan) yang mengatur kedudukan dan tujuan sastra secara nasional.

Dalam beberapa sudut pandang dan dari catatan sejarah sastra yang panjang di negeri kita, sudah sewajarnya kita sangat mengapresiasi munculnya seniman-seniman sastra hebat antargenerasi. Pluralisme terjadi karena adanya pembacaan dinamika zaman yang berbeda. Untuk itu, kita bisa berbangga dengan beberapa sastrawan besar, seperti Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi, Budi Darma, Calzoum Bachri Soetardji, dan Pramoedya Ananta Toer.

Artinya, pluralisme sastra berdampak pada perubahan genre yang saling melengkapi sesuai dengan ukuran waktu yang bergulir. Karena itu, kematangan karya sastra tidak hanya diukur dengan kecepatan pembaca untuk menjangkau karya sastra melalui dimensi media yang berbasis teknologi digital. Ada proses yang harus dilewati meski begitu naif kalau dikatakan bahwa terjadi pembiasan yang membatasi ruang kreatif antara senior dan junior. Dimensi sastra pada dasarnya tidak menganut pembatasan usia seorang seniman sastra, tetapi lebih berpijak pada kualitas dan konsistensi karya yang dihasilkan seseorang.


Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa