(Menyusuri) Jejak NRS dalam 75 Sajak
Penyair datang lebih dulu dan melangkah atau berjalan di depan para pembacanya. Kemudian, ia meninggalkan jejaknya sebagai kenangan untuk bersama dikenang. Saya, salah satu dari para pembaca, seakan menyusuri jejak penyair yang ditabalkan dalam puisi-puisinya.
Penyair akan menulis apa yang telah, pernah, atau akan dialami, baik sebagai pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, maupun peristiwa kebersamaan. Puisi-puisinya adalah lintasan dari semua “peristiwa” serta “perenungan” sang penyair.
Pembaca, kalau tidak bisa dikatakan berada di belakang penyair, ya, minimal melangkah di sisi sang penyair. Posisi saya saat ini berada di belakang. Dengan begitu, saya hanya mencoba menyusuri dengan setia jejak dari penyair lewat puisi-puisinya.
Saya meyakini bahwa setiap puisi memiliki jejak—kenangan—betapa pun rapinya penyair menyimpannya. Setiap puisi, sekecil apa pun, ada rujukan kendati apa yang ditulis oleh penyair bukan lagi fakta.
Oleh karena itu, segelap apa pun, puisi akan memberi “tanda” kepada pembaca. Tanda itu boleh pula sebagai kunci. Itulah yang digunakan pembaca untuk membuka kegelapan puisi. Lalu, pembaca masuk atau bersama-sama menyusuri jejak tersebut. Jejak atau kenangan yang ada pada penyair bisa sama dengan apa yang dirasakan pembaca. Namun, tak jarang pula berbeda kenangan.
Perbedaan kenangan itu tidak lantas memperuncing masalah. Kita acap mendebat hal-hal di luar puisi, bahkan fitnah bagi penyairnya sehingga puisi tak terjangkau dalam perbincangan. Apalagi, pada saat kita sedang mengalami kelangkaan kritikus sastra seperti sekarang. Padahal, yang kita rindukan adalah percakapan tentang puisi, tema-tema dalam puisi, dan kebaruan ucap dalam puisi.
Dalam berbagai ajang sayembara, “kritikus dadakan” tampil ke muka. Mereka dari kalangan penyair juga “harus menilai puisi dari penyair lain yang kadang satu generasi atau malah jauh di atasnya”. Sebagai kurator (juri), ia sudah menyiapkan perangkat atau “keinginan” atas puisi-puisi yang berada di hadapannya. Jadi, ia ibarat penjala ikan yang sejak di rumah menginginkan ikan yang diharapkan. Namun, karena merasa tak didapat, dianggap tangkapan tak sesuai dengan ekspektasi si kritikus.
Persoalan-persoalan “penilaian” berdasarkan rasa dan sensitivitas sangat pribadi ini, saya menduga menyebabkan terjadinya kemandekan perbincangan (dialog) terhadap karya puisi selama ini. Ditambah lagi, dengan banyaknya ajang kesastraan dengan cara menghimpun puisi untuk sebuah antologi, penyaringannya sangat longgar sehingga makin meneguhkan bahwa puisi-puisi Indonesia terkesan instan alias “sekadar” sesuai dengan selera di balik ajang tersebut.
*
Penyair akan meninggalkan jejaknya di dalam puisi-puisinya. Jejak duka atas kematian salah satu keluarganya, misal, dapat dibaca dalam puisi "Nisan" karya Chairil Anwar. Lalu, tentang poci—alat minum yang terbuat dari tanah liat khas dari Tegal—dapat kita nikmati dari sajak "Kwatrin tentang Sebuah Poci" karya Goenawan Mohamad. Selain itu, ada jejak pengunjung Pantai Sanur dalam sajak Abdul Hadi WM yang bertajuk "Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur".
Jejak penyair dalam puisi bisa panjang jika dideretkan sehingga dapat disusuri. Pembaca masuk bersama langkah penyair. Begitu pula halnya dengan saya yang mencoba menyusuri jejak Nanang R. Supriyatin (selanjutnya saya tulis NRS) dalam tiga bagian dari 75 Sajak ini.
Sebelum menyusuri jejak NRS dalam puisi-puisinya, sedikit saya kenalkan diri penyair kelahiran Jakarta ini. Nanang adalah “anak Betawi”—setidaknya ia lahir dan besar di daerah ini, persisnya di kawasan Guntur. Setelah berumah tangga dan rumah keluarganya “tergusur”, ia menempati rumah di Menteng Jaya. Lagi-lagi di kawasan “sempit” yang padat penduduk.
Sejak remaja, saya sudah mengenal NRS. Bahkan, jika ke Jakarta, saya selalu singgah dan kerap bermalam di rumahnya. Saat di Guntur, saya ingat kamar NRS muda, yakni di lantai dua. Di sana ia berkarya dan tidur. Dari lantai dua rumahnya, kita bisa melihat sudut Jakarta yang padat penduduk dan “kumuh”.
Kondisi sosial yang melingkari NRS setiap hari telah menempanya menjadi kuat. Ia menjadi penyair yang kokoh, sama seperti para penyair Jakarta lainnya, yakni Oewik Sanuri Emwe, Ook Nugroho, dan AGS Arya Dipayana, untuk sekadar menyebut beberapa saja.
NRS adalah aparatur sipil negara (ASN) di kelurahan. Ia juga merupakan penyair kuat yang dimiliki Jakarta. Dalam kepenyairannya, NRS sempat vakum dan sepertinya “hilang” dari putaran sastra Indonesia. Boleh jadi kesibukannya sebagai ASN membuatnya sementara melupakan (menepi dari) dunia sastra. Sejak booming media sosial, terutama Facebook (FB), namanya terbaca kembali. Bahkan, ia sempat menerbitkan buku puisi tunggal. Namun, sekali lagi yang saya sayangkan adalah ia “timbul tenggelam”. NRS juga kurang produktif berkarya. Itu dapat dibuktikan dengan buku puisi yang diterbitkan, selain peredaran puisinya di media massa.
Ketika NRS menyodorkan 75 Sajak ini sungguh saya sempat terpana. Bagaimana tidak, 75 puisi yang terhimpun itu rata-rata merupakan karya baru yang ditulis sepanjang 2021. Namun, saya menduga bahwa meski titimangsanya 2021, sesungguhnya pengendapan atas puisi-puisinya itu sudah jauh sebelum ditulis. Jejak yang mengekal dan berumah dalam dirinya, boleh jadi sudah beberapa tahun sebelum 2021. Itu hanya dugaan saya.
Ketika membaca ke-75 sajak NRS, kita akan menemukan beragam tema serta bermacam persoalan di dalam puisinya. Selama “pengasingan”, ternyata ia telah banyak mengumpulkan impresi dan kenangan serta menghimpun jejak untuk diabadikan di dalam puisi. Jejak NRS itu seakan berkelindan, menggoda, serta mengajak saya untuk turut bersamanya dan menyusuri tiap jejak dalam puisinya.
Namun, karena terlalu banyak jejak yang ditinggalkan, pada kesempatan ini kali saya menyusuri beberapa saja. Itu disebabkan oleh keterbatasan amatan saya (batin, pikiran, mata) dalam menikmati sajak-sajak NRS. Selain itu, perjalanan saya menyusuri jejak penyair ini bukan sebagai kritikus, melainkan sebagai sesama penyair.
Puisi pertama NRS dalam kumpulan ini adalah “Nyanyian Cinta” yang menjadi subjudul pada bagian pertama. Sebagai lelaki yang tidak lagi remaja, ia memaknai cinta dengan cara lain. Ia memaknainya bukan lagi secara harfiah yang lazim dipandang oleh kaum remaja, yaitu berahi, sejoli, dan sebagainya. Cinta dalam jejak NRS lebih dalam dan luas dari itu semua dan mengendap ke hati.
Cinta memang menjadi tema favorit bagi penyair, apakah itu cinta antarmanusia (sosial) atau cinta Ilahi. Hampir setiap penyair dipastikan menggarap atau menulis tema itu.
Dalam puisi "Nyanyian Cinta", NRS menempatkan cinta seakan berwujud kebendaan atau keorangan. Simaklah bait pertama ini.
cinta? Aku masih ingat bentuk matamu,
lekuk-liku alismu
hitam pekat rambutmu. Gaun sutera
milikmu, kata-kata
Mutiara yang kau sampaikan melalui lagu
Cinta dalam pandangan penyair ini serupa tubuh manusia, gaun sutra, dan semacam kata mutiara dalam lagu. Benar kata orang yang tengah kasmaran, "Cinta membuat bahagia dan membuat 'orang lupa'."
Sebagai manusia yang tidak lagi muda dan telah banyak menikmati asin-asam-manis kehidupan—juga ihwal cinta—puisi ini terasa kuat perenungannya.
Dari puisi ini juga jejak NRS tentang cinta, bukan seperti banyak orang memandangnya, kadang cenderung negatif. Patah hati. Hal-hal yang "menyakitkan" akibat per(cinta)an.
Simaklah di bait akhir puisi ini. NRS begitu menghargai arti cinta seperti seseorang merindukan telepon berdering setiap saat untuk berpesiar ke negeri-negeri asing.
katakan cinta, segala akan baik-baik saja
seperti dering telepon yang kudengar
setiap saat
membawa aku ke negeri-negeri asing, bersamamu
Buku tunggal 75 Sajak NRS ini dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu Nyanyian Cinta, Nyanyian Keseharian, dan Nyanyian Hari Tua. Tiap-tiap bagian berisi 25 puisi.
Kenapa 75, bukan 80 atau kurang dari jumlah itu? Tentu pemilihan 75 puisi dengan judul buku yang boleh dibilang simpel atau irit: 75 Sajak sudah dipertimbangkan matang oleh penyair. Akan tetapi, satu hal yang saya ketahui tentang pribadi NRS adalah ia tidak neko-neko dalam keseharian serta pergaulan. “Hidup sudah begitu ribet kenapa harus dipersulit,” mungkin itu yang ada dalam benak NRS.
Judul buku yang singkat justru mengundang beragam pertanyaan. Kumpulan puisi itu menjadi berarti kalau memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Penyair berhasil mengajak pembacanya. Keseriusan NRS terlihat dalam pemilahan puisi-puisinya yang dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Pemilahan seperti itu tidak mudah. Bahkan, itu harus dilakukan secara cermat dan dibaca berulang.
Tujuh puluh lima sajak dalam buku ini juga terasa lain dibandingkan dengan buku-buku puisi NRS. Kesan bahwa NRS makin matang melihat tema dengan mengulik setiap persoalan yang dirasakannya untuk sebuah puisi, ditambah jam terbang kepenyairannya yang panjang, telah memperkuat puisi-puisinya.
Nanang memasuki sekaligus mengakrabkan dirinya ke beragam tema dan berbagai masalah. Jejaknya begitu jauh dan luas. Ia bisa ada di halte, dapat meresapi perasaan seorang gadis, pada waktu yang lain jejaknya berdiam dalam kesepian dan kesunyian, serta ia terlihat berada di antara perempuan berparfum wangi di dalam keriuhan musik, lampu remang, dan kepulan asap rokok yang bercampur aroma alkohol.
Pada semua jejak yang ditinggalkannya justru saya merasakan sesuatu yang membebani perjalanannya, tetapi ia ungkapkan dengan santai dan—bahkan—riang. NRS tidak menghujat ketika ia harus kehilangan istri serta anak gadisnya. Meski jejak NRS membekas sebagai “luka”, tetap ada kelembutan di sana.
NRS sudah matang. Itulah yang dapat saya tangkap dari jejaknya yang ditinggalkan dalam 75 puisi ini. Misalnya dalam puisi “Buat Gadis” ini.
mataku belum buram, ternyata
buat menatap gadis bergaun putih
penciumanku masih tajam buat parfum
dan gincu, rambut hitam legam di bawah
sinar — bening, bikin lelaki terbang
tinggi
mataku belum buta, mataku tak ingin buta
seperti sihir lagu bagi cinta sekarat
seperti gadis terhipnotis biola
malam tak ingin tenggelam
hingga ke ranjang, basah
(18-09-2021)
Keindahan, kecantikan, siapa pun (lelaki) akan terpesona dibuatnya. Apatah lagi keindahan dari seorang gadis “bergaun putih” tentu mata lelaki tak akan buram. Penciuman pun menjadi tajam, “Buat parfum dan gincu, rambut hitam legam di bawah/sina —bening.” Lelaki mana tidak akan terbang tinggi?
Puisi tersebut mengajak pembaca untuk menyusuri jejak NRS tentang cinta, tentang seorang gadis bergaun putih dengan parfum dan gincunya yang menerbangkan tinggi (para) lelaki.
Siapakah gadis itu? Beberapa tahun lalu, sebelum lahir puisi ini, putri kesayangan penyair itu meninggal dunia menyusul ibundanya yang wafat lebih dulu. Jadi, dua perempuan yang amat dicintai dan disayangi NRS telah dipanggil-Nya. Ya! "Duka maha tuan bertahta," sebagaimana diucapkan Chairil Anwar dalam puisi "Nisan".
Sementara itu, NRS berujar dalam puisi itu, "Malam tak ingin tenggelam/hingga ke ranjang, basah". Ia sudah begitu mencintai sang gadis, "Mataku belum buta, mataku tak ingin buta/seperti sihir lagu bagi cinta sekarat.”
Jejak kesedihan yang lain dapat dijumpai pada puisi “Sebelum Sampai”. Masih juga terkesan jejak duka atas kematian orang yang dikasihi—istri dan putri—yang berpuluh tahun hidup bersama. Saya kutip bait akhir puisi tersebut.
sebelum sampai pada malam/sudah kutebak wajahmu/lewat lukisan di dinding, relief di/beranda, dan cuaca yang kacau/tapi siapa di kamar, di atas ranjang/engkau kah itu pembawa luka? (15/09/2021)
Dalam jejak penyair di puisi itu, ada gamang (“sebelum sampai pada malam”), ditambah “cuaca yang kacau”. Setiba di kamar, seakan ada ingatan atau bayang yang membawa luka (dan duka?), “Engkaukah itu pembawa luka?”
Engkau dalam puisi itu bisa jadi maut, bisa pula kematian itu. Yang menyisakan kenangan seseorang dengan seorang lainnya untuk waktu yang sangat panjang/lama. “Mahaduka tuan bertahta,” teriak Chairil Anwar. Sementara itu, NRS cukup dengan satu kalimat pertanyaan, “Engkaukah itu pembawa luka?”
Kematian memang niscaya. Setiap yang bernyawa dipastikan mengalami kematian karena itu sebagai jalan menuju keabadian. Namun, seseorang yang takwa akan mengimani bahwa kematian itu pasti adanya. Kesedihan dalam menerima kematian merupakan hal yang manusiawi, tetapi kita dilarang meratapi secara berlebihan. Tingkat keimanan yang baik ada dalam diri penyair NRS.
Jejak duka yang saya rasakan, tak membuat saya harus bersedih apalagi menjadi ketakutan. Bahkan, saya mendapati perenungan tentang perpisahan karena kematian dalam puisi NRS.
Nyanyian cinta tak melulu meninggalkan jejak kebahagiaan, keriangan, serta hal-hal sejenis itu. Akan tetapi, jejak kerinduan NRS terhadap sesuatu yang pernah dimiliki lalu hilang, terasa di dalam puisi-puisinya di bagian pertama. Nyanyian itu bagai pengalaman sehari-hari manusia dan oleh penyair “diabadikan” sebagai jejak.
Ketika NRS bicara tentang kamar, ihwal jendela rumahnya, seperti begitu akrab dengan saya. Hal-hal yang semestinya privat, terbuka lebar untuk dijejaki.
Seperti halnya puisi ini.
di jalan, menuju kamarmu
kabut. Waktu diam dalam jam
di balik jendela, tirai tersingkap
di balik kaca, air mata
malam sehabis hujan
gaduh perang di ranjang
(puisi “Malam Sehabis Hujan”)
Puisi tersebut terasa jejaknya begitu dekat bagi saya sebagai penikmat, seperti pengalaman imajinasi penyair dan pengalaman pembaca. Sebuah peristiwa yang terbuka memberi ruang bagi orang lain untuk turut memiliki dan merasakan.
Seperti umumnya pandangan orang, rumah bukan saja untuk berlindung dari hujan dan panas. Rumah dapat menjadi tempat beribadah, berdoa, bercinta, dan menghimpun kenangan. Simaklah puisi NRS ini yang baris terakhirnya sangat menghentak.
o, rumah tanpa cinta
nyanyian dalam ruang, tersekat
bagai dalam sel, doa-doa
biji-biji tasbih bergerak di jari
ranjang yang dulu, potret-potret lama
dinding yang dulu, lantai yang basah
tamu datang dan pergi, lalu-lalang
o, persinggahan terakhirku
kubur -- istana yang asing!
(Puisi "Rumah", 29-09-2021)
Manusia adalah pejalan (perantau) dan sejauh-jauh perjalanan akan kembali ke rumah: sekadar melepas lelah, tidur, ataupun menyandarkan kerinduan kepada yang ada di rumah, yang selalu menunggu pulang dan "kepulangan".
Ketika membaca puisi "Rumah", jejak NRS sangat membayang dalam diri saya. Saya merasa kesedihan dan kesepian yang sama. Lagi-lagi “nyanyian cinta” yang perih. Entah mengapa yang terbayang ialah kenangan penyair saat masih bersama istri dan sang putri "ranjang yang dulu, potret-potret lama/dinding yang dulu, lantai yang basah/tamu datang dan pergi, lalu-lalang" seakan kini merupakan "... persinggahan terakhirku/kubur—istana yang asing!"
*
Jejak duka dan aroma kesepian karena kepergian seseorang yang sangat dicintai dan selama ini selalu membersamai, terekam dalam banyak sajak NRS. Jejak-jejak itu begitu benderang untuk disusuri. Saya tak khawatir tersesat di dalamnya, bahkan seperti merasakan hal yang sama. Demikian karib terhadap kesedihan itu.
Pada beberapa sajak NRS di bagian kedua, Nyanyian Keseharian, masih belum dapat keluar dari zona duka dan kesepian. Itu dapat dibaca dalam puisi "Arloji" yang diletakkan di halaman awal bagian kedua, lalu "Stasiun", "Akhir", "Suatu Saat", dan "Sajak tentang Waktu" adalah puisi-puisi yang membincangkan maut (kematian) dan senja serta mempertanyakan ihwal waktu.
Di bagian kedua dari 75 Sajak ini, NRS menulis tentang kota, surga, bar, dan masalah keseharian lainnya. Ia juga merekam persoalan sosial dan HAM. Sebagai penyair yang memiliki dan selalu mengasah rasa (sense of social) pada kehidupan di semesta, ia akan selalu terpanggil untuk mencatat sesuatu yang dirasakan timpang atau tak sejalan dengan pikiran dan hati. Saya teringat ucapan Octavio Paz bahwa puisi adalah suara lain dari sejarah. Artinya, penyair sesungguhnya adalah saksi bagi peristiwa dan perekam sejarah. Namun, ia menuliskannya ke dalam puisi dengan suara yang bukan lagi fakta.
Ketika penyair itu mencatat "blusukan pemerintah", jangan diambil mentah soal blusukannya. Itu karena penyair "mendengar reruntuhan hujan/jatuh ke gunung, masuk ke kedalaman tanah/kemudian tumbuh mata air hingga ke jalan-jalan//aku mendengar bisik-bisik di balik dinding/bukan suara tape recorder atau percakapan/tapi desah air di sungai, di belakang rumah/kupu-kupu yang datang, kemudian pergi/bersama senja yang diam-diam menghilang". (Sajak “Aku Mendengar” NRS).
Sebagai "Nyanyian Keseharian" dalam bagian kedua ini, saya membaca jejak penyair yang membicarakan nasib warga Afganistan. Ia memosisikan diri di pihak yang dizalimi. Dalam puisi “Catatan Hitam”, NRS mengajak kita untuk melihat rakyat Afganistan sekaligus persoalan di tanah air. Soal protes menggunakan media mural atau grafiti di dinding pagar/gedung di suatu kota, terdapat pandangan sudut-sudut gang hitam, karung goni, serta botol plastik. Semua itu adalah cermin dari suatu kota (negara?) yang kacau dan miskin. Seakan Indonesia dan Afganistan tiada beda.
Demikian NRS membubuhi jejaknya dalam puisi tersebut, “Aku masuk ke tubuh-tubuh orang tak kukenal/aku membayangkan sebagai migrasi Afganistan/dicemoohkan banyak orang. Aku melihat/pemerintah blusukan/bagai sebuah kampanye, minta pengakuan/mereka mengajakku bercakap tentang sesuatu/aku terdiam seperti seorang terdakwa/siap tersingkirkan, dalam rumahku sendiri//aku catat kemungkinan aku terus hidup/kucatat apa yang kulihat dengan tinta darah/di setiap kata dan huruf mati” (12-09-2021).
Jejak hitam, kota legam, bar yang penuh asap dan aroma minuman alkohol, jalan berdebu, amis mesiu, serta kekerasan lainnya di dalam puisi-puisi NRS terasa dekat bagi saya. Tak berjarak lagi. Saya pun turut merasakan apa yang dirasakan penyair. Merasakan detak dan degup yang ditarik dan dihempaskan penyair setiap napasnya.
Nyanyian keseharian merupakan bagian dari apa-apa yang dilihat, dirasa, dan mungkin dibaca dari pemberitaan media massa. Jejak NRS dalam perjalanan sehari-harinya membuka lebar jalan bagi pembaca untuk menyusurinya. Puisi memang sesuatu yang selalu memberi jalan bagi pembacanya untuk bersama atau berada di sisi saat melakukan perjalanan dalam mengartikan serta memaknai hidup.
Hidup itu butuh perenungan, katarsis, serta penjelajahan ke hakikat diri. Tubuh adalah kaca
filosofis untuk masuk dan mengurai, sedangkan semesta merupakan lembaran-lembaran kosong dan
putih untuk diurai rahasianya. Karena itu, kita selalu ingin mencari jejak demi
menemukan hakikat hidup.
halaman-halaman dalam buku terbuka
aksara demi aksara membaca tubuhnya
kehidupan dan kematian berdampingan
tanpa jarak, bagai rumah dan kubur
kubur-kubur sepi setelah hujan dan badai
setelah pergi satu satu
seseorang duduk di bawah lampu temaram
merasakan gonjang ganjing dadanya
dalam gelap seperti terdengar suara
apakah di balik pintu atau di atas meja?
entah
(18-09-2021; “Buku Hidup”)
Sajak “Kepada Tubuh” mempertegas pilihan saya untuk menyusuri jejak penyair. Kata Nanang, “... ikut saja arus sungai mengalir/tak perlu kau tanya asal muasalmu, di mana/kelahiranmu, siapa ibumu, berapa lama kau/dalam kandungan ibumu//...//tak usah kau tanya berapa jarak kaki ke mimpi/tak usah kau hitung jejak-jejak perjalananmu/jika sudah waktunya akan sampai juga kau/ke ujung sungai, rumahku abadi”. (28-09-2022).
Jejak yang ditinggalkan penyair dan disiapkan bagi pembaca untuk menyusuri perjalanan hidup-kehidupan, memang tidak selalu dapat berjalan lancar. Boleh jadi itu karena perbedaan pengalaman empiris dan sebagainya. Seperti juga setiap manusia akan lancar membaca tanda yang dihamparkan Tuhan di bumi dan di langit ataupun sebaliknya. Terkadang kita perlu waktu guna memaknai ayat-ayat tersebut.
Pada akhirnya memang seperti diucapkan penyair
dalam “Catatan Kaki” yang bertitimangsa 2021 dalam bagian ketiga buku ini,
Nyanyian Hari Tua, bahwa manusia tempat
segala lupa.
aku sering lupa membaca tanda
yang kubaca hanya permukaan
padahal sudah ada sinyal
garis miring dan tebal, ada
meskipun takada namamu di sana
(bait ketiga)
Saya telah mencoba menyusuri jejak NRS dari sajak-sajaknya yang terhimpun dalam buku ini meskipun saya meyakini yang saya lakukan masih di permukaan. Bagaimanapun, puisi tetap menyisakan misteri (rahasia) yang kadang tak setiap pembaca mampu menjabarkannya. Cukup mengapresiasi itu sudah lumayan. Kerahasiaan dari sebuah puisi, selain milik imajinasi penyair, juga “sejarah” bagi kelahiran puisi itu bagi pemiliknya. Ia akan kembali kepada suara yang lain. Sebagai pembaca, kita hanya bisa riang menikmatinya.
Sebagai akhir dari catatan saya ini, saya ingin menunjukkan bahwa puisi-puisi Nanang R. Supriyatin dalam 75 Sajak ini menunjukkan kematangannya dalam hidup dan kepenyairannya.
Di sini izinkan saya mengutip pendapat Suminto A. Sayuti ketika membahas 100 puisi pilihan saya, Kota Cahaya (Grasindo, 2005). Kata kritikus Suminto, seorang penyair yang telah menempatkan diri pada suatu pola kepenyairan tertentu, senantiasa tampil dengan keutuhan ekspresi dalam setiap karyanya. Kematangan dalam mengelola gagasan serta kejelasan tendensi yang tercakup dalam ungkapan puitis seorang penyair menjadi suatu hal yang spesifik bagi dirinya: sebuah idiosinkrasi. (hlm. 150).
Saya mengutip pendapat Suminto karena saya menemukan yang sama dalam sajak-sajak Nanang R. Supriyatin, yakni kematangan diri dan kepenyairannya mencermati persoalan dan gagasan.
Selebihnya, tentu khalayak pembaca mempunyai pandangan lain pula—jika tak sama dengan
saya—ataupun mempunyai cara menghadapi 75 puisi Nanang R.
Supriyatin. Salam.
Dari sudut Lampung Selatan,
Desember 2021
Isbedy Stiawan ZS
...