Waktunya Bercerita Sejak Dini

Azam dan Zakky adalah dua sahabat yang selalu duduk bersebelahan di kelas PAUD Wadas Kelir Purwokerto. Meskipun mereka aktif bermain dan sering terlihat berkejar-kejaran di luar kelas, di dalam kelas mereka cenderung diam dan tampak tidak menikmati pelajaran membaca dan berhitung. Azam yang periang sering melontarkan celetukan jenaka kepada guru saat diminta mengeja, sedangkan Zakky sering terdiam lama dan tidak merespons perintah guru untuk mengeja. Namun, saat diberikan kertas kosong dan diminta untuk menggambar pelangi setelah hujan, Azam dan Zakky menuangkan cerita seru di atas kertas. Azam bercerita bahwa dia mengundang Zakky datang ke rumahnya. Azam menggambar Zakky di jalan setapak rumahnya bersama ibu guru dan teman-teman yang lain. Sebagai balasannya, Zakky pun menggambar Azam bermain dengannya di halaman rumahnya. Sambil terus bercerita tentang permainan-permainan yang mereka lakukan bersama, Azam dan Zakky terus memenuhi gambar mereka dengan objek gambar yang detail. Ibu guru sedang melihat mereka tampak semangat dan terlibat dalam pelajaran.

Anak-anak suka sekali bercerita dan mendengarkan cerita. Sejak belum dapat berbicara dengan fasih, seorang anak bercerita untuk mendapatkan perhatian orang dewasa. Anak mungkin bercerita tentang peristiwa jatuh dan terluka. Ia juga bercerita tentang betapa beraninya ia saat melihat lukanya diplester. Anak yang lain menceritakan aksi sang superhero idola dan meragakan jurus-jurus sambil mengenakan jubah superhero. Ketika bercerita, anak-anak pun mencampuradukkan fakta dengan khayalannya. Misalnya, ketika ia bertemu Batman saat pergi ke supermarket. Anak melakukan ini bukan karena berbohong, melainkan karena ia mengetahui fungsi sosial sebuah cerita, yaitu sebagai alat untuk mengesankan pendengar dan menggambarkan dirinya sebagai seorang protagonis atau tokoh utama dalam cerita. Fungsi cerita ini dipahami anak pada saat orang dewasa bercerita dan berperan dalam kehidupan sosialnya.

Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang kaya dengan cerita akan tumbuh dan cakap dalam kecerdasan bahasa. Cerita tidak hanya menjembatani perkembangan kognitif dan kemampuan bahasa anak, tetapi juga menjadi jendela imajinasi bagi anak. Selain itu, cerita juga mengasah kecerdasan emosional dan rasa empati anak. Buktinya pada saat bercerita dan menyimak, anak berempati dan mengekspresikan kepedulian terhadap tokoh cerita. Dari sinilah, cerita menjadi bagian terpenting dari kehidupan anak-anak sejak dini.

Memaknai Bercerita Sejak Dini

Bercerita merupakan praktik interaksi sosial yang mudah karena ada suatu budaya menggosip manusia sejak purba. Hampir setiap munusia dapat melakukannya secara natural karena mereka melihat dan mempraktikkannya secara turun-temurun. Manusia dewasa dapat bercerita dengan membacakan buku dan bahan bacaan lain. Kemampuan menyimak cerita merupakan kecakapan literasi dini yang sangat penting. Anak yang sering diceritakan kisah-kisah akan mengakrabi elemen sastra, seperti tokoh cerita, latar, tema, pesan cerita, juga alur cerita. Pengetahuan perihal elemen cerita akan memudahkan pemahamannya ketika ia membaca sendiri buku-buku cerita. Salah satu contoh adalah cerita memiliki alur yang cenderung seragam, yaitu diawali dengan  ‘‘Pada suatu hari…’’ dan diakhiri dengan ‘‘…mereka hidup bahagia selamanya.’’ Alur ini akan memampukan anak untuk melakukan inferensi, prediksi terhadap akhir cerita, dan menghubungkan sebab-akibat dalam cerita. Kemampuan pengetahuan terhadap alur dan elemen cerita ini akan mengembangkan skema dalam kognisinya tentang konsep cerita. Di akhir fasenya, ketika seorang anak sudah dapat menulis, ia dapat menuangkan konsepsi ini dalam peta konsep ceritanya.

Selain itu, tema dalam cerita yang biasanya menggambarkan tokoh baik dan jahat serta perjuangan melawan kejahatan mendekatkan anak terhadap permasalahan dalam realitas hidup mereka. Nilai-nilai moral dalam cerita membantu mereka untuk mengatasi permasalahan keseharian secara realistis. Cerita yang berasal dari pengalaman keseharian orang tua, pengasuh, atau cerita yang diambil dari kearifan lokal dan budaya akan meningkatkan literasi budaya anak. Dalam buku Saatnya Bercerita Mengenalkan Literasi Sejak Dini karya Sofie Dewayani dan Roosie Setiawan terdapat tiga kecakapan literasi dalam dua bulan pertama, yaitu mendengar, komunikasi verbal, dan visual. Kegiatan bersama anak-anak yang dapat dilakukan orang tua pada tahap ini adalah bermain, bernyanyi, dan membacakan cerita dengan nyaring. Membacakan cerita nyaring kepada anak sebaiknya dilakukan oleh kedua orang tua dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

1. Tahapan perkembangan anak dan tujuan membaca.

2.  Posisi kegiatan membaca disesuaikan dengan perkembangan motorik anak.

3.  Pemilihan buku untuk anak, yaitu

a. buku konsep: sebuah buku berisi gambar dan kata yang menunjukkan nama gambar tersebut;

b. buku dengan konten mengenai benda-benda di lingkungan terdekatnya;

c. buku berima atau buku dengan kata pendek yang berulang; dan

d. buku yang terbuat dari karton dengan ukuran yang mudah dipegang oleh tangan mungil anak.

Ketika bermain atau berkegiatan dengan anak, orang tua dapat bernyanyi atau bersenandung untuk menenangkan anak dan membangun suasana menyenangkan.

Anak-anak yang berumur 46 tahun mengeksplorasi dunianya dengan banyak berbicara dan bercerita. Ketika dibacakan buku pun, mereka akan merespons secara lisan atau menunjukkan minat terhadap cerita melalui ekspresi wajah dan gestur. Untuk melatih pemahaman anak terhadap cerita, kegiatan menceritakan ulang sebuah cerita yang baru dibacakan merupakan metode yang dapat mengembangkan kemampuan bertutur mereka.

Akan tetapi, kegiatan menceritakan sering terjadi tidak natural dan bahkan menjadi beban apabila orang tua dan guru memberikan instruksi, seperti ‘‘Bisakah kamu menceritakan kembali isi buku ini?’’. Permintaan yang umum seperti ini hanya akan direspons oleh anak-anak yang aktif dalam berbicara dan berani mengemukakan pendapatnya. Sebagian anak-anak berumur 4—6 tahun tidak memiliki karakter seperti itu. Untuk memotivasi semua anak agar mampu menceritakan kembali cerita yang ia dengar, orang tua dan guru dapat memancing dengan pertanyaan yang spesifik, seperti ‘‘Di awal cerita tadi, apa yang dilakukan oleh tokoh? atau “Dia bertemu siapa?’’. Respons anak kemudian dapat ditanggapi oleh orang dewasa dengan pertanyaan, ‘‘Lalu, apa yang terjadi?’’ atau yang lebih spesifik lagi, seperti ‘‘Mengapa ia marah?’’. Dari sinilah, pertanyaan tersebut akan direspons anak dalam berbicara.

Ada cara terbaik untuk anak bercerita, yaitu menceritakan awal, tengah, dan akhir cerita, serta dialog. Menceritakan alur cerita membantu anak menstrukturkan pemahamannya terhadap cerita. Orang tua dan guru dapat menanyakan kepada anak ‘‘Apa yang dilakukan tokoh di awal cerita? Lalu, apa yang dia lakukan?atau Apa yang dialami/dilakukan tokoh di akhir cerita?’’. Cara selanjutnya adalah menceritakan dialog. Ketika dibacakan cerita, anak mungkin belum mampu memisahkan perkataan tokoh dengan narasi cerita. Konsep dialog dalam cerita adalah suatu hal yang kompleks bagi anak berusia 46 tahun. Buku-buku yang memiliki dialog yang banyak (dua tokoh berbicara dengan saling menimpali pada satu halaman) biasanya ditujukan pada pembaca lanjut (mulai SD kelas atas). Simbol seperti kata kutip yang menandai pertanyaan tokoh biasanya tidak dikenalkan di buku gambar untuk pembaca berusia dini. Namun, setelah membaca buku, orang dewasa dapat menjelaskan konsep tentang dialog dalam bahasa yang sederhana. Dari sinilah, orang tua dapat mengulang cerita dengan menyediakan kertas kosong atau langsung menceritakan kembali.

Media Bercerita untuk Anak

Media bercerita terdiri atas cerita lisan dalam praktik bercerita yang dikenal dengan istilah dongeng dan buku bacaan untuk anak. Praktik mendongeng (storytelling) dan membaca buku dengan nyaring (read-aloud) merupakan kegiatan bercerita yang dapat dilakukan di rumah dan di sekolah. Membacakan buku merupakan satu-satunya media bercerita yang menyenangkan. Bahkan, kosakata baru anak akan bertambah dengan membacakan buku. Hal-hal yang diperhatikan pada kegiatan bercerita adalah sebagai berikut.

Pertama, panjang dan jenis cerita. Pilih cerita sesuai latar belakang, usia, dan minat anak. orang tua dan guru tidak ingin anak mendengar cerita yang terlalu rumit sehingga sulit dimengerti ataupun terlalu panjang untuk daya konsentrasinya.

Kedua, tempat dan situasi yang nyaman. Sebelum mulai bercerita, pilihlah tempat yang nyaman, tidak terlalu bising, dan suhunya tepat. Perhatikan apakah setiap anak duduk dengan baik dalam posisi yang tidak menghalangi satu sama lain. Perhatikan pula, apakah setiap anak dapat mendengarkan suara dengan baik.

Ketiga, pengantar cerita. Sebelum bercerita, sapalah anak-anak dan ajak mereka berbicara dengan akrab untuk menghangatkan suasana. Berikan beberapa kata kunci cerita: apakah mereka mendengar kata-kata tersebut? di mana? dan apa yang mereka pikirkan tentang kata-kata tersebut? Dapatkah mereka membuat prediksi tentang kata-kata tersebut? Ceritakan pula tentang latar belakang dari cerita yang akan orang tua dan guru sampaikan. Mengapa anak-anak memilih cerita tersebut? Mengapa kamu menyukainya? Dari mana kamu mendapatkan cerita tersebut?

Keempat, ekspresi wajah dan gestur yang mendukung cerita. Sesuaikan ekspresi wajah dan gestur dengan tema cerita, karakter tokoh, dan usia pendengar. Untuk anak usia dini, ajaklah mereka menirukan adegan-adegan yang dilakukan tokoh cerita. Volume artikulasi pengucapan penutur cerita juga harus dapat didengar oleh anak.

Kelima, libatkan anak melalui pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan kemampuan berpikir anak-anak. Selain itu, minta anak-anak untuk memeragakan adegan-adegan yang dilakukan oleh tokoh cerita.

Keenam, alat peraga yang mendukung cerita. Anak-anak senang mendengarkan cerita yang dihidupkan dengan kehadiran alat peraga berupa kostum yang sesuai tokoh, properti latar untuk mendukung suasana dan latar cerita, serta perlengkapan lain, seperti boneka atau benda properti lain. Namun, penutur cerita perlu tetap berfokus pada upaya menghidupkan cerita melalui pemilihan, penciptaan, dan penyajian cerita yang baik. Properti dan alat peraga berfungsi sebagai pendukung semata.

Setelah memperhatikan cara-cara bercerita pada anak usia dini, orang tua di rumah perlu meluangkan waktunya untuk berbincang dan berbagi kisah. Kegiatan bercerita di rumah dapat dilakukan dengan berbagai media sebagai berikut.

Pertama, pengalaman pribadi. Setiap anggota keluarga memiliki pengalaman. Anak-anak senang mendengarkan kisah-kisah pengalaman orang tua dan kakek-nenek. Pengalaman biasanya menjadi media untuk mengajarkan nilai-nilai. Orang tua, misalnya, sering berkisah tentang pengalaman masa kecil untuk menyampaikan nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian, dan kerja keras. Pengalaman juga menjadi media untuk berbagai cara menyelesaikan masalah. Misalnya, orang tua dapat berbagi kisah tentang cara mengatasi ketakutan tertentu di masa kecil. Karena kisah pengalaman ini dialami sendiri oleh orang dewasa, anak mempelajari nilai dari pengalaman dengan cara yang tidak menggurui.

Tidak hanya orang tua, anak-anak pun memiliki kisah untuk dibagi. Anak berbagi kisah pengalaman untuk melepaskan ketegangan, kecemasan terhadap sesuatu, mencurahkan perasaan negatif, dan menanyakan pendapat. Berkisah tentang pengalaman merupakan cara yang efektif bagi setiap anggota keluarga untuk memahami satu sama lain dan mengekspresikan dukungan serta kasih sayang.

Kedua, foto keluarga. Berbagai foto keluarga semakin mudah didokumentasikan dengan kehadiran gawai dan media digital. Pada hari-hari tertentu yang istimewa, orang tua dapat berbagi foto terkait hari itu untuk sekadar membangkitkan memori yang menyenangkan dan mengenang kebersamaan keluarga. Orang tua dapat mengajak anak untuk menata album dan foto-foto lama. Koleksi foto ini sewaktu-waktu dapat menjadi media bercerita.

Ketiga,  benda-benda kenangan, seperti pakaian, surat, mainan lama, dan lainnya. Ketika membereskan dan menata ulang benda-benda lama, libatkan anak-anak agar mereka berceloteh menelusuri kenangan yang hadir bersama benda-benda tersebut. Apabila benda-benda tersebut berasal dari masa ketika mereka belum lahir, ceritakanlah pengalaman dengan benda-benda tersebut.

Keempat, bahan bacaan, seperti buku cerita, majalah, koran, dan lainnya. Setiap keluarga pasti memiliki bahan bacaan (bahan seperti teks) meskipun dengan jumlah yang berbeda. Cerita dalam buku, majalah, atau koran, merupakan media yang baik untuk berbagai kisah. Hubungkanlah cerita tersebut dengan pengalaman pribadi kepada anak-anak. Sampaikanlah kepada anak-anak, apakah ia menyukai cerita dan mengapa ia menyukai cerita tersebut. Bacalah cerita pada saat menjelang tidur siang atau tidur malam. Saat gelombang otak bekerja dengan tenang, saat itulah konsentrasi dan perhatiannya tercurah dengan maksimal.

Kelima, media multimodal, seperti tayangan televisi, film, konten digital, dan lainnya. Mungkin sulit untuk melepaskan anak dari mainan gawai. Selain menerapkan batasan waktu untuk menggunakan gawai dan mengawasi kelayakan konten media, jadikanlah film dan video yang mereka tonton atau games yang mereka mainkan sebagai bahan diskusi dan cerita. Mendiskusikan sebuah film yang baru ditonton bersama merupakan quality time yang dapat meningkatkan kemampuan nalar anak. Tanyakanlah kepada anak-anak tentang alasan ia menyukai film tersebut, tokoh yang ia sukai, dan pendapatnya tentang cerita tersebut.

Keberhasilan Bercerita bagi Anak

Apabila bacaan tidak tersedia, sumber cerita dapat berupa pengalaman sehari-hari, pengalaman masa kecil manusia dewasa, atau cerita rakyat yang begitu banyak tersedia di sekeliling kita. Bercerita memiliki sepuluh manfaat sebagai berikut.

1. Menanamkan nilai-nilai karakter pada anak.

Anak dapat memetik hikmah berupa nilai moral dan keagamaan yang terkandung dalam sikap dan tindakan tokoh cerita.

2. Mengenalkan kekayaan budaya dan akar jati diri kepada anak.

Cerita dongeng umumnya berasal dari kekayaan tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Cerita ini mengandung kearifan lokal, nama tokoh, dan nama tempat yang dipadukan dengan dongeng. Muatan ini menambah wawasan anak tentang budaya dan tempat mereka dibesarkan.

3. Meningkatkan kecakapan komunikasi verbal.

Ketika mendengar cerita dan tokoh kesukaannya, anak akan sulit menahan diri untuk tidak merespons cerita. Anak akan berpikir, berkomentar, dan menjawab pertanyaan tentang cerita untuk meningkatkan kecakapan komunikasi verbal mereka.

4. Meningkatkan kemampuan menyimak.

Cerita yang menarik akan membuat anak memusatkan perhatian selama beberapa waktu. Keingintahuan terhadap akhir cerita akan membuat anak untuk duduk tenang dan menyimak cerita.

5. Meningkatkan kreativitas dan daya imajinasi.

Latar cerita terjadi di tempat yang biasanya berjarak dari dunia anak, seperti taman, hutan, atau negeri dongeng. Mendengar dongeng yang berlatar tempat-tempat ini akan membawa anak berkelana menjelajahi tempat-tempat yang jauh.

6. Mengasah ingatan.

Cerita memiliki beberapa elemen, di antaranya adalah tokoh, latar, dan alur. Untuk memahami isi cerita, anak perlu mengingat elemen-elemen tersebut. Kemampuan mengingat ini melatih kerja otak anak.

7. Meningkatkan pembendaharaan kosakata.

Cerita lisan dan cerita dari buku memiliki pembendaharaan kosakata yang lebih kaya dibandingkan kata yang digunakan anak dalam percakapan sehari-hari. Apabila dibacakan cerita sesering mungkin, pengetahuan anak tentang kata akan bertambah.

8. Menjalin komunikasi anak dengan orang disekitarnya.

Saat mendengar cerita, anak menanggapi cerita bersama dengan temannya dan orang dewasa yang membacakan cerita itu. Anak pun akan belajar untuk menyampaikan pendapat, berinteraksi dengan orang lain, serta memperhatikan etika dalam berinteraksi agar dapat diterima oleh lingkungannya.

9. Meningkatkan keintiman dan kedekatan antara anak dan orang dewasa.

Ketika dibacakan buku atau mendengarkan cerita, anak akan menyaksikan mimik wajah dan gestur tubuh orang dewasa yang jenaka, menyenangkan, dan menenangkan. Mereka akan mengembangkan rasa percaya dan senang kepada orang dewasa tersebut. Hal ini akan menjalin kedekatan emosional.

10. Menumbuhkan empati dan kecerdasan emosional anak.

Saat dibacakan buku atau mendengarkan cerita, anak akan belajar untuk mengembangkan empati terhadap tokoh cerita. Perhatian dan sikap empati kepada orang lain akan menumbuhkan kepekaan hati dan kecerdasan emosional anak.

Itulah sepuluh poin keberhasilan bercerita kepada anak sejak dini. Anak selalu mendapatkan kesempatan bercerita saat istirahat dan relaksasi. Selain itu, orang tua dapat membina kedekatan dengan anak dan anak dapat membina kedekatan dengan teman dan guru melalui komunikasi yang kuat. Bercerita mendorong partisipasi aktif anak dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Inilah pentingnya bercerita untuk anak usia dini dilakukan. 

Nur Hafidz

Penulis merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, relawan Rumah Kreatif Wadas Kelir.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa